TAKHRIJ HADITS
Oleh: Said Saleh
A. PENDAHULUAN
Wacana yang
paling fundamental dalam kajian hadis adalah persoalan otentisitas dan
reliabilitas metodologi otentifikasi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim
atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya
berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada
keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang digunakan dalam menentukan
originalitas hadis. Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah,
maka semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan kemungkinan
verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil tersebut bisa menjadi collapse.
Makalah ini
tidak bermaksud menggugat posisi hadis sebagai sumber otoritas Islam. Hadis
yang dianggap sebagai verbalisasi sunna oleh sebagian besar umat Islam terlalu
penting untuk diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis
bukan hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai
sumber informasi yang sangat berharga untuk memehami wahyu Allah. Ia juga
sebagai sumber sejarah masa awal Islam. Singkatnya, ada hadis hukum, hadis
tafsir dan hadis sebagai sumber sejarah dan moral. Dalam anatomi hukum Islam,
hadis merupakan salah satu kalau bukan yang terpenting sumber untuk
dikonsultasi.
Pertanyaannya
adalah: apakah sesungguhnya hadis itu. Benarkah hadis itu adalah ucapan verbal
nabi, tingkah laku nabi atau persepsi masyarakat Islam tentang nabi? Apakah
buku hadis yang kita warisi dari abad ketiga seperti Sahih Bukhari dan Muslim,
merupakan refleksi sunnah nabi. Apakah metodologi yang digunakan oleh Bukari dan
Muslim dan para mukharrij yang lain untuk menyeleksi hadis nabi sudah cukup
akurat sehingga semua hadis yang terdapat didalamnya dianggap sahih sehingga
kritik sejarah tidak perlu lagi dilakukan? Bagaimana dengan akurasi metode
kritik hadis (ulumul hadis)? Pertanyaan ini cukup intriguing dan mungkin
untuk kalangan tertentu dianggap profokatif.Tulisan ini mencoba mendiskusikan
secara terbuka persoalan tersebut diatas
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Kata takhrij
secara etimologis mempunyai arti: إجتماع أمرين
متضادين في شيئ واحد
[1], artinya: berhimpun dua hal yang
saling bertentangan dalam satu sesuatu. Di dalam kamus disebutkan: وعام فيه تخريج: خصب وجذب, artinya: dalam
satu tahun itu ada takhrij, yakni ada musim hujan dan kemarau. Kata ini kemudian dimaknai:
1) al-Istinbath / الإستنباط - mengambil simpul sesuatu.
2) al-Tadrib / التدريب
– pendidikan, pelatihan atau training – dimaknai: خِرِّج, artinya: “yang
dikeluarkan”.
Contoh dalam kalimat[2]:
وفلان خرّيخ فلان, إذا كان يتعلّم منه. كأنه هو الذي أخرجه
من حدّ الجهل
Artinya: Si Fulan khirrij fulan, jika Si
fulan belajar dari fulan. [Hal itu mengandung arti] seolah-olah Si Fulan
dikeluarkan fulan dari garis kebodohan.
3) al-Tawjih / التوجيه – mengarahkan atau
menjelaskan arah.
Para ahli hadis memaknai takhrij dengan:
a. Sinonim kata ikhraj,
yakni mengemukakan hadis kepada orang lain dengan menyebutkan sumbernya, yakni
orang-orang yang menjadi mata rantai hadis tersebut. Sebagai contoh: “Kharrajahu
al-Bukhariy”, artinya: al-Bukhari meriwayatkan hadis itu dengan menyebutkan
sumbernya.
b. Menampilkan hadis
dan/atau riwayat dari dalam pelbagai kitab
c. Menisbatkan hadis ke
dalam [kitab] sumber-sumber hadis, dengan menyebutkan nama penulisnya.
Mahmud al-Thahhan
memaknai takhrij dengan: menunjukkan materi hadis di dalam sumber-sumber
pokok yang dikemukakan berikut transmisinya, dan menjelaskan kualifikasinya
bila diperlukan. Bila merujuk pada pemaknaan yang disampaikan oleh para ahli
hadis, bolehlah didefinisikan secara sederhana bahwa takhrij adalah
kegiatan atau usaha mempertemukan matan hadis dengan sanadnya. Adapun terkait
dengan penjelasan kualifikasi hadis bukanlah tugas pokok kerja takhrij.
Kitab-kitab yang masuk
dalam kategori kitab sumber pokok hadis adalah:
a. Kitab-kitab karya
penulis yang mendapatkan hadis secara langsung dari para guru hadis dengan
transmisi mencapai Nabi saw. Seperti Kutub al-Sittah, al-Muwaththa’
Imam Malik, al-Musnad Imam Ahmad, Mustadrak al-Hakim, Mushannaf
Abd al-Razzaq, dlsb.
b. Kitab-kitab hadis
yang ditulis dengan merujuk lansung kepada kitab-kitab yang disebut pertama.
Misalnya al-Jam`u bayn al-Shahihayn karya al-Humaydiy. Selain itu karya
tulis hadis yang menghimpun ujung sebahagian kitab, seperti Tuhfat al-Asyraf
bi Ma`rifat al-Athraf karya al-Mizziy, atau merupakan ringkasan suatu kitab
hadis, sebagai misal Tahdzib Sunan Abi Dawud karya al-Mundziriy.
c. Kitab-kitab ragam
disiplin ilmu di luar hadis, seperti tafsir, fikih, tasawuf, kalam dan sejarah
yang menyandarkan argumentasinya kepada hadis.
2. Signifikansi dan
Urgensi Takhrij
Para ahli
ilmu keislaman memastikan bahwa siapa pun yang berkecimpung di arena ilmu
syariah mengetahui dan memelajari ilmu takhrij berikut tata aturan dan
metodenya adalah sebuah keniscayaan. Tujuannya sangat jelas, yakni agar ia
mengetahui apakah sebuah riwayat/informasi yang dijadikan landas pacu
argumentasi suatu pendapat atau sikap keagamaan tertentu benar-benar memiliki
sumber yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.
Sementara
itu, bagi para pihak pengkaji hadis dan ilmu-ilmu hadis, ilmu takhrij
merupakan kebutuhan yang bersifat dharuriy (primer). Melalui takhrij
dimungkinkan seorang pengkaji menemukan ragam hadis dengan muatannya yang
terdapat dalam berbagai buku sumber yang ditulis oleh para ahli pada masa-masa
awal Islam.
3. Sejarah Takhrij
dan Penulisan Kitab Takhrij
Para ahli dan peneliti keislaman
generasi pertama umat Islam pada mulanya tidak berpikir perlu membuat
prinsip-prinsip dasar dan tata aturan mengenai takhrij al-hadits (transfering
and transforming of hadith). Argumentasi yang mengalasi pendapat demikian,
sebagaimana yang dikemukakan Mahmud al-Thahhan, adalah faktor pengetahuan yang
ekstensif dan intensif (ithila` wasi`) yang dimiliki oleh para ahli
tersebut terhadap sumber-sumber al-Sunnah. Kemampuan dan pengetahuan
yang demikian luas itu memudahkan mereka dalam merujukkan setiap pendapat atau
sikap keagamaan tertentu yang membutuhkan alasan syar`i kepada
kitab-kitab hadis yang ada ketika itu, bahkan sampai pada tingkat yang paling
partikular (juz’iy) dan detil.
Kondisi
sebagaimana tersebut di atas berlangsung hingga beberapa kurun waktu. Tetapi
seiring perluasan wilayah teritorial umat Islam dengan segala asesoris
persoalan yang mengihiasinya, para ahli dan peneliti keislaman pada masa
berikutnya merasakan bahwa tingkat pengetahuan dan kemampuan mereka mengenai al-Sunnah
demikan tertelikung oleh rupa-rupa keterbatasan. Mencari sebuah komunike
profetik yang berasal atau diduga dari Nabi saw – pada masa berikutnya –
merupakan pekerjaan yang tidak mudah, bahkan melelahkan!. Sementara itu,
kebutuhan terhadap keputusan syariah mengenai suatu persoalan begitu sangat
mendesak, di samping terdapat banyak sekali karya ilmiah yang menjadikan hadis
sebagai asas argumentasinya – seperti: tafsir, sejarah, tasawuf, kalam, dan
fikih – tidak menjelaskan aspek otentisitas, orisinalitas dan kualitas hadis
yang dimaksud. Keadaan inilah yang akhirnya mendorong sebagian ulama hadis
mulai memikirkan sekaligus melakukan aneka tindakan ilmiah yang dipandang perlu
agar dapat segera lepas dari jerat situasi tersebut.
Usaha para
ulama hadis pada akhirnya menghasilkan aneka rumusan tentang prinsip-prinsip
dan tata aturan takhrij, yang secara generatif melahirkan berbagai macam
karya tulis yang kelak dinamai “Kutub al-Takhrij”, kitab-kitab yang
tidak hanya berhasil mengembalikan matan pada transmisinya, tetapi pula
menjelaskan aspek orisinalitas dan kualitas redaksional, bahkan bila dianggap
diperlukan menerangkan pula kualitas transmisinya.
Kitab-kitab
Takhrij generasi pertama, seperti yang dikemukakan oleh Mahmud al-Thahhan[3],
adalah kitab-kitab buah pena al-Khatib al-Baghdadiy [w. 463 H], di antaranya –
yang paling populer – yaitu: “Takhrij al-Fawa’id al-Muntakhabah al-Shihah wa
al-Ghara’ib” kerja pena al-Syarif
Abu al-Qasim al-Husayniy; “Takhrij al-Fawa’id al-Muntakhabah
al-Shihah wa al-Ghara’ib” buah karya Abu al-Qasim al-Mahrawaniy; dan karya
Muhammad Ibn Musa al-Hazimiy al-Syafi`iy “Takhrij Ahadits al-Muhadzdzab”
[w. 584 H]. Kitab “al-Muhadzdzab” sendiri adalah kitab fikih berhaluan Syafi`iyyah
yang ditulis oleh salah seorang ulama besar syafi`iyyah, yakni Abu Ishaq
al-Syayraziy. Setelah itu, penulisan kitab-kitab “takhrij” semakin
banyak dilakukan oleh para ulama yang jumlahnya mencapai puluhan.
Berikut
ini adalah kitab-kitab takhrij yang dipandang paling populer[4]:
a.
Takhrij Ahadits al-Muhadzdzab [Abu Ishaq al-Syayraziy], karya Muhammad
Ibn Musa al-Hazimiy (w. 584 H);
b.
Takhrij Ahadits al-Mukhtashar al-Kabir [Ibn al-Hajib], karya Muhammad
Ibn Ahmad Abd al-Hadiy al-Maqdisiy (w. 744);
c.
Nashb al-Rayah li Ahadits al-Hidayah [al-Marghighaniy], karya al-Hafizh Abd
Allah Ibn Yusuf al-Zayla`iy (w. 762 H). Kitab ini diringkas kembali oleh
al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalaniy dalam “al-Dirayah fi Muntakhab Ahadits
al-Hidayah;
d.
Takhrij Ahadits al-Kasyaf [al-`Allamah al-Zamakhsyariy], karya al-Zayla`iy.
Kitab ini kemudian diringkas dalam satu jilid berikut satu jilid “mustadrak”-nya
oleh al-Hafizh al-Kabir Syihab al-Din Abu al-Fadhl Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar
al-Asqalaniy dalam kitab “al-Kaf al-Syaf fi Tahrir Ahadits al-Kasyaf;
e.
Al-Badr al-Munir fi al-Takhrij al-Ahaditz wa
al-Atsar al-Waqi`ah fi al-Syarh al-Kabir [Abu al-Qasim Abd al-Karim Ibn Muhammad
al-Qazwayniy al-Rafi`iy al-Syafi`iy – w.623 H], karya Umar Ibn Ali Ibn al-Mulqan
(w. 804 H);
f.
Al-Mughniy `an Haml al-Ashfar fi al-Ashfar fi
Takhrij Ma fi al-Ihya’ min al-Akhbar [al-Ghazaliy], karya al-Hafizh Zayn al-Din Abd al-Rahim Ibn al-Husayn
al-Iraqiy (w. 806 H);
g.
Al-Takhrij al-Ahadits al-latiy Yusyiru Ilayha
al-Tirmidziy fi Kulli Bab, karya al-Iraqiy;
h.
Al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits Syarh
al-Wajiz al-Kabir
[al-Rafi`iy], karya al-Hafizh Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-Asqalaniy (w. 852 H).
Kitab al-Wajiz fi al-Furu` sendiri adalah buah pena Abu Hamid Muhammad
Ibn Muhammad al-Ghazaliy al-Syafi`iy [penulis kitab Ihya’ Ulum al-Din,
w. 505];
i.
Al-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, karya al-Asqalaniy; dan
j.
Tuhfat al-Rawiy fi Takhrij Ahadits al-Baydhawiy, karya Abd al-Rauf Ibn Ali al-Munawiy (w.
1031 H).
Al-Mubarakfuriy[5],
selain menyebutkan beberapa karya lainnya dalam bidang takhrij yang
ditulis oleh para ulama-ulama di atas, juga mencatat beberapa nama lain yang
melakukan kerja takhrij ini, mereka antara lain ialah:
a.
Ali Ibn Utsman Ibn Ibrahim al-Maradiniy `Ala’u
al-Din al-Turkamaniy [w. 705 H tanggal 10 Muharram], yang merupakan guru dari
al-Zayla`iy. Al-Turkamaniy adalah imam dalam kajian fikih, usul fikih
dan hadis yang memiliki banyak karya tulis, dua di antaranya “al-Muntakhab
fi al-Hadits” dan “Takhrij Ahadits al-Hidayah”;
b.
Ali Ibn Hasan Ibn Shadqah al-Mishriy al-Yamaniy,
karyanya “Idrak al-Haqiqah fi Takhrij Ahadits al-Thariqah” yang berhasil
diselesaikannya pada bulan Ramadhan
tahun 1050 H; dan
c.
Al-Syaykh Jala al-Din al-Suyuthiy, karyanya adalah
kitab-kitab “Takhrij Ahadits Syarh `Aqa’id al-Nasafiy”, “Manahil
al-Shafa fi Takhrij Ahadits al-Syafa”, dan “Nasyr al-`Abir fi Takhrij
Ahadits al-Syarh al-Kabir”.
4. Pendekatan dan
Metode Takhrij al-Hadits
Kerja takhrij yang dilakukan
oleh generasi pertama ahli hadis hingga akhir abad ketiga bukanlah pekerjaan
yang mudah dilakukan. Kerja ilmiah mereka lebih banyak dilakukan dengan
melakukan perjalanan sangat jauh ke wilayah-wilayah yang menjadi pusat-pusat
tutorial hadis, sekedar untuk mengkonfirmasi atau melakukan klarifikasi atas
suatu riwayat yang diterimanya[6].
Sementara itu buku-buku yang dapat dijadikan panduan takhrij belum
banyak ditulis. Generasi sekarang sesungguhnya
dapat lebih mudah melakukan kerja takhrij-nya, dan juga
penelitian hadis lainnya, yakni dengan merujuk kepada metode serta buku-buku
hadis yang telah disediakan oleh generasi awal Islam yang dibuat melalui proses
yang demikian panjang, sulit dan melelahkan. Bahkan kecanggihan teknologi lebih
memudahkan para pemula melakukan kerja takhrij dengan hanya menggunakan
keping CD atau membuka informasi di situs internet.
Hanya saja
secara konvensional para pengkaji dan peneliti hadis setelah abad keempat
Hijriah dalam melakukan kerja takhrij-nya dapat menggunakan beberapa
pendekatan manual di bawah ini:
a. Pendekatan
transmisional, melalui telaah akhir sanad (sahabat Nabi saw);
b. Pendekatan
redaksional, dengan melakukan pencermatan terhadap awal matan atau lafal
kalimat tertentu yang tidak populer di lingkungan masyarakat;
c. Pendekatan
kontekstual, yaitu dengan cara mengeksplorasi kandungan materi hadis; dan
d. Pendekatan
deskripsional, adalah dengan melihat tanda-tanda lahir yang mengemuka, baik
pada sanad maupun matan suatu hadis.
Pendekatan-pendekatan
di atas, pada tataran aplikasinya satu sama lain sesungguhnya saling melengkapi
dan menyempurnakan. Sebagai misal, pendekatan transmisi sangat mengandalkan
pada penyebutan nama sahabat nabi periwayat hadis; artinya bila di satu hadis
tidak disebutkan nama sahabat, maka pendekatan ini tidak dapat digunakan. Jalan
keluar yang dapat dilalui agar kerja takhrij tidak terhenti adalah
dengan beralih pendekatan, menggunakan pendekatan redaksional, misalnya.
Demikian seterusnya.
Selanjutnya
setiap pendekatan tersebut menuntut penggunaan metode tertentu sesuai dengan
tingkat kebutuhannya. Berikut ini adalah rinciannya:
a.
Takhrij dengan menggunakan pendekatan transmisional bertumpu pada metode musnady,
mu`jamy (syakhshiy) dan athrafy.
b.
Takhrij yang memanfaatkan pendekatan redaksional dan tema berpijak pada metode fihrisiy,
mu`jamiy (alfahzi)y, istikhrajiy, istidrakiy dan istiqra’iy
mawdhu`iy.
c.
Takhrij dengan pendekatan deskripsional menapakpijak pada metode metode
istiqra’iy isnadiy wa matniy (analisis transmisi dan analisis materi, isi
atau muatan).
a. Metode Musnadiy
Metode Musnadiy adalah sebuah metode takhrij yang
menjadikan kitab-kitab “musnad” (bentuk pluralnya: masanid)
sebagai pijakan sekaligus panduan dalam melakukan takhrij hadis.
Sementara itu, yang dimaksud kitab-kitab musnad adalah keseluruhan kitab
hadis yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat Nabi saw. Al-Kattaniy dalam “al-Risalah
al-Mustathrafah” menyebut sekitar delapan puluh dua kitab yang berbentuk musnad,
bahkan – menurutnya – masih banyak yang lainnya[7].
Penulis musnad
memiliki pendekatan dan warna yang berbeda dalam menulis kitabnya, yaitu:
1)
ada yang menulisnya dengan pendekatan urut-urutan
huruf alfabet (merupakan cara yang paling mudah dan memudahkan);
2)
ada yang menulisnya berdasarkan urutan waktu masuk
Islam, mulai dari Abu Bakr al-Shiddiq dan seterusnya;
3)
ada yang berdasarkan kabilah (kelompok);
4)
ada yang menulisnya berdasarkan pengelompokkan
wilayah negara/tempat asal; dan lain sebagainya.
Di bawah ini adalah beberapa
nama kitab musnad yang terkenal:
1)
Al-Musnad karya Ahmad Ibn Hanbal [penghulu Madzhab
Hanbaliy/Hanabilah, w. 241], merupakan kitab jenis musnad yang paling populer;
2)
Al-Musnad karya Abu Bakr Abd Allah Ibn al-Zubayr al-Humaydiy
[w. 219];
3)
Al-Musnad karya Abu Dawud Sulayman Ibn Dawud al-Thayalisiy
[w. 204];
4)
Al-Musnad karya Asad Ibn Musa al-Umawiy [w. 212 H];
5)
Al-Musnad Musaddad Ibn Musarhad al-Asdiy al-Bashriy [w.
228];
6)
Al-Musnad karya Abu Ya`la Ahmad Ibn Ali al-Mutsanna
al-Mawshuliy [w. 307];
7)
Al-Musnad karya Abd Ibn Humayd [w. 249].
Al-Musnad karya Imam Ahmad termasuk kitab musnad
yang memiliki cara yang kompleks dalam menampilkan hadis-hadisnya. Di dalam al-Musnad
karya Imam Ahmad, pertama-pertama ditulis seluruh hadis yang diriwayatkan oleh
sahabat-sahabat yang dinilai memiliki keunggulan dan keutamaan (afdhaliyat),
tetapi pada bagian lain kitabnya hadis ditulis diurut berdasarkan nama
wilayah/negeri/tempat asal sahabat, kemudian di tempat lainnya hadis diurut
berdasarkan nama kabilah sahabat.
b. Metode Mu`jamiy
Metode
Mu`jami ialah metode takhrij hadis yang mengandalkan buku-buku mu`jam
(buku hadis yang secara sistematis ditulis berdasarkan urut-urutan huruf
alfabet, bentuk jamaknya: ma`ajim) dalam melakukan kerja takhrij-nya.
Metode ini, sesuai dengan kebutuhannya,
dibagi menjadi dua yaitu: mu`jami syakhshiy dan mu`jami
alfazhiy.
Pertama, mu`jami
syakhshiy adalah metode takhrij yang secara aplikatif memanfaatkan
buku-buku hadis yang disusun berdasarkan nama-nama rawiy hadis. Berbeda
dengan musnad, maka metode mu`jami syakhshiy ini tidak dibatasi
dengan penyebutan nama sahabat Nabi saw saja, tetapi menjangkau siapa saja [berdasarkan
nama guru, wilayah/tempat asal, dan lain sebagainya] yang memungkinkan suatu
hadis dapat dikembalikan kepada jalur transmisi yang sebenarnya. Di antara
buku-buku mu`jam, berikut ini adalah di antaranya:
1) Al-Mu`jam al-Kabir, karya Abu al-Qasim Sulayman Ibn Ahmad
al-Thabraniy [w. 360 H). Kitab ini ditulis dalam bentuk musnad mu`jami
(alfabetis), dengan tidak menyertakan hadis-hadis Abu Hurayrah yang ditulisnya
secara terpisah. Kitab ini memuat sekitar enam puluh ribu hadis, dan merupakan
kitab mu`jam terbesar di dunia. Ketika dalam sebuah karya tulis disebut
“mu`jam”, maka yang dimaksud adalah kitab “Mu`jam al-Kabir” ini.
2) Al-Mu`jam
al-Awshath, karya
al-Thabraniy juga. Kitab ini ditulis secara alfabetis berdasarkan nama-nama
guru dari para penutur hadis. Di dalamnya dimuat lebih kurang dua ribu nama
guru hadis, bahkan ada yang menghitungnya sampai tiga ribu nama.
3) Al-Mu`jam
al-Shaghir, masih kerja
pena al-Thabraniy. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab al-Mu`jam
al-Awshath, di mana sekitar seribu nama guru hadis saja yang dimuat. Tidak
berhenti sampai pada pengurangan pencantuman nama-nama guru, dalam buku ini,
secara umum dari tiapa-tiap guru hadis hanya ditulis satu hadis saja.
4) Al-Mu`jam
al-Shahabah, karya Ahmad
Ibn Ali Ibn Lal al-Hamdaniy [w. 398 H).
5) Mu`jam al-Shahabah, buah kerja ilmiah Abu Ya`la Ahmad Ibn
Ali al-Mawshuliy [w. 307 H].
Kedua, mu`jamiy
alfazhiy ialah metode takhrij dibuat untuk menemutunjukkan suatu
hadis bersandar pada kata tertentu yang terdapat dalam sebuah hadis. Metode ini
menjadikan buku mu`jam alfazhiy sebagai landas pacunya. Al-Thahhan[8]
hanya menyebut satu kitab untuk membantu kerja takhrij model ini, yaitu
kitab “al-Mu`jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawiy”.
Buku
karya seorang sarjana Belanda, Dr. A.J.
Wensinck [w. 1939 M] adalah buku jenis mu`jam yang sangat populer. Mu`jam
karya A.J. Wensinck pertama kali terbit dalam bahasa Inggris, kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan dikoreksi oleh Dr. Muhammad Fuad Abd
al-Baqi. Edisi bahasa Arab pertama kali terbit pada 1933 M.
Kamus hadis
karya Wensinck menghimpun 14 kitab hadis yang termasyhur, yaitu; pertama,
Jami` al-Bukhari; kedua, Musnad Ahmad;
ketiga, Shahih Muslim;keempat, Musnad Abi Dawud al-Thayalisi; kelima,Sunan Abi
Dawud; keenam, Sunan al-Darimi; ketujuh, Jami` al-Turmudzi; kedelapan, Musnad Zaid Ibn Ali; kesembilan, Sunan
al-Nasa’i;kesepuluh, Sirah Ibn Hisyam;
kesebelas, Sunan Ibn Majah; keduabelas; Maghazi al-Waqidi; ketigabelas;Muwaththa`
Malik; keempatbelas, Thabaqat Ibn Saad.
Selain
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, orang yang juga mengomentari kamus hadis karya
Wensinck adalah Ahmad Muhammad Syakir dan Muhammad Rasyid Ridha. Mahmud
al-Thahhan berpendapat metode dan sistematika penulisan yang digunakan oleh
Wensinck – yakni dengan menggunakan pendekatan tematik – memberikan manfaat
lebih daripada model penyusunan kamus berdasarkan pengambilan kata awal
pada permulaan hadis, atau kata awal dan
kata kedua pada permulaan hadis. Sebab bagi orang yang tidak hafal kata awal
suatu hadis, pendekatan kedua dan ketiga ini dirasa menyulitkan.
Sistematika
penulisan “al-Mu`jam al-Mufahras” adalah sebagai berikut:
1) Penyebutan nomor bab
untuk kitab-kitab : Shahih al-Bukhari, Sunan Abi Dawud, Jami` al-Turmudzi,
Sunan Nasa’i, Sunan Ibn Majah, dan Sunan al-Darimi, setelah sebelumnya
menyebut nama kitab dengan menggunakan rumus tertentu, dan menyebut nomor urut
pada kitab yang bersangkutan sesuai dengan yang dilakukan penulisnya;
2) Penyebutan nomor hadis
untuk kitab-kitab : Shahih Muslim, Muwaththa` Malik, Musnad Zaid Ibn Ali, dan
Musnad Abi Dawud al-Thayalisi,
setelah sebelumnya disebutkan nama kitab yang bersangkutan;
3) Penyebutan nomor
halaman untuk kitab-kitab : Musnad Ibn Hanbal, Thabaqat Ibn Saad, Sirah Ibn
Hisyam, dan Maghazi al-Waqidi, setelah sebelumnya disebutkan nomor juz
[volume/jilid] kitab yang bersangkutan.
Mu`jam hadis karya Wensinck dalam edisi
bahasa Arab dikenal dengan nama Miftah Kunuz al-Sunnah. Di dalamnya
terdapat sekitar 33 rumus yang digunakan untuk merujukkan tema-tema hadis pada
kitab-kitab induknya.
c. Metode Athrafiy
Metode
Athrafiy yaitu sebuah metode takhrij hadis
yang menjadikan kitab-kitab athraf sebagai rujukkan dalam melakukan
kerjanya. Al-Athraf adalah model tashnif yang dilakukan oleh para
penulis hadis dengan cara menuliskan permulaan suatu matan hadis
tertentu. Kemudian disebutkan sandaran [sanad]-nya atau menisbatkannya
kepada kitab-kitab tertentu yang menjadi referensinya[9].
Penyebutan sanad
dilakukan dengan menggunakan dua pola : pertama, pola kompleks [menyebut
seluruh rawi yang terdapat pada sanad lengkap dengan
simbol-simbol periwayatan yang digunakannya]; dan kedua, pola sederhana
[hanya dengan menyebutkan nama guru penulis kitab]. Sistematika penulisan kitab
athraf, pada umumnya, menggunakan pola musnad sahabat secara
alfabetis. Pola ini secara sistematik akan memulai penulisannya dengan
menuliskan hadis-hadis yang berasal dari sahabat nabi yang namanya diawali
huruf ‘alif’, demikian seterusnya.
Di samping
itu, meskipun sedikit yang melakukannya, ada penulis yang menyusun athraf-nya
dengan mencatat awal matan suatu hadis yang ditulisnya secara alfabetis.
Sekedar menyebut di antaranya, kitab ‘Athraf al-Ghara`ib wa al-afrad’,
karya al-Daruquthniy, dan kitab ‘Al-Kasyaf fi Ma`rifah al-Athraf’, karya
al-Hafizh Muhammad Ibn Husainiy, adalah
contoh penulisan athraf yang menggunakan pola kedua ini.
Berdasarkan
hasil telaah yang seksama, pola kedua adalah pola yang paling baik. Di samping
memberikan banyak kemanfaatan sekaligus kemudahan bagi para pembaca dan
pembelajar hadis. Pola kedua ini memungkinkan para pembaca dapat dengan segera
mengingat kembali materi hadis yang telah hilang dari memorinya. Sedangkan bagi
para peneliti hadis, pola kedua ini memudahkannya dalam melakukan komparasi matan.
Kitab yang ditulis dengan menggunakan model athraf sangatlah banyak. Di
antara kitab-kitab tersebut yang terpopuler adalah:
1)
Athraf al-Shahihain, karya Abu Mas`ud Ibrahim Ibn Muhammad al-Dimasyqi [w.
401 H], dan kitab dengan judul yang sama karya Abu Muhammad Khalf Ibn Muhammad
al-Washiti [w. 401 H].
2)
Al-Asyraf `Ala Ma`rifah al-Athraf, karya al-Hafizh Abul Qasim Ali Ibn al-Hasan Ibn Asakir
[w. 547 H]. Memuat athraf untuk hadis-hadis yang terdapat dalam kitab
sunan Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa`i, dan Ibn Majah.
3)
Tuhfah al-Asyraf bi Ma`rifah al-Athraf, karya al-Hafizh Abu al-Hajjaj Yusuf Abdurrahman
al-Mizzi [w. 742 H]. Memuat athraf untuk hadis-hadis yang terdapat dalam
kitab al-Sittah.
4)
Ittihaf al-Mahrah bi Athraf al-`Asyrah, karya al-Hafizh Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-Asqalani [w.
852 H].
5)
Athraf al-Masanid al-`Asyrah, karya Abul Abbas Ahmad Ibn Muhammad al-Bushiri [w. 840
H].
6)
Dzakha`ir al-Mawarits fi al-Dilalah `Ala Mawadhi`
al-Hadits, karya Abdul
Ghani al-Nabilisi [w. 1143 H].
Kitab Athraf menempati posisi penting baik dalam pembelajaran hadis
maupun dalam disiplin ilmu hadis. Di antara kegunaannya adalah:
1)
Mengetahui sejumlah sanad hadis yang berbeda pada satu kasus yang sama,
dan dengan demikian akan dapat segera diketahui mengenai kedudukan suatu hadis
dilihat dari kuantitas sanad-nya;
2)
Mengetahui mukharrij hadis yang menjadi
penulis kitab yang dirujuk oleh penyusun athraf; dan
3) Mengetahui jumlah relatif hadis yang diriwayatkan
oleh masing-masing sahabat nabi berdasarkan hadis yang ditulis oleh penyusun athraf
yang bersangkutan.
Perlu dicatat di sini, kitab athraf tidak ‘berkemampuan’ memberikan matan yang sempurna, sebagaimana ia pun tidak dapat memberikan esensi lafal hadis yang sejatinya tertulis dalam kitab-kitab yang dirujuknya. Kitab Athraf hanya memberikan makna yang termanifestasikan dari hadis yang diambil oleh penulisnya dari kitab-kitab asalnya. Oleh karena itu, untuk kebutuhan studi (penelitian} matan hadis, tetap harus membuka dan membedah kitab-kitab yang menjadi rujukkannya.
d. Metode Fihrisiy
Metode
Fihrisiy adalah metode takhrij di mana
kitab-kitab fihrasat (indeks) hadis dijadikan dasar pijakkan dalam melakukan
penelusuran sumber suatu hadis. Buku indeks hadis biasanya membatasi diri hanya
menulis hadis-hadis hasil karya penulis kitab hadis tertentu. Misalnya,
Muhammad Fuad Abd al-Baqiy menulis buku indeks hadis-hadis yang terdapat pada
kitab al-Sunan karya Ibn Majah, demikian seterusnya.
Muatan pada
kita-kitab fihrasat tidak selalu sama. Sebagai misal, Muhammad al-Tuqadhiy
menyusun Miftah al-Shahihayn dengan hanya menulis hadis-hadis qawliyah
(ucapan, statement) saja, sementara hadis fi`liyah (perbuatan,
tindakan) dan taqririyah (persetujuan) tidak ditulis. Sementara itu,
Ahmad al-Ghumariy al-Maghribiy menulis buku Miftah al-Tartib li Ahadits
Tarikh al-Khathib dengan memuat baik hadis qawliyah maupun fi`liyah.
Meskipun penulisannya sama-sama menggunakan model athraf secara
alfabetis, namun sistematika yang digunakan oleh para penulis tidak sama. Contoh
sistematika al-Tuqadhiy:
Pertama-pertama
ditulis penggalan pertama matan hadis (athrafiy), lalu di depan
penggalan matan tadi disebutkan judul kitab dan nomor bab di mana hadis
itu dicatat (dalam al-shahihayn). Sementara di belakang penggalan matan
ditulis nomor juz/jilid/volume dan nomor halaman, serta ditulis pula
nomor juz dan nomor halaman kitab syarah al-shahihayn (yakni
al-Qasthalaniy, al-Asqalaniy dan al-`Ayniy) di mana hadis yang dimaksud
dikomentari. Gambaran dalam bentuk tabel:
Nama Kitab
|
Nomor Bab
|
Matan Hadis
|
Pengarang
|
Kitab Syarah
|
||||||
Apa ?
|
Berapa ?
|
Bagaimana ?
|
Bukhari
|
`Ayniy
|
`Asqalaniy
|
Qasthalaniy
|
||||
juz
|
hal
|
juz
|
hal
|
juz
|
hal
|
juz
|
hal
|
|||
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
?
|
Contoh sistematika
al-Ghumariy:
Untuk
hadis-hadis qawliyah, pertama-tama disebutkan penggalan pertama matan
hadis (athrafiy), kemudian di depan penggalan matan tersebut ditulis
nomor juz/jilid dan nomor halaman. Sementara untuk hadis-hadis fi`liyah,
disusun berdasarkan nama sahabat secara alfabetis, yakni: pertama-tama ditulis
nama sahabat, lalu di depannya disebutkan tema yang berkaitan dengan hadis
(yang dimuat), kemudian di depan tema hadis ditulis nomor juz/jilid dan
nomor halaman.
Kitab
indeks hadis banyak ditulis oleh para ulama hadis, di bawah ini adalah beberapa
di antaranya:
1) Miftah
al-Shahihayn, kerja
ilmiah Muhammad al-Syarif Ibn Mushthafa al-Tuqadhiy. Kitab ini berhasil
diselesaikannya pada tahun 1312 H.
2) Miftah al-Tartib li Ahadits Tarikh al-Khathib, buah pena
al-Sayid Ahmad Ibn al-Sayid Muhammad Ibn al-Sayid al-Shiddiq al-Ghumariy
al-Maghribiy. Kitab ini berisi 4504 hadis.
3) Al-Bughyah fi
Tartib Ahadits al-Hilyah,
karya al-Ghumariy. Kitab ini merupakan buku indeks hadis-hadis yang terdapat
pada kitab “Hilyat al-Awliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’”, karya Abu Nu`aym
al-Ashbahaniy [w. 430 H].
4) Fihris li Ahadits
Shahih Muslim al-Qawliyah, buah karya Dr. Muhammad Fuad Abd al-Baqiy. Selain menulis indeks hadis
Muslim, Abd al-Baqiy juga menulis indeks hadis-hadis dalam al-Muwaththa’
Imam Malik dan Sunan Ibn Majah,
e. Metode Istikhrajiy
Metode
Istikhrajiy adalah sebuah metode takhrij hadis
yang populer pada paruh kedua abad keempat hingga memasuki pertengahan paruh
kedua abad kelima Hijrah. Mekanisme kerja metode ini adalah dengan menarik
keluar hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab hadis tertentu, kemudian
hadis-hadis tadi dibuatkan transmisi baru melalui orang yang menarik keluar
hadis itu dengan mengabaikan keberadaan peran penulis kitab. Pada titik
tertentu transmisi baru itu akan bertemu kembali dengan transmisi asal matan
hadis tersebut; bisa pada guru si penulis kitab atau pada rawiy
setelahnya. Metode ini paling tidak dapat mendeskripsikan jalur-jalur lain dari
suatu matan hadis untuk memperkuat keberadaannya. Proses kreatif ini
menghasilkan banyak karya tulis yang kelak dikenal dengan istilah “al-mustakhraj”,
bentuk pluralnya: “al-Mustakhrajat”.
Kitab-kitab “al-mustakhrajat”
dapat dikatakan sebagai anak kitab dari kitab-kitab yang ditarik hadis-hadisnya. Oleh karena itu,
sistematika dan corak kitab jenis ini sama dengan kitab induknya; baik dalam
susunan kitab dan bab, tata letak maupun kategorisasi hadisnya. Tetapi perlu
dicatat bahwa pola seperti tadi hanya pada kitab-kitab “al-mustakhrajat”
atas kitab berjenis “jami’”, sebab mustakhraj atas kitab-kitab “sunan”
dan yang lainnya disusun berbeda dari kitab induknya. Berikut ini adalah
kitab-kitab berjenis “mustakhrajat”, antara lain:
1) Al-Mustakhraj `ala
al-Shahihayn:
a) karya Abu Nu`aym
al-Ashbahaniy [w. 430 H].
b) karya Ibn al-Akhram
[w. 344 H].
c) karya Abu Bakr
al-Barqaniy [w. 425].
2) Al-Mustakhraj `ala
al-Jami` li al-Bukhariy:
a) karya al-Isma`iliy
[w. 371 H].
b) karya al-Ghathrifiy
[w. 377 H].
c) karya Ibn Abi Dzuhl
[w. 378 H[.
3) Al-Mustakhraj `ala
al-Shahih li Muslim:
a) karya Abu `Awanah
al-Asfarayayniy [w. 310 H].
b) karya al-Hayiriy [w.
311 H].
c) karya Abu Hamid
al-Harawiy [w. 425 H].
4)Al-Mustakhraj `ala
Sunan Abi Dawud, karya
Qasim Ibn Ashbagh.
5) Al-Mustakhraj `ala
Kitab all-Tawhid li Ibn Khuzaymah, hasil kerja Abu Nu`aym al-Ashbahaniy.
f. Metode Istidrakiy
Metode
Istidrakiy adalah metode takhrij yang dalam
pelaksanaannya mempertautkan matan-matan hadis yang diabaikan oleh
penulis sebelumnya – disengaja maupun tidak. Mekanismenya adalah dengan cara
menisbahkan hadis-hadis yang diabaikan tadi kepada kitab hadis hasil karya
penulis tertentu. Pengguna metode ini dalam menetapkan validitas suatu hadis
menggunakan kriteria sebagaimana yang ditetapkan oleh penulis tertentu tadi.
Produk
dari metode ini adalah kitab-kitab “al-mustadrak” (bentuk pluralnya: “al-Mustadrakat”).
Al-Mustadrak adalah karya kreatifitas ulama hadis pada periode keenam
(yang dimulai pada abad keempat Hijrah). Kitab jenis ini berjasa paling tidak
dalam tiga hal, yaitu:
1)
menampilkan ragam hadis yang – secara sengaja
maupun tidak – diabaikan oleh para penulis kitab sebelumnya;
2)
menampakkan adanya penuturan yang berbeda terhadap
matan hadis tertentu; dan
3) menunjukkan transmisi hadis tertentu yang secara
subyektif dinilai sahih oleh penulis mustadrak.
Kitab jenis
mustadrak yang paling populer – meskipun banyak mendapat kritik dari
para pembelajar hadis – adalah al-Mustadrak `ala al-Shahihayn
karya Imam al-Hakim (w. 405 H)[10],
selain karya al-Hafizh Abd Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Malikiy yang lebih dikenal
dengan Abu Dzar al-Harawiy (w. 434 H)[11].
g. Metode
Istiqra’iy Mawdhu`iy
Metode
Istiqra’iy Mawdhu`iy yakni metode takhrij melalui
pencermatan secara eksploratif dan integratif terhadap klausul dan makna intrinsik
suatu hadis. Kemudian – setelah berhasil ditarik simpul-simpul maknanya – hadis
tersebut dirujukkan kepada kitab-kitab hadis yang dinilai memiliki kapasitas
maksimal dalam membahas berbagai persoalan; atau kitab-kitab yang secara
spesifik membahas satu persoalan tertentu.
Kitab-kitab
yang dapat dirujuk untuk kepentingan kerja takhrij model ini, di
antaranya adalah: kitab-kitab berkategori: al-jawami` (bentuk
tunggalnya: jami`), al-sunan, al-mustakhrajat `ala al-jawami`,
al-mustadrakat `ala al-jawami`, al-majami`, al-zawa’id, al-mushannafat,
al-muwaththa’at, al-ajza’ (mufrad-nya: juz’iy), dan
al-targhib wa al-tarhib.
h. Metode Istiqra’iy
Isnadiy wa Matniy
Metode
Istiqra’iy Isnadiy wa Matniy ialah metode takhrij melalui pengamatan dan
pencermatan terhadap tanda-tanda lahir yang terdapat pada suatu hadis, baik
pada sanad (transmisi) maupun pada matan (pesan, informasi atau
komunike)-nya. Kemudian – setelah berhasil mengidentifikasi tanda-tanda
tersebut – dilakukan konfirmasi kepada kitab-kitab yang menurut pen-takhrij dapat
memberikan kepastian mengenai status hadis yang dimaksud.
Sebagai
misal bila terjadi pada matan, ketika berdasarkan pengamatan tertangkap
adanya tanda-tanda kepalsuan pada suatu matan hadis – gaya tuturnya
rancu, maknanya rusak, atau menyelisihi
ayat Alquran yang telah demikian jelas, dlsb – maka pen-takhrij
mesti merujukkan hadis tersebut kepada kitab-kitab yang secara ekslusif menulis
hadis-hadis palsu, dan demikian seterusnya.
Contoh lain
bila terjadi pada sanad, jika didapati dalam sebuah transmisi seorang
ayah meriwayatkan hadis dari anaknya, maka untuk memastikan benar dan tidaknya
riwayat tersebut adalah dengan merujuk pada
salah satunya kitab “Riwayat
al-Aba’ `an al-Ibna’i”, dan demikian seterusnya.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
a.
Kata takhrij secara etimologis mempunyai
arti: إجتماع أمرين
متضادين في شيئ واحد, artinya: berhimpun dua hal yang saling
bertentangan dalam satu sesuatu. Di dalam kamus disebutkan: وعام فيه تخريج: خصب وجذب,
artinya: dalam satu tahun itu ada takhrij, yakni ada musim hujan dan kemarau.
b.
Ilmu takhrij merupakan kebutuhan yang
bersifat dharuriy (primer). Melalui takhrij dimungkinkan seorang
pengkaji menemukan ragam hadis dengan muatannya yang terdapat dalam berbagai
buku sumber yang ditulis oleh para ahli pada masa-masa awal Islam.
c. Hanya saja secara konvensional para pengkaji dan
peneliti hadis setelah abad keempat Hijriah dalam melakukan kerja takhrij-nya
dengan menggunakan pendekatan manual,
yaitu; pertama, Pendekatan transmisional, melalui telaah akhir sanad;
kedua, pendekatan redaksional dengan melakukan pencermatan terhadap awal
matan; ketiga, pendekatan kontekstual, yaitu dengan cara
mengeksplorasi kandungan materi hadis; keempat, pendekatan
deskripsional, adalah dengan melihat tanda-tanda lahir yang mengemuka, baik
pada sanad maupun matan suatu hadis.
d. Metode Takhrij Hadits, yaitu: pertama, Metode
Musnadiy; kedua, Metode Mu`jami; ketiga, Metode Athrafiy; keempat,
Metode Fihrisiy; kelima, Metode Istikhrajiy; keenam, Metode
Istiqra’iy Mawdhu`iy; ketujuh, Metode Istiqra’iy Isnadiy wa Matniy; kedepalan,
Metode Istidrakiy.
2. Saran
Penulis mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih
disebabkan oleh kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu
penulis mengharapkan kritik yang membangun untuk perbaikan makalah ini pada masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mubarakfuriy, al-Imam al-Hafizh Abu al-Aliy Muhammad Ibn Abd al-Rahman
Ibn Abd al-Rahim, Muqaddimah Tuhfat al-Ahwadziyli Syarh Jami` al-Tirmidzi,
Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Ibn Faris Ibn Zakariya, Abu
al-Husayn Ibn Ahmad, Mu`jam al-Maqayis fi al-Lughah, Cet. I,
Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/1994 M.
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Riyadh
Arab Saudi:Maktabah al-Rasyid, 1983.
Shubhi Shalih, Ulum
al-Hadits wa Mushthalahuh, Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1988.
[1]Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat
al-Asanid, (Riyadh
Arab Saudi:Maktabah al-Rasyid, 1983), hal. 9.
[2] Ibn Faris Ibn Zakariya, Abu al-Husayn Ibn
Ahmad, Mu`jam al-Maqayis fi al-Lughah, Cet. I, (Beirut: Dar al-Fikr,
1415 H/1994 M.), hal. 313.
[3] Ibid, hal. 16.
[4] Al-Mubarakfuriy,
al-Imam al-Hafizh Abu al-Aliy Muhammad Ibn Abd al-Rahman Ibn Abd al-Rahim, Muqaddimah
Tuhfat al-Ahwadziyli Syarh Jami` al-Tirmidzi, (Beirut:
Dar al-Fikr, tt), hal. 279-287.
[5] Ibid, hal. 281-286.
[6] Perjalanan Imam al-Syafi`i ke Bashrah
untuk mengklarifikas
[7]Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa
Dirasat al-Asanid, hal. 40.
[8] Ibid , hal. 91-105
[9] Al-Mubarakfuriy, Muqaddimah Tuhfat
al-Ahwadziyli Syarh Jami` al-Tirmidzi, hal. 71.
[10] Shubhi Shalih, Ulum
al-Hadits wa Mushthalahuh, (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1988), hal.
124.
[11] Al-Mubarakfuriy, Muqaddimah Tuhfat
al-Ahwadziyli Syarh Jami` al-Tirmidzi, hal. 94-95.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar