MANAJEMEN PEMASARAN DAN
KEWIRAUSAHAAN
DALAM PENDIDIKAN
Oleh: Said Saleh
A.
PENDAHULUAN
Pemasaran
adalah salah satu kegiatan dalam perekonomian yang membantu dalam menciptakan
nilai ekonomi. Nilai ekonomi itu sendiri menentukan harga barang dan jasa.
Faktor penting dalam menciptakan nilai tersebut adalah produksi, pemasaran dan
konsumsi. Pemasaran menjadi penghubung antara kegiatan produksi dan konsumsi.
Banyak
ahli yang telah memberikan definisi atas pemasaran ini. Definisi yang diberikan
sering berbeda antara ahli yang satu dengan ahli yang lain. Perbedaan ini
disebabkan karena adanya perbedaan para ahli tersebut dalam memandang dan
meninjau pemasaran. Dalam kegiatan pemasaran ini, aktivitas pertukaran
merupakan hal sentral. Pertukaran merupakan kegiatan pemasaran di mana seseorang
berusaha menawarkan sejumlah barang atau jasa dengan sejumlah nilai keberbagai
macam kelompok sosial untuk memenuhi kebutuhannya. Pemasaran sebagai kegiatan
manusia diarahkan untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan melalui proses
pertukaran. Definisi pemasaran ini
bersandar pada konsep inti yang meliputi kebutuhan, keinginan, dan
permintaan. Manusia harus menemukan
kebutuhannya terlebih dahulu, sebelum ia memenuhinya. Usaha untuk memenuhi
kebutuhan tersebut dapat dilakukan dengan cara mengadakan suatu hubungan.
Dengan demikian pemasaran bisa juga diartikan suatu usaha untuk memuaskan
kebutuhan pembeli dan penjual.
Berdasarkan kenyataan yang ada, pendidikan kewirausahaan di Indonesia
masih kurang memperoleh perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia
pendidikan maupun masyarakat. Banyak pendidik yang kurang memperhatikan
penumbuhan karakter dan perilaku wirausaha peserta didik, baik di
sekolah-sekolah kejuruan, maupun di pendidikan profesional. Orientasi mereka,
pada umumnya hanya pada menyiapkan tenaga kerja. Untuk itu, perlu dicari
penyelesaiannya, bagaimana pendidikan dapat berperan untuk mengubah manusia
menjadi manusia yang memiliki karakter dan atau perilaku wirausaha. Untuk
mencapai hal tersebut bekal apa yang perlu diberikan kepada peserta didik agar
memiliki karakter dan atau perilaku
wirausaha yang tangguh, sehingga nantinya akan dapat menjadi manusia
yang jika bekerja di kantor akan menjadi tenaga kerja yang mandiri kerja dan
jika tidak bekerja di kantor akan menjadi manusia yang mampu menciptakan
lapangan pekerjaan minimal bagi dirinya sendiri.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktek
pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang
menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), pendidikan kewirausahaan juga
termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan
oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan
kewirausahaan di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan
norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan
nyata dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, berlakunya sistem
desentralisasi berpengaruh pada berbagai tatanan kehidupan, termasuk pada
manajemen pendidikan yaitu manajemen yang memberi kebebasan kepada pengelolaan
pendidikan. Adanya kebebasan dalam pengelolaan pendidikan diharapkan mampu
menemukan strategi pengelolaan pendidikan yang lebih baik, sehingga mampu
menghasilkan output pendidikan yang berkualitas baik dilihat dari kualitas
akademik maupun non akademik. Kualitas akademik yang dimaksud adalah kualitas
peserta didik yang terkait dengan bidang ilmu, sedangkan kualitas non akademik
berkaitan dengan kemandirian untuk mampu bekerja di kantor dan membuka usaha/lapangan
kerja sendiri. Dengan kata lain lulusan pendidikan diharapkan memiliki karakter
dan perilaku wirausaha yang tinggi.
B.
PEMBAHASAN
1.
Manajemen Pemasaran
a.
Pengertian Pemasaran
Pengertian pemasaran
menurut William Stanton adalah sebagai
berikut:
[S]uatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan
bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan
mendistribusikan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan, baik kepada pembeli
yang ada maupun pembeli potensial. Pengertian tersebut dapat memberikan gambaran
bahwa pemasaran sebagai suatu sistem dari kegiatan-kegiatan yang saling
berhubungan, ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan
mendistribusikan barang/jasa kepada pembeli secara individual maupun kelompok
pembeli. Kegiatan-kegiatan tersebut beroperasi dalam suatu lingkungan yang
dibatasi sumber-sumber dari perusahaan itu sendiri, peraturan-peraturan, maupun
konsekuensi sosial perusahaan.[1]
Pengertian pemasaran
menurut Kotler adalah sebagai berikut:
[P]emasaran adalah proses sosial dan manajerial
di mana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan
dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk dengan pihak lain.
Dalam hal ini pemasaran merupakan proses pertemuan antara individu dan kelompok
di mana masing-masing pihak ingin mendapatkan apa yang mereka butuhkan/inginkan
melalui tahap menciptakan, menawarkan, dan pertukaran.[2]
Definisi pemasaran
tersebut berdasarkan pada prinsip inti yang meliputi: kebutuhan (needs), produk (goods, services and idea), permintaan (demands), nilai, biaya, kepuasan, pertukaran, transaksi, hubungan,
dan jaringan, pasar, pemasar, serta prospek. Terdapat dua faktor yang
mempengaruhi cara dan keberhasilan perusahaan terhadap pemasarannya, yaitu; pertama, lingkungan eksternal sistem pemasaran.
Lingkungan ini tidak dapat dikendalikan perusahaan, misalnya kebebasan
masyarakat dalam menerima atau menolak produk perusahaan, politik dan peraturan
pemerintah, keadaan perekonomian, kependudukan serta munculnya pesaing; kedua, variabel internal sistem pemasaran. Variabel
ini dapat dikendalikan oleh perusahaan, terdiri atas dua kelompok, yaitu sumber
bukan pemasaran (kemampuan produksi, keuangan, dan personal) dan
komponen-komponen bauran pemasaran yang meliputi: produk, harga, promosi, dan
distribusi.[3]
b.
Konsep Pemasaran
Suatu
perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya harus
menjalankan konsep pemasaran agar keuntungan yang diharapkan dapat
terealisasi dengan baik. Ini menandakan bahwa kegiatan pemasaran dalam
perusahaan harus di koordinasi dan dikelola dengan cara yang lebih baik. Falsafah konsep pemasaran bertujuan untuk
memberikan kepuasan terhadap keinginan dan kebutuhan konsumen. Kegiatan
perusahaan yang berdasar pada konsep pemasaran ini harus diarahkan untuk
memenuhi tujuan perusahaan. Secara definisi dapat dikatakan bahwa konsep
pemasaran adalah falsafah bisnis yang menyatakan bahwa pemuasan kebutuhan
konsumen merupakan syarat ekonomis dan sosial bagi kelangsungan hidup
perusahaan. [4]
Dari
definisi tersebut, perusahaan memiliki konsekuensi seluruh kegiatan perusahaan
harus diarahkan untuk mengetahui kebutuhan konsumen dan mampu memberikan
kepuasan agar mendapat laba dalam jangka panjang. Organisasi perusahaan yang
menerapkan konsep pemasaran ini disebut organisasi pemasaran. Konsep pemasaran
juga menyatakan bahwa kunci untuk meraih tujuan organisasi adalah menjadi lebih
efektif daripada para pesaing dalam memadukan kegiatan pemasaran guna
menetapkan dan memuaskan kebutuhan pasar sasaran.[5]
Konsep
pemasaran ini bersandar pada empat pilar, yaitu : pasar sasaran, kebutuhan
pelanggan, pemasaran terpadu dan profitabilitas. Dewasa ini konsep pemasaran
mengalami perkembangan yang semakin maju sejalan dengan majunya masyarakat dan
teknologi. Perusahaan tidak lagi berorientasi hanya pada pembeli saja, akan
tetapi berorientasi pada masyarakat atau manusia. Konsep yang demikianlah yang
disebut dengan konsep pemasaran masyarakat. [6]
Selanjutnya
akan dibahas tiga faktor penting yang digunakan sebagai dasar dalam konsep
pemasaran:
1)
Orientasi konsumen
Pada
intinya, jika suatu perusahaan ingin menerapkan orientasi konsumen ini, maka:
a) Menentukan kebutuhan
pokok dari pembeli yang akan dilayani dan dipenuhi.
b) Memilih kelompok
pembeli tertentu sebagai sasaran dalam penjualan.
c) Menentukan produk dan
program pemasarannya.
d) Mengadakan penelitian
pada konsumen untuk mengukur, menilai dan menafsirkan keinginan, sikap serta
tingkah laku mereka.
e) Menentukan dan
melaksanakan strategi yang paling baik, apakah menitikberatkan pada mutu yang
tinggi, harga yang murah atau model yang menarik.[7]
2)
Koordinasi dan integrasi
dalam perusahaan
Untuk
memberikan kepuasan secara optimal kepada konsumen, semua elemen pemasaran yang
ada harus diintegrasikan. Hindari adanya pertentangan antara perusahaan dengan
pasarnya. Salah satu cara penyelesaian untuk mengatasi masalah koordinasi dan
integrasi ini dapat menggunakan satu orang yang mempunyai tanggung jawab
terhadap seluruh kegiatan pemasaran, yaitu manajer pemasaran. Jadi dapat
disimpulkan bahwa setiap orang dan bagian dalam perusahaan turut serta dalam
suatu upaya yang terkoordinir untuk memberikan kepuasan konsumen sehingga
tujuan perusahaan dapat tercapai.[8]
3)
Mendapatkan laba melalui
pemuasan konsumen
Salah satu
tujuan dari perusahaan adalah untuk mendapatkan profit atau laba. Dengan laba
tersebut perusahaan bisa tumbuh dan berkembang dengan kemampuan yang lebih
besar. Sebenarnya laba merupakan tujuan umum dari sebuah perusahaan. Banyak
perusahaan yang mempunyai tujuan lain di samping laba. Dengan menggunakan konsep
pemasaran ini, hubungan antara perusahaan dan konsumen akan dapat diperbaiki
yang pada akhirnya akan menguntungkan bagi perusahaan.[9]
c.
Perilaku Konsumen
Perilaku Konsumen adalah
kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan
menggunakan barang dan jasa termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan
pada persiapan dan penentuan kegiatan-kegiatan tersebut. Perilaku konsumen mempelajari di mana, dalam
kondisi macam apa, dan bagaimana kebiasaan seseorang membeli produk tertentu
dengan merk tertentu. Kesemuanya ini sangat membantu manajer pemasaran di dalam
menyusun kebijaksanaan pemasaran perusahaan. Proses pengambilan keputusan
pembelian suatu barang atau jasa akan melibatkan berbagai pihak, sesuai dengan
peran masing-masing. Peran yang dilakukan tersebut adalah; pertama, inisiator, adalah
individu yang mempunyai inisiatif pembelian barang tertentu; kedua, influencer, adalah individu yang
berpengaruh terhadap keputusan pembelian. Informasi mengenai kriteria yang
diberikan akan dipertimbangkan baik secara sengaja atau tidak; ketiga, decider, adalah yang memutuskan apakah akan
membeli atau tidak, apa yang akan dibeli, bagaimana membelinya; keempat, buyer, adalah individu yang melakukan
transaksi pembelian sesungguhnya; kelima,
user, yaitu individu yang mempergunakan produk atau jasa yang dibeli.[10]
Banyak faktor yang
mempengaruhi seseorang melakukan pembelian terhadap suatu produk. Manajemen
perlu mempelajari faktor-faktor tersebut agar program pemasarannya dapat lebih
berhasil. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah faktor ekonomi,
psikologis, sosiologis dan antropologis. Alasan mengapa seseorang membeli
produk tertentu atau alasan mengapa membeli pada penjual tertentu akan
merupakan faktor yang sangat penting bagi perusahaan dalam menentukan desain
produk, harga, saluran distribusi, dan program promosi yang efektif, serta
beberapa aspek lain dari program pemasaran perusahaan. Adapun beberapa teori
perilaku konsumen adalah sebagai berikut:pertama,
teori Ekonomi Mikro. Teori ini beranggapan bahwa setiap konsumen akan berusaha
memperoleh kepuasan maksimal. Mereka akan berupaya meneruskan pembeliannya
terhadap suatu produk apabila memperoleh kepuasan dari produk yang telah
dikonsumsinya, di mana kepuasan ini sebanding atau lebih besar dengan marginal
utility yang diturunkan dari pengeluaran yang sama untuk beberapa produk yang
lain; kedua, teori Psikologis. Teori
ini mendasarkan diri pada faktor-faktor psikologis individu yang dipengaruhi
oleh kekuatan-kekuatan lingkungan. Bidang psikologis ini sangat kompleks dalam
menganalisa perilaku konsumen, karena proses mental tidak dapat diamati secara
langsung; ketiga, teori Antropologis.
Teori ini juga menekankan perilaku pembelian dari suatu kelompok masyarakat
yang ruang lingkupnya sangat luas, seperti kebudayaan, kelas-kelas sosial dan
sebagainya.[11]
2.
Manajemen Kewirausahaan
a.
Pengertian Kewirausahaan
Kata entrepreneurship yang
dahulunya sering diterjemahkan dengan kata kewiraswastaan akhir-akhir ini
diterjemahkan dengan kata kewirausahaan. Entrepreneur
berasal dari bahasa Prancis yaitu entreprendre yang artinya memulai atau
melaksanakan. Wiraswasta/wirausaha berasal dari kata: wira: utama, gagah berani, luhur; swa: sendiri; sta:
berdiri; usaha: kegiatan produktif dari
asal kata tersebut, wiraswasta pada mulanya ditujukan pada orang-orang yang
dapat berdiri sendiri. Di Indonesia kata wiraswasta sering diartikan sebagai
orang-orang yang tidak bekerja pada sektor pemerintah yaitu; para pedagang,
pengusaha, dan orang-orang yang bekerja di perusahaan swasta, sedangkan
wirausahawan adalah orang-orang yang mempunyai usaha sendiri. Wirausahawan
adalah orang yang berani membuka kegiatan produktif yang mandiri.[12]
Hisrich,
Peters, dan Sheperd mendefinisikan bahwa kewirausahaan:
[K]ewirausahaan adalah
proses penciptaan sesuatu yang baru pada nilai menggunakan waktu dan upaya yang
diperlukan, menanggung risiko keuangan, fisik, serta risiko sosial yang
mengiringi, menerima imbalan moneter yang dihasilkan, serta kepuasan dan
kebebasan pribadi.[13]
Kewirausahaan
juga diungkapkan juga oleh Nasrullah Yusuf dapat didefinisikan sebagai berikut:
[K]ewirausahaan merupakan
pengambilan risiko untuk menjalankan usaha sendiri dengan memanfaatkan peluang-peluang untuk
menciptakan usaha baru atau dengan pendekatan yang inovatif sehingga usaha yang
dikelola berkembang menjadi besar dan mandiri dalam menghadapi tantangan-tantangan
persaingan.[14]
b.
Deskripsi
Pendidikan Kewirausahaan
Membangun semangat kewirausahaan dan
memperbanyak wirausahawan, Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor
4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan
Kewirausahaan. Instruksi ini mengamanatkan kepada seluruh masyarakat dan bangsa
Indonesia untuk mengembangkan program-program kewirausahaan. Pemerintah
menyadari betul bahwa dunia usaha merupakan tulang punggung perekonomian
nasional, sehingga harus diupayakan untuk ditingkatkan secara terus menerus.
Melalui gerakan ini diharapkan karakter kewirausahaan akan menjadi bagian dari
etos kerja masyarakat dan bangsa Indonesia, sehingga dapat melahirkan
wirausahawan-wirausahawan baru yang handal, tangguh, dan mandiri. Menurut
pendapat Suherman (2008), hal itu sangat penting mengingat bahwa sebenarnya
aktivitas kewirausahaan tidak hanya berada dalam tataran microeconomy. Hingga
saat ini upaya tersebut masih berlangsung, karena kegiatan yang bercirikan kewirausahaan
tidak hanya terbatas dalam bidang bisnis dengan tujuan mencari laba. Yang
membuat kewirausahaan menjadi menarik banyak pihak untuk memahaminya ialah kontribusi istimewa yang
dihadirkan oleh mereka yang melakukan tindakan yang terkait dengan
kewirausahaan.[15]
Misalnya,
Timons dan Spinelli membuat pengelompokan
yang diperlukan untuk:
[T]indakan kewirausahaan dalam enam (6) hal, yakni; pertama, commitment and
determination; kedua, leadership; ketiga,
obsession to the opportunity; keempat,
tolerance toward risks, ambiguity, and uncertainty; kelima, creativity, toughness,
and adaption; keenam, motivation for
achievement.[16]
Kewirausahaan merupakan suatu proses dinamis untuk
melakukan aktivitas ekonomi yang terencana dengan mempertimbangkan kekuatan dan
kelemahan dan peluang dan hambatan dalam melakukan suatu usaha yang bermanfaat
bagi kesejahteraan. Oleh karenanya makna penting yang terkandung dalam
kewirausahaan, menurut Kristanto, yaitu:”[i]lmu, seni, perilaku, sifat, ciri,
dan watak seseorang yang memiliki kemampuan dalam mewujudkan gagasan inovatif
ke dalam dunia nyata secara kreatif (create a new and different)”.
Jadi ada
tiga indikator utama dari kewirausahaan yaitu: berpikir sesuatu yang baru (kreatif), bertindak melakukan sesuatu
yang baru (inovatif), dan berkeinginan menciptakan
nilai tambah (value
added). Oleh
karena itu, seseorang yang disebut dengan “wirausahawan” mutlak harus memiliki
kemampuan untuk selalu berpikir sesuatu yang baru, bertindak melakukan sesuatu
yang baru, dan berkeinginan menciptakan nilai tambah. Pemerintah telah berupaya
untuk memasyarakatkan kewirausahaan, namun upaya tersebut belum membawa
pengaruh yang signifikan karena masih banyak penduduk yang tidak produktif
setiap tahun. Hal itu memunculkan pertanyaan, seberapa jauh keberhasilan
pelaksanaan Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan
yang telah dilakukan sejak tahun 1995 dan apa dampak dari program itu. Integrasi
pendidikan kewirausahaan yang dilakukan saat ini merupakan momentum untuk
revitalisasi kebijakan Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan,
mengingat jumlah terbesar pengangguran terbuka dari tamatan satuan pendidikan
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.[17]
c.
Pentingnya
Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat
saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan
kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik
mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari
30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan
sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah
berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.[18]
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam
lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung
pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter wirausaha peserta didik.
Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya
pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh
pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai
berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta
didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan
kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di
sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu
dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar, terutama pembentukan karakter
termasuk karakter wirausaha peserta didik sesuai
tujuan pendidikan dapat dicapai. Kegiatan ekstra kurikuler yang selama
ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk
pembinaan karakter termasuk karakter wirausaha dan peningkatan mutu akademik
peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar
mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan
kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus
diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan
dan berkewenangan di sekolah. Kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan
prestasi peserta didik. Di samping itu pendidikan kewirausahaan dapat juga
diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi
pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata
pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran yang berwawasan pendidikan
kewirausahaan tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi,
dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.[19]
d.
Pendidikan
Kewirausahaan di Lingkungan Sekolah
Pendidikan kewirausahaan, dilihat dari siapa yang
bertanggung jawab banyak pendapat mengatakan bahwa pendidikan kewirausahaan
menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah,
karena itu pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan kita terdiri atas tiga bagian.
Pertama, pendidikan informal (keluarga), formal (sekolah) dan nonformal
(masyarakat). Dilihat dari sasaran yang ingin dicapai, sasaran pendidikan kita
adalah pembentukan aspek kognitif (intelektual), afektif (sikap mental atau
moral) dan psikomotorik (skill/keterampilan). Pada umumnya sekolah sebagai
lembaga pendidikan dan merupakan pusat kegiatan belajar mengajar dijadikan tumpuan
dan harapan orang tua, keluarga, masyarakat, bahkan pemerintah. Karena itu, sekolah
senantiasa memberikan pelayanan pendidikan, pengajaran, dan pelatihan yang bersifat
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pembentukan sikap dan keterampilan bagi
peserta didik termasuk sikap mental wirausaha.[20]
Dalam praktek di sekolah, untuk menanamkan
nilai-nilai kewirausahaan pada peserta didik ada beberapa hal yang dapat
dilakukan antara lain:
1)
Pembenahan
dalam Kurikulum
Pembenahan kurikulum dalam rangka
menginternalisasikan nilai-nilai kewirausahaan yang mampu membentuk karakter
wirausaha pada peserta didik dapat dilakukan dengan cara melengkapi materi kurikulum
yang telah ada dengan bidang studi kewirausahaan khususnya di SMK, dan
mengintegrasikan nilai-nilai wirausaha ke dalam silabus dan RPP.[21]
2)
Meningkatkan
Peran Sekolah dalam Mempersiapkan Wirausaha.
Hakikat persiapan manusia wirausaha adalah dalam
segi penempaan karakter wirausaha. Dengan perkataan lain, persiapan manusia
wirausaha terletak pada penempaan semua daya kekuatan pribadi manusia itu untuk
menjadikannya dinamis dan kreatif, di samping mampu berusaha untuk hidup maju
dan berprestasi. Manusia yang semacam itu yang menunjukkan ciri-ciri wirausaha.
Salah satu ciri manusia wirausaha adalah memiliki ciri-ciri kepribadian yang
kuat. Untuk dapat menginternalisasikan nilai-nilai kewirausahaan pada diri
peserta didik diperlukan peran sekolah secara aktif. [22]
3)
Pembenahan
dalam Pengorganisasian Proses Pembelajaran
Pembelajaran di Indonesia telah mengalami berbagai
macam pembaharuan, termasuk juga dalam pengorganisasian pengalaman belajar
peserta didik. Agar peserta didik mengalami perkembangan pribadi yang integratif,
dinamis dan kreatif, ada pembenahan lebih lanjut dalam hal pengorganisasian
pengalaman belajar peserta didik. Pengorganisasian yang sudah ada biar
berlangsung terus, yang penting perlu dicari cara pengorganisasian lain untuk
menunjang proses pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik
untuk aktif belajar dari pengalaman hidup sehari-hari di dalam masyarakat.
Selain itu alternatif lain untuk mengembangkan organisasi pengalaman belajar
peserta didik adalah pelaksanaan pembelajaran yang berbasis unit produksi. [23]
4)
Pembenahan
Proses Kelompok
Hubungan pribadi antar peserta didik di dalam
kelas mempunyai pengaruh terhadap belajar mereka. Aktivitas belajar anak dapat
dipengaruhi oleh perasaannya tentang diri sendiri dalam hubungannya dengan
guru-guru serta teman-temannya. Proses-proses kelompok di kelas bukan hanya
mempengaruhi perasaan dan sikap para peserta didik, tetapi juga mempengaruhi
hasil belajar mereka. Hal ini guru dituntut untuk berusaha mengadakan
modifikasi-modifikasi terhadap proses-proses kelompok peserta didik di dalam
kelas agar tumbuh kembang nilai-nilai kewirausahaan pada diri peserta didik.[24]
5)
Pembenahan
pada Diri Guru
Sebelum guru melaksanakan pembelajaran di kelas
dengan mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan, terlebih dahulu guru juga
dilatih kewirausahaan terutama yang terkait dengan penanaman nilai-nilai dan keterampilan/skill wirausaha. Akan lebih baik lagi
jika guru juga memiliki pengalaman empiris di dalam mengelola bisnis usaha
Pendidikan kewirausahaan juga bisa dilaksanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler,
yang melatih peserta didik mengembangkan usaha yang terkait dengan bakat dan
minat peserta didik. Peran guru adalah mengomunikasikan potensi dan cita-cita
secara jelas sehingga dapat menginspirasi setiap peserta didik untuk dapat
melihat jiwa kewirausahaan dalam dirinya.[25]
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a. Pengertian
pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang
ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan
barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan, baik kepada pembeli yang ada maupun
pembeli potensial.
b. konsep pemasaran
adalah falsafah bisnis yang menyatakan bahwa pemuasan kebutuhan konsumen
merupakan syarat ekonomis dan sosial bagi kelangsungan hidup perusahaan.
c. Perilaku
Konsumen adalah kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam
mendapatkan dan menggunakan barang dan jasa termasuk di dalamnya proses
pengambilan keputusan pada persiapan dan penentuan kegiatan-kegiatan tersebut.
d. Kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang
baru pada nilai menggunakan waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung risiko
keuangan, fisik, serta risiko sosial yang mengiringi, menerima imbalan moneter
yang dihasilkan, serta kepuasan dan kebebasan pribadi.
e. Tindakan kewirausahaan dalam enam (6) hal, yakni; pertama, commitment and determination; kedua,
leadership; ketiga, obsession to
the opportunity; keempat, tolerance toward risks, ambiguity, and uncertainty;
kelima, creativity, toughness, and adaption;keenam, motivation for achievement.
2.
Saran
Penulis
mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih disebabkan oleh
kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu penulis
mengharapkan kritik yang membangun untuk
perbaikan makalah ini pada masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Hisrich, Robert D, Peters, Michael P., dan Sheperd, Dean A., Kewirausahaan, New York: McGraw-Hill,
Salemba Empat. 2008.
Kotler, Philip,
Marketing Management, The
Millenium Edition, New Jersey: Prentice Hall Inc, 2003.
Kementerian
Pendidikan Nasional, Konsep Dasar
Kewirausahaan, Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional RI, 2010.
------, Pengembangan Pendidikan Kewirausahan,
Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional RI, 2010.
Stanton,William, Fundamental of Marketing, Tokyo: Mc.
Graw-Hill Book, 1997.
Swastha Dh, Basu, Manajemen Pemasaran Modern, Edisi dua, Yogyakarta: Liberty, 2002.
Swastha Dh, Basu, dan Handoko, Hani, Manajemen Pemasaran Analisis Perilaku
Konsumen, Edisi tiga, Yogyakarta: Liberty, 1997.
Timmon, Jeffry, dan Spinelli, Stephen, New Venture Creation, Enterpreneurship for the
21st Century, New York:
Mgraw-Hill, 2007.
Yusuf, Nasrullah, Wirausaha dan Usaha Kecil, Jakarta: PTKPNF Depdiknas, 2006.
[1] William Stanton, Fundamental of Marketing, (Tokyo: Mc. Graw-Hill Book, 1997), hal.
97.
[2] Philip Kotler, Marketing Management, The Millenium Edition,
(New Jersey: Prentice Hall Inc, 2003), hal. 8.
[4] Ibid, hal. 24.
[6] Basu Swastha Dh,. Manajemen Pemasaran Modern, Edisi dua, hal. 53.
[7] Ibid., hal. 54.
[8] Ibid., hal. 55.
[9] Ibid.
[10] Basu Swastha Dh, dan Hani Handoko, Manajemen
Pemasaran Analisis Perilaku Konsumen, Edisi tiga, (Yogyakarta:
Liberty, 1997), hal. 127.
[11] Ibid, hal. 128
[12] Kementerian Pendidikan Nasional RI, Konsep
Dasar Kewirausahaan, (Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional RI, 2010), hal. 3.
[13] Robert D. Hisrich, Michael P. Peters, dan Dean A.
Sheperd, Kewirausahaan, (New York:
McGraw-Hill, Salemba Empat. 2008), hal. 10
[15] Kementerian Pendidikan Nasional RI, Pengembangan
Pendidikan Kewirausahan, (Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional RI, 2010), hal. 19.
[16] Jeffry
Timmon, dan Stephen Spinelli, New Venture Creation,
Enterpreneurship for the 21st Century, ( New York:Mgraw-Hill, 2007), hal. 07.
[18] Ibid., hal. 24.
[19] Ibid.
[20] Ibid., hal. 29.
[21] Ibid.
[22] Ibid
[23] Ibid., hal. 30.
[24] Ibid.
[25] Ibid., hal. 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar