Selasa, 27 Desember 2011

THAHA HUSEIN


THAHA HUSEIN


A.    PENDAHULUAN
Banyak hal yang menarik untuk diketahui dan dikaji pemikiran-pemikiran Thaha Husein dalam berbagai bidang, seperti pemikirannya di bidang kebudayaan, pendidikan, politik dan sastra Jahili, kisah-kisah dalam Al-Qur’an dan juga pemikirannya di bidang titik temu agama-agama. Hampir seluruh pemikirannya mendapatkan tantangan dari para ulama Al-Azhar yang berada di garis konservatif, dan mereka tidak segan-segan mengatakan bahwa Thaha Husein adalah seorang tokoh yang sekuler karena gagasan-gagasannya sangat kontroversial dan sangat sekularistik. Di antara pemikir yang melancarkan kritik terhadap gagasan-gagasan Thaha Husein dalam berbagai bidang tersebut adalah Muhammad al-Khudar Husein, Musthafa Shidiq ar-Rafi’i, Muhammad Farid Wajdy, Rasyid Rida, Anwar Jundy dan Maryam Jamelah. Setelah Thaha Husein meninggal (1973) banyak tokoh bersimpati terhadap gagasan-gagasannya, karena Thaha Husein ternyata telah berbuat sesuatu yang terbaik untuk kemajuan negeri Mesir. Terhadap gagasan-gagasan Thaha Husein tersebut, Harun Nasution mengatakan “untuk masa puluhan tahun yang lalu ide-ide Thaha Husein itu terlalu baru dan payah dapat diterima. Untuk masa kini (1975) ide-ide itu tidak terlalu baru lagi dan sudah dapat diterima dalam kalangan umat Islam.”
Melihat kondisi obyektif tingkat pendidikan umat Islam dan terutama Mesir di masa hidupnya Thaha Husein penting sekali. Tanpa mengetahui kondisi obyektif tersebut sulit kiranya memahami gagasan-gagasan yang ditawarkan oleh Thaha Husein yang cukup kontroversial, dan besar kemungkinannya akan menilai negatif terhadap ide pembaharuannya. Ketika Thaha Husein menekuni studinya, kesadaran akan perlunya ilmu pengetahuan dan teknologi telah berusia (kurang lebih) 100 tahun. Ini bila diukur dengan kontaknya orang Mesir dan terutama para ulamanya dengan kebudayaan modern yang dibawa oleh Napoleon. Kedatangan Napoleon (yang bukan hanya datang dengan tentara, tetapi juga dengan unsur-unsur peradaban modern Barat yang tidak dikenal oleh dunia Timur) dapat menimbulkan kesadaran dalam diri para ulama Mesir, bahwa umat Islam sudah jauh ketinggalan dari bangsa Eropa.  Kesadaran tersebut terucap oleh Abdul Rahman al-Jabarti seorang ulama Al-Azhar dan penulis sejarah setelah berkunjung ke lembaga ilmiah dan laboratorium Prancis, ia mengatakan bahwa di sana dilihatnya benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang sulit ditangkap oleh akal.
Tulisan ini akan mengetengahkan kontroversial pemikiran Thaha Husein dan langkah-langkah konkret, selama menjadi birokrat (menteri), dalam menggagas pemikirannya, khususnya dalam bidang pendidikan, kebudayaan, politik, dan agama.
B.     PEMBAHASAN
1.   Riwayat Hidup
Riwayat hidup Thaha Husein lahir di sebuah  kota kecil di Mesir yang bernama Maghargha pada tanggal 14 November 1890, dan meninggal pada tahun 1973M. Ia putra ketujuh dari tiga belas bersaudara dan kelima (saudara sekandung) dari ibunya yang merupakan istri kedua ayahnya. Ia berasal dari keluarga petani yang miskin. Sewaktu umur dua tahun ia terserang penyakit mata, dan keluarga tidak mampu mengobatkan ke dokter kemudian ia diobati seorang dukun, tetapi hasilnya malah membuat ia buta sama sekali.[1] Kebutaan ini tidak menjadi penghalang Thaha Husein untuk menapak kariernya, bahkan semangat jihadnya semakin belum diperoleh selama belajar di Al-Azhar, terutama mengenal metode penelitian untuk sejarah dan kritik sastra. Akhirnya pada tahun 1914 M, dalam usia 24 tahun ia berhasil menyelesaikan studinya di universitas tersebut mendapat Ph.D. [2]
Selanjutnya pada tahun 1915 M ia memperoleh beasiswa dari pemerintah Prancis untuk belajar di Universitas Sarbono, dan empat tahun kemudian 1919 M, ia memperoleh gelar Ph.D dari universitas tersebut, bahkan setahun sebelum gelar itu diperoleh, ia berhasil mengawani seorang gadis Prancis yang bernama Suzane Bresseau.[3] Sebelum dari Prancis ia ditunjuk sebagai dosen di Universitas Kairo dan Universitas Iskandariyah. Karier tertinggi yang pernah ia peroleh adalah sebagai menteri pendidikan  pada tahun 1952 M.[4]
2.      Ide-Ide Sekularisasi Thaha Husein
Secara harfiah kata “Sekularisasi” berasal dari kata Latin “Saeculum” yang berarti masa, waktu atau generasi. Kata Saeculum sebenarnya merupakan salah dari kata latin yang berarti dunia. Kata lainnya yaitu “Mondus.” Saeculum  menunjukkan waktu dan Mondus menunjukkan ruang. Saeculum sendiri adalah lawan dari “Eternun” yang berarti abadi, yang digunakan untuk menunjukkan alam yang kekal abadi, yaitu alam sesudah dunia ini.[5] Dalam Bahasa Inggris kata “Secular” merupakan kata sifat yang berarti duniawi.[6]
Perlu diketahui sekuler yang bersifat keduniaan, artinya masalah dunia tetap dijadikan masalah dunia dan masalah agama (akhirat) tetap dijadikan masalah agama. Sekularisasi yang terjadi dalam Islam sangat berbeda dengan terjadi di Barat, baik dari titik tolaknya maupun  hasilnya.  Sekularisasi di Barat berawal dari pemisahan ilmu dari agama, dan berujung pada lepasnya ilmu dari agama (gereja). Sedangkan yang dimaksud   Sekularisasi yang terjadi dalam Islam berawal dari lepasnya ikatan-ikatan tradisi yang berupa pemahaman agama para pendahulu, dan berujung pada kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits (tidak terlepas pada keduanya).     
Oleh karena, itulah pendekatan digunakan dalam penggunaan sekularisasi  di sini juga dilihat dari jurusan religius (dalam arti Islam), sebab jika istilah ini ditarik penggunaannya kepada Islam seperti terlihat dalam gagasan Thaha Husein, maka ia berarti pembebasan umat Islam dari ikatan ajaran-ajaran agama yang bukan mendasar, yang bersifat relatif, yang merupakan produk ulama terdahulu  (tradisi) atau dengan meminjam istilah yang dipopulerkan Harun Hasution, membebaskan umat Islam dari keterkaitannya kepada ajaran-ajaran agama yang dzanni  yang merupakan tradisi pemahaman umat Islam.[7]
Proses pembebasan ini sangat diperlukan mengingat dua hal; pertama, akibat perjalanan sejarah sendiri, umat Islam yang tidak sanggup membedakan di dalam nilai-nilai yang disangkanya Islami, mana yang transendental, absolut dan dasar, dan mana yang temporal dan relatif yang merupakan produk pemikiran manusia; kedua, sekularisasi ini penting sebab tanpa adanya sekularisasi pemikiran tidak akan berkembang. Bahkan tidak boleh dipertanyakan ketentuan-ketentuan tradisi, termasuk tradisi pemahaman yang merupakan produk para ulama terdahulu, atau istilah berkes pemikiran yang selalu terkungkung dalam pandangan/pengalaman keagamaan tetap setiap kepada pandangan hidup abad pertengahan.[8] 
Adapun ide-ide Thaha Husein meliputi bidang-bidang sebagai berikut:
1)      Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan   Thaha Husein menaruh perhatian yang sangat besar. Hal ini terlihat pada kata-kata yang pernah ia dilontarkan “Pendidikan teramat penting bagi manusia seperti pentingnya udara dan air.”[9]
 Menurut Thaha Husein tujuan negara Mesir mendirikan universitas adalah untuk mengangkat pendidikan pemuda-pemuda Mesir adalah kemerdekaan berpikir. Universitas harus mencerminkan intelektual, keilmuan, dan memiliki metode analisis modern. Semua itu telah diraih Eropa dengan sistem pendidikannya yang mengutamakan kebebasan berpikir dan kebebasan meneliti demi pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, menurut Thaha Husein, selama seratus tahun terakhir ini dasar dan struktur pendidikan murni adalah Barat.  Berangkat dari sinilah  Thaha Husein  menegaskan agar pendidikan Mesir didasarkan pada sistem dan metode Barat mulai dari tingkat menengah sampai dengan perguruan tinggi, demikian pula dalam metode penelitiannya. Lebih lanjut gagasan yang lebih khusus ia tujukan kepada fakultas adab (sastra), karena menurutnya, hakikat kehidupan modern menuntut agar fakultas ini lebih memperhatikan berbagai studi  Islam dengan metode yang benar.[10]
Sebagai realisasi dari gagasan-gagasan Thaha Husein ini terlihat antara lain ketika ia diangkat menjadi menteri pendidikan Mesir (1950-1952M) yang berhasil menambah fakultas kedokteran, administrasi dagang, pertanian, dan teknik.[11] Di sisi lain ia juga berhasil memperjuangkan pendidikan universal bagi pria dan wanita.[12]
2)      Bidang Kebudayaan
Karya terpenting  Thaha Husein berkenaan dengan kebudayaan ini  adalah         Mustaqbal al-Tsaqafah fi al-Mishr.” Dalam karyanya ini ia paparkan gagasan-gagasan yang dapat di sebut sekuler. Menurut Thaha Husein, jika umat Islam ingin maju, mereka harus menjadi orang Eropa dalam segala hal.[13] Langkah yang harus diambil umat Islam khususnya di Mesir untuk mencapai hal itu, menurutnya adalah dengan mempelajari secara cermat sejarahnya dan memahami Mesir selamanya merupakan bagian dari Eropa. Mesir itu bagian dari Barat, karena peradabannya adalah peradaban yang didasarkan atas filsafat Yunani dan sistem hukum Romawi, dan bukan atas peradaban India dan Cina. Baginya, di dunia ada dua peradaban, yaitu Barat dan Timur. Mesir tidak termasuk dalam peradaban yang berasal dari timur. Muhammad Ali yang membawa ide-ide dan teknik modern ke Mesir telah membuat ikatan yang ada antara Mesir dan Eropa.[14]
Lebih lanjut dari itu Harun Nasution berpendapat dunia Barat maju karena sanggup melepaskan peradaban dari ikatan-ikatan agama mereka. Karena peradaban itu tidak didasarkan atas agama kristen, bahkan terlepas sama sekali dari pandangannya, maka  umat Islam akan mudah mengambil peradaban Barat modern dan membawanya ke dunia Islam. Sebelumnya umat Islam juga telah memasukan unsur-unsur Yunani dan Persia  ke dalam Islam. Dengan mengambil peradaban Barat, tanpa agamanya, umat Islam akan mendapat kemajuan dan kehidupan modern.[15]
Gagasan  Thaha Husein tentang alih peradaban Barat ini disebabkan yang selama ini dianggap bertentangan dengan Islam, justru menurutnya menunjukkan bahwa peradaban tersebut adalah peradaban Qur’ani, karena memang relevan dengan petunjuk Al-Qur’an. Seperti ilmu dan teknologi, industrialisasi dan etos kerja yang tinggi. Oleh karena itu, tidak ada satu pun alasan yang menghalangi umat Islam untuk mengadopsinya. Namun di tengah-tengah seruannya yang gentar untuk menghadapi peradaban Barat itu, ia tetap menegaskan pentingnya selektif dalam rangka sebuah alih peradaban. Hal ini dapat dilihat dari perkataannya “ seseorang yang cerdik, bila ia akan memilih kebaikan untuk dirinya, ia akan waspada menghadapi urusan agama dan dunianya, ia akan menerima hal-hal yang baik dan terpuji dan akan menolak yang buruk lagi tercela sepanjang kemampuannya.”[16]        
3)      Bidang Politik
Ide Thaha Husein dalam bidang politik juga dinilai  sangat kontroversial. Hal ini dapat dilihat dari salah satu ungkapannya “sesungguhnya politik adalah sesuatu dan agama sesuatu yang lain, dan sesungguhnya sistem pemerintahan dan pembentukan negara adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain”.[17]
Berdasarkan pendapat di atas, Thaha Husein dikelompokkan sebagaimana  oleh Ali Abdul Rozik kepada golongan yang berpendirian bahwa Al-Qur’an tidak mengatur masalah politik atau ketatanegaraan. Nabi Muhammad SAW seorang rasul dengan tugas tunggal, yakni mengajak manusia kepada kehidupan mulia dengan mengunjung tinggi budi pekerti  dan Nabi Muhammad SAW tidak bermaksud untuk mendirikan dan mengepalai negara.[18]
Dari pernyataan tersebut Thaha Husein tersebut, dapat diambil pengertian bahwa menurutnya sistem politik dan pemerintahan tidak disatukan dengan agama, karena memang keduanya mempunyai pijakan yang berbeda, aspek pandangannya yang berbeda, dan kesimpulannya pun akan berbeda. Hal ini bukan berarti politik harus dikucilkan dari agama, dan demikian pula agama tidak harus dikucilkan dari permasalahan politik, tetapi yang harus dilihat dari subjek politik dan agama  adalah manusia muslim yang beriman, dan bertakwa yang diramu dengan pengetahuan dan teknologi.
4)      Bidang Agama      
Adapun ide-ide Thaha Husein meliputi bidang agama sebagai berikut:
a)      Antara Syair Jahiliah dan Al-Qur’an
  Dengan di awali ide pemikirannya tentang agama, Thaha Husein dengan hati-hati melakukan perenungan yang dalam terhadap nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ia mengadakan penilaian terhadap penafsiran-penafsiran terhadap ajaran Islam selama ini dan melepaskan diri dari ikatan-ikatannya, kemudian ia mengajak menyerukan untuk melakukan kerja intelektual (ijtihad baru), dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits  dengan mempertimbangkan ilmu dan ide-ide yang sedang berkembang. Suatu titik tolak yang biasanya dilakukan setiap pembaharu meskipun ia tidak menunjukkan metodenya, sebab salah satu ciri dari seorang pembaharu yang konsisten adalah memiliki akses yang kuat terhadap akar tradisi  Islam pada suatu sisi, dan memiliki akses yang kuat pula kepada pemikiran Barat di sisi lain.[19]  
Pada tahun 1928M, Thaha Husein menerbitkan bukunya mengenai syair Arab pra-Islam “Fii al-Sya’ir al-Jahili” sebuah kitab yang cukup kontroversial dan menimbulkan banyak polemik. Tesis utama dari kitab ini adalah sebagian dari apa yang disebut-sebut sebagai syair-syair jahiliah (seperti yang terdapat dalam buku-buku yang menjadi rujukan para ilmuwan dan agamawan). Sebenarnya bukanlah sastra Arab jahiliah, tetapi karangan-karangan yang timbul di zaman sesudah Islam. Hanya sebagian kecil saja dari apa yang disebut sebagai sastra jahiliah dan itu benar-benar autentik. Karangan-karangan yang tidak asli itu timbul dan dikatakan berasal dari penyair-penyair kenamaan di zaman  jahiliah untuk keperluan politik dan untuk memperkuat argumentasi-argumentasi yang diajukan oleh ahli tata bahasa Arab, Ahli Tafsir, Ahli Hadits, dan Teologi.[20]
Selain mengkritik keras metode yang dipakai dalam mengajarkan kesusastraan Arab. Thaha Husein mencemooh sikap menerima secara membabi buta apa saja yang dikatakan orang-orang terdahulu. Ia mengatakan “Merupakan suatu keinginan saya agar kita tidak menerima begitu saja apa yang dikatakan orang-orang terdahulu tentang kesusastraan kita dan sejarahnya, kecuali setelah adanya pengkajian dan pemastian. Metode penelitian kritis seperti ini akan menjungkirbalikkan ilmu-ilmu lama.[21]     
Dari uraian di atas, akhirnya Thaha Husein berpendapat dalam bidang ini yaitu menekankan agar umat Islam tidak menganggap sakral penafsiran para ulama terdahulu, tentang masyarakat Arab pra-Islam. Dia menggagaskan agar penafsiran itu dipandang duniawi saja, artinya tradisi pemahaman yang tidak pasti mengikat. Apalagi pandangan para  ulama terhadap syair jahiliah adalah keliru, dan bertentangan dengan data yang ada dalam Al-Qur’an. Maka persoalan selanjutnya yang perlu dicari jawabannya adalah bagaimana  sebenarnya pandangan Al-Qur’an mengenai masyarakat Arab pra-Islam?  
b)     Kisah  Dalam Al-Qur’an    
Gagasan lain yang cukup mencengangkan adalah menyangkut kisah Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As. Thaha Husein mengatakan bahwa Taurat dan Al-Qur’an telah mengisahkan kepada kita tentang Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As, tetapi munculnya kedua nama tersebut dalam Al-Qur’an tidak menjamin keberadaannya secara historis. Pernyataan tersebut sudah barang tentu menimbulkan kecaman dari ulama Mesir, termasuk Rasyid Ridha yang menganggap  Thaha Husein telah keluar dari Islam. [22]
Untuk menjalankan ide itu, Thaha Husein mengajukan ungkapan yang sangat sederhana, yaitu “Sebagai seorang muslim ia mempercayai apa saja yang diterangkan Al-Qur’an menyangkut kisah itu, namun sebagai seorang ilmuwan ia harus berhati-hati sehubungan dengan metode ilmiah.[23]  
Dari pernyataan Thaha Husein di atas, dapat diketahui bahwa Thaha Husein begitu ekstrem memisahkan antara Al-Qur’an dan metode ilmiah dengan tanpa menyadari bahwa semua ayat Al-Qur’an itu dapat diilmiahkan, dan menurut penulis ayat-ayat Al-Qur’an itu sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah. Allah Aklamu bish Shawab.

 
C.    PENUTUP
1.  Kesimpulan
a)      Riwayat hidup Thaha Husein lahir di sebuah  kota kecil di Mesir yang bernama Maghargha pada tanggal 14 November 1890, dan meninggal pada tahun 1973M. Selanjutnya pada tahun 1915 M ia memperoleh beasiswa dari pemerintah Prancis untuk belajar di Universitas Sarbono, dan empat tahun kemudian 1919 M, ia memperoleh gelar Ph.D dari universitas tersebut, dan ia berhasil mengawani seorang gadis Prancis yang bernama Suzane Bresseau. Sebelum dari Prancis ia ditunjuk sebagai dosen di Universitas Kairo dan Universitas Iskandariyah. Karier tertinggi yang pernah ia peroleh adalah sebagai menteri pendidikan  pada tahun 1952 M
b)     Di bidang pendidikan Thaha Husein berpendapat bahwa selama seratus tahun terakhir ini dasar dan struktur pendidikan murni adalah Barat.  Dia menegaskan agar pendidikan Mesir didasarkan pada sistem dan metode Barat mulai dari tingkat menengah sampai dengan perguruan tinggi.
c)   Di bidang kebudayaan  Thaha Husien berpendapat bahwa dunia Barat maju karena sanggup melepaskan peradaban dari ikatan-ikatan agama mereka. Karena peradaban itu tidak didasarkan atas agama kristen, dan  terlepas sama sekali dari pandangannya, maka  umat Islam akan mudah mengambil peradaban Barat modern dan membawanya ke dunia Islam.
d)     Di bidang politik Thaha Husien berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak mengatur masalah politik atau ketatanegaraan. Nabi Muhammad SAW seorang rasul dengan tugas tunggal, yakni mengajak manusia kepada kehidupan mulia dengan mengunjung tinggi budi pekerti  dan Nabi Muhammad SAW tidak bermaksud untuk mendirikan dan mengepalai negara.
e)      Di bidang kisah dalam Al-Qur’an Thaha Husien berpendapat bahwa; pertama, mengenai antara syair jahiliah dan Al-Qur’an Thaha Husien menekankan agar umat Islam tidak menganggap sakral penafsiran para ulama terdahulu, tentang masyarakat Arab pra-Islam. Dia menggagaskan agar penafsiran itu dipandang duniawi saja, artinya tradisi pemahaman yang tidak pasti mengikat. Apalagi pandangan para  ulama terhadap syair jahiliah adalah keliru, dan bertentangan dengan data yang ada dalam Al-Qur’an; kedua, mengenai kisah Al-Qur’an di antaranya  kisah Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As, Thaha Husein mengatakan bahwa Taurat dan Al-Qur’an telah mengisahkan kepada kita tentang Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As, tetapi munculnya kedua nama tersebut dalam Al-Qur’an tidak menjamin keberadaannya secara historis.

  Penulis mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih disebabkan oleh kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu penulis mengharapkan kritik yang membangun untuk  perbaikan makalah ini pada masa yang akan datang. 

 


[1] Maryam Jameelah,  Terj. Islam dan Modernisme, (tt, Usaha Nasional, 1992), hal. 192.
[2] H.A.R. Gibb, Studies On The Civilation Of Islam, (Boston: Beacon Press, 1968), hal. 78.
[3] Albert  Haurani, Arabic Thought In The Liberal Age, (London:Oxford University Press, 1962), hal. 326.
[4] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press,1990), hal. 138.
[5] Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung:Mizan, 1987), hal. 216-217)
[6] Jhon Echols, dan Hasan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia,  (Jakarta: Gramedia, 1982), hal. 509.
[7] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1982), hal. 10.
  [8] Ibid.
[9] Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husein, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 1994), hal. 88.
 [10] Ibid., hal. 99.                                                                  
[11] Maryam Jameelah,  Terj. Islam dan Modernisme, hal. 200-201
[12] Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husein, hal. 100.
[13] Ibid, hal. 64.
[14] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, hal. 87.
[15] Ibid., hal. 87.
[16] Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husein, hal. 79.
[17] Ibid, hal. 108
[18] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, hal. 12.
[19] Thaha Husein, Fi al-Adab al-Jahili, (Mekkah: Dar al-Ma’araif, tt), hal. 67.
[20] Ibid.
[21] Ibid., hal. 225.
[22] Ibid., hal. 65.
[23] Ibid.



 
DAFTAR PUSTAKA


Echols, Jhon, dan Shadily, Hasan Kamus Inggris – Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1982.
Gibb, H.A.R. Studies On The Civilation Of Islam, Boston: Beacon Press, 1968.
Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran  Thaha Husein, Yogyakarta:Tiara Wacana, 1994.
Haurani, Albert,  Arabic Thought In The Liberal Age, London:Oxford University Press, 1962.
Husein,Thaha, Fi al-Adab al-Jahili, Mekkah: Dar al-Ma’araif, tt.
Jameelah, Maryam,  Terj. Islam dan Modernisme, tt, Usaha Nasional, 1992.
Madjid, Nurcholish, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan,  Bandung:Mizan, 1987
Nasution ,Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta:Bulan Bintang, 1982.
Syadzali, Munawir,  Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI Press,1990.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar