Selasa, 27 Desember 2011

SEJARAH SOSIAL PENDIDIKAN ISLAM

KEDUDUDKAN ILMU DAN TRADISI KEILMUAN
DALAM MASYARAKAT MUSLIM
Oleh Said Saleh

A.    PENDAHULUAN
Tidak diragukan lagi bahwa Islam menaruh perhatian sangat besar terhadap ilmu. Banyak nash, baik dari Al-Qur'an maupun dari Hadits yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan orang yang berilmu. Simak saja misalnya firman Allah dalam surat al-Mujadalah ayat 11: “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu”. Ibnu Abbas dalam tafsirnya sehubungan dengan ayat ini mengatakan bahwa derajat para ulama jauh di atas derajat orang yang beriman dengan perbandingan 1:70 yang jarak antara satu derajat dengan derajat lainnya sama dengan perjalanan yang menghabiskan waktu selama 500 tahun.
Saking besarnya perhatian Islam terhadap ilmu ini, hampir semua sisi kehidupan mulai sejak lahir sampai pada saat menjelang ajal selalu ditekankan mengenai ilmu. Misalnya, ketika bayi baru lahir, Rasulullah menganjurkan untuk diperkenalkan ilmu mengenal Allah SWT, Tuhan semesta alam dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya melalui adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kirinya (terlepas dari khilafiyyah boleh tidaknya hal itu dilakukan). Menginjak dewasa sampai menjadi orang tua, juga terus dianjurkan untuk melafalkan kalimah thayyibah melalui doa yang harus dipahami sebagai sebuah proses pembelajaran. Bahkan, doa sapu jagat yang sering kita ucapkan, juga merupakan permohonan untuk diberikan ilmu karena kata “fiddunya khasanah dalam doa ditafsirkan oleh para mufassir, sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali dalam al-Ihya, dengan ilmu dan ibadah. Menjelang ajal sekalipun tetap dianjurkan untuk berilmu melalui talqin yang merupakan kalimah thayyibah, menuntun si sakit untuk tetap mengenal dan menghadirkan Allah SWT. Oleh karena itulah, dalam sebuah hadits dikatakan: “Carilah ilmu sejak mulai dari buaian sampai menjelang ajal”.
 Dalam sejarah pada masa klasik (650-1250 M) diskursus keilmuan Islam mencapai tingkat yang tinggi, sehingga kemudian dapat disumbangkan pada berkembangnya ilmu pengetahuan di masa-masa sesudahnya. Yang demikian ini disebabkan oleh adanya beberapa hal, yang di antaranya motivasi internal Islam sendiri  untuk menuntut ilmu dengan tanpa batasan waktu. Hal serupa yang tak dapat dielakkan adalah adanya faktor eksternal, yaitu terjadinya kontak antara orang-orang Islam dan kalangan non-Islam atau lebih tepatnya dengan kebudayaan lain yang jauh lebih maju jika dibandingkan dengan kebudayaan yang dimiliki Islam sendiri, seperti di Bizantium, Persia, dan India. Stabilitas sosial, ekonomi, dan politik setelah kaum muslimin dapat mengembangkan kekuasaannya ke daerah-daerah sekitarnya juga turut menyumbangkan semaraknya kondisi keilmuan ini. Sikap terbuka dan toleransi kaum muslimin untuk mempelajari dan menerima budaya-budaya taklukan dan daerah lainnya ikut andil dalam menyemarakkan ilmu pengetahuan di lingkungan Islam. Dari integrasi ini, tentunya terdapat peluang bagi Islam untuk mencapai prestasi yang gemilang sebagaimana tercatat dalam lembaran sejarahnya.
B.   PEMBAHASAN
1.      Kedudukan Ilmu Dalam Islam
Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lain adalah penekanannya terhadap masalah ilmu. Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam telah memberikan landasan yang kuat bagi umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Al-Qur’an dan Sunnah mengajak kaum Muslimin untuk mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan, dan menempatkan orang-orang yang berilmu pengetahuan pada derajat yang tinggi sederajat dengan orang-orang beriman.[1]
Di dalam Al-Qur’an, kata al-ilm, dan kata-kata jadiannya digunakan lebih dari 780 kali.[2] Pandangan Al-Qur’an tentang ilmu dapat diketahui prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW Surat al-Alaq ayat 1-5, Allah SWT berfirman:       
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya...”.(QS.al-Alaq:1-5).[3]
Kata  iqra pada ayat di atas, terambil dari akar kata yang berarti “menghimpun”. Dari kata menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak tertulis. Wahyu pertama tersebut tidak menjelaskan apa yang harus di baca, karena Al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi robbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.[4]  
Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Qur’an diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah SWT mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atas dasar usaha manusia, sedangkan cara kedua mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah SWT.[5]
Islam sangat menghargai sekali ilmu. Allah SWT berfirman dalam banyak ayat Al-Qur’an supaya kaum Muslimin memiliki ilmu pengetahuan. Dalam hadits Nabi Muhammad SAW pun banyak juga hadits yang menyatakan supaya kaum Muslimin mendalami ilmu pengetahuan. Di antaranya firman Allah SWT  dalam Surat Az-Zumar ayat 9 yaitu:
Artinya: ...”Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (QS. Az-Zumar:9)[6]

Hadits Nabi Muhammad SAW yang mendorong umat Islam untuk menuntut  ilmu di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tarmidzi ra, yaitu:

عَنْ اَنٍَس َرِضَي الله َقََََََالَ : َقَالَ َرُسْولُ اللهِ َصلّ الله عَلَيِْهِ َوَسّلْمْ  مَنْ خَرَجَ ِفي َطَلبِ ْالعِلْمِ َفحُوَ ِفي َسِبيْلَ اللهْ حَتىْ َيْرِجعُ (رواه الترمزي)
                                                                                                 
Artinya:  “Dari Anas ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:  barang siapa yang keluar dengan tujuan untuk menuntut ilmu, maka ia dalam keadaan berada di jalan Allah SWT hingga ia kembali” (HR. Tarmidzi)[7]

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas,  penulis dapat menarik  beberapa pengertian sebagai berikut; pertama, Islam sangat mendorong dikembangkannya ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat Islam agar menggunakan akal pikiran dan segenap potensi yang dimilikinya untuk memperhatikan segala ciptaan Allah SWT. Dorongan Al-Qur’an terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tersebut terlihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an (lebih dari 700 ayat) yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pujian dan kedudukan yang tinggi bagi orang yang berilmu, dan pahala bagi menuntut ilmu; kedua, Al-Qur’an adalah kitab yang berisi petunjuk (hudan) termasuk petunjuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu agar ilmu pengetahuan dikembangkan untuk tujuan peningkatan ibadah, akidah, dan akhlak yang mulia. Kemajuan yang dicapai oleh manusia dalam bidang ilmu pengetahuan harus ditujukan untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Hal ini akan terjadi manakala tujuan dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak terlepaskan dari dasar peningkatan ibadah, aqidah, dan akhlak tersebut.   
2.      Tradisi Keilmuan Dalam Masyarakat Muslim
Asas ilmu dan peradaban Islam itu adalah konsep seminal dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Konsep-konsep itu kemudian ditafsirkan, dijelaskan dan dikembangkan menjadi berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam. Keseluruhan kandungan Al-Qur’an dan Sunnah yang dijelaskan oleh para ulama itu merefleksikan suatu cara pandang terhadap alam, baik dunia maupun alam akhirat yang secara konseptual membentuk apa yang kini disebut Pandangan Alam, Pandangan Hidup atau Worldview. Oleh sebab itu, jika Al-Qur’an diakui sebagai sumber peradaban Islam, maka dapat dikatakan pula bahwa pandangan hidup Islam merupakan asas peradaban Islam. Dan karena inti dari pandangan alam Islam adalah ilmu pengetahuan maka dapat disimpulkan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan adalah asas peradaban Islam.  Dengan konsep yang seperti ini maka dapat dikatakan bahwa tidak ada sisi kehidupan intelektual Muslim, kehidupan keagamaan dan politik, bahkan kehidupan sehari-hari seorang Muslim yang awam yang tidak tersentuh sikap penghargaan terhadap ilmu. Ilmu memiliki nilai yang tinggi dalam Islam. Oleh sebab tidak heran jika Franz Rosenthal penulis buku Knowledge Triumphant (Keagungan Ilmu) dalam Islam menyimpulkan bahwa “Ilmu adalah Islam.”[8]
Bagaimanakah pandangan alam Islam itu tumbuh dan berkembang dalam pikiran seseorang dan kemudian menjadi motor bagi perubahan sosial umat Islam merupakan proses yang panjang. Secara historis tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari pemahaman (tafaqquh) terhadap Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW., secara berturut-turut dari periode Makkah awal, Makkah akhir dan periode Madinah.[9]
Periode pertama, lahirnya pandangan hidup Islam dapat digambarkan dari kronologi turunnya wahyu dan penjelasan Nabi tentang wahyu itu. Sebab, pandangan hidup Islam bermula dari peranan sentral Nabi yang menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Di sini periode Makkah merupakan periode yang sangat penting dalam kelahiran pandangan hidup Islam. Karena banyaknya surah-surah Al-Qur’an diturunkan di Makkah (yakni 85 surah dari 113 surah Al-Qur’an diturunkan di Makkah), maka periode Makkah dibagi menjadi dua periode: Makkah periode awal dan periode akhir. Pada periode awal wahyu yang diturunkan umumnya mengandung konsep-konsep tentang Tuhan dan keimanan kepada-Nya, hari kebangkitan, penciptaan, akhirat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik dan buruk, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan elemen penting dalam struktur worldview Islam.[10]
Pada periode akhir Makkah, wahyu memperkenalkan konsep-konsep yang lebih luas dan abstrak, seperti konsep ‘ilm, nubuwwah, din, ibadah dan lain-lain. Dua periode Makkah ini penting bukan hanya karena dua pertiga dari Al-Qur’an diturunkan di sini, akan tetapi kandungan wahyu dan penjelasan Nabi serta partisipasi masyarakat Muslim dalam memahami wahyu itu telah menjadikan struktur konsep tentang dunia (world-structure) menjadi jelas. Karena sebelum Islam datang struktur konsep tentang dunia telah dimiliki oleh pandangan hidup masyarakat pra-Islam (Jahiliyyah), maka struktur konsep tentang dunia yang dibawa Islam menggantikan struktur konsep yang ada sebelumnya.[11]
Konsep karam, misalnya, yang pada masa jahiliah berarti kemuliaan karena harta dan banyaknya anak, dalam Islam diganti menjadi berarti kemuliaan karena ketakwaan (inna akramukum inda Allah atqakum). Pada periode Madinah, wahyu yang diturunkan lebih banyak mengandung tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, sistem hukum yang mengatur hubungan individu, keluarga dan masyarakat; termasuk hukum-hukum tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan Muslim dengan umat beragama lain, dan sebagainya.[12]
Secara umum dapat dikatakan sebagai tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan komunitas Muslim. Meskipun begitu, tema-tema ini tidak terlepas dari tema-tema wahyu yang diturunkan sebelumnya di Makkah, dan bahkan tema-tema wahyu di Makkah masih terus didiskusikan. Ringkasnya, periode Makkah menekankan pada beberapa prinsip dasar aqidah atau teologi yang bersifat metafisis, yang intinya adalah konsep Tuhan, sedangkan periode Madinah mengembangkan prinsip-prinsip itu ke dalam konsep-konsep yang secara sosial lebih aplikatif. Dalam konteks kelahiran pandangan hidup, pembentukan struktur konsep dunia terjadi pada periode Makkah, sedangkan konfigurasi struktur ilmu pengetahuan, yang berperan penting dalam menghasilkan kerangka konsep keilmuan, scientific conceptual scheme dalam pandangan hidup Islam terjadi pada periode Madinah.[13]  
Periode kedua, timbul dari kesadaran bahwa wahyu yang turun dan dijelaskan Nabi itu telah mengandung struktur fundamental scientific worldview, seperti struktur tentang kehidupan (life-structure), struktur tentang dunia, tentang ilmu pengetahuan, tentang etika dan tentang manusia, yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keilmuan. Istilah-istilah konseptual seperti ilm, iman, usul, kalam, nazar, wujud, tafsir, ta'wil, fiqh, khalq, halal, haram, iradah dan lain-lain telah memadahi untuk dianggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan (pre-scientific conceptual scheme), yang juga berarti lahirnya elemen-elemen epistemologis yang mendasar dalam pandangan hidup Islam. Periode ini sangat penting karena menunjukkan wujudnya struktur pengetahuan dalam pikiran umat Islam saat itu yang berarti menandakan munculnya “Struktur Ilmu” dalam pandangan hidup Islam, meskipun benih beberapa konsep keilmuan telah wujud pada periode Makkah.[14]
Periode ketiga, adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam. Periode ini memerlukan penjelasan yang lebih panjang dan detail. Seperti diketahui tradisi keilmuan dalam Islam adalah merupakan konsekuensi logis dari adanya struktur pengetahuan dalam pandangan hidup Islam. Karena tradisi memerlukan adanya keterlibatan masyarakat, maka Prof. Alparslan mencanangkan bahwa untuk menggambarkan tradisi keilmuan Islam, pertama-tama perlu ditunjukkan wujudnya komunitas ilmuwan dan proses kelahirannya pada awal abad pertama dalam Islam. Kemudian menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme) yang merupakan framework yang berperan aktif dalam tradisi keilmuan itu.[15]
Dari proses lahirnya pandangan hidup Islam yang tergambar dari 3 periode di atas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran yang mendorong timbulnya ilmu pengetahuan. Ajaran tentang Ilmu pengetahuan dalam Islam yang cikal bakalnya adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu itu kemudian ditafsirkan ke dalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh. Suatu peradaban yang lahir dan tumbuh atas dukungan tradisi intelektual yang berbasis pada wahyu. Kesemuanya itu menandai lahirnya pandangan hidup Islam. Di dalam Al-Qur'an ini terkandung konsep-konsep seminal yang kemudian dipahami, ditafsirkan dan dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tabi' tabiin dan para ulama yang datang kemudian. Konsep 'ilm yang dalam Al-Qur'an bersifat umum, misalnya dipahami dan ditafsirkan para ulama sehingga memiliki berbagai definisi.[16]
Cikal bakal konsep ilmu pengetahuan dalam Islam adalah konsep-konsep kunci dalam wahyu yang ditafsirkan ke dalam berbagai bidang kehidupan dan akhirnya berakumulasi dalam bentuk peradaban yang kokoh. Jadi Islam adalah suatu peradaban yang lahir dan tumbuh berdasarkan teks wahyu yang didukung oleh tradisi intelektual. Perlu dicatat bahwa tradisi intelektual dalam Islam juga memiliki medium transformasi dalam bentuk institusi pendidikan yang disebut al-Suffah dan komunitas intelektualnya disebut Ashab al-Suffah. Di lembaga pendidikan pertama dalam Islam ini kandungan wahyu dan hadits-hadits Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, maka ia betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Yang jelas, Ashab al-Suffah, adalah gambaran terbaik institusionalisasi kegiatan belajar mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal tradisi intelektual dalam Islam.[17]
Pada awalnya kaum muslimin hanya mempunyai satu buku yaitu Al-Qur’an, sebagai wahyu Allah SWT yang memiliki kebenaran mutlak. Oleh Nabi Muhammad SAW  ajaran-ajaran Al-Qur’an berkenaan dengan akidah, akhlak, disampaikan kepada umat. Sepeninggalan Nabi Muhammad  SAW dan senamkan luasnya wilayah Islam, umat Islam dihadapkan kepada pembukuan Al-Qur’an, karena dengan sampainya Al-Qur’an ke tangan mereka, pengalaman ajaran-ajaran Islam akan lebih baik, selain munculnya kekhawatiran hilangnya Al-Qur’an dengan kematian para penghafal. Setelah Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi Muhammad SAW pun  di bukukan, sekalipun awalnya, sebagaimana juga pembukuan Al-Qur’an terjadi pro dan kontra. Al-Qur’an dan hadits yang telah dibukukan maupun yang dihafal kaum Muslimin menjadi rujukan umat Islam dalam memecahkan persoalan-persoalan  keagamaan sehari-hari yang muncul. Selain tradisi menghafal sebagai perkembangan alamiah, para pelajar dan guru mempergunakan catatan-catatan yang tertulis di atas kulit domba atau lontar. Tidak heran bila catatan-catatan ini kemudian terbentuk buku.[18]
Tradisi keilmuan yang berlangsung di kalangan masyarakat muslim sejak zaman Rasulullah SAW hingga pada masa klasik tidak terlepas pada pembidangan ilmu dalam Islam. Seperti sedikit telah disinggung di atas, nampaknya pada periode klasik telah ada pembidangan ilmu yang pada umumnya terbagi kepada ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu non agama. Terhadap ilmu agama didapati sebutan al-‘Ulum al-Diniyyat, al-‘Ulum al-Naaqliyaat, al-‘Ulum al-Syari’at, al-‘Ulum al-Islamiyyat, dan al-Ulum al-‘Arab. Terhadap ilmu-ilmu pengetahuan non agama didadapi sebutan al-‘Ulum al-Dunyawiyaat, al-‘Ulum al-Aqliyyat, al-‘Ulum al-Dakhilat, ‘Ulum mal-‘Ajam, dan ‘Ulum mal-Awail.[19]
Ilmu-ilmu seperti Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam, Fiqih, dan Tasawuf   adalah kelompok ilmu-ilmu agama, sedangkan Bahasa Arab, Sejarah, Filsafat, Kedokteran, Astronomi, Matematika, Kimia, Fisika, Kosmografi, termasuk kelompok ilmu-ilmu non agama. Bahasa Arab, Sejarah, dan Filsafat Islam sebenarnya termasuk ke dalam al-‘Umul al-‘Arab, namun ketiga  ilmu ini bukan murni agama, dan ketiga ilmu ini juga dikeluarkan dari kelompok  al-‘Ulum al-Dakhilat, ‘Ulum mal-‘Ajam, dan ‘Ulum mal-Awail, yang kesemuanya menggambarkan ilmu yang datang dari luar Arab, ilmu asing, dan ilmu orang-orang terdahulu.  Ke dalam kelompok ilmu terakhir ini hanya dimasukkan ilmu-ilmu yang berasal dari kebudayaan Yunani klasik seperti Kedokteran Matematika, dan Fisika.[20]
Imam Syafi’i melihat dari sisi legal dengan mengelompokkan ilmu menjadi dua, yaitu; pertama, apa yang disebut dengan ‘ilm ‘ammat (ilmu yang diterima secara umum); kedua‘ilm khasshat (ilmu yang menjadi wilayah orang-orang tertentu yakni ulama).[21] Adapun Ibnu Khaldun (w. 808H/1406M) dalam bukunya, membuat dua pembagian besar, yaitu ilmu yang diperoleh melalui pemikiran, ilmu yang diperoleh melalui tradisi. Pertama, disebut Ilmu Filsafat  atau akal dan mencakup Logika, Fisika, Metafisika, Ilmu Hitung, Geometri, Musik, dan Astronomi; kedua, disebut ilmu naqli yang mencakup Tafsir, Hadits, Hukum, Ilmu Kalam, Tasawuf, dan Ilmu Bahasa.[22]
Perlu dicatat bahwa secara umum, adanya klasifikasi ilmu seperti disebutkan di atas, tidak berpengaruh negatif terhadap kegairahan mempelajari ke kedua bidang tersebut oleh muslim  klasik. Kedua bidang ilmu tersebut topang menopang mengangkat nama Islam pada puncak kemajuan. Memang benar secara kasuistik ada saja pertentangan, akan tetapi bukan sebagai pandangan umum (public image), seperti dijelaskan oleh Nurcholish Madjid yaitu:[S]ekeras-kerasnya percekcokan intelektual di masa klasik, tidaklah hal itu membawa kepada sikap-sikap parokialistik  dan anti ilmu.” Pembidangan ini terus bergerak dan lambat laun menjadi dinding pemisah di kurun-kurun berikutnya [23]
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas,  penulis dapat menarik  beberapa pengertian sebagai berikut; pertama, tradisi keilmuan pada masa klasik dipengaruhi oleh Al-Qur’an yang merupakan sumber ajaran Islam, dan ilmu-ilmu yang berada di luar Islam, sehingga terjadinya klasifikasi dan pembidangan  keilmuan yang diterapkan oleh umat Islam; kedua, tradisi keilmuan pada masa klasik dalam menguasai keilmuan yang bersumber dari Al-Qur’an dilakukan oleh  umat Islam dengan cara menghafal; ketiga, tradisi keilmuan pada masa klasik selanjutnya adalah menuliskan ilmu-ilmu tersebut pada pelapah kurma atau kulit binatang, setelah umat Islam menghafal Al-Qur’an atau ilmu-ilmu lainnya, dan pada akhirnya catatan-catatan ini kemudian dijadikan dalam terbentuk buku.    
3.      Kontribusi Keilmuan Dalam Membangun Peradaban Awal Islam
Tidak dapat dipungkiri bahwa tradisi keilmuan pada periode klasik,  melahirkan para sarjana Islam telah mampu membuahkan karya-karya besar dalam berbagai cabang serta dengan gairah mendistribusikan ilmu ke segala segmen kehidupan umat. Karya pada bidang ilmu yang dimaksud di sini adalah buku-buku, namun tidak semua karya klasik akan dikemukakan, melainkan  bagaimana dapat melukiskan “atmosfer” keilmuan yang terlihat dari kegairahan menerjemahkan berbagai manuskrip tua Yunani dan ilmu-ilmu awail, inovasi  berkarya para ulama di berbagai  ilmu, sehingga menghasilkan banyak buku, tersebar luasnya institusi-institusi pendidikan, partisipasi dari berbagai kalangan dalam menyebarluaskan ilmu di masa klasik, dan sebagainya.[24]
Kontribusi terbesar keilmuan pada zaman klasik pada peradaban Islam  adalah terbitnya karya-karya para ulama berbentuk buku-buku atau catatan-catatan, baik pada bidang ilmu agama ataupun non agama. Karya-karya dalam bidang ilmu  agama muncul lebih awal, dan selanjutnya disusul dengan karya-karya kaum Muslimin di bidang ilmu-ilmu awail, mengingat kontak pertama kaum muslim dengan ilmu awail baru terjadi di pertengahan abad ke- 2H/8M lewat gerakan penerjemahan yang diprakarsai Khalifah Al-Mansur (136-158H/754-775M), dan diteruskan oleh putranya Al-Ma’mun (198-218H/813-833M). Karya-karya muslim  tertulis, lebih baik dan meningkat pesat setelah teknologi pembuatan kertas dikuasai melalui orang-orang Cina tawanan yang di bawa ke Samarkand di pertengahan abad ke- 2H, sehingga industri kertas didirikan di Baghdad, Syiria, Damaskus, Tripoli, dan di tempat lain. Dengan pengenalan pembuatan kertas Islam dari penyebarannya sepanjang abad ke- 2 H sampai ke-4 H ( ke-8 sampai 9 M) terjadilah revolusi industri. Bahan-bahan untuk tulis menulis bebas dari monopoli, kertas menjadi barang yang murah. Pembuatan kertas membuat revolusi kultural. Dia memudahkan produksi buku-buku dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan dalam waktu kurang dari satu abad, ratusan ribu manuskrip menyebar ke seluruh negeri Islam. Buku terdapat di mana-mana dan profesi menjual buku pun menjamur.[25]  
Beberapa karya-karya besar kaum Muslimin dalam bidang-bidang ilmu, dan diklasifikasikan sebagai berikut:
 
a.      Ilmu-Ilmu Agama  
1)      Tafsir Al-Qur’an,  beberapa karya tafsir Al-Qur’an di abad ke 2-5H/8-13M, di antaranya: karya Muqatil bin Sulaiman (w.150H/767M) yang bersifat naratif, yakni ketika ia menafsirkan Al-Qur’an Surat Al-Baqarah  ayat 189. Khams Mi’at min Al-Qur’an dan Ahkam Al-Qur’an karya Abu Bakr al-Jashshas (w.370H/981M), al-Jami’li Ahkam Al-Qur’an karya  Abdullah al-Qurthubi (w.671H/1272M), Ma’ani Al-Qur’an karya  al-Farra (w.207H/822M), Majaz Al-Qur’an karya Abu ‘Ubaydat (w. 209H/824M),  Ta’wil Musykil Al-Qur’an karya Ibn Qutaybat (w.276H/889M), Sufistik karya Sahl al-Tustari (w. 283H/896M), Asbab al-Nuzul karya Ali bin al-Madini (w. 234H/848M), Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karya al-Suyuthi (w. 911H/1505M), Anwar al-Tanzil wa Asar al-Ta’wil karya Nashir al-Din al-Baydhawi (w.690H/1291M).[26]
2)      Ushul Fiqih, di antaranya: Al-Risalat karya Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204H/819M), Itsbat al-Qiyas, Khabar al-Wahid, Ijtihad al-Ra’yi karya Ibn Sidqat al-Ahnafi, dan Isa bin Iban (w. 221H/835M), Kitab al-Nukath karya Ibrahim bin Sayyar bin Hani’ (w. 221H/835M), Fi Ushul al-Fiqh, al-‘Umum, Mufassar wa Mujmal karya  Daud bin Ali bin Daud al-Zhahiri (w. 270H/883M), dan Kitab al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Muhammad bin Daud bin Ali bin Khalaf al-Zhahiri (w. 297H/909M), al-Mustashfa karya al-Ghazali (w. 505H/1111M), dan Ushul al-Sarakhsi karya al-Sarakhsi (w. 409H/1096M)[27]
3)      Hadits, kitab-kitab hadits pada abad 3H/9M diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori: a) Shahifat (semacam buku kecil memuat sunah terlepas dari jumlah dan isinya), b) Risalat (kumpulan hadits yang menyangkut tofik tertentu),  c) Juz (koleksi hadits yang dilimpahkan berdasarkan otoritas seseorang), d)  Arba’un (kumpulan hadits yang berjumlah 40 hadits mengenai masalah yang diminati oleh pengumpul hadits), e) Mu’jam (karya hadits berdasarkan nama, kota atau suku), f) Amali (kumpulan hadits berdasarkan pendiktean syaikh), g) Athraf (hadits yang disalin untuk membantu hafalan), h) Jami’ (menyusun hadits berdasarkan berbagai masalah), i) Sunan (kumpulan hadits berkenaan dengan masalah hukum), dan j) Mushannaf dan Musnad (kumpulan hadits berkenaan dengan masalah jami’).[28]  Kitab hadits kategori Shahifat misalnya al-Shiffat al-Shadiqat karya Abdullah bin ‘Ash (w. 101H/719M), al-Shahifat al-Shahihat karya Hammam bin Minabbih (101H/719H), Kitab hadits kategori Risalat misalnya Kitab Faraidl,  karya Zaid bin Sabit (w. 45H/665M), Thalaq karya al-Sya’abi (w. 103H/721M),  Kitab hadits kategori Juz misalnya  Musnad karya Ibn Rawayh (w. 238H/852M), Kitab hadits kategori Arba’un misalnya karya Ahmad bin Harb al-Nisyafurri  (w. 234H/849M) dll, Kitab hadits kategori Mu’jam misalnya Musnad karya Abd al-Aziz (w.tt),  Kitab hadits kategori Amali misalnya  kitab Layts bin Sa’ad (w. 175H/791M), Abdl al-Razziq  Shan’abi (w.211H/827M) dan al-Nasa’i (w. 303H/915M), Kitab hadits kategori Athraf misalnya kitab karya Ibnu  Sirin (w. 110H/728M), Kitab hadits kategori Jami misalnya kitab karya Ibnu Jurayj (w. 150H/767M), Sufwan al-Tsauri (w. 161H/778M), Kitab hadits kategori Sunan misalnya  kitab karya Makhul (w. 116H/734M), Umar bin Abdul al-Aziz (w. 156H/734M),  Kitab hadits kategori Mushannaf  misalnya  kitab karya Zai’dat bin Qudamat (w. 163H/780M), Waqi’ al-Jarrat (w. 197H/812M), dan  Sufwan bin Uyaynat (w. 198H/813M), Kitab hadits kategori Musnad misalnya kitab karya Zaid bin Ali (w. 122H/740M), Ja’far al-Shadiq (w. 148H/765M), dan Ma’mar bin Rasyid  (w. 153H/770M), dll.[29]
b.      Ilmu Umum (Awail)
           Ilmu-ilmu non agama (awail) seperti: 1)ilmu kedokteran terkenal al-Hawi karya al-Razi (w. 313H/925M), al-Qunun fi al-Thibb (The Canon) karya Ibnu Sina (w. 429/1037M), 2)ilmu Matematika dan Astronomi, seperti kitab karya al-Khawarizmi(w. 236/850M), al-Munazir karya Ibnu al-Haystam (w. 431H/1039), 3) Ilmu Kimia seperti kitab karya Jabir  bin Hayyan (tt), Zakariya al-Razi (tt), 4) Ilmu Geografi seperti  Surat al-Ard karya al-Khawarizmi(w. 236/850M), dan Abu al-Hassan al-Mas’udi (tt), dan ilmu-ilmu lainnya.[30]
    Seperti disinggung di atas, semangat keilmuan yang besar mewarnai  semua lapisan masyarakat. Oleh karenanya, tidak heran dengan ditemukannya teknologi pembuatan kertas, ilmu dalam berbagai bidang dapat dibukukan dan diperbanyak. Sejalan dengan semangat ini lahir institusi-institusi pendidikan sebagai wahana penyebaran ilmu. Institusi-institusi pendidikan tersebut meliputi Kuttab, Masjid, Madrasah, Dar  Al-Qur’an, Dar Al-Hadits, Ribath, Zawiyat, Khangat, Bayt al-Hikmah, Perpustakaan, Rumah Sakit, dan Observatorium yang tersebar luas di daerah-daerah Islam khususnya sepanjang abad-abad keemasan Islam.
 

C.    PENUTUP
1.   Kesimpulan
a.  Kedudukan ilmu di dalam Islam adalah Islam sangat mendorong dikembangkannya ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat Islam agar menggunakan akal pikiran dan segenap potensi yang dimilikinya untuk memperhatikan segala ciptaan Allah SWT. Dorongan Al-Qur’an terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tersebut terlihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an (lebih dari 700 ayat) yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pujian dan kedudukan yang tinggi bagi orang yang berilmu, dan pahala bagi menuntut ilmu.
b.      Tradisi keilmuan pada zaman klasik dipengaruhi oleh Al-Qur’an yang merupakan sumber ajaran Islam, dan ilmu-ilmu yang berada di luar Islam, sehingga terjadinya klasifikasi dan pembidangan  keilmuan yang diterapkan oleh umat Islam, tradisi yang lain adalah menguasai keilmuan yang bersumber dari Al-Qur’an dilakukan oleh  umat Islam dengan cara menghafal, dan setelah menghafal kemudian menuliskan ilmu-ilmu tersebut pada pelapah kurma atau kulit binatang dan pada akhirnya catatan-catatan ini kemudian terbentuk buku.
c.  Kontribusi terbesar keilmuan pada zaman klasik pada peradaban Islam  adalah terbitnya karya-karya para ulama berbentuk buku-buku atau catatan-catatan, baik pada bidang ilmu agama ataupun non agama, sehingga dikenal teknologi pembuatan kertas, ilmu dalam berbagai bidang dapat dibukukan dan diperbanyak. Sejalan dengan semangat ini lahir institusi-institusi pendidikan sebagai wahana penyebaran ilmu. Institusi-institusi pendidikan tersebut meliputi Kuttab, Masjid, dll.
2.      Saran
Penulis mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih disebabkan oleh kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu penulis mengharapkan kritik yang membangun, dan untuk  perbaikan makalah ini pada masa yang akan datang. 


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Aziz, Syaikh Abdul Qadir, terj., Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu, Solo:Pustaka Al-Alaq, 2005.

al-Asbahani, Ahmad ibn 'Abd Allah, Hilyat al-Auliya', Mesir: al-Sa'adah Press, 1357H.

Ali Fauzi, Ihsan, “Kaum Muslimin dan Tafsir Al-Qur’an Survey  Bibliografis Atas Karya-Karya Dalam Bahasa Arab”, Ulum Al-Qur’an, II 1990.

Al-Hassan, Ahmad Y. dan R. Hill, Donal,  Teknologi Dalam Sejarah Islam, Bandung:Mizan, 1994.

Asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris, al-Risalat, Beirut:Dar al-Kutubal al-Ilmiyyat,tt.

De Boer, T.J., The History of Philosophy in Islam, tt, Curzon Press, 1994.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1996.

Gholshani, Mehdi, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, Bandung:Mizan,2003. 

Gullimaune, Alfred, Philosophy and Theology in The Legacy of Islam,  Oxford: University Press, 1948.

Hitti, Philip K, Dunia Arab Sedjarah Ringkas, Bandung:Sunur,tt.

Ibrahim,  Abd al-Wahhab, dan Sulaiman, Abu, al-Fikri al-Ushuli, Jeddah: Dara l-Syuruq, 1983.

Izutsu,  Toshihiko, God and Man in The Qur'an, Semantic of the Qur'anic Weltanschauung, Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002.

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001.

Khaldun, Ibnu, The Muqadimmah, London, tp,1958.

Madjid,Nurcholish,  “Islam, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi”, Makalah Seminar Nasional  IAIN STS Jambi, 18-19 September 1992.

MA. Racman, Subhan, “Tradisi dan Inovasi Keilmuan Islam Masa Klasik”, Innovation, 10 (2006).
Nasution,  Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung:Mizan, 1994.

Nizar, Samsul dan Syaifudin, Muhammad, Isu-Isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam, Jakarta:Kalam Mulia, 2010.

Rosenthal, Franz, Knowledge Triumphant, Leiden: E.J.Brill, 1970.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhui Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1998.

Saukat, Jamilah terj., “Pengklasifikasian Literatur Hadits”, al-Hikmah, 1994.

Yasir Qadhi, Abu Ammaar An Introduction to the Science of the Qur'aan, Birmingham: al-Hidayah Publishing and Distribution, 1999.

Zaidin, Jurji,  Tarikh al-Tamaddun al-Islam, Kairo:Dar al-Hillal, tt.  



 

[1] Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, Isu-Isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta:Kalam Mulia, 2010), hal. 107.
[2] Mehdi Gholshani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, (Bandung:Mizan,2003), hal. 1. 
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1996), hal. 1079.
[4] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhui Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 433. 
[5] Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 121.
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 747.
[7] Syaikh Abdul Qadir Abdul Aziz, terj., Keutamaan Ilmu dan Ahli Ilmu, (Solo:Pustaka Al-Alaq, 2005), hal. 59.
[8] Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant ,(Leiden: E.J.Brill , 1970), hal. 19.
[9]Toshihiko Izutsu,  God and Man in The Qur'an, Semantic of the Qur'anic Weltanschauung, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), hal. 36.
  [10] Ibid, hal. 37.
[11] Ibid, hal. 38.
[12] Abu Ammaar Yasir Qadhi, An Introduction to the Science of the Qur'aan, (Birmingham: al-Hidayah Publishing and Distribution, 1999), hal. 100.
  [13] Ibid, hal. 101.
 [14]Alfred Gullimaune, Philosophy and Theology in The Legacy of Islam,( Oxford: University Press, 1948), hal. 239.
   [15] De Boer, T.J., The History of Philosophy in Islam, (tt, Curzon Press, 1994), hal. 28-29.
[16] Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant, hal. 52.
[17] Ahmad ibn 'Abd Allah al-Asbahani, Hilyat al-Auliya', (Mesir: al-Sa'adah Press, 1357H), hal.339-341.
[18] Ibid.
[19] Harus Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung:Mizan, 1994), hal.316.
[20] Jurji Zaidin, Tarikh al-Tamaddun al-Islam, (Kairo:Dar al-Hillal, tt), jilid III, hal. 42.  
[21] Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, al-Risalat, (Beirut:Dar al-Kutubal al-Ilmiyyat,tt), hal. 157.
[22] Ibnu Khaldun, The Muqadimmah, Jilid II, (London, tp,1958), hal. 436.
[23] Nurcholish Madjid, “Islam, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi”, Makalah Seminar Nasional  IAIN STS Jambi, 18-19 September 1992, hal. 1.
[24] Subhan  MA. Racman, “Tradisi dan Inovasi Keilmuan Islam Masa Klasik”, Innovation, 10 (2006), hal. 258-259.
[25] Ahmad Y.al-Hassan dan Donal R. Hill, Teknologi Dalam Sejarah Islam, (Bandung:Mizan, 1994), hal. 219.
[26] Ihsan Ali Fauzi, “Kaum Muslimin dan Tafsir Al-Qur’an Survey Bibliografis Atas Karya-Karya Dalam Bahasa Arab”, Ulum Al-Qur’an, II (1990), hal. 17.
[27] Abd al-Wahhab Ibrahim  dan Abu Sulaiman, al-Fikri al-Ushuli, (Jeddah: Dara l-Syuruq, 1983), hal. 101.
[28] Jamilah Saukat, terj., “Pengklasifikasian Literatur Hadits”, al-Hikmah, 13(1994), hal. 77.
[29] Philip K. Hitti, Dunia Arab Sedjarah Ringkas, (Bandung:Sunur,tt), hal. 142.
[30] Subhan MA. Racman, “Tradisi dan Inovasi Keilmuan Islam Masa Klasik” hal. 263-264.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar