Selasa, 27 Desember 2011

PPMDI

MUSTHAFA KAMIL
Oleh: Said Saleh

A.    PENDAHULUAN 
Membicarakan perkembangan modern di Mesir selalu dimulai dengan ekspedisi Napoleon tahun 1798 M ke Mesir yang diikuti oleh pasukan meliter, 500 masyarakat sipil, dan 500 wanita. Di antara masyarakat sipil terdapat 167 ahli dari berbagai cabang ilmu pengetahuan, dan membawa dua set alat percetakan dengan huruf  Latin, Arab, dan Yunani.[1] Peristiwa ini telah menggugah ulama dan rakyat Mesir dari tidur panjang. Dari sinilah timbulnya kesadaran umat Islam di Mesir dan pada umumnya tentang kelemahan dan keterbelakangan serta pengakuan atas kemajuan yang luar biasa yang telah di capai oleh Prancis, dan dunia barat pada umumnya. Di samping kemajuan materi, ekspedisi Napoleon di Mesir juga membawa ide-ide baru bagi umat Islam,[2] yaitu:
1.      Sistem pemerintahan republik yang menetapkan kepala negara dipilih untuk waktu tertentu (bukan menjadi kepala negara seumur hidup).
2.      Ide persamaan (egalite) yang memandang semua orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum tanpa melihat keturunan, kekayaan, dan agama.
3.      Ide kebangsaan yaitu adanya kesatuan pandangan politik yang didasarkan pada persamaan nasib dan cita-cita perjuangan karena memiliki kesamaan tradisi budaya, bahasa, dan ras.
     Dalam makalah ini hanya akan dikemukakan perkembangan ide kebangsaan atau nasionalisme di Mesir, siapa tokoh-tokoh pendukungnya, bagaimana usaha-usaha yang dilakukannya, dan apa hasil yang dicapainya.
B.       PEMBAHASAN
1.      Pandangan Nasionalisme dan Tokoh-tokohnya
Dalam sejarah Mesir setelah jatuhnya Fir’un selama beratus-ratus selama diperintah orang asing mulai dari Yunani, Romawi, dan Byzantium. Kemudian setelah orang Mesir masuk Islam mereka di perintah oleh orang Arab kemudian Turki. Setelah Turki lemah Mesir di bawah kekuasaan Mamalik  dan pasya-pasya yang semuanya dari Turki dengan perlindungan Inggris, termasuk Muhammad Ali Pasya dan khedive-khedive sesudahnya. Maka ketika Tahtawi pulang dari Prancis  mengenalkan perlunya orang mencintai Mesir dan memiliki rasa patriotisme (cinta tanah air) yang terasa agak asing mulanya. Pada zaman pemerintahan Muhammad Ali Pasya telah mulai diterbitkan surat kabar resmi yang diberi nama al-Waqa’i al-Mishriyah  (peristiwa-peristiwa di Mesir) pada tahun 1828 M. Di antara tokoh-tokoh pergerakan yang pernah menjadi pimpinannya ialah At-Tahtawi  dan Muhammad  Abduh.[3]
Jamaluddin al-Afghani yang berada di Mesir tahun 1871-1879 yang berjasa dalam mengobarkan kesadaran nasional Mesir, mendorong dan menggugah rasa kebangsaan masyarakat Mesir. Atas usahanya pula pada tahun 1879 M dibentuk Partai Nasional (al-Hizb al-Wathani)yang  banyak memperjuangkan kemajuan masyarakat Mesir. Semboyan “Mesir Untuk Rakyat Mesir” ditanamkan pada jiwa rakyat Mesir yang sebelumnya belum pernah mereka dengar. Maka tidak aneh jika ada yang menganggap Jamaluddin al-Afghani sebagai bapak kebangsaan Mesir.[4]
Jamaluddin al-Afghani bukan hanya dapat mempengaruhi para agitator revolusioner yang militan sebagai “Urabi Pasya” tetapi juga pembaharu yang moderat seperti Muhammad Abduh. Kebangkitan semangat juang Mesir ini pernah sampai meletuskan revolusi bersenjata pada tahun 1882 M di bawah pimpinan ‘Urabi Pasya” seorang bekas opsir tentara yang berasal dari rakyat biasa, keturunan asli Mesir. Tetapi perjuangan ini belum berhasil, terutama karena pembunuhan terhadap orang-orang Eropa di Kota Pelabuhan Iskandaria mengundang intervensi negara-negara Eropa terhadap Mesir. Pelawanan terakhir dari “Urabi Pasya” ialah di al-Thul al-Kabir, ia tidak dapat bertahan lagi karena bantuan serangan dari Inggris terus bertambah, dan akhirnya “Urabi Pasya” ditawan dan diasingkan ke pulau Ceylon, dan Mesir pun tetap di bawah pendudukan Mesir tanpa ada perlawanan lagi. Usaha mewujudkan Mesir untuk mempunyai pemerintahan sendiri belum terlaksana meskipun keturunan khedive tetap di atas singgasana tetapi tetap di bawah pengawasan Inggris. Pada tahun 1841-1914 M resminya Mesir adalah provinsi otonom dari Kerajaan Turki, tetapi kenyataannya adalah dikuasai Inggris. Bahkan sejak tahun 1882 M Mesir di bawah pendudukan tentara Inggris, maka praktis menjadi jajahan Inggris.[5]
Keputusan-keputusan penting pemerintahan Mesir selalu ditetapkan London, bukan Istambul. Bahkan masalah yang sederhana pun ditetapkan oleh kantor Agen Inggris di seberang Sungai Nil, bukan ditentukan di Istana Khedive, meskipun letaknya berseberangan. Khedive dan menteri-menterinya adalah boneka saja menurut pandangan para penasihat Inggris. Kedua pihak baik Mesir maupun Inggris menyadari bahwa mereka memiliki hubungan kekuasaan tersebut dengan posisi Inggris yang dominan dan khedive adalah pihak yang pasif dan memperoleh perlindungan. Situasi telah membuat para tokoh pejuang dan perubahan Mesir bekerja keras. Dari perasaan cinta air (patriotisme)  kemudian berkembang menjadi perasaan kesatuan dan persatuan bangsa Mesir, baik yang beragama Islam maupun non Islam yang mempunyai cita-cita perjuangan yang sama karena kesatuan nasib yang mereka alami, untuk menuju kemerdekaan Mesir di bawah pemerintahan orang-orang Mesir sendiri. Perasaan kesadaran nasionalisme ini segera meluas di semua lapisan dan kalangan, termasuk murid-murid dan pengikut Muhammad Abduh (1849-1905M), yaitu: Mustafa Kamil (1874-1908M), Sa’ad Zaghlul (1860-1927M), Ahmad Luthfi Sayyid (1872-1963M), Qasim Amin (1863-1908M), Ali Abd Raziq (1888-1966M), dan lain-lain.[6]  

2.  Riwayat Hidup Musthafa Kamil
Musthafa Kamil adalah seorang putra Mesir yang sangat mencintai tanah air dan bangsanya, dan seluruh masa hidupnya dihabiskan untuk memperjuangkan kemerdekaan negaranya dari belenggu penjajahan dan penindasan bangsa lain. Ia lahir di Kairo pada tanggal 1 Rajab 1291 H, bertepatan dengan tanggal 14 Agustus 1874 M.[7] Ayahnya seorang ahli Ilmu Pasti. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan menengah pada tahun 1891 meneruskan belajar ke Fakultas Hukum Universitas Toulous Prancis dan menyelesaikan studi pada tahun 1894.[8]
Sejak masih mahasiswa Musthafa Kamil telah aktif pada kegiatan-kegiatan politik dan kenal akrab dengan khedive Abbas II putera Khedive Taufiq yang menjadi penguasa di Mesir. Sekembalinya dari Prancis Musthafa Kamil segera bergabung dengan Partai Nasional  atau al-Hizb al-Wathani di Mesir, dan bertujuan memperjuangkan keadilan dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya bagi masyarakat Mesir dari kekuasaan Inggris. Musthafa Kamil dalam musyawarah al-Hizb al-Wathani kemudian terpilih sebagai pemimpin tertinggi partai. Dialah yang kemudian mempunyai ide menyatukan kembali daerah Sudan ke dalam wilayah Mesir, dan mencoba menyiapkan kader-kader bangsa Mesir untuk memiliki pengetahuan modern tentang pemerintahan parlementer. Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin partai, ia mempunyai peluang untuk mempengaruhi opini bangsa Eropa tentang kebebasan serta kemerdekaan suatu bangsa.[9]
Pada  tahun-tahun berikutnya Musthafa Kamil mengujungi Berlin, London, Wina, Budapest, dan Genewa. Tetapi ia merasa kecewa sekali setelah pemerintah Inggris memperoleh kesepakatan dengan pemerintah Prancis yang ternyata mendukung kekuasaan Inggris di Mesir. Setelah Musthafa Kamil gagal melobi Perdana Menteri Inggris Sir Cambell Bannerman, ia pergi ke Istambul Turki untuk mencari dukungan khalifah dan tokoh-tokoh gerakan Pan-Islamisme. Di sana ia dianugerahi gelar pasya oleh Sultan Abdul Hamid II di tahun 1904 M, tetapi Musthafa Kamil gagal memperoleh dukungannya.[10]
Di Kairo Musthafa Kamil pada tahun 1898 M telah mendirikan pusat latihan bagi angkatan muda untuk menanamkan ide-ide nasionalisme. Pada tahun 1899 M ia berusaha menerbitkan surat kabar “al-Liwa” tetapi baru mulai terbit awal tahun 1900 M. Kemudian  sejak tahun 1907 edisinya diperluas dalam Bahasa Inggris dan Prancis. Pada tahun 1902 M  Musthafa Kamil juga menerbitkan Majalah ”al-Liwa” edisi triwulan. Kedua media inilah yang digunakan bersama para pendukungnya untuk memperluas pengaruh nasionalismenya, sekaligus dijadikan alat propaganda anti imperialisme Inggris, dan menuntut kemerdekaan bagi bangsa Mesir sendiri. Musthafa Kamil menyadarkan bangsanya bahwa hak-hak sucinya telah diinjak-injak dan merampas oleh kolonialisme Inggris. Untuk itu ia menulis dalam tajuk rencana al-Liwa sebagai berikut:
[H]ak kita dirampas dan Inggrislah  yang merampasnya. Kita tuntut hak kita yang suci, dan Inggris  adalah perampas hak kita ini. Karena itulah kita percaya pasti menang, sepat atau lambat. Jika seorang manusia mempunyai hak pastilah akan diperolehnya.[11]
Usaha-usaha lainnya yang dilakukan Musthafa Kamil yang bersifat non politik seperti:[12]
a. Mendirikan sekolah-sekolah nasional untuk bangsa Mesir, dengan maksud untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, dan untuk menanamkan kesadaran nasional kepada generasi muda.
b. Mendirikan sekolah untuk wanita terutama para gadis Mesir, dengan maksud untuk meningkatkan martabat kaum wanita sebagai salah satu unsur perjuangan. 
c.    Mengadakan kursus-kursus sebagai pendidikan non formal bagi mereka yang secara formal tak dapat belajar di sekolah.
d.   Membuat rencana untuk mendirikan universitas nasional Mesir.
Usaha-usaha yang telah dikembangkan Musthafa Kamil ternyata masih belum dapat mengantarkan kemerdekaan Mesir di masa hayatnya. Musthafa Kamil yang telah menderita sakit sejak musim panas 1906 M kemudian meninggal pada bulan Februari 1908 M atau bertepatan dengan tanggal 8 Muharam 1326 H.[13] Kemudian  Partai Nasional dan ide-idenya dilanjutkan oleh Muhammad Farid Bey, dan kemudian dilanjutkan dan dikembangkan Sa’ad Zaghlul dengan cara yang lebih sempurna, karena ditunjang oleh kondisi dalam dan luar negeri yang lebih menguntungkan. Karena pada perang dunia I (1914-1918 M) Turki di pihak musuh sekutu maka Inggris menghapus kekuasaan formal Turki di Mesir, dan Mesir  resmi menjadi daerah protektorat Inggris. Sebagaimana sifat penjajah Inggris yang mau memberi kesempatan kepada putra-putri daerah jajahannya untuk maju dan berkembang asalkan tidak menentang Inggris. Maka dibentuklah badan legislatif yang kemudian Sa’ad Zaghlul menjadi wakil badan tersebut.[14]  
3.      Kontroversi Pandangan Nasionalisme di Kalangan Umat Islam
Ide nasionalisme sebagai hal  baru bagi umat Islam pada awal  abad ke-19 M. Ide ini dibawa oleh ekspedisi Napolean pada tahun 1798 M ke Mesir dan diterima sangat hati-hati oleh umat Islam. La Nation Francaise mula-mula diterjemahkan menjadi Millah al-Faransiah.  Padahal millah berarti agama. Hal ini antara lain karena ikatan persatuan yang kuat di kalangan orang-orang Islam adalah agama. Kemudian untuk nation dipergunakan kata qaum, sya’b, dan ummah.[15]
Patriotisme  dianggap tidak bertentangan dengan Islam bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman, dan tidak ada ayat atau hadits Nabi Muhammad  SAW yang melarang orang Islam mencintai tanah airnya, tetapi pandangan nasionalisme atau qaumiyah mula-mula masih terjadi perbedaan pendapat. Para ulama al-Azhar pada umumnya tidak menolak Hub al-Wathan atau cinta tanah air ataupun patriotisme itu, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Musthafa al-Maraghi, Muhammad Farid Wajdi, dan Syekh Thanthawi Jauhari. Apalagi Qasim Amin, Musthafa Kamil, Sa’ad zaghlul, Ahmad  Luthfi Al-Sayyid, dan juga para sastrawan seperti Ahmad Taimur, Musthafa Luthfi al-Manfaluthi, Hafidz Ibrahim, dan lain-lain. Tulisan tokoh-tokoh di atas yang membangkitkan Islam dan derajat bangsa Mesir serta anjuran untuk mencintai tanah air Mesir. Tetapi mengenai nasionalisme yaitu suatu pandangan politik yang ingin mempersatukan suatu bangsa dengan tujuan membangun negara yang didasarkan  pada ikatan kebangsaan, meskipun tidak ada nash dari Al-Qur’an maupun Hadits yang melarangnya, tetapi sering berbenturan dengan perintah agama Islam untuk menjaga persaudaraan Islam al-Ukhuwah al-Islamiyah  tanpa dibatasi oleh batas-batas wilayah dan negara.  Di Eropa pandangan politik ini dianggap penting sebagai motivator kebangkitan bangsa-bangsa yang dijajah dan ditindas oleh bangsa lain. Jamaluddin al-Afghani ketika ia di Mesir bahkan memelopori lahirnya  partai nasional atau al-Hizb al-Wathani pada tahun 1879 M.[16]
Tetapi Jamaluddin al-Afghani juga sangat menekankan perlunya diwujudkan persatuan umat Islam seluruh dunia dengan mengemukakan konsep Pan-Islamisme. Menurut Jamaluddin al-Afghani pandangan nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam yang juga menganjurkan Ukhuwah Islamiyah bagi umat Islam di seluruh dunia. Sebagaimana di bidang pemerintahan meski pun Islam berpendapat bahwa pemegang kekuasaan tertinggi adalah Tuhan (teokrasi), dan pemerintahan  Nabi Muhammad SAW di Madinah di pegang oleh satu tangan, baik legislatif,  eksekutif, maupun yudikatif, tetapi Nabi Muhammad SAW banyak melakukan musyawarah dengan para sahabat. Juga sistem pemerintahan di masa Khulafa’ur-Rasyidin  adalah Oligarki, yaitu khalifah dipilih dan dibaiat  oleh beberapa orang sahabat besar Nabi Muhammad SAW, bukan oleh seluruh rakyat, tetapi para khalifah tetap melanjutkan tradisi Nabi Muhammad SAW dalam hal bermusyawarah. Maka menurut Jamaluddin al-Afghani kepala negara bukan hanya harus mengadakan musyawarah dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang mempunyai pengalaman,  Jamaluddin al-Afghani juga berpendapat pada masa kini (waktu itu abad 19 M) karena tokoh-tokoh yang ada tidak sekualitas dengan para Khulafa’ur-Rasyidin  di bidang ketaatan beragama, dan masyarakat Islam sudah makin berkembang, serta tuntutan pemerintahan sudah semakin kompleks, sedangkan pengetahuan manusia secara individual semakin terbatas, maka menurut  Jamaluddin al-Afghani yang sesuai dengan tuntutan ajaran Islam justru pemerintahan republik yang  di dalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat, dan kewajiban kepala negara untuk tunduk kepada undang-undang dasar negara.[17]


C.      PENUTUP
1.      Penutup
a.    Jamaluddin al-Afghani yang berada di Mesir tahun 1871-1879 yang berjasa dalam mengobarkan kesadaran nasional Mesir, mendorong dan menggugah rasa kebangsaan masyarakat Mesir. Atas usahanya pula pada tahun 1879 M dibentuk Partai Nasional (al-Hizb al-Wathani)yang  banyak memperjuangkan kemajuan masyarakat Mesir. Semboyan “Mesir Untuk Rakyat Mesir” ditanamkan pada jiwa rakyat Mesir yang sebelumnya belum pernah mereka dengar. Maka tidak aneh jika ada yang menganggap Jamaluddin al-Afghani sebagai bapak kebangsaan Mesir.
b.    Musthafa Kamil adalah seorang putra Mesir yang sangat mencintai tanah air dan bangsanya, dan seluruh masa hidupnya dihabiskan untuk memperjuangkan kemerdekaan negaranya dari belenggu penjajahan dan penindasan bangsa lain. Ia lahir di Kairo pada tanggal 1 Rajab 1291 H, bertepatan dengan tanggal 14 Agustus 1874 M. Ayahnya seorang ahli Ilmu Pasti. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan menengah pada tahun 1891 meneruskan belajar ke Fakultas Hukum Universitas Toulous Prancis dan menyelesaikan studi pada tahun 1894.
c.    Patriotisme  dianggap tidak bertentangan dengan Islam bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman, dan tidak ada ayat atau hadits Nabi Muhammad  SAW yang melarang orang Islam mencintai tanah airnya, tetapi pandangan nasionalisme atau qaumiyah mula-mula masih terjadi perbedaan pendapat.
2.   Saran
Penulis mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih disebabkan oleh kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu penulis mengharapkan kritik yang membangun untuk  perbaikan makalah ini pada masa yang akan datang. 


DAFTAR PUSTAKA

Goldschmidt, Arthur, Jr, A Concise History of The Middle East, Oxford:Westview Press, 1991.

Hourany, Albert, Arabic Thaugt in The Liberal Age, London:Oxford University Press, 1962.

Houtsma, M.Th, et.al, First Encyclopedia of  Islam IV, Laiden: E.J Brill, 1987.

Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta:UI Press, 1987.

-----------, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Gerakan, Jakarta:Bulan Bintang, 1975.

Stoddard,Lathrop, terj., Dunia Baru Islam, Jakarta,tt, 1966.






[1] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Gerakan, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), hal. 30.
[2] Ibid, hal. 31.
[3] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta:UI Press, 1987), hal. 15.
[4] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Gerakan, hal. 52.
[5] Arthur Goldschmidt Jr, A Concise History of The Middle East, (Oxford:Westview Press, 1991), hal. 222.
[6] Ibid, hal. 223.
[7] M.Th. Houtsma, et.al, First Encyclopedia of  Islam IV, (Laiden: E.J Brill, 1987), hal.  765.
[8] Albert Hourany, Arabic Thaugt in The Liberal Age, (London:Oxford University Press, 1962), hal. 241.
[9] Ibid, hal. 242
[10] Ibid.
[11] Lathrop Stoddard, terj., Dunia Baru Islam, (Jakarta,tt, 1966), hal. 156.
[12] M.Th. Houtsma, et.al, First Encyclopedia of  Islam IV, hal. 764.
[13] Ibid.
[14] Arthur Goldschmidt Jr, A Concise History of The Middle East, hal. 224.
[15] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Gerakan, hal. 33.
[16] Ibid, hal. 52.
[17] Ibid, hal. 56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar