Rabu, 28 Desember 2011

PAHAM RASIONAL

PAHAM RASIONAL DALAM PEMIKIRAN ISLAM; TOLOK UKUR DAN IMPLIKASINYA
DALAM BIDANG HUKUM
Oleh : Asril Dt. Paduko Sindo[1]

 A. Pendahuluan

     ejarah pemikiran Islam, khususnya dalam periode klasik, telah mencatat munculnya para pemikir Muslim yang mengembangkan pemikirannya berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah. Mereka muncul dengan berbagai metode dan produk pemikirannya. Hasil karya mereka yang begitu cemerlang telah menjadi acuan bagi perkembangan pemikiran pada masa-masa sesudahnya. Lebih dari itu, pada masa-masa belakangan ini, semakin banyak peneliti Muslim berusaha untuk menggali khazanah pemikiran masa lalu sebagai bagian dari upaya untuk mencari jawaban terhadap beragam persoalan kontemporer.
            Pemikiran para pemikir Muslim yang dimunculkan sebagai upaya un-tuk menjawab dan meresponi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat pada zamannya diklasifikasikan oleh para pengamat ke dalam beberapa corak dan aliran. Salah satu bentuk klasifikasi yang biasa dipakai ialah pengelompokannya menjadi paham rasional dan paham tradisional.
            Pengelompokan pemikiran Islam ke dalam corak rasional dan tradi-sional telah menimbulkan dampak yang negatif di kalangan umat Islam sendiri. Saling tuduh yang tidak proporsional sering timbul. Ada kesan bahwa paham rasional seakan-akan lebih mementingkan atau mendahulukan akal dari wahyu. Sebaliknya, paham tradisional dikesankan sebagai pemi-kiran yang kolot dan terbelakang. Padahal, sesungguhnya tidak ada alir-an pemikiran dalam Islam yang dikembangkan tanpa merujuk al-Quran dan al-Sunnah. Tidak ada paham dalam Islam yang meninggalkan ayat-ayat al-Quran dan/atau al-Sunnah demi memenuhi tuntutan rasio atau akal manu-sia. Perbedaan bukan pada menggunakan atau tidak menggunakan al-Quran dan al-Sunnah, melainkan pada cara dan sikap dalam memahami materi yang sama. Seorang Muslim yang sudah dibekali wahyu sebagai pedoman tidak mungkin bersikap mendahulukan atau mengutamakan akal dari pada wahyu. Setiap pemikir Muslim, betapa pun rasionalnya, tetap menyadari bahwa ia tidak mungkin menganut Rasionalisme seperti yang berkembang di dunia Barat. Yang ada di kalangan umat Islam hanyalah para pemikir yang memi-liki pemikiran yang bercorak rasional.[2] Agaknya, tidak sedikit orang yang sulit memahami kenyataan ini. Bahkan, kerancuan tersebut tidak hanya terdapat di kalangan awam, tetapi juga terjadi di kalangan akademisi dan golongan cendekiawan.
           Di samping itu, banyak pula terjadi kekeliruan di kalangan penga-mat dalam menempatkan suatu paham ke dalam masing-masing kelompok keti-ka mereka mencoba mengelompokkan berbagai pemikiran yang muncul kemudi-an. Suatu paham dikatakan rasional atau tradisional, tetapi setelah diteliti dengan cermat, paham tersebut tidak seperti dikatakan. Hal ini terjadi tak lain karena kriteria atau tolok ukur yang digunakan tidak jelas dan tegas atau malah keliru sama sekali.
            Justru itu, tampaknya, diperlukan usaha klarifikasi terhadap pemakaian ungkapan rasional dan tradisional dalam konteks pemikiran Islam. Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas tolok ukur yang digunakan dalam menilai rasionalitas suatu paham dalam pemikiran Islam. Setelah itu, dikemukakan pula relevansi pembahasan masalah ini dalam konteks kekinian serta aliran-aliran teologi dan kadar rasionalitas masing-masing.

B. Tolok Ukur Rasionalitas Suatu Paham
            Penetapan rasional atau tidaknya suatu paham dalam pemikiran Is-lam, pada hakikatnya, didasarkan atas penilaian para penganutnya terha-dap kemampuan akal manusia. Di kalangan pemikir Muslim terdapat perbe-daan pendapat tentang kemampuan akal dalam memecahkan masalah tertentu. Paham yang dikatakan rasional adalah paham yang berpendapat bahwa akal manusia memiliki kemampuan yang kuat.[3] Sebaliknya, paham tradisional adalah paham yang memandang bahwa akal tidak memiliki kemampuan yang kuat.[4] Dalam hal ini, tidak ada unsur perbandingan antara akal dengan yang lain. Yang dipersoalkan adalah seberapa besar kekuatan akal untuk menyelesaikan masalah tertentu menurut paham yang bersangkutan. Persoalannya bukan pada pertanyaan mana yang lebih kuat atau lebih lemah di antara akal dan wahyu.
            Hal ini tak ubahnya seperti perbedaan pendapat yang mungkin saja terjadi di antara kita tentang kemampuan anak usia tujuh tahun untuk mengangkat beban tertentu. Boleh jadi ada yang berpendapat bahwa anak seusia itu sudah mampu mengangkat beban seberat 40 kg. Sementara yang lain berpendapat bahwa kemampuannya hanya mengangkat beban seberat 30 atau 20 kg. Demikian seterusnya. Jadi, persoalannya bukan pada pertanyaan apakah anak itu lebih kuat dari kuda atau lebih lemah, tetapi persoalannya seberapa besar kekuatan anak itu dalam mengangkat benda tertentu menurut pendapat kita.
            Berkenaan dengan rasionalitas suatu paham dalam pemikiran Islam, ada dua masalah fundamental yang dijadikan batu ujian untuk mengukur kemampuan akal manusia, yaitu pertama apakah pengetahuan tentang wujud (keberadaan) Tuhan (hushul ma’rifat Allah) dapat dihasilkan oleh akal, dan kedua apakah pengetahuan tentang baik dan buruk sesuatu (ma’rifat al-husn wa al-qubh) dapat ditentukan oleh akal.[5] Masalahnya, jika tidak turun petunjuk dalam bentuk wahyu dari Allah swt, apakah akal manusia dapat menghasilkan pengetahuan tentang kedua masalah tersebut atau tidak? Di sini, terdapat pengandaian karena target utamanya adalah mengukur kemampuan akal yang belum didukung oleh wahyu.[6] Dikatakan pengandaian karena dalam kenyataannya persoalan ini timbul setelah al-Quran diturunkan. Bahkan pembahasan masalah ini justru timbul dan didasarkan atas pemahaman terhadap al-Quran dan al-Sunnah.[7]
            Untuk lebih operasionalnya, kedua pertanyaan tersebut diurai lebih lanjut oleh Harun Nasution menjadi empat pertanyaan teologis.[8]  Keempat pertanyaan teologis yang dijadikan tolok ukur oleh para ulama untuk menentukan rasionalitas suatu paham, sebagaimana disimpulkan Harun Nasution adalah:
One.Apakah akal manusia dapat mengetahui dan menetapkan bahwa Tuhan itu ada? Apakah pengetahuan tentang Tuhan (hushul ma’rifat Allah) dapat diperoleh hanya dengan menggunakan akal?
Two.Bila akal dapat mengetahui dan menetapkan bahwa Tuhan ada, apakah akal juga dapat menetapkan bahwa manusia harus berbuat sesuatu untuk Tuhan sebagai wujud rasa terima kasih atas karunia-Nya? Apakah pengetahuan tentang kewajiban terhadap Tuhan (wujub ma’rifat Allah atau syukr al-mun’im)dapat diperoleh dengan akal?
Three.Apakah akal manusia dapat menentukan hal-hal mana yang baik dan mana pula yang tidak baik? Apakah pengetahuan tentang baik dan buruk (ma’rifat al-husni wa al-qubh)dapat dihasilkan oleh akal?
Four.Bila akal dapat menentukan hal-hal yang baik dan yang tidak baik, apakah akal juga dapat menetapkan atau mewajibkan manusia untuk mengikuti yang baik dan meninggalkan yang tidak baik? Apakah penetapan untuk mengikuti yang baik dan menjauhi yang buruk (wujub i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih)dapat dilakukan oleh akal?
Dengan demikian, penetapan apakah suatu paham bercorak rasional atau tradisional bergantung pada jawaban yang diberikannya terhadap keempat pertanyaan di atas. Bila anda ingin mengetahui apakah anda termasuk penganut paham rasional atau tidak, silakan tanya diri anda sendiri jawaban mana yang anda berikan terhadap keempat pertanyaan itu, ya atau tidak. Jika tidak semua anda jawab ya, lalu pertanyaan mana saja yang dapat dijawab ya dan mana pula yang tidak? Boleh jadi, hasilnya tidak seperti yang anda kira semula.
            Dalam pemikiran Islam, ada aliran atau paham yang berpendapat bahwa keempat pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan ya, dalam pengertian akal tanpa bimbingan wahyu dapat memecahkan keempat masalah itu. Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa hanya sebagian dari pertanyaan itu yang dapat dijawab oleh akal. Ada yang berpendapat bahwa akal hanya mampu menjawab satu, dua, atau tiga pertanyaan.
            Paham yang berpendapat bahwa keempat pertanyaan tersebut dapat dijawab oleh akal dikategorikan sebagai paham rasional. Sementara paham lainnya yang berpendapat hanya sebagian pertanyaan yang dapat dijawab akal, tingkat rasionalitasnya semakin rendah. Paham yang berpendapat bahwa akal dapat menjawab tiga pertanyaan dinilai lebih rasional dari paham yang berpendapat bahwa akal hanya dapat menjawab dua pertanyaan. Paham yang paling rendah rasionalitasnya adalah paham yang berpendapat bahwa hanya satu saja pertanyaan itu yang akan mampu dijawab akal ketika tidak ada wahyu yang menyatakannya. Dalam pengelompokan paham dalam aliran pemikiran Islam, pemisahan antara paham rasional dan tradisional dilakukan dengan rumus paham yang berpendapat bahwa akal hanya dapat menjawab dua pertanyaan, apalagi hanya satu, dikelompokkan menjadi paham tradisional karena, bagi mereka, kemampuan akal lemah dan terbatas. Sebaliknya, paham yang berpendapat bahwa akal dapat menjawab tiga, apalagi empat, pertanyaan tersebut dipandang sebagai paham rasional karena, bagi mereka, akal mempunyai daya yang kuat.
            Penetapan rasional atau tidaknya suatu paham bukan didasarkan atas pemakaian takwil dalam memahami nushus al-syari’ah sebagaimana dipahami oleh sebagian penulis karena, dalam kenyataannya, semua aliran yang ada sama-sama memakai takwil. Tentu saja, mereka menggunakannya pada ungkapan-ungkapan yang sejalan dan mendukung paham mereka masing-masing. Pemilahan itu juga bukan didasarkan atas penggunaan qiyas dalam penetapan hukum karena pengguna qiyas dinilai masih masuk kelompok penganut paham tradisional. Penetapan itu juga tidak didasarkan atas banyak atau sedikitnya suatu paham memakai ayat atau akal karena semua paham sama-sama mendasarkan paham mereka atas wahyu yang ada. Begitu pula, ia tidak ditentukan dengan mendahulukan dan mengemudiankan pemakaian wahyu dan akal.

C. Relevansi Persoalan Rasionalitas dalam Perkembangan Kontemporer
            Pembahasan tentang paham rasional dan tradisional bukan sekedar utak-atik masa lalu yang tidak berarti. Persoalan ini berkaitan lang-sung dengan cara dan sikap dalam meresponi berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan nyata. Pembahasan masalah ini pada hakikatnya tertuju pada dua kasus sbb.:
  1.  Dalam kasus ketiadaan wahyu karena dakwah agama belum sampai kepada orang atau kelompok orang tertentu. Bagaimana kita memandang nasib orang-orang yang belum sampai kepada mereka dakwah Islam? Apakah mereka termasuk orang-orang yang akan mempertanggungjawabkan segala tindakannya saat ini pada hari berbangkit kelak? Ataukah mereka tidak masuk kategori manusia seperti yang lainnya? Pertanyaan ini muncul karena mereka hanya dibekali dengan akal dan tidak menerima bekal wahyu.
  2.  Dalam menghadapi masalah-masalah baru yang tidak disebut secara eks-plisit di dalam teks al-Quran dan/atau al-Hadits. Bagaimana seharus-nya sikap seorang Muslim menghadapi berbagai masalah yang muncul se-iring dengan perkembangan peradaban manusia? Banyak hal baru yang muncul dan tidak ditemukan penjelasan langsung mengenai ketetapan hukumnya dalam kedua sumber ajaran Islam, seperti cangkok organ tubuh, bank, kloning, dll.
            Perbedaan sikap rasional dan sikap tradisional akan mempengaruhi seorang pemikir dalam memecahkan masalah yang terkait dengan kedua kasus ini. Metode atau cara yang ditempuh seorang ulama dalam penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak diungkapkan secara eksplisit dalam nushus al-syari’at dipengaruhi oleh corak pemikiran yang dianut-nya. Penganut paham rasional berpendapat bahwa masalah-masalah yang tidak terungkap secara eksplisit dalam teks wahyu harus diselesaikan dan ditentukan hukumnya dengan menggunakan akal. Rujukan mereka dalam hal ini bukan ayat-ayat tertentu, melainkan nilai-nilai yang terkandung dalam keseluruhan nushush al-syari’at. Cara ini biasa dikenal dengan cara mashlahat, yaitu dengan menilai kebaikan dan keburukan sesuatu berdasarkan tolok ukur norma dan nilai Islam. Penyelesaian masalah seperti bank, lotre, dll. yang tidak diungkapkan secara eksplisit oleh ayat atau hadis dilakukan dengan mempertimbangkan maslahat dan mudaratnya sesuai dengan maqashid al-syari’at.
            Sebagai konsekuensi lebih lanjut dari sikap ini, para penganut paham rasional tidak mengharuskan pemakaian qiyas (analogi) karena cara ini hanya diperlukan jika setiap masalah mesti dirujukkan kepada suatu ayat atau hadis tertentu.
            Sementara penganut paham tradisional berpendapat bahwa penetapan hukum suatu masalah mesti merujuk kepada salah satu ayat atau hadis tertentu. Bila tidak ada teks ayat atau hadis yang langsung berbicara tentang hal itu, penetapan hukumnya dilakukan dengan cara qiyas. Bagi mereka, bila tidak ada ayat berarti tidak ada hukum. Oleh karena itu, penetapan hukum bagi masalah-masalah yang tidak disebutkan dalam nash syariat harus dengan mencarikan nash yang relevan melalui cara qiyas. Bila qiyasnya fasid (tidak memenuhi syarat), maka hukum ayat tersebut tidak dapat diberlakukan pada masalah yang bersangkutan.[9] Dalam keadaan demikian, hukumnya dikembalikan pada hukum asal sebagaimana dimaksud oleh kaidah ushul, al-ashl fi al-asyya` lil-ibahah, pada dasarnya segala sesuatu hukumnya diperbolehkan.

D. Pengelompokan Aliran-aliran Teologi Islam
            Sejarah pemikiran Islam mencatat ada 3 aliran teologi utama yang pernah muncul di kalangan umat Islam, yaitu Aliran Mu’tazilah, Maturi-diah, dan Asy’ariah. Akan tetapi, dilihat dari sisi rasionalitasnya, Aliran Maturidiah terpecah menjadi dua golongan, yaitu Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Bukhara. Dengan demikian, dilihat dari sisi rasionalitasnya, aliran-aliran teologi Islam terpecah menjadi 4 tingkat/ golongan, yaitu:

1. Golongan Mu’tazilah
            Golongan ini dipandang sebagai penganut paham rasional karena, bagi mereka, akal manusia mampu menjawab keempat pertanyaan di atas.[10] Orang-orang Mu’tazilah sependapat bahwa pengetahuan tentang eksistensi Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya wajib sebelum kedatangan wahyu. Demikian pula, penentuan baik dan buruk serta keharusan mengikuti yang baik dan menjauhi yang buruk wajib dilakukan oleh akal.[11]
            Dengan demikian, orang-orang Mu’tazilah berkeyakinan bahwa seluruh manusia akan menghadapi pengadilan Tuhan di akhirat kelak, baik mereka yang menerima wahyu (sampai kepadanya dakwah Rasul) maupun yang tidak menerima wahyu karena setiap manusia pasti dibekali dengan akal. Bagi orang-orang Mu’tazilah, wahyu tetap diperlukan untuk konfirmasi (pengukuhan) dan informasi (pemberi keterangan yang lebih rinci) terhadap temuan akal.

2. Golongan Maturidiah[12]
            Seperti dikemukakan di atas, para penganut paham ini mempunyai pendapat yang berbeda tentang masalah ini. Mereka terpecah menjadi dua kelompok, yaitu Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Bukhara. Pengikut paham Maturidiah Samarkand berpendapat bahwa di antara empat pertanyaan di atas hanya tiga yang dapat dijawab oleh akal, yaitu pertanyaan no. 1 s/d 3 (mengetahui eksistensi Tuhan, kewajiban berterima kasih kepada-Nya, dan mengenali atau menentukan yang baik dan yang buruk).[13]
            Sementara itu, pengikut Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa akal manusia hanya dapat menjawab dua pertanyaan saja, yaitu pertanyaan no. 1 dan no. 3 (mengetahui eksistensi Tuhan dan mengenali atau menentukan yang baik dan yang buruk).[14] Sedangkan dua pertanyaan lainnya hanya bi-sa dijawab jika ada wahyu dari Allah. Bagi mereka, akal hanya dapat me-ngetahui, mengenali, dan membedakan. Ia tidak dapat menetapkan kewajib-an.[15] Akal mempunyai daya yang lemah sehingga tanpa wahyu tidak ada ke-wajiban atas manusia. Itu sebabnya, golongan ini juga dikelompokkan ke dalam penganut paham tradisional.

3. Golongan Asy’ariah
            Aliran yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ary ini dinilai sebagai penganut paham tradisional. Penganut paham ini berpendapat bah-wa daya akal manusia sangat lemah. Bagi mereka, akal tanpa wahyu hanya dapat mengetahui eksistensi Tuhan.[16] Manusia dengan akalnya hanya dapat mengetahui dan menyadari bahwa Tuhan pasti ada. Bagaimana seharusnya manusia berbuat terhadap Tuhan itu serta apa yang mesti dilakukan manu-sia sebagai makhluk, semuanya berada di luar kewenangan akal. Begitu pula, akal tidak dapat menentukan baik dan buruknya sesuatu. Penetapan baik dan buruk bergantung pada ketetapan wahyu.[17] Bagi mereka, kebaikan ialah semua yang diperintahkan wahyu, dan keburukan adalah semua yang dilarang.[18] Semua yang disuruh oleh wahyu berarti baik dan semua yang dilarang berarti tidak baik. Oleh karena itu, dalam paham ini, manusia yang belum menerima wahyu atau belum sampai kepadanya dakwah Islam tidak dibebani dengan kewajiban-kewajiban sehingga tidak akan dihisab di hari kiamat kelak.

E. Penutup
            Demikian uraian ini dikemukakan semoga ada manfaatnya. Sebagai sebuah usaha tentu saja tidak tertutup peluang adanya kekeliruan atau kekurangan dalam uraian ini. Untuk itu, penulis mengundang para pakar untuk berdiskusi secara akademis sehingga diperoleh pemahaman yang benar terhadap berbagai masalah yang terkait.
Daftar Bacaan

Fakhry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam, Trjemahan Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986
Hosen, Ibrahim, Maa Huwal Maisir (Apakah Judi Itu)?, Jakarta: Institut Ilmu Al-Quran, 1986
Madjid, Nurcholish, Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan, 1987
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986
Syahrastani, Abi al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim Ibn Abi Bakr Ahmad al-, al-Milal wa al-Nihal, Diedit oleh ‘Abd al-’Aziz Muhammad al-Wakil, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyat, Dar al-Fikr al-’Arabiy, t.t.
 



[1] Dosen Tetap pada Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[2] Sebagaimana dikemukakan Nurcholis Madjid, Rasionalisme adalah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut oleh kaum komunis. Seorang rasionalis adalah orang yang menggunakan akal pikirannya secara sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikirannya itu sanggup menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun. Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiranoleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran insani yang relatif, bukan kebenaran yang mutlak seperti yang dibawa oleh wahyu. Lihat Nurcholis Madjid, Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan, 1987), hal 181.
[3] Secara etimologis, paham rasional berarti paham yang menggunakan akal (al-ra`y). Akan tetapi, pemakaian ungkapan ini tidak memberikan arti bahwa paham lain (dalam hal ini paham tradisional) tidak menggunakan akal. Justru itu, secara terminologis, paham rasional lebih tepat dinyatakan sebagai paham yang memandang bahwa keputusan akal mengenai hal-hal yang tidak ditetapkan wahyu layak untuk dijadikan acuan yang mengikat. Tentu saja, keputusan akal yang bertentangan dengan wahyu tidak mungkin menjadi pegangan mereka. 
[4] Secara etimologis, paham tradisional berarti paham yang menggunakan tradisi (al-sunnat). Namun, perlu diingat bahwa aliran-aliran pemikiran dalam Islam tidak ada yang tidak menggunakan al-sunnah dalam membangun dan mengembangkan pemikirannya. Justru itu, paham tradisional lebih tepat diartikan sebagai paham yang hanya mengambil ketetapan tentang suatu masalah sepanjang ada al-sunnah (dalam pengertian semua yang disampaikan Rasul) sebagai landasannya.
[5] Lihat Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hal. 296.
[6] Perlu ditegaskan kembali bahwa persoalannya bukan membandingkan mana yang kuat antara akal atau wahyu.
[7] Perbedaan pendapat tentang masalah ini tidak kunjung selesai dan berkelanjutan karena eksperimen untuk mengukur kemampuan akal tidak mungkin dilakukan seperti halnya perbedaan pendapat tentang kemampuan anak usia 7 tahun dalam contoh di atas. Seandainya kemampuan akal dapat diuji secara empirik, tentu persoalan ini sudah lama terselesaikan.
[8] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), 80.
[9] Sebagai contoh dapat dikemukakan pendapat Prof. Ibrahim Hosen tentang porkas. Banyak pihak yang keliru atau bingung dalam memahami pendapatnya. Ia berpendapat bahwa hukum penyelenggaraan porkas halal/boleh karena tidak ada ayat atau hadis yang melarangnya. Menganalogikan atau meng-qiyas-kan porkas dengan al-maysir tidak memenuhi syarat sehingga memberlakukan hukum al-maysir yang diharamkan al-Quran terhadap porkas tidaklah beralasan. Lihat Prof. Ibrahim Hosen, Ma Huw al-Maysir (Apakah Judi Itu)?, Jakarta: Institut Ilmu al-Quran, 1986), hal. 47. 
[10] Harun Nasution, op. cit., hal. 81. 
[11] Lihat Abi al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim Ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Diedit oleh ‘Abd al-’Aziz Muhammad al-Wakil, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hal. 45. 
[12] Dalam literatur Ilmu Kalam dikenal sebutan golongan Ahl al-Sunnat wa al-Jama’at. Sebutan ini dipakai untuk menyebut dua kelompok aliran teologi, yaitu Paham Maturidiah yang dipelopori oleh Abu Manshur Muhammad al-Maturidi (w.   ) dan Paham Asy’ariah yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ary (w. 325 H).
[13] Harun Nasution, op. cit., hal. 90.
[14] Ibid., hal., 92.
[15] Dalam pandangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, sebagaimana dikemukakan al-Syahrastani, semua kewajiban harus ditetapkan berdasarkan wahyu. Lihat al-Syahrastani, op.cit., hal. 42.
[16] Harun Nasution,  op. cit., hal. 85. Lihat Juga Madjid Fakhry, op. cit., hal. 297.
[17] al-Syahrastani, op. cit., hal. 42.
[18] Madjid Fakhry, op. cit., hal. 298.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar