PAHAM
RASIONAL DALAM PEMIKIRAN ISLAM; TOLOK UKUR DAN IMPLIKASINYA
DALAM
BIDANG HUKUM
Oleh
: Asril Dt. Paduko Sindo[1]
A. Pendahuluan
ejarah pemikiran Islam, khususnya
dalam periode klasik, telah mencatat munculnya para pemikir Muslim yang
mengembangkan pemikirannya berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah. Mereka muncul
dengan berbagai metode dan produk pemikirannya. Hasil karya mereka yang begitu
cemerlang telah menjadi acuan bagi perkembangan pemikiran pada masa-masa
sesudahnya. Lebih dari itu, pada masa-masa belakangan ini, semakin banyak
peneliti Muslim berusaha untuk menggali khazanah pemikiran masa lalu sebagai
bagian dari upaya untuk mencari jawaban terhadap beragam persoalan kontemporer.
Pemikiran
para pemikir Muslim yang dimunculkan sebagai upaya un-tuk menjawab dan
meresponi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat pada zamannya
diklasifikasikan oleh para pengamat ke dalam beberapa corak dan aliran. Salah
satu bentuk klasifikasi yang biasa dipakai ialah pengelompokannya menjadi paham
rasional dan paham tradisional.
Pengelompokan pemikiran Islam ke
dalam corak rasional dan tradi-sional telah menimbulkan dampak yang negatif di
kalangan umat Islam sendiri. Saling tuduh yang tidak proporsional sering
timbul. Ada kesan bahwa paham rasional seakan-akan lebih mementingkan
atau mendahulukan akal dari wahyu. Sebaliknya, paham tradisional
dikesankan sebagai pemi-kiran yang kolot dan terbelakang. Padahal, sesungguhnya
tidak ada alir-an pemikiran dalam Islam yang dikembangkan tanpa merujuk
al-Quran dan al-Sunnah. Tidak ada paham dalam Islam yang meninggalkan ayat-ayat
al-Quran dan/atau al-Sunnah demi memenuhi tuntutan rasio atau akal manu-sia.
Perbedaan bukan pada menggunakan atau tidak menggunakan al-Quran dan al-Sunnah,
melainkan pada cara dan sikap dalam memahami materi yang sama. Seorang Muslim
yang sudah dibekali wahyu sebagai pedoman tidak mungkin bersikap mendahulukan
atau mengutamakan akal dari pada wahyu. Setiap pemikir Muslim, betapa pun
rasionalnya, tetap menyadari bahwa ia tidak mungkin menganut Rasionalisme
seperti yang berkembang di dunia Barat. Yang ada di kalangan umat Islam
hanyalah para pemikir yang memi-liki pemikiran yang bercorak rasional.[2]
Agaknya, tidak sedikit orang yang sulit memahami kenyataan ini. Bahkan,
kerancuan tersebut tidak hanya terdapat di kalangan awam, tetapi juga terjadi
di kalangan akademisi dan golongan cendekiawan.
Di
samping itu, banyak pula terjadi kekeliruan di kalangan penga-mat dalam
menempatkan suatu paham ke dalam masing-masing kelompok keti-ka mereka mencoba
mengelompokkan berbagai pemikiran yang muncul kemudi-an. Suatu paham dikatakan
rasional atau tradisional, tetapi setelah diteliti dengan cermat, paham
tersebut tidak seperti dikatakan. Hal ini terjadi tak lain karena kriteria atau
tolok ukur yang digunakan tidak jelas dan tegas atau malah keliru sama sekali.
Justru itu, tampaknya, diperlukan
usaha klarifikasi terhadap pemakaian ungkapan rasional dan tradisional dalam
konteks pemikiran Islam. Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas tolok ukur yang
digunakan dalam menilai rasionalitas suatu paham dalam pemikiran Islam. Setelah
itu, dikemukakan pula relevansi pembahasan masalah ini dalam konteks kekinian
serta aliran-aliran teologi dan kadar rasionalitas masing-masing.
B. Tolok
Ukur Rasionalitas Suatu Paham
Penetapan rasional atau tidaknya
suatu paham dalam pemikiran Is-lam, pada hakikatnya, didasarkan atas penilaian
para penganutnya terha-dap kemampuan akal manusia. Di kalangan pemikir Muslim
terdapat perbe-daan pendapat tentang kemampuan akal dalam memecahkan masalah
tertentu. Paham yang dikatakan rasional adalah paham yang berpendapat bahwa
akal manusia memiliki kemampuan yang kuat.[3]
Sebaliknya, paham tradisional adalah paham yang memandang bahwa akal tidak
memiliki kemampuan yang kuat.[4]
Dalam hal ini, tidak ada unsur perbandingan antara akal dengan yang lain. Yang
dipersoalkan adalah seberapa besar kekuatan akal untuk menyelesaikan masalah
tertentu menurut paham yang bersangkutan. Persoalannya bukan pada pertanyaan
mana yang lebih kuat atau lebih lemah di antara akal dan wahyu.
Hal ini tak ubahnya seperti
perbedaan pendapat yang mungkin saja terjadi di antara kita tentang kemampuan
anak usia tujuh tahun untuk mengangkat beban tertentu. Boleh jadi ada yang
berpendapat bahwa anak seusia itu sudah mampu mengangkat beban seberat 40 kg.
Sementara yang lain berpendapat bahwa kemampuannya hanya mengangkat beban
seberat 30 atau 20 kg. Demikian seterusnya. Jadi, persoalannya bukan pada
pertanyaan apakah anak itu lebih kuat dari kuda atau lebih lemah, tetapi
persoalannya seberapa besar kekuatan anak itu dalam mengangkat benda tertentu
menurut pendapat kita.
Berkenaan dengan rasionalitas suatu
paham dalam pemikiran Islam, ada dua masalah fundamental yang dijadikan batu
ujian untuk mengukur kemampuan akal manusia, yaitu pertama apakah
pengetahuan tentang wujud (keberadaan) Tuhan (hushul ma’rifat Allah)
dapat dihasilkan oleh akal, dan kedua apakah pengetahuan tentang baik
dan buruk sesuatu (ma’rifat al-husn wa al-qubh) dapat ditentukan oleh
akal.[5]
Masalahnya, jika tidak turun petunjuk dalam bentuk wahyu dari Allah swt, apakah
akal manusia dapat menghasilkan pengetahuan tentang kedua masalah tersebut atau
tidak? Di sini, terdapat pengandaian karena target utamanya adalah mengukur
kemampuan akal yang belum didukung oleh wahyu.[6]
Dikatakan pengandaian karena dalam kenyataannya persoalan ini timbul setelah
al-Quran diturunkan. Bahkan pembahasan masalah ini justru timbul dan didasarkan
atas pemahaman terhadap al-Quran dan al-Sunnah.[7]
Untuk lebih operasionalnya, kedua
pertanyaan tersebut diurai lebih lanjut oleh Harun Nasution menjadi empat
pertanyaan teologis.[8] Keempat pertanyaan teologis yang dijadikan
tolok ukur oleh para ulama untuk menentukan rasionalitas suatu paham,
sebagaimana disimpulkan Harun Nasution adalah:
One.Apakah akal manusia dapat mengetahui dan menetapkan
bahwa Tuhan itu ada? Apakah pengetahuan tentang Tuhan (hushul ma’rifat Allah)
dapat diperoleh hanya dengan menggunakan akal?
Two.Bila akal dapat mengetahui dan menetapkan bahwa
Tuhan ada, apakah akal juga dapat menetapkan bahwa manusia harus berbuat
sesuatu untuk Tuhan sebagai wujud rasa terima kasih atas karunia-Nya? Apakah
pengetahuan tentang kewajiban terhadap Tuhan (wujub ma’rifat Allah atau
syukr al-mun’im)dapat diperoleh dengan akal?
Three.Apakah akal manusia dapat menentukan hal-hal mana
yang baik dan mana pula yang tidak baik? Apakah pengetahuan tentang baik dan
buruk (ma’rifat al-husni wa al-qubh)dapat dihasilkan oleh akal?
Four.Bila akal dapat menentukan hal-hal yang baik dan
yang tidak baik, apakah akal juga dapat menetapkan atau mewajibkan manusia
untuk mengikuti yang baik dan meninggalkan yang tidak baik? Apakah penetapan
untuk mengikuti yang baik dan menjauhi yang buruk (wujub i’tinaq al-hasan wa
ijtinab al-qabih)dapat dilakukan oleh akal?
Dengan demikian,
penetapan apakah suatu paham bercorak rasional atau tradisional bergantung pada
jawaban yang diberikannya terhadap keempat pertanyaan di atas. Bila anda ingin
mengetahui apakah anda termasuk penganut paham rasional atau tidak, silakan
tanya diri anda sendiri jawaban mana yang anda berikan terhadap keempat pertanyaan
itu, ya atau tidak. Jika tidak semua anda jawab ya, lalu
pertanyaan mana saja yang dapat dijawab ya dan mana pula yang tidak?
Boleh jadi, hasilnya tidak seperti yang anda kira semula.
Dalam pemikiran Islam, ada aliran
atau paham yang berpendapat bahwa keempat pertanyaan tersebut dapat dijawab
dengan ya, dalam pengertian akal tanpa bimbingan wahyu dapat memecahkan
keempat masalah itu. Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa hanya
sebagian dari pertanyaan itu yang dapat dijawab oleh akal. Ada yang berpendapat
bahwa akal hanya mampu menjawab satu, dua, atau tiga pertanyaan.
Paham yang berpendapat bahwa keempat
pertanyaan tersebut dapat dijawab oleh akal dikategorikan sebagai paham
rasional. Sementara paham lainnya yang berpendapat hanya sebagian pertanyaan
yang dapat dijawab akal, tingkat rasionalitasnya semakin rendah. Paham yang
berpendapat bahwa akal dapat menjawab tiga pertanyaan dinilai lebih rasional
dari paham yang berpendapat bahwa akal hanya dapat menjawab dua pertanyaan.
Paham yang paling rendah rasionalitasnya adalah paham yang berpendapat bahwa
hanya satu saja pertanyaan itu yang akan mampu dijawab akal ketika tidak ada
wahyu yang menyatakannya. Dalam pengelompokan paham dalam aliran pemikiran
Islam, pemisahan antara paham rasional dan tradisional dilakukan dengan rumus
paham yang berpendapat bahwa akal hanya dapat menjawab dua pertanyaan, apalagi
hanya satu, dikelompokkan menjadi paham tradisional karena, bagi mereka,
kemampuan akal lemah dan terbatas. Sebaliknya, paham yang berpendapat bahwa
akal dapat menjawab tiga, apalagi empat, pertanyaan tersebut dipandang sebagai
paham rasional karena, bagi mereka, akal mempunyai daya yang kuat.
Penetapan rasional atau tidaknya
suatu paham bukan didasarkan atas pemakaian takwil dalam memahami nushus
al-syari’ah sebagaimana dipahami oleh sebagian penulis karena, dalam
kenyataannya, semua aliran yang ada sama-sama memakai takwil. Tentu saja,
mereka menggunakannya pada ungkapan-ungkapan yang sejalan dan mendukung paham
mereka masing-masing. Pemilahan itu juga bukan didasarkan atas penggunaan qiyas
dalam penetapan hukum karena pengguna qiyas dinilai masih masuk kelompok
penganut paham tradisional. Penetapan itu juga tidak didasarkan atas banyak
atau sedikitnya suatu paham memakai ayat atau akal karena semua paham sama-sama
mendasarkan paham mereka atas wahyu yang ada. Begitu pula, ia tidak ditentukan
dengan mendahulukan dan mengemudiankan pemakaian wahyu dan akal.
C.
Relevansi Persoalan Rasionalitas dalam Perkembangan Kontemporer
Pembahasan tentang paham rasional
dan tradisional bukan sekedar utak-atik masa lalu yang tidak berarti. Persoalan
ini berkaitan lang-sung dengan cara dan sikap dalam meresponi berbagai masalah
yang timbul dalam kehidupan nyata. Pembahasan masalah ini pada hakikatnya
tertuju pada dua kasus sbb.:
1. Dalam kasus ketiadaan wahyu karena dakwah agama
belum sampai kepada orang atau kelompok orang tertentu. Bagaimana kita
memandang nasib orang-orang yang belum sampai kepada mereka dakwah Islam?
Apakah mereka termasuk orang-orang yang akan mempertanggungjawabkan segala
tindakannya saat ini pada hari berbangkit kelak? Ataukah mereka tidak masuk
kategori manusia seperti yang lainnya? Pertanyaan ini muncul karena mereka
hanya dibekali dengan akal dan tidak menerima bekal wahyu.
2. Dalam menghadapi masalah-masalah baru yang tidak
disebut secara eks-plisit di dalam teks al-Quran dan/atau al-Hadits. Bagaimana
seharus-nya sikap seorang Muslim menghadapi berbagai masalah yang muncul
se-iring dengan perkembangan peradaban manusia? Banyak hal baru yang muncul dan
tidak ditemukan penjelasan langsung mengenai ketetapan hukumnya dalam kedua
sumber ajaran Islam, seperti cangkok organ tubuh, bank, kloning, dll.
Perbedaan sikap rasional dan sikap
tradisional akan mempengaruhi seorang pemikir dalam memecahkan masalah yang
terkait dengan kedua kasus ini. Metode atau cara yang ditempuh seorang ulama
dalam penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak diungkapkan secara
eksplisit dalam nushus al-syari’at dipengaruhi oleh corak pemikiran yang
dianut-nya. Penganut paham rasional berpendapat bahwa masalah-masalah yang
tidak terungkap secara eksplisit dalam teks wahyu harus diselesaikan dan
ditentukan hukumnya dengan menggunakan akal. Rujukan mereka dalam hal ini bukan
ayat-ayat tertentu, melainkan nilai-nilai yang terkandung dalam keseluruhan nushush
al-syari’at. Cara ini biasa dikenal dengan cara mashlahat, yaitu
dengan menilai kebaikan dan keburukan sesuatu berdasarkan tolok ukur norma dan
nilai Islam. Penyelesaian masalah seperti bank, lotre, dll. yang tidak
diungkapkan secara eksplisit oleh ayat atau hadis dilakukan dengan
mempertimbangkan maslahat dan mudaratnya sesuai dengan maqashid al-syari’at.
Sebagai konsekuensi lebih lanjut
dari sikap ini, para penganut paham rasional tidak mengharuskan pemakaian qiyas
(analogi) karena cara ini hanya diperlukan jika setiap masalah mesti dirujukkan
kepada suatu ayat atau hadis tertentu.
Sementara penganut paham tradisional
berpendapat bahwa penetapan hukum suatu masalah mesti merujuk kepada salah satu
ayat atau hadis tertentu. Bila tidak ada teks ayat atau hadis yang langsung
berbicara tentang hal itu, penetapan hukumnya dilakukan dengan cara qiyas.
Bagi mereka, bila tidak ada ayat berarti tidak ada hukum. Oleh karena itu,
penetapan hukum bagi masalah-masalah yang tidak disebutkan dalam nash syariat
harus dengan mencarikan nash yang relevan melalui cara qiyas. Bila
qiyasnya fasid (tidak memenuhi syarat), maka hukum ayat tersebut tidak
dapat diberlakukan pada masalah yang bersangkutan.[9]
Dalam keadaan demikian, hukumnya dikembalikan pada hukum asal sebagaimana
dimaksud oleh kaidah ushul, al-ashl fi al-asyya` lil-ibahah, pada
dasarnya segala sesuatu hukumnya diperbolehkan.
D.
Pengelompokan Aliran-aliran Teologi Islam
Sejarah pemikiran Islam mencatat ada
3 aliran teologi utama yang pernah muncul di kalangan umat Islam, yaitu Aliran
Mu’tazilah, Maturi-diah, dan Asy’ariah. Akan tetapi, dilihat dari sisi
rasionalitasnya, Aliran Maturidiah terpecah menjadi dua golongan, yaitu
Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Bukhara. Dengan demikian, dilihat dari sisi
rasionalitasnya, aliran-aliran teologi Islam terpecah menjadi 4 tingkat/
golongan, yaitu:
1. Golongan
Mu’tazilah
Golongan ini dipandang sebagai
penganut paham rasional karena, bagi mereka, akal manusia mampu menjawab keempat
pertanyaan di atas.[10]
Orang-orang Mu’tazilah sependapat bahwa pengetahuan tentang eksistensi Tuhan
dan berterima kasih kepada-Nya wajib sebelum kedatangan wahyu. Demikian pula,
penentuan baik dan buruk serta keharusan mengikuti yang baik dan menjauhi yang
buruk wajib dilakukan oleh akal.[11]
Dengan demikian, orang-orang
Mu’tazilah berkeyakinan bahwa seluruh manusia akan menghadapi pengadilan Tuhan
di akhirat kelak, baik mereka yang menerima wahyu (sampai kepadanya dakwah
Rasul) maupun yang tidak menerima wahyu karena setiap manusia pasti dibekali
dengan akal. Bagi orang-orang Mu’tazilah, wahyu tetap diperlukan untuk
konfirmasi (pengukuhan) dan informasi (pemberi keterangan yang lebih rinci)
terhadap temuan akal.
2. Golongan
Maturidiah[12]
Seperti dikemukakan di atas, para
penganut paham ini mempunyai pendapat yang berbeda tentang masalah ini. Mereka
terpecah menjadi dua kelompok, yaitu Maturidiah Samarkand dan Maturidiah
Bukhara. Pengikut paham Maturidiah Samarkand berpendapat bahwa di antara empat
pertanyaan di atas hanya tiga yang dapat dijawab oleh akal, yaitu pertanyaan
no. 1 s/d 3 (mengetahui eksistensi Tuhan, kewajiban berterima kasih kepada-Nya,
dan mengenali atau menentukan yang baik dan yang buruk).[13]
Sementara itu, pengikut Maturidiah
Bukhara berpendapat bahwa akal manusia hanya dapat menjawab dua pertanyaan
saja, yaitu pertanyaan no. 1 dan no. 3 (mengetahui eksistensi Tuhan dan
mengenali atau menentukan yang baik dan yang buruk).[14]
Sedangkan dua pertanyaan lainnya hanya bi-sa dijawab jika ada wahyu dari Allah.
Bagi mereka, akal hanya dapat me-ngetahui, mengenali, dan membedakan. Ia tidak
dapat menetapkan kewajib-an.[15]
Akal mempunyai daya yang lemah sehingga tanpa wahyu tidak ada ke-wajiban atas
manusia. Itu sebabnya, golongan ini juga dikelompokkan ke dalam penganut paham
tradisional.
3. Golongan Asy’ariah
Aliran yang dipelopori oleh Abu
al-Hasan al-Asy’ary ini dinilai sebagai penganut paham tradisional. Penganut
paham ini berpendapat bah-wa daya akal manusia sangat lemah. Bagi mereka, akal
tanpa wahyu hanya dapat mengetahui eksistensi Tuhan.[16]
Manusia dengan akalnya hanya dapat mengetahui dan menyadari bahwa Tuhan pasti
ada. Bagaimana seharusnya manusia berbuat terhadap Tuhan itu serta apa yang
mesti dilakukan manu-sia sebagai makhluk, semuanya berada di luar kewenangan
akal. Begitu pula, akal tidak dapat menentukan baik dan buruknya sesuatu.
Penetapan baik dan buruk bergantung pada ketetapan wahyu.[17]
Bagi mereka, kebaikan ialah semua yang diperintahkan wahyu, dan keburukan
adalah semua yang dilarang.[18]
Semua yang disuruh oleh wahyu berarti baik dan semua yang dilarang berarti
tidak baik. Oleh karena itu, dalam paham ini, manusia yang belum menerima wahyu
atau belum sampai kepadanya dakwah Islam tidak dibebani dengan
kewajiban-kewajiban sehingga tidak akan dihisab di hari kiamat kelak.
E.
Penutup
Demikian uraian ini dikemukakan
semoga ada manfaatnya. Sebagai sebuah usaha tentu saja tidak tertutup peluang
adanya kekeliruan atau kekurangan dalam uraian ini. Untuk itu, penulis
mengundang para pakar untuk berdiskusi secara akademis sehingga diperoleh
pemahaman yang benar terhadap berbagai masalah yang terkait.
Daftar
Bacaan
Fakhry,
Madjid, Sejarah Filsafat Islam, Trjemahan Mulyadhi Kartanegara, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1986
Hosen,
Ibrahim, Maa Huwal Maisir (Apakah Judi Itu)?, Jakarta: Institut Ilmu
Al-Quran, 1986
Madjid,
Nurcholish, Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan, Bandung: Penerbit
Mizan, 1987
Nasution,
Harun, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1986
Syahrastani,
Abi al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim Ibn Abi Bakr Ahmad al-, al-Milal wa
al-Nihal, Diedit oleh ‘Abd al-’Aziz Muhammad al-Wakil, Beirut: Dar al-Fikr,
t.t.
Zahrah,
Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyat, Dar al-Fikr al-’Arabiy,
t.t.
[1] Dosen Tetap pada Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
[2] Sebagaimana dikemukakan Nurcholis Madjid,
Rasionalisme adalah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana
yang dianut oleh kaum komunis. Seorang rasionalis adalah orang yang menggunakan
akal pikirannya secara sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal
pikirannya itu sanggup menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran
terakhir sekalipun. Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu
dibenarkannya menggunakan akal pikiranoleh manusia dalam menemukan
kebenaran-kebenaran insani yang relatif, bukan kebenaran yang mutlak seperti
yang dibawa oleh wahyu. Lihat Nurcholis Madjid, Islam, Kemoderenan, dan
Keindonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1987), hal 181.
[3] Secara etimologis, paham rasional berarti paham yang
menggunakan akal (al-ra`y). Akan tetapi, pemakaian ungkapan ini tidak
memberikan arti bahwa paham lain (dalam hal ini paham tradisional) tidak
menggunakan akal. Justru itu, secara terminologis, paham rasional lebih tepat
dinyatakan sebagai paham yang memandang bahwa keputusan akal mengenai hal-hal
yang tidak ditetapkan wahyu layak untuk dijadikan acuan yang mengikat. Tentu
saja, keputusan akal yang bertentangan dengan wahyu tidak mungkin menjadi
pegangan mereka.
[4] Secara etimologis, paham tradisional berarti paham
yang menggunakan tradisi (al-sunnat). Namun, perlu diingat bahwa
aliran-aliran pemikiran dalam Islam tidak ada yang tidak menggunakan al-sunnah
dalam membangun dan mengembangkan pemikirannya. Justru itu, paham tradisional
lebih tepat diartikan sebagai paham yang hanya mengambil ketetapan tentang
suatu masalah sepanjang ada al-sunnah (dalam pengertian semua yang disampaikan
Rasul) sebagai landasannya.
[5] Lihat Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam,
Terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hal. 296.
[6] Perlu ditegaskan kembali bahwa persoalannya bukan
membandingkan mana yang kuat antara akal atau wahyu.
[7] Perbedaan pendapat tentang masalah ini tidak kunjung
selesai dan berkelanjutan karena eksperimen untuk mengukur kemampuan akal tidak
mungkin dilakukan seperti halnya perbedaan pendapat tentang kemampuan anak usia
7 tahun dalam contoh di atas. Seandainya kemampuan akal dapat diuji secara
empirik, tentu persoalan ini sudah lama terselesaikan.
[8] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam;
Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1986), 80.
[9] Sebagai contoh dapat dikemukakan pendapat Prof.
Ibrahim Hosen tentang porkas. Banyak pihak yang keliru atau bingung dalam
memahami pendapatnya. Ia berpendapat bahwa hukum penyelenggaraan porkas
halal/boleh karena tidak ada ayat atau hadis yang melarangnya. Menganalogikan
atau meng-qiyas-kan porkas dengan al-maysir tidak memenuhi syarat
sehingga memberlakukan hukum al-maysir yang diharamkan al-Quran terhadap
porkas tidaklah beralasan. Lihat Prof. Ibrahim Hosen, Ma Huw al-Maysir
(Apakah Judi Itu)?, Jakarta: Institut Ilmu al-Quran, 1986), hal. 47.
[11] Lihat Abi al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim Ibn Abi
Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Diedit oleh ‘Abd
al-’Aziz Muhammad al-Wakil, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 45.
[12] Dalam literatur Ilmu Kalam dikenal sebutan golongan Ahl
al-Sunnat wa al-Jama’at. Sebutan ini dipakai untuk menyebut dua kelompok
aliran teologi, yaitu Paham Maturidiah yang dipelopori oleh Abu Manshur
Muhammad al-Maturidi (w. ) dan Paham
Asy’ariah yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ary (w. 325 H).
[13] Harun Nasution, op. cit., hal. 90.
[14] Ibid., hal., 92.
[15] Dalam pandangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,
sebagaimana dikemukakan al-Syahrastani, semua kewajiban harus ditetapkan
berdasarkan wahyu. Lihat al-Syahrastani, op.cit., hal. 42.
[17] al-Syahrastani, op. cit., hal. 42.
[18] Madjid Fakhry, op. cit., hal. 298.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar