PERKEMBANGAN
KEILMUAN ISLAM DI INDONESIA
Oleh: Said Saleh
A. PENDAHULUAN
Islam
merupakan suatu agama suci yang lahir di tengah-tengah kegersangan kehidupan
moral umat manusia. agama ini membawa kedamaian bagi para pemeluknya, jika
mereka mau mengamalkan ajaran Islam secara murni dan konsekuen, khususnya umat
manusia yang bertujuan ingin terbebas dari berbagai kesengsaraan kehidupan
duniawi dan ukhrawi. Mereka dianjurkan untuk selalu teguh pada agama dan
keyakinan yang benar. Sejak kelahiran, agama Islam selalu disebarkan dengan
cara-cara damai. Jika terjadi pertempuran, hal itu hanya merupakan upaya
pertahanan diri dari berbagai kemungkinan serangan yang akan menghancurkan
Islam itu sendiri, yang datang dari kelompok orang yang tidak senang terhadap
agama Islam. Karena kata dasar Islam itu sendiri mempunyai makna kedamaian.
Sepeninggal
Rasulullah SAW, agama Islam terus disebarkan oleh umat Islam, baik melalui
cara-cara perkawinan, pendidikan atau melalui cara perdagangan yang dibawa oleh para saudagar muslim ke
berbagai penjuru. Para penguasa muslim juga tidak ketinggalan, mereka membantu
para dai untuk menyebarkan agama Islam ke segenap lapisan masyarakat, dengan
tanpa paksaan. Ketika kekuasaan umat Islam telah menyebar ke berbagai belahan
dunia, banyak masyarakat setempat yang dengan sukarela memeluk agama Islam.
Karena mereka mengetahui, bahwa di dalam ajaran agama itu tidak ditemukan
adanya perbedaan kelas sosial ekonomi. Semua memiliki hak yang sama, tidak ada
perbedaan antara umat manusia, yang ada hanyalah perbedaan tingkat ketakwaan
kepada Allah SWT. Agama Islam menyebar ke India, kemudian ke daerah sekitarnya,
seperti Gujarat, yang terus menyebar ke Indonesia dan Malaka, Johor, kemudian
ke Thailand, Philipina, Jepang, Korea, Cina dan wilayah Asia lainnya, secara
damai tidak dipaksakan, apalagi dengan cara-cara kekerasan.
Penyebaran
tersebut sebagian besar dilakukan oleh para saudagar Islam, yang menjajakan
barang dagangan mereka ke negeri tersebut, sambil menyebarkan dalam
mengembangkan ajaran Islam. Apalagi mereka singgah di suatu tempat atau suatu
negeri, para saudagar di samping menjajakan barang dagangan, mereka juga tidak
lupa menyebarkan Islam pada masyarakat dan para penguasa setempat. Di samping
itu, karena kebanyakan saudagar tersebut tidak membawa istri, banyak di antara mereka yang mengawani
wanita-wanita setempat. Perkawinan itu menghasilkan sekelompok masyarakat
muslim baru, yang kemudian ikut andil
dalam menyebarkan Islam. Selain itu, sekap toleransi juga merupakan cara dakwah
yang baik.[1]
Menurut M.C. Ricklefs bahwa penetapan pertama
Islam dan orang-orang muslim di Indonesia adalah bahwa pertama mereka berada di
bagian Utara pulau Sumatra ketika Marcopolo melihat mereka sewaktu ia kembali
dari perjalanan dari negeri Cina tahun 1292 M ketika ia mendapatkan Perlak
sebagai kota orang-orang Islam, sedangkan dua daerah yang terdekat dengannya
yaitu Basma Dan Samara bukan Islam. Keduanya biasanya disebut bersama-sama
dengan daerah Islam Pasai.[2]
Saudagar
tersebut berinteraksi/bergaul dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan
tersebut dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Selanjutnya di antara
pedagang tersebut ada yang terus menetap, atau mendirikan perkampungan, seperti
pedagang Gujarat mendirikan perkampungan Pekojan. Dengan adanya perkampungan
pedagang, maka interaksi semakin sering bahkan ada yang sampai menikah dengan
wanita Indonesia, sehingga proses penyebaran Islam semakin cepat berkembang. Perkembangan
Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaliqh yang menyebarkan
Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren.
Pondok pesantren adalah tempat para pemuda
dari berbagai daerah dan kalangan masyarakat menimba ilmu agama Islam. Setelah
tammat dari pondok tersebut, maka para pemuda menjadi juru dakwah untuk
menyebarkan Islam di daerahnya masing-masing. Di samping penyebaran Islam
melalui saluran yang telah dijelaskan di atas, Islam juga disebarkan melalui
kesenian, misalnya melalui pertunjukkan seni gamelan ataupun wayang kulit.
Dengan demikian Islam semakin cepat berkembang dan mudah diterima oleh rakyat Indonesia.
B. PEMBAHASAN
1. Perkembangan Ilmu
Fiqih
Dalam
sejarah Islam di Indonesia, gagasan purifikasi pernah menjadi agenda penting
dari kelompok Islam modernis. Gerakan ini memfokuskan untuk menghilangkan
seluruh budaya masyarakat yang dianggap mengandung unsur takhayul, bid’ah dan
khurafat. Model purifikasi ini berusaha untuk melenyapkan keberadaan budaya
lokal yang sudah turun-temurun yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Akan
tetapi, titik tolak dari apa yang dinamakan ajaran Islam dikembalikan pada
konsep yang ada pada zaman Nabi. Hal ini kemudian berimplikasi pada pelenyapan
seluruh tradisi masyarakat Indonesia dan pengukuhan tradisi Arab yang dianggap sebagai
tradisi Islam. Gagasan tersebut pada masa sekarang kembali muncul dari gerakan fundamentalis
yang tumbuh subur di Indonesia. Mereka berusaha menerapkan syari’ah Islam dan
ajaran Islam secara kaffah. Sebagaimana para pendahulunya, titik tolak dari apa
yang disebut ajaran Islam, dikembalikan pada konsep yang ada pada zaman Nabi.
Fenomena ini menumbuhkan berbagai implikasi dari perilaku mereka dalam
bermasyarakat. Dalam hal busana misalnya, mereka berusaha mencontoh Nabi dengan
menggunakan jubah ala Arab. Kemudian mereka juga memelihara jenggot, bercadar, menggunakan
tema-tema Arab sebagai pengganti dari tema lokal dan lain sebagainya. Dengan
munculnya fenomena ini, tentunya eksistensi budaya lokal menjadi terpinggirkan.
Gerakan modernisme berusaha menghilangkan budaya selamatan, musik gamelan dan
banyak tradisi lokal yang dianggap berbau Hindu dan kejawen. Gerakan Islam
fundamentalis berusaha menghilangkan seluruh budaya lokal dan menggantinya
dengan sistem ajaran Islam model Arab masa Nabi.[3]
Munculnya fenomena di atas memunculkan
kegelisahan dari beberapa pemikir di Indonesia. Gagasan-gagasan untuk membentuk
karakter hukum Islam yang bersifat lokal tergagas dalam pemikiran para
intelektual muslim. Hasbi as-Shiddiqy misalnya yang pernah mencoba
mengintrodusir gagasan fiqh Indonesianya. Dalam hal ini Hasbi ash-Shiddiqy terpengaruh
oleh adanya konsep fiqh Hijaz, fiqh Mesir dan fiqh - fiqh lokal lainnya yang
muncul di beberapa negara muslim. Keprihatinan Hasbi as-Shiddiqy juga terkait
dengan ketidakmampuan ulama Indonesia untuk berijtihad sesuai dengan
kepribadian Indonesia, sehingga sering kali mengaplikasikan fiqh Mesir atau
fiqh Hijaz di masyarakat atas dasar taklid.[4]
Lebih lanjut, dengan kelemahan ulama Indonesia yang tidak mampu melahirkan fiqh
yang berkepribadian Indonesia dan menyadari ketidakmungkinan akan munculnya
pemikiran progresif dari kalangan ulama konservatif, Hasbi kemudian mengajak
elemen Perguruan Tinggi Indonesia untuk mencetak kader-kader mujtahid yang akan
meneruskan proyek fiqh Indonesia.[5]
Salah satu yang menarik untuk dicermati,
bahwa untuk membentuk fiqh Indonesia, Hasbi as-Shiddiqy menekankan pentingnya
kesadaran dan kearifan untuk melakukan refleksi historis atas pemikiran hukum
Islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif ini mengajarkan bahwa hukum
Islam baru bisa berjalan dengan baik jika ia sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakat, yakni hukum yang dibentuk oleh kesadaran lingkungan, atau dengan kebudayaan
dan tradisi setempat. Dalam hal inilah Hasbi as-Shiddiqy mengkonsepsikan bahwa
mempertimbangkan kehadiran tradisi (adat, ‘urf) setempat sebagai acuan
pembentukan sebuah format hukum Islam baru menjadi satu keniscayaan.[6]
Konsepsi ini dilandasi oleh pemikiran
egalitarianisme Islam yang berkonsekuensi bahwa semua ‘urf dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum.
Dengan demikian hal ini menafikan ‘urf dari masyarakat Arab saja yang bisa
menjadikan podasi dalam perumusan hukum. Bagi Hasbi as-Shiddiqy, semua ‘urf
selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam dan dalam batas-batas
tertentu dapat diterima sebagai sumber hukum Islam.[7]
Selain itu, Abdurrahman Wahid juga mengonsepkan adanya pribumisasi Islam.
Pribumisasi Islam dimaknai sebagai upaya untuk mengokohkan kembali akar budaya
kita, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Dalam
pemikirannya, Wahid mencoba memosisikan Islam dan budaya lain dalam posisi
dialogis. Dalam hal ini Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa antara Islam dan
paham pemikiran lain atau budaya lain berlangsung proses saling mengambil dan
saling belajar. Konsekuensi logis dari keterbukaan seperti ini adalah keharusan
untuk mendudukkan Islam hanya sebagai faktor penghubung antara berbagai budaya
lokal. Dalam melayani semua budaya lokal itu (akan) menumbuhkan universalitas
pandangan baru tanpa tercabut dari akar kesejarahan masing-masing.[8]
Dengan dasar demikian, Abdurrahman Wahid menolak gerakan “Islamisasi”, dan “Arabisasi”
atau “formalisasi ajaran Islam dalam ranah budaya”. Sejak awal, Abdurrahman
tidak menjadikan Islam sebagai alternatif. Konsekuensinya, segenap ajaran agama
yang telah diserap oleh kultur lokal tetap dipertahankan dalam bingkai
lokalitas tersebut. [9]
Dari kedua gagasan tersebut, paling tidak
dapat ditarik dua paradigma penting hukum Islam yang harus diambil dalam proses
membentuk hukum Islam khas Indonesia, yaitu; pertama, kontekstual. Yakni
Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan dimensi zaman dan tempat.
Konsekuensinya, perubahan zaman dan tempat menjadi meniscayakan untuk melakukan
penafsiran dan ijtihad. Dengan kemampuan melakukan adaptasi inilah sesungguhnya
Islam bisa benar-benar salih li kulli zaman wa makan; kedua,
menghargai tradisi lokal. Karakter ini dibangun dari kenyataan sejarah bahwa
Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi masyarakat pra-Islam. Bahkan dalam
faktanya, Islam telah mengadopsi tradisi-tradisi lokal yang berkembang di
masyarakat Arab. Dengan demikian, Islam memosisikan tradisi lokal bukan dalam
posisi obyek yang harus ditaklukkan, tetapi Islam memosisikannya dalam dimensi
dialogis
Kedua hal tersebut, dalam kenyataannya sering
kali dilupakan. Implikasinya, hukum Islam masa Nabi Muhammad SAW dipahami
sebagai konstruksi hukum yang datang dari langit dan terlepas dari konteks
sosiokultural yang ada di masyarakat Arab. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam zaman
Nabi Muhammad SAW dipahami sebagai citra ideal yang harus diaplikasikan di
seluruh kondisi zaman dan tempat. Sebagai misal adalah terkait dengan jilbab di
Indonesia. Dalam penggunaannya, apa yang dimaksud dengan jilbab sering kali
dipahami sebagai apa yang digunakan oleh masyarakat Arab. Hal ini tentunya
kurang tepat karena jilbab bagi masyarakat Indonesia seharusnya disesuaikan dengan
kondisi, situasi dan budaya Indonesia. Setiap daerah di Indonesia mempunyai
kebiasaan yang berbeda dalam berpakaian. Di samping itu, mereka juga mempunyai
pakaian tradisional tersendiri, seperti kebaya yang banyak digunakan oleh
masyarakat Jawa dan baju kurung yang ada di Minang. Kalau dilihat, karakter
pakaian tersebut hampir mirip dengan jilbab gaya Arab. Bedanya hanya berkaitan
dengan masalah penutup kepala. Hal ini dapat dimengerti, berkaitan dengan
karakter masyarakat Indonesia yang memandang daerah kepala sebagai bagian yang biasa
nampak. Hal tersebut tentunya sangat berlainan dengan keadaan di daerah lain, khususnya
Jazirah Arab. Perbedaan inilah yang seharusnya menjadikan dasar untuk merumuskan
hukum, sesuai dengan kaidah “al-hukm yadur ma’al ‘illat wujudan wa ‘adaman”.
2. Perkembangan Teologi
Secara historis, teologi islam yang di
Barat dikenal dengan istilah teologi bermula sebagai sebuah advokasi keagamaan
terhadap ketimpangan sosial (teologi sebagai sebuah axiologi/Theology as
Axiology) yang berkembang pada masanya. Untuk kepentingan ini, doktrin keagamaan
diinterpretasikan secara rasional, sehingga dapat dijadikan argumen teologis
untuk membacking pemikiran/gagasan/idea yang substansinya menentang ketimpangan
sosial yang sedang terjadi. Terhadap masalah ini, Philip Bob Cock menyatakan Theology
is (A) Rational interpretation of religious faith, practice, and exercise (teologi
yaitu upaya memahami keyakinan, perbuatan, dan pengalaman keagamaan secara
rasional).[10]
Belakangan, teologi berkembang menjadi
sebuah metodologi (Theology as Method). Sebagai sebuah
metodologi/pendekatan, teologi merupakan salah satu di antara beberapa
pendekatan yang telah digunakan oleh para ahli sains masa lalu. Di dalam
perkembangannya, pendekatan ini juga digunakan oleh para ahli keislaman. Seorang
pakar yang banyak mengkaji Perbandingan Agama menyatakan bahwa Theological method
must always be a secondary matter for comparative theology, subsidiary to
converse interpretations of the specific symbols of a particular religious
tradition. It is helpful, therefore, to reflect on what kind of general
theological method may be contemporary comparative theologians despite
otherwise sharp differences among them.[11]
Pada masa-masa berikutnya, barulah teologi
berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu (Theology as Science). Sebagai
sebuah disiplin ilmu, di dunia islam, teologi islam17 berkembang sejak Abu Hasyim
dan kawannya Imam al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiah, para tokoh Mu’tazilah.
Adapun orang pertama yang membentangkan pemikiran ilmu kalam secara lebih baik
lewat logikanya yaitu Imam al-Asy’ari, seorang tokoh teologi Suni, dengan karya
yang terkenal al-Maqalat, juga al-Ibanah ‘an ushul al-diyanah.
Teologi ini selain mempunyai obyek kajian tersendiri, yaitu membicarakan ketuhanan
dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya, maksudnya keyakinan kebenaran keagamaan
islam; ilmu ini juga telah tersusun dengan baik/tersistematisasikan di dalam
membahas obyek kajian itu; dan mempunyai metodologi tersendiri yaitu dialog
ilmiah keagamaan, serta dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan salah satu dari
tiga unsur keimanan seorang Muslim, yaitu dalam aspek nuthqun bi al-lisan.[12]
Berkenaan dengan itu, di dunia Barat seorang teolog, menyatakan
bahwa di dalam teologi berkembang istilah Teologica Systematika. Teologi
ini menguraikan tentang dogmatika, etika, dan filsafat agama. Ada juga istilah Teologia
Historica. Teologi ini menguraikan tentang kitab suci, sejarah Gereja,
sejarah dogma, dan sejarah agama. Juga ada istilah Teologia Practica.
Teologi ini menguraikan tentang homeletik, katechetik, dan liturgi. Pada
akhir-akhir ini teologi islam, telah berusaha menjadi sebuah advokasi bagi
permasalahan sosial, atau teologi menjadi sebuah axiologi. Hal ini tampak
dengan berkembangnya istilah-istilah seperti teologi feminisme, teologi gender,
teologi kemiskinan, teologi kaum tertindas, teologi transformatif, teologi
pembebasan, dan berbagai macam istilah lagi. Semua peristilahan itu pada dasarnya
merupakan sebuah kajian ilmiah yang di dalamnya berbicara mengenai ayat-ayat Al-Qur’an
dan sunah Rasul-Nya sebagai sumber primer keagamaan islam yang secara tematik mengadvokasi hal-hal yang berkait dengan
ketimpangan sosial.[13]
3. Perkembangan Tasawuf
Menelusuri mewabahnya aliran ini di
Indonesia, maka hal ini tidak lepas dari pada peran andil orang-orang yang
melakukan studi (belajar) ke negara Timur tengah. Lebih khusus lagi adalah Arab
Saudi yang pada waktu itu belum diwarnai dengan gerakan tajdid (pembaharuan)
yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ( Beliau lahir pada tahun
1115 H / 1695 M dan meninggal pada tahun 1206 H / 1786 M). Di antara para
pelopor berkembangnya aliran tasawuf di Indonesia, sebagaimana yang disebutkan
di beberapa literatur di antaranya adalah : Nuruddin Ar-Raniri ( wafat tahun
1658 M ), Abdur Rouf as-Sinkili (1615 -1693 M ), Muhammad Yusuf al-Makkasary (
1629-1699 M). Mereka belajar di kota
Makkah dan melakukan kontak keilmuan dengan para syaikh dari mancanegara yang
bermukim di kota Makkah. Di antara para syaikh itu adalah Ahmad al-Quraisy,
Ibrohim al-Kuroni dan Muhammad al-Barzanji. Abdurrouf as-Sinkili setelah
belajar beberapa lama kemudian diangkat sebagai khalifah Tarekat Syatariyah
oleh Muhammad Al-Quraisy. Dirinya kembali ke Aceh setelah gurunya meninggal. Keberadaannya
di tanah Aceh cukup dipandang oleh para penduduk bahkan dijadikan sebagai
panutan di masyarakat, bermodal kepercayaan yang telah diberikan masyarakat
kepadanya serta kegigihan murid-muridnya, maka dengan mudahnya ia berhasil
mengembangkan ajaran Thariqot Sufiyahnya dengan perkembangan yang sangat pesat
hingga paham itu tersebar sampai ke Minangkabau (Sumatra Barat). Salah satu
murid Abdur Rouf as-Sinkili yang berhasil menyebarkan paham ini adalah
Burhanuddin. [14]
Setelah meninggal kuburan Burhanuddin ini
menjadi pusat ziarah di mana para penziarah itu melakukan praktek peribadatan
yang aneh. Timbulnya aliran yang aneh ini menimbulkan pertentangan yang tajam,
terutama setelah beberapa orang yang datang dari Arab Saudi yang pada waktu itu
sudah terwarnai dengan aliran pembaharuan (Ahlusunnah wal jama'ah) yang
dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Pertentangan ini berlanjut yang
pada akhirnya pecah perang Padri. Demikianlah jejak pemahaman yang ditinggalkan
oleh as-Sangkili yang berkembang pesat di tanah Minang yang terkenal dengan
religiusnya itu.. as-Sankili meninggal dan dikuburkan di Kuala, mulut sungai
Kapuas. Tempat tersebut kini menjadi tempat ziarah yang banyak dikunjungi
banyak orang. Sedang Muhamad Yusuf al-Makasary setelah bertemu dengan gurunya
yakni Syaikh Abu Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Kholwati al-Khurosy as-Syami
ad-Dimasqy, kemudian diberi otoritas untuk menjadi kholifah bagi aliran
Thariqot Kholwatiyah dan diberi gelar dengan Taj al-Kholwati ( Mahkota Kholwati
). Setelah kembali ke Aceh ia pun mulai mengembangkan paham Kholwatiyah di
tanah Rencong ini.[15]
Adapun Nuruddin Muhammad bin Ali bin
Muhammad ar-Raniri masuk ke tanah Aceh pada masa kekuasaan Sultan Iskandar
Muda. Pada masa itu yang berperan sebagai mufti Kerajaan adalah Syamsudi As-
Sumatrani, putra kelahiran Aceh yang diberi gelar ulama' dan berpemahaman Sufi
Wujudiyah. Dikarenakan kedudukan yang disandangnya cukup strategis, maka dengan
mudah ia mengembangkan paham yang dianutnya itu. Syamsudin ini bekerja sama
dengan Hamzah Fansuri, seorang ulama yang banyak mengekspresikan pemahamannya
melalui keindahan kata (prosa). Dan dari beberapa catatan literatur diperoleh
informasi, bahwa orang-orang Indonesia dan Melayu yang studi di Timur Tengah,
kemudian pulang ke Nusantara dan menyebarkan ajaran tasawuf (tarekat) masih
banyak lagi. Ada beberapa nama yang perlu di sebutkan di sini mengingat
keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di Indonesia yang hingga sekarang
ajarannya masih berujud. Mereka adalah Abdus Shomad al-Palimbani dan Muhammad
Arsyad al-Banjari (1710/1812 M). Nama terakhir ini termasuk yang mampu merombak
wajah Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan. Bahkan karya bukunya yang banyak
dikaji di beberapa wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, Sabil al-Muhtadiin,
kini diabadikan sebagai nama masjid besar di Kota Banjar Masin.[16]
Abdus Shomad al-Palimbangi, dan Muhammad
Arsyad al-Banjary serta dua rekan mereka, Abdul Wahab (Sulsel) dan Abdurrahman
(Jakarta) merupakan orang-orang Tarekat yang berguru kepada Syaikh Muhammad As
Saman, selain itu tersebut pula nama-nama lainnya sepeti Nawawi al-Bantani (
1230 -1314 M ), Ahmad Khotib as-Sambasi, Abdul Karim al Bantani, Ahmad Rifa'I
Kalisasak, Junaid al-Batawy, Ahmad Nahrowi al- Banyumasi ( wafat 1928 M ),
Muhammad Mahfudz at-Termasi ( 1842- 1929 M ), Hasan Musthofa al-Garuti (
1852-1930 M )dan masih banyak lagi yang lainnya. Sebagian besar dari mereka
pulang kembali dan menyebarkan ajarannya di Indonesia .namun demikian, tidak
semua orang yang belajar di tanah Arab kembali dengan membawa ajaran baru atau
terperangkap dalam pemahaman tasawuf, Ahmad bin Khotib bin Abdul Latief al-Minangkabawi
( 1816-1916 M ) adalah salah satu contohnya. Beliau inilah yang mula-mula
berani menyatakan pendiriannya membatalkan amalan-amalan ahli tarekat, terutama
sekali tarekat Naqsabandiyah yang selalu menghadirkan Syaikhnya dalam ingatan
saat ber "Tawwajjuh". Syaikh Ahmad bin Khotib memfatwakan kepada umat
untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar menurut Al-Qur'an dan As- Sunnah
serta menghindarkan diri dari perbuatan syirik dan mengharamkan penghadiran
guru ketika beribadah sebagaimana yang telah banyak dilakukan oleh para
penganut tarekat Naqsabandiyah.[17]
Pendapat yang berkembang di kalangan Ahlu
Tarekat, dewasa ini di Indonesia berkembang dua macam kelompok tarekat, yaitu
tarekat mu'tabarah dan ghairu mu'tabarah. Beberapa kelompok yang tergolong
mu'tabarah seperti; Qodariyah, Naqsyabandiyah, Tijaniyah, Syathariyah,
Syadzaliyah, Khalidiyah, Samaniyah dan Alawiyah. Dari sekian banyak Thariqot
mu'tabarah (berdasarkan muktamar NU di Pekalongan tahun 1950, dinyatakan 30
macam Thariqot yang di nilai mu'tabarah ), Thariqot Naqsabandiyah - Qodariyah
merupakan yang terbesar. Tarekat Qodariyah Naqsyabandiyah cukup meluas
perkembangannya. Di Jawa Barat salah satu pusat penyebaran adalah di pesantren
Suryalaya, Tasikmalaya, yang kini dipimpin Kiai Shahibul Wafa' Tajul Arifin
alias Abah Anom. Berdasar silsilah, keberadaan Tarekat Qodariyah-Naqsabandiyah
di Pesantren Suralaya, berasal dari Mursyid Ahmad Khatib As-Sambasi. Mursyid
satu ini memiliki tiga orang murid yang bernama Syaikh Abdul Karim Al-Bantani,
Syaikh Khalil Bangkalan dan Syaikh Thalhah dari kali sapu, Cirebon, dari Syaikh
Thalhah inilah Abah Sepuh ( ayah Abah Anom) menerima estafet Tarekat
Qodariyah-Naqsabandiyah dan dari Abah Sepuh lantas di turunkan kepada putranya,
Abah Anom hingg sekarang.[18]
Selain ragam tarekat yang telah disebutkan
di muka, masih banyak lagi bentuk-bentuk tarekat yang kini berkembang di Indonesia.
Di Jawa barat berkembang Tarekat Idrisiyah, Qodaryah-Idrisiyah, Syathariyah,
Syathariyah-Muhammadiyah, Tarekat Lahir Bathin dan Tarekat Tijaniyah. Nama
Tarekat terakhir ini salah satu pusat penyebarannya adalah di Cirebon adapun di
Sumatera Selatan berkembang Tarekat Shalawah. Di Jambi selain Naqsyabandiyah
juga berkembang Tarekat Mufaridiyah. Sedang di Kalimantan Selatan berkembang
Tarekat Qadariyah-Nadsabandiyah serta di Sulsel Tarekat Khalwatiyah Saman.[19]
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Salah satu yang
menarik untuk dicermati, bahwa untuk membentuk fiqh Indonesia, Hasbi
as-Shiddiqy menekankan pentingnya kesadaran dan kearifan untuk melakukan
refleksi historis atas pemikiran hukum Islam pada masa awal perkembangannya.
Perspektif ini mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa berjalan dengan baik
jika ia sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, yakni hukum yang dibentuk
oleh kesadaran lingkungan, atau dengan kebudayaan dan tradisi setempat.
b. Secara historis,
teologi islam yang di Barat dikenal dengan istilah teologi bermula sebagai
sebuah advokasi keagamaan terhadap ketimpangan sosial yang berkembang pada
masanya. Untuk kepentingan ini, doktrin keagamaan diinterpretasikan secara
rasional, sehingga dapat dijadikan argumen teologis untuk membacking
pemikiran/gagasan/idea yang substansinya menentang ketimpangan sosial yang
sedang terjadi.
c. Menelusuri mewabahnya
aliran ini di Indonesia, maka hal ini tidak lepas dari pada peran andil
orang-orang yang melakukan studi (belajar) ke negara Timur tengah. Di antara
para pelopor berkembangnya aliran tasawuf di Indonesia, sebagaimana yang
disebutkan di beberapa literatur di antaranya adalah Nuruddin ar-Raniri (wafat
tahun 1658 M), Abdur Rouf as-Sinkili (1615-1693 M), Muhammad Yusuf al-Makkasary
( 1629-1699 M).
2. Saran
Penulis mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih
disebabkan oleh kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu
penulis mengharapkan kritik yang membangun untuk perbaikan makalah ini pada masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aydrus, Muhammad Hasan, Penyebaran
Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Lantera, 1997.
Abu Umar, Umar bin
Mahmud, Al Jihad wal Ijtihad, Cet
Pertama, tt, M, Darul Bayariq, 1999.
Al-‘Ibr, Abd Lathif Muhammad, al-Ushul
al-Fikriyah Li Madzhab Ahl al-Sunnah Cet.X, Mesir: Dar al-Nahdlah al-‘Arabiyyah, 1975.
Ash-Shiddiqy, Hasbi, Syariat
Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
Azhari Muntaha, dan Saleh, Abdul
Mun’im, Islam Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989.
Baso, Ahmad NU Studies, Pergolakan Pemikiran
Antara Fundamentalisme Islam Dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Jakarta:
Erlangga 2006.
Coch, Bob, et.al,. Webster’s Third New International Dictionary of the
English Language. New York: Macmillan, 1987.
Departemen Agama, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Depag RI, 2002.
Eliade, Mircea et.al., The Encyclopedia of Religion. Vol.13&14,
tt:tt, 1987.
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar
Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LKiS, 2005.
Jaiz, Hartono Ahmad, Tasawwuf
Belitan Iblis, Cet. Ke-3,tt: Darul Falah, 2001.
Hadikusuma,
Hilman, Antropologi Agama,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.
Koran Republika, Nomor 110 thn ke-928, April 2001.
Nasri, Imron, ed.al., Pluralisme dan
Liberalisme Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah, Yogyakarta: Citra
Karsa Mandiri, 2005.
Shiddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia:
Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
[1] Departemen Agama, Sejarah Kebudayaan
Islam, (Jakarta: Depag RI, 2002), hal.133-134.
[2] Muhammad Hasan Al-Aydrus, Penyebaran
Islam di Asia Tenggara,( Jakarta: Lantera, 1997), hal. 43.
[3]Imron Nasri, ed.al., Pluralisme
dan Liberalisme Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah, (Yogyakarta:
Citra Karsa Mandiri, 2005), hal. 162-163.
[4] Hasbi Ash-Shiddiqy, Syariat Islam Menjawab Tantangan
Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), hal. 43.
[5]Mahsun Fuad, Hukum
Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,
(Yogyakarta: LKiS, 2005), hal. 67.
[6] Hasbi Ash-Shiddiqy, Syariat Islam
Menjawab Tantangan Zaman, hal. 42.
[7]Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh
Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997),hal. 122.
[9] Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan Pemikiran
Antara Fundamentalisme Islam Dan Fundamentalisme Neo-Liberal, (Jakarta:
Erlangga 2006), hal. 283.
[10] Bob Coch et.al.,. Webster’s Third New
International Dictionary of the English Language. (New York:
Macmillan,1987), hal. 2371.
[11] Mircea Eliade et.al., The Encyclopedia
of Religion. Vol.13&14, (tt:tt, 1987), hal. 452.
[12] Abd Lathif Muhammad Al-‘Ibr,
al-Ushul al-Fikriyah Li Madzhab Ahl al-Sunnah Cet.X, (Mesir: Dar al-Nahdlah al-‘Arabiyyah, 1975),
hal. 46-47.
[13]
Hilman
Hadikusuma, Antropologi Agama,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal.10.
[14] Koran Republika, Nomor 110 thn ke-928,
April 2001.
[15] Hartono
Ahmad Jaiz, Tasawwuf Belitan Iblis, Cet. Ke-3, (tt: Darul Falah, 2001),
h.17.
[16] Umar
bin Mahmud Abu Umar, Al Jihad wal
Ijtihad, Cet Pertama, (tt, M, Darul Bayariq, 1999), hal. 67.
[17] Hartono
Ahmad Jaiz, Tasawwuf Belitan Iblis, hal. 20.
[18] Ibid.
[19] Umar
bin Mahmud Abu Umar, Al Jihad wal
Ijtihad, hal. 77.