Minggu, 15 April 2012

PERKEMBANGAN KEILMUAN ISLAM DIINDONESIA




PERKEMBANGAN KEILMUAN ISLAM DI INDONESIA
 Oleh: Said Saleh

A.     PENDAHULUAN
Islam merupakan suatu agama suci yang lahir di tengah-tengah kegersangan kehidupan moral umat manusia. agama ini membawa kedamaian bagi para pemeluknya, jika mereka mau mengamalkan ajaran Islam secara murni dan konsekuen, khususnya umat manusia yang bertujuan ingin terbebas dari berbagai kesengsaraan kehidupan duniawi dan ukhrawi. Mereka dianjurkan untuk selalu teguh pada agama dan keyakinan yang benar. Sejak kelahiran, agama Islam selalu disebarkan dengan cara-cara damai. Jika terjadi pertempuran, hal itu hanya merupakan upaya pertahanan diri dari berbagai kemungkinan serangan yang akan menghancurkan Islam itu sendiri, yang datang dari kelompok orang yang tidak senang terhadap agama Islam. Karena kata dasar Islam itu sendiri mempunyai makna kedamaian.
Sepeninggal Rasulullah SAW, agama Islam terus disebarkan oleh umat Islam, baik melalui cara-cara perkawinan, pendidikan atau melalui cara perdagangan  yang dibawa oleh para saudagar muslim ke berbagai penjuru. Para penguasa muslim juga tidak ketinggalan, mereka membantu para dai untuk menyebarkan agama Islam ke segenap lapisan masyarakat, dengan tanpa paksaan. Ketika kekuasaan umat Islam telah menyebar ke berbagai belahan dunia, banyak masyarakat setempat yang dengan sukarela memeluk agama Islam. Karena mereka mengetahui, bahwa di dalam ajaran agama itu tidak ditemukan adanya perbedaan kelas sosial ekonomi. Semua memiliki hak yang sama, tidak ada perbedaan antara umat manusia, yang ada hanyalah perbedaan tingkat ketakwaan kepada Allah SWT. Agama Islam menyebar ke India, kemudian ke daerah sekitarnya, seperti Gujarat, yang terus menyebar ke Indonesia dan Malaka, Johor, kemudian ke Thailand, Philipina, Jepang, Korea, Cina dan wilayah Asia lainnya, secara damai tidak dipaksakan, apalagi dengan cara-cara kekerasan.
Penyebaran tersebut sebagian besar dilakukan oleh para saudagar Islam, yang menjajakan barang dagangan mereka ke negeri tersebut, sambil menyebarkan dalam mengembangkan ajaran Islam. Apalagi mereka singgah di suatu tempat atau suatu negeri, para saudagar di samping menjajakan barang dagangan, mereka juga tidak lupa menyebarkan Islam pada masyarakat dan para penguasa setempat. Di samping itu, karena kebanyakan saudagar tersebut tidak membawa istri,  banyak di antara mereka yang mengawani wanita-wanita setempat. Perkawinan itu menghasilkan sekelompok masyarakat muslim baru, yang kemudian   ikut andil dalam menyebarkan Islam. Selain itu, sekap toleransi juga merupakan cara dakwah yang baik.[1]
 Menurut M.C. Ricklefs bahwa penetapan pertama Islam dan orang-orang muslim di Indonesia adalah bahwa pertama mereka berada di bagian Utara pulau Sumatra ketika Marcopolo melihat mereka sewaktu ia kembali dari perjalanan dari negeri Cina tahun 1292 M ketika ia mendapatkan Perlak sebagai kota orang-orang Islam, sedangkan dua daerah yang terdekat dengannya yaitu Basma Dan Samara bukan Islam. Keduanya biasanya disebut bersama-sama dengan daerah Islam Pasai.[2]
      Saudagar tersebut berinteraksi/bergaul dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Selanjutnya di antara pedagang tersebut ada yang terus menetap, atau mendirikan perkampungan, seperti pedagang Gujarat mendirikan perkampungan Pekojan. Dengan adanya perkampungan pedagang, maka interaksi semakin sering bahkan ada yang sampai menikah dengan wanita Indonesia, sehingga proses penyebaran Islam semakin cepat berkembang. Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaliqh yang menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren.
Pondok pesantren adalah tempat para pemuda dari berbagai daerah dan kalangan masyarakat menimba ilmu agama Islam. Setelah tammat dari pondok tersebut, maka para pemuda menjadi juru dakwah untuk menyebarkan Islam di daerahnya masing-masing. Di samping penyebaran Islam melalui saluran yang telah dijelaskan di atas, Islam juga disebarkan melalui kesenian, misalnya melalui pertunjukkan seni gamelan ataupun wayang kulit. Dengan demikian Islam semakin cepat berkembang dan mudah  diterima oleh rakyat Indonesia.
B.     PEMBAHASAN
1.      Perkembangan Ilmu Fiqih
      Dalam sejarah Islam di Indonesia, gagasan purifikasi pernah menjadi agenda penting dari kelompok Islam modernis. Gerakan ini memfokuskan untuk menghilangkan seluruh budaya masyarakat yang dianggap mengandung unsur takhayul, bid’ah dan khurafat. Model purifikasi ini berusaha untuk melenyapkan keberadaan budaya lokal yang sudah turun-temurun yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Akan tetapi, titik tolak dari apa yang dinamakan ajaran Islam dikembalikan pada konsep yang ada pada zaman Nabi. Hal ini kemudian berimplikasi pada pelenyapan seluruh tradisi masyarakat Indonesia dan pengukuhan tradisi Arab yang dianggap sebagai tradisi Islam. Gagasan tersebut pada masa sekarang kembali muncul dari gerakan fundamentalis yang tumbuh subur di Indonesia. Mereka berusaha menerapkan syari’ah Islam dan ajaran Islam secara kaffah. Sebagaimana para pendahulunya, titik tolak dari apa yang disebut ajaran Islam, dikembalikan pada konsep yang ada pada zaman Nabi. Fenomena ini menumbuhkan berbagai implikasi dari perilaku mereka dalam bermasyarakat. Dalam hal busana misalnya, mereka berusaha mencontoh Nabi dengan menggunakan jubah ala Arab. Kemudian mereka juga memelihara jenggot, bercadar, menggunakan tema-tema Arab sebagai pengganti dari tema lokal dan lain sebagainya. Dengan munculnya fenomena ini, tentunya eksistensi budaya lokal menjadi terpinggirkan. Gerakan modernisme berusaha menghilangkan budaya selamatan, musik gamelan dan banyak tradisi lokal yang dianggap berbau Hindu dan kejawen. Gerakan Islam fundamentalis berusaha menghilangkan seluruh budaya lokal dan menggantinya dengan sistem ajaran Islam model Arab masa Nabi.[3]
Munculnya fenomena di atas memunculkan kegelisahan dari beberapa pemikir di Indonesia. Gagasan-gagasan untuk membentuk karakter hukum Islam yang bersifat lokal tergagas dalam pemikiran para intelektual muslim. Hasbi as-Shiddiqy misalnya yang pernah mencoba mengintrodusir gagasan fiqh Indonesianya. Dalam hal ini Hasbi ash-Shiddiqy terpengaruh oleh adanya konsep fiqh Hijaz, fiqh Mesir dan fiqh - fiqh lokal lainnya yang muncul di beberapa negara muslim. Keprihatinan Hasbi as-Shiddiqy juga terkait dengan ketidakmampuan ulama Indonesia untuk berijtihad sesuai dengan kepribadian Indonesia, sehingga sering kali mengaplikasikan fiqh Mesir atau fiqh Hijaz di masyarakat atas dasar taklid.[4] Lebih lanjut, dengan kelemahan ulama Indonesia yang tidak mampu melahirkan fiqh yang berkepribadian Indonesia dan menyadari ketidakmungkinan akan munculnya pemikiran progresif dari kalangan ulama konservatif, Hasbi kemudian mengajak elemen Perguruan Tinggi Indonesia untuk mencetak kader-kader mujtahid yang akan meneruskan proyek fiqh Indonesia.[5]
Salah satu yang menarik untuk dicermati, bahwa untuk membentuk fiqh Indonesia, Hasbi as-Shiddiqy menekankan pentingnya kesadaran dan kearifan untuk melakukan refleksi historis atas pemikiran hukum Islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif ini mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa berjalan dengan baik jika ia sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, yakni hukum yang dibentuk oleh kesadaran lingkungan, atau dengan kebudayaan dan tradisi setempat. Dalam hal inilah Hasbi as-Shiddiqy mengkonsepsikan bahwa mempertimbangkan kehadiran tradisi (adat, ‘urf) setempat sebagai acuan pembentukan sebuah format hukum Islam baru menjadi satu keniscayaan.[6]
Konsepsi ini dilandasi oleh pemikiran egalitarianisme Islam yang berkonsekuensi bahwa semua ‘urf  dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum. Dengan demikian hal ini menafikan ‘urf dari masyarakat Arab saja yang bisa menjadikan podasi dalam perumusan hukum. Bagi Hasbi as-Shiddiqy, semua ‘urf selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam dan dalam batas-batas tertentu dapat diterima sebagai sumber hukum Islam.[7] Selain itu, Abdurrahman Wahid juga mengonsepkan adanya pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam dimaknai sebagai upaya untuk mengokohkan kembali akar budaya kita, dengan tetap berusaha menciptakan masyarakat yang taat beragama. Dalam pemikirannya, Wahid mencoba memosisikan Islam dan budaya lain dalam posisi dialogis. Dalam hal ini Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa antara Islam dan paham pemikiran lain atau budaya lain berlangsung proses saling mengambil dan saling belajar. Konsekuensi logis dari keterbukaan seperti ini adalah keharusan untuk mendudukkan Islam hanya sebagai faktor penghubung antara berbagai budaya lokal. Dalam melayani semua budaya lokal itu (akan) menumbuhkan universalitas pandangan baru tanpa tercabut dari akar kesejarahan masing-masing.[8] Dengan dasar demikian, Abdurrahman Wahid menolak gerakan “Islamisasi”, dan “Arabisasi” atau “formalisasi ajaran Islam dalam ranah budaya”. Sejak awal, Abdurrahman tidak menjadikan Islam sebagai alternatif. Konsekuensinya, segenap ajaran agama yang telah diserap oleh kultur lokal tetap dipertahankan dalam bingkai lokalitas tersebut. [9]
Dari kedua gagasan tersebut, paling tidak dapat ditarik dua paradigma penting hukum Islam yang harus diambil dalam proses membentuk hukum Islam khas Indonesia, yaitu; pertama, kontekstual. Yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan dimensi zaman dan tempat. Konsekuensinya, perubahan zaman dan tempat menjadi meniscayakan untuk melakukan penafsiran dan ijtihad. Dengan kemampuan melakukan adaptasi inilah sesungguhnya Islam bisa benar-benar salih li kulli zaman wa makan; kedua, menghargai tradisi lokal. Karakter ini dibangun dari kenyataan sejarah bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi masyarakat pra-Islam. Bahkan dalam faktanya, Islam telah mengadopsi tradisi-tradisi lokal yang berkembang di masyarakat Arab. Dengan demikian, Islam memosisikan tradisi lokal bukan dalam posisi obyek yang harus ditaklukkan, tetapi Islam memosisikannya dalam dimensi dialogis
Kedua hal tersebut, dalam kenyataannya sering kali dilupakan. Implikasinya, hukum Islam masa Nabi Muhammad SAW dipahami sebagai konstruksi hukum yang datang dari langit dan terlepas dari konteks sosiokultural yang ada di masyarakat Arab. Bahkan lebih dari itu, hukum Islam zaman Nabi Muhammad SAW dipahami sebagai citra ideal yang harus diaplikasikan di seluruh kondisi zaman dan tempat. Sebagai misal adalah terkait dengan jilbab di Indonesia. Dalam penggunaannya, apa yang dimaksud dengan jilbab sering kali dipahami sebagai apa yang digunakan oleh masyarakat Arab. Hal ini tentunya kurang tepat karena jilbab bagi masyarakat Indonesia seharusnya disesuaikan dengan kondisi, situasi dan budaya Indonesia. Setiap daerah di Indonesia mempunyai kebiasaan yang berbeda dalam berpakaian. Di samping itu, mereka juga mempunyai pakaian tradisional tersendiri, seperti kebaya yang banyak digunakan oleh masyarakat Jawa dan baju kurung yang ada di Minang. Kalau dilihat, karakter pakaian tersebut hampir mirip dengan jilbab gaya Arab. Bedanya hanya berkaitan dengan masalah penutup kepala. Hal ini dapat dimengerti, berkaitan dengan karakter masyarakat Indonesia yang memandang daerah kepala sebagai bagian yang biasa nampak. Hal tersebut tentunya sangat berlainan dengan keadaan di daerah lain, khususnya Jazirah Arab. Perbedaan inilah yang seharusnya menjadikan dasar untuk merumuskan hukum, sesuai dengan kaidah “al-hukm yadur ma’al ‘illat wujudan wa ‘adaman”. 
2.      Perkembangan Teologi
 Secara historis, teologi islam yang di Barat dikenal dengan istilah teologi bermula sebagai sebuah advokasi keagamaan terhadap ketimpangan sosial (teologi sebagai sebuah axiologi/Theology as Axiology) yang berkembang pada masanya. Untuk kepentingan ini, doktrin keagamaan diinterpretasikan secara rasional, sehingga dapat dijadikan argumen teologis untuk membacking pemikiran/gagasan/idea yang substansinya menentang ketimpangan sosial yang sedang terjadi. Terhadap masalah ini, Philip Bob Cock menyatakan Theology is (A) Rational interpretation of religious faith, practice, and exercise (teologi yaitu upaya memahami keyakinan, perbuatan, dan pengalaman keagamaan secara rasional).[10]
Belakangan, teologi berkembang menjadi sebuah metodologi (Theology as Method). Sebagai sebuah metodologi/pendekatan, teologi merupakan salah satu di antara beberapa pendekatan yang telah digunakan oleh para ahli sains masa lalu. Di dalam perkembangannya, pendekatan ini juga digunakan oleh para ahli keislaman. Seorang pakar yang banyak mengkaji Perbandingan Agama  menyatakan bahwa Theological method must always be a secondary matter for comparative theology, subsidiary to converse interpretations of the specific symbols of a particular religious tradition. It is helpful, therefore, to reflect on what kind of general theological method may be contemporary comparative theologians despite otherwise sharp differences among them.[11]
Pada masa-masa berikutnya, barulah teologi berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu (Theology as Science). Sebagai sebuah disiplin ilmu, di dunia islam, teologi islam17 berkembang sejak Abu Hasyim dan kawannya Imam al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiah, para tokoh Mu’tazilah. Adapun orang pertama yang membentangkan pemikiran ilmu kalam secara lebih baik lewat logikanya yaitu Imam al-Asy’ari, seorang tokoh teologi Suni, dengan karya yang terkenal al-Maqalat, juga al-Ibanah ‘an ushul al-diyanah. Teologi ini selain mempunyai obyek kajian tersendiri, yaitu membicarakan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya, maksudnya keyakinan kebenaran keagamaan islam; ilmu ini juga telah tersusun dengan baik/tersistematisasikan di dalam membahas obyek kajian itu; dan mempunyai metodologi tersendiri yaitu dialog ilmiah keagamaan, serta dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan salah satu dari tiga unsur keimanan seorang Muslim, yaitu dalam aspek nuthqun bi al-lisan.[12]
Berkenaan dengan itu,  di dunia Barat seorang teolog, menyatakan bahwa di dalam teologi berkembang istilah Teologica Systematika. Teologi ini menguraikan tentang dogmatika, etika, dan filsafat agama. Ada juga istilah Teologia Historica. Teologi ini menguraikan tentang kitab suci, sejarah Gereja, sejarah dogma, dan sejarah agama. Juga ada istilah Teologia Practica. Teologi ini menguraikan tentang homeletik, katechetik, dan liturgi. Pada akhir-akhir ini teologi islam, telah berusaha menjadi sebuah advokasi bagi permasalahan sosial, atau teologi menjadi sebuah axiologi. Hal ini tampak dengan berkembangnya istilah-istilah seperti teologi feminisme, teologi gender, teologi kemiskinan, teologi kaum tertindas, teologi transformatif, teologi pembebasan, dan berbagai macam istilah lagi. Semua peristilahan itu pada dasarnya merupakan sebuah kajian ilmiah yang di dalamnya berbicara mengenai ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya sebagai sumber primer keagamaan islam yang  secara tematik  mengadvokasi hal-hal yang berkait dengan ketimpangan sosial.[13]
3.      Perkembangan  Tasawuf
         Menelusuri mewabahnya aliran ini di Indonesia, maka hal ini tidak lepas dari pada peran andil orang-orang yang melakukan studi (belajar) ke negara Timur tengah. Lebih khusus lagi adalah Arab Saudi yang pada waktu itu belum diwarnai dengan gerakan tajdid (pembaharuan) yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ( Beliau lahir pada tahun 1115 H / 1695 M dan meninggal pada tahun 1206 H / 1786 M). Di antara para pelopor berkembangnya aliran tasawuf di Indonesia, sebagaimana yang disebutkan di beberapa literatur di antaranya adalah : Nuruddin Ar-Raniri ( wafat tahun 1658 M ), Abdur Rouf as-Sinkili (1615 -1693 M ), Muhammad Yusuf al-Makkasary ( 1629-1699 M). Mereka  belajar di kota Makkah dan melakukan kontak keilmuan dengan para syaikh dari mancanegara yang bermukim di kota Makkah. Di antara para syaikh itu adalah Ahmad al-Quraisy, Ibrohim al-Kuroni dan Muhammad al-Barzanji. Abdurrouf as-Sinkili setelah belajar beberapa lama kemudian diangkat sebagai khalifah Tarekat Syatariyah oleh Muhammad Al-Quraisy. Dirinya kembali ke Aceh setelah gurunya meninggal. Keberadaannya di tanah Aceh cukup dipandang oleh para penduduk bahkan dijadikan sebagai panutan di masyarakat, bermodal kepercayaan yang telah diberikan masyarakat kepadanya serta kegigihan murid-muridnya, maka dengan mudahnya ia berhasil mengembangkan ajaran Thariqot Sufiyahnya dengan perkembangan yang sangat pesat hingga paham itu tersebar sampai ke Minangkabau (Sumatra Barat). Salah satu murid Abdur Rouf as-Sinkili yang berhasil menyebarkan paham ini adalah Burhanuddin. [14]
Setelah meninggal kuburan Burhanuddin ini menjadi pusat ziarah di mana para penziarah itu melakukan praktek peribadatan yang aneh. Timbulnya aliran yang aneh ini menimbulkan pertentangan yang tajam, terutama setelah beberapa orang yang datang dari Arab Saudi yang pada waktu itu sudah terwarnai dengan aliran pembaharuan (Ahlusunnah wal jama'ah) yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Pertentangan ini berlanjut yang pada akhirnya pecah perang Padri. Demikianlah jejak pemahaman yang ditinggalkan oleh as-Sangkili yang berkembang pesat di tanah Minang yang terkenal dengan religiusnya itu.. as-Sankili meninggal dan dikuburkan di Kuala, mulut sungai Kapuas. Tempat tersebut kini menjadi tempat ziarah yang banyak dikunjungi banyak orang. Sedang Muhamad Yusuf al-Makasary setelah bertemu dengan gurunya yakni Syaikh Abu Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Kholwati al-Khurosy as-Syami ad-Dimasqy, kemudian diberi otoritas untuk menjadi kholifah bagi aliran Thariqot Kholwatiyah dan diberi gelar dengan Taj al-Kholwati ( Mahkota Kholwati ). Setelah kembali ke Aceh ia pun mulai mengembangkan paham Kholwatiyah di tanah Rencong ini.[15]
Adapun Nuruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad ar-Raniri masuk ke tanah Aceh pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu yang berperan sebagai mufti Kerajaan adalah Syamsudi As- Sumatrani, putra kelahiran Aceh yang diberi gelar ulama' dan berpemahaman Sufi Wujudiyah. Dikarenakan kedudukan yang disandangnya cukup strategis, maka dengan mudah ia mengembangkan paham yang dianutnya itu. Syamsudin ini bekerja sama dengan Hamzah Fansuri, seorang ulama yang banyak mengekspresikan pemahamannya melalui keindahan kata (prosa). Dan dari beberapa catatan literatur diperoleh informasi, bahwa orang-orang Indonesia dan Melayu yang studi di Timur Tengah, kemudian pulang ke Nusantara dan menyebarkan ajaran tasawuf (tarekat) masih banyak lagi. Ada beberapa nama yang perlu di sebutkan di sini mengingat keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di Indonesia yang hingga sekarang ajarannya masih berujud. Mereka adalah Abdus Shomad al-Palimbani dan Muhammad Arsyad al-Banjari (1710/1812 M). Nama terakhir ini termasuk yang mampu merombak wajah Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan. Bahkan karya bukunya yang banyak dikaji di beberapa wilayah Indonesia dan Asia Tenggara, Sabil al-Muhtadiin, kini diabadikan sebagai nama masjid besar di Kota Banjar Masin.[16]
Abdus Shomad al-Palimbangi, dan Muhammad Arsyad al-Banjary serta dua rekan mereka, Abdul Wahab (Sulsel) dan Abdurrahman (Jakarta) merupakan orang-orang Tarekat yang berguru kepada Syaikh Muhammad As Saman, selain itu tersebut pula nama-nama lainnya sepeti Nawawi al-Bantani ( 1230 -1314 M ), Ahmad Khotib as-Sambasi, Abdul Karim al Bantani, Ahmad Rifa'I Kalisasak, Junaid al-Batawy, Ahmad Nahrowi al- Banyumasi ( wafat 1928 M ), Muhammad Mahfudz at-Termasi ( 1842- 1929 M ), Hasan Musthofa al-Garuti ( 1852-1930 M )dan masih banyak lagi yang lainnya. Sebagian besar dari mereka pulang kembali dan menyebarkan ajarannya di Indonesia .namun demikian, tidak semua orang yang belajar di tanah Arab kembali dengan membawa ajaran baru atau terperangkap dalam pemahaman tasawuf, Ahmad bin Khotib bin Abdul Latief al-Minangkabawi ( 1816-1916 M ) adalah salah satu contohnya. Beliau inilah yang mula-mula berani menyatakan pendiriannya membatalkan amalan-amalan ahli tarekat, terutama sekali tarekat Naqsabandiyah yang selalu menghadirkan Syaikhnya dalam ingatan saat ber "Tawwajjuh". Syaikh Ahmad bin Khotib memfatwakan kepada umat untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar menurut Al-Qur'an dan As- Sunnah serta menghindarkan diri dari perbuatan syirik dan mengharamkan penghadiran guru ketika beribadah sebagaimana yang telah banyak dilakukan oleh para penganut tarekat Naqsabandiyah.[17]
Pendapat yang berkembang di kalangan Ahlu Tarekat, dewasa ini di Indonesia berkembang dua macam kelompok tarekat, yaitu tarekat mu'tabarah dan ghairu mu'tabarah. Beberapa kelompok yang tergolong mu'tabarah seperti; Qodariyah, Naqsyabandiyah, Tijaniyah, Syathariyah, Syadzaliyah, Khalidiyah, Samaniyah dan Alawiyah. Dari sekian banyak Thariqot mu'tabarah (berdasarkan muktamar NU di Pekalongan tahun 1950, dinyatakan 30 macam Thariqot yang di nilai mu'tabarah ), Thariqot Naqsabandiyah - Qodariyah merupakan yang terbesar. Tarekat Qodariyah Naqsyabandiyah cukup meluas perkembangannya. Di Jawa Barat salah satu pusat penyebaran adalah di pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, yang kini dipimpin Kiai Shahibul Wafa' Tajul Arifin alias Abah Anom. Berdasar silsilah, keberadaan Tarekat Qodariyah-Naqsabandiyah di Pesantren Suralaya, berasal dari Mursyid Ahmad Khatib As-Sambasi. Mursyid satu ini memiliki tiga orang murid yang bernama Syaikh Abdul Karim Al-Bantani, Syaikh Khalil Bangkalan dan Syaikh Thalhah dari kali sapu, Cirebon, dari Syaikh Thalhah inilah Abah Sepuh ( ayah Abah Anom) menerima estafet Tarekat Qodariyah-Naqsabandiyah dan dari Abah Sepuh lantas di turunkan kepada putranya, Abah Anom hingg sekarang.[18]
Selain ragam tarekat yang telah disebutkan di muka, masih banyak lagi bentuk-bentuk tarekat yang kini berkembang di Indonesia. Di Jawa barat berkembang Tarekat Idrisiyah, Qodaryah-Idrisiyah, Syathariyah, Syathariyah-Muhammadiyah, Tarekat Lahir Bathin dan Tarekat Tijaniyah. Nama Tarekat terakhir ini salah satu pusat penyebarannya adalah di Cirebon adapun di Sumatera Selatan berkembang Tarekat Shalawah. Di Jambi selain Naqsyabandiyah juga berkembang Tarekat Mufaridiyah. Sedang di Kalimantan Selatan berkembang Tarekat Qadariyah-Nadsabandiyah serta di Sulsel Tarekat Khalwatiyah Saman.[19]
 
 
C.     PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.  Salah satu yang menarik untuk dicermati, bahwa untuk membentuk fiqh Indonesia, Hasbi as-Shiddiqy menekankan pentingnya kesadaran dan kearifan untuk melakukan refleksi historis atas pemikiran hukum Islam pada masa awal perkembangannya. Perspektif ini mengajarkan bahwa hukum Islam baru bisa berjalan dengan baik jika ia sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, yakni hukum yang dibentuk oleh kesadaran lingkungan, atau dengan kebudayaan dan tradisi setempat.
b.    Secara historis, teologi islam yang di Barat dikenal dengan istilah teologi bermula sebagai sebuah advokasi keagamaan terhadap ketimpangan sosial yang berkembang pada masanya. Untuk kepentingan ini, doktrin keagamaan diinterpretasikan secara rasional, sehingga dapat dijadikan argumen teologis untuk membacking pemikiran/gagasan/idea yang substansinya menentang ketimpangan sosial yang sedang terjadi.
c.    Menelusuri mewabahnya aliran ini di Indonesia, maka hal ini tidak lepas dari pada peran andil orang-orang yang melakukan studi (belajar) ke negara Timur tengah. Di antara para pelopor berkembangnya aliran tasawuf di Indonesia, sebagaimana yang disebutkan di beberapa literatur di antaranya adalah Nuruddin ar-Raniri (wafat tahun 1658 M), Abdur Rouf as-Sinkili (1615-1693 M), Muhammad Yusuf al-Makkasary ( 1629-1699 M).
2.      Saran
Penulis mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih disebabkan oleh kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu penulis mengharapkan kritik yang membangun untuk  perbaikan makalah ini pada masa yang akan datang. 


DAFTAR PUSTAKA


Al-Aydrus, Muhammad Hasan, Penyebaran Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Lantera, 1997.

Abu Umar, Umar bin Mahmud,  Al Jihad wal Ijtihad, Cet Pertama,  tt, M, Darul Bayariq, 1999.

Al-‘Ibr, Abd Lathif Muhammad, al-Ushul al-Fikriyah Li Madzhab Ahl al-Sunnah Cet.X,  Mesir: Dar al-Nahdlah al-‘Arabiyyah, 1975.

Ash-Shiddiqy, Hasbi, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.

Azhari Muntaha, dan Saleh, Abdul Mun’im, Islam Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989.

Baso, Ahmad NU Studies, Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam Dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Jakarta: Erlangga 2006.

Coch, Bob, et.al,. Webster’s Third New International Dictionary of the English Language. New York: Macmillan, 1987.

Departemen Agama, Sejarah Kebudayaan Islam,  Jakarta: Depag RI, 2002.

Eliade, Mircea et.al., The Encyclopedia of Religion. Vol.13&14, tt:tt, 1987.

Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogyakarta: LKiS, 2005.

Jaiz, Hartono Ahmad, Tasawwuf Belitan Iblis, Cet. Ke-3,tt: Darul Falah, 2001.

Hadikusuma, Hilman,  Antropologi Agama, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.

Koran Republika, Nomor 110 thn ke-928, April 2001.

Nasri, Imron, ed.al., Pluralisme dan Liberalisme Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005.

Shiddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.




[1] Departemen Agama, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Depag RI, 2002), hal.133-134.
[2] Muhammad Hasan Al-Aydrus, Penyebaran Islam di Asia Tenggara,( Jakarta: Lantera, 1997), hal. 43.
[3]Imron Nasri, ed.al., Pluralisme dan Liberalisme Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005), hal. 162-163.
[4] Hasbi Ash-Shiddiqy, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), hal. 43.
[5]Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hal. 67.
[6] Hasbi Ash-Shiddiqy, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman, hal. 42.
[7]Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),hal. 122.
[8] Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh, Islam Menatap Masa Depan, (Jakarta: P3M, 1989), hal. 96.
[9] Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam Dan Fundamentalisme Neo-Liberal, (Jakarta: Erlangga 2006),  hal. 283.
[10] Bob Coch et.al.,. Webster’s Third New International Dictionary of the English Language. (New York: Macmillan,1987), hal. 2371.
[11] Mircea Eliade et.al., The Encyclopedia of Religion. Vol.13&14, (tt:tt, 1987), hal. 452.
[12] Abd Lathif Muhammad Al-‘Ibr, al-Ushul al-Fikriyah Li Madzhab Ahl al-Sunnah Cet.X,  (Mesir: Dar al-Nahdlah al-‘Arabiyyah, 1975), hal. 46-47.
[13] Hilman Hadikusuma,  Antropologi Agama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal.10.
[14] Koran Republika, Nomor 110 thn ke-928, April 2001.
[15] Hartono Ahmad Jaiz, Tasawwuf Belitan Iblis, Cet. Ke-3, (tt: Darul Falah, 2001), h.17.
[16] Umar bin Mahmud Abu Umar,  Al Jihad wal Ijtihad, Cet Pertama, (tt, M, Darul Bayariq, 1999), hal. 67.
[17] Hartono Ahmad Jaiz, Tasawwuf Belitan Iblis, hal. 20.
[18] Ibid.
[19] Umar bin Mahmud Abu Umar,  Al Jihad wal Ijtihad, hal. 77.

KOMPETENSI KEPRIBADIAN

 
KOMPETENSI KEPRIBADIAN 
oleh: Said Saleh
A. Pendahuluan
Dalam rangka membangun negara kita ini, maka sangat diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas baik dalam pengesaan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Terlebih lagi dalam pemilikan kepribadian yang dilandasi iman dan takwa kepada  Allah SWT. Untuk mencapai cita-cita tersebut Pendidikan Nasional  yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor : 20 Tahun 2003, (pasal 2), yaitu:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mendiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[1]     
Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut di atas mengandung ciri-ciri pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang mempunyai mutu tinggi, baik itu untuk kebutuhan jasmani dan rohani. Begitu juga dengan guru, profesionalisme guru sebagai tenaga pendidikan, termasuk tenaga keguruan, menjadi  suatu keniscayaan terutama tatkala pendidikan  dan pembelajaran semakin diakui keberadaannya oleh masyarakat. Begitu pentingnya profesionalisme itu, sehingga kebutuhan akan guru profesional yang makin mendesak adalah sejalan dengan tuntutan akan kapasitas guru untuk menjadi manajer kelas yang baik. Ini karena di samping melakukan tugas pendidikan dan pembelajaran, guru juga melaksanakan tugas manajemen atau administrasi. Kemampuan guru dalam mengelola kelas ini menjadi keniscayaan, bahkan merupakan salah satu ukuran kemampuan profesionalisme mereka.
Kalau kita melihat saat ini terdapat realitas bahwa lembaga pendidikan formal, mulai dari jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga pendidikan tinggi mengalami kemajuan pesat secara kuantitatif. Hal ini ditandai oleh peningkatan jumlah  siswa dan angka lulusan dari tahun ke tahun. Namun, bersamaan dengan ini kesempatan kerja semakin terbatas, dan kalau pun ada menuntut persyaratan pengetahuan dan keterampilan yang tinggi. Bagaimana pun kapasitas institusi pendidikan melahirkan lulusan yang bermutu, tetap saja memiliki keterbatasan.
Di lingkungan pendidikan formal, pengkajian tentang pembinaan dan pengembangan kemampuan profesionalisme guru, sepertinya sudah klise, dalam makna, dan selalu didiskusikan. Sesungguhnya hal itu tidaklah klise, karena dari waktu ke waktu, persyaratan guru ideal senantiasa berubah sehingga pertumbuhan profesionalnya harus terus menerus dirangsang. Lebih lagi pada era globalisasi yang makin masif dan ekstensif ini, tanpa didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.   
Menurut penulis bahwa pengembangan kompetensi guru dimaksudkan untuk memenuhi tiga kebutuhan yang sungguh pun memiliki keragaman yang jelas, terdapat banyak kesamaan; pertama, kebutuhan sosial untuk meningkatkan kemampuan sistem pendidikan yang efisien dan manusiawi, serta melakukan adaptasi untuk menyusun kebutuhan-kebutuhan sosial; kedua,  kebutuhan untuk menemukan cara-cara untuk membantu staf pendidikan dalam rangka mengembangkan pribadinya secara luas. Dengan demikian, guru dapat mengembangkan potensi sosial dan potensi akademik generasi muda dalam interaksinya dengan lingkungannya; ketiga, kebutuhan untuk mengembangkan dan mendorong keinginan guru untuk menikmati dan mendorong kehidupan pribadinya, seperti membantu siswanya dalam mengembangkan keinginan dan keyakinan memenuhi tuntutan pribadi yang sesuai dengan potensi dasarnya.
Dalam ajaran Islam, kompetensi merupakan awal dari profesionalisme sering dihubungkan dengan kata ahll, kata ahli digunakan pula dalam arti orang yang ahli melakukan suatu pekerjaan atau orang yang sudah berpengalaman dan dapat dipercaya.
B. Pembahasan
1. Pengertian Kompetensi Kepribadian
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata kompetensi mengandung arti “Kewenangan untuk memutuskan atau bertindak”, sedangkan kepribadian mengandung arti “ sifat yang dimiliki seseorang atau suatu bangsa”.[3] Dalam dunia pendidikan, kompetensi adalah kemampuan yang dapat dilakukan seorang guru. Kompetensi mencakup tiga aspek, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan.[4] Kepribadian  adalah kesan yang   diberikan seseorang kepada orang lain yang diperoleh dari apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat yang terungkap melalui perilaku.[5]  
Penulis memandang bahwa kompetensi kepribadian merupakan kompetensi dimiliki oleh seorang guru dalam kegiatan belajar mengajar. Selain kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, seorang guru juga harus memiliki kompetensi kepribadian yang menunjukkan dirinya sebagai seorang guru. Kepribadian seorang guru adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kepribadian seorang guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pendidikan,  khususnya dalam kegiatan pembelajaran. Pribadi seorang guru juga penunjang pembentukan pribadi peserta didik. Hal sangat memungkinkan karena manusia merupakan sosok makhluk yang senantiasa mencontoh, dan di antaranya mencontoh kepribadian seorang guru. Kompetensi kepribadian sangat besar berpengaruhnya, dan memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian peserta didik, dan berperan dalam menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), menyejahterakan masyarakat, bangsa, dan negara secara umum.
 Berkenaan dengan itu, E. Mulyasa dalam bukunya “Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru” menyatakan bahwa:
“Setiap guru dituntut untuk memiliki kompetensi kepribadian  yang memadai, bahkan kompetensi ini akan melandasi atau menjadi landasan bagi kompetensi-kompetensi lainnya. Guru tidak hanya dituntut untuk mampu memaknai pembelajaran, tetapi yang penting adalah bagaimana seorang guru menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik.”[7]    
Guru dipandang sebagai tenaga profesional, sehingga secara pribadi seorang guru juga harus menunjukkan kemampuan kepribadian sebagai kompetensi yang harus dimilikinya. Kepribadian seorang guru merupakan kompetensi yang paling mendasar yang menjiwai kompetensi-kompetensi lain harus dimiliki oleh seorang guru. Sehingga guru bukan hanya mampu memakna pembelajaran yang dilakukannya, tetapi juga bagaimana menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi bagi guru, dan pada akhirnya berdampak pada perbaikan kualitas pribadi siswa.
Kompetensi kepribadian seseorang guru akan terwujud, apabila guru bersangkutan memenuhi syarat-syarat  ditentukan. Ngalim Purwanto dalam bukunya “Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis” menyatakan bahwa:
“Syarat-syarat untuk menjadi guru di antaranya; pertama, berijazah; kedua, sehat jasmani dan rohani; ketiga, takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; keempat, berkelakuan baik; kelima, bertanggung jawab; keenam, berjiwa nasional.”[8]
Berdasarkan pernyataan di atas, bahwa fungsi syarat-syarat pada guru adalah upaya yang dilakukan institusi pendidikan dalam mewujudkan guru sebagai  tenaga yang profesional yang dapat mengantarkan peserta didik ke masa depan yang lebih baik. Pemenuhan syarat-syarat sebagai guru juga untuk membentuk kepribadian guru yang dapat menjadi contoh dan teladan bagi peserta didik. Syarat pertama yang harus dipenuhi adalah  guru harus berijazah. Guru harus memiliki kualifikasi akademiknya sesuai dengan tingkatan pendidikan yang diajarkan. Sehingga guru dapat memberi wewenang dalam menjalan tugas, dan kualitas guru tidak berada di bawah tingkat pendidikan yang diajarkan. Sesuai dengan amanat UU guru dan dosen tidaknya seorang guru tamatan Strata Satu  (S1).
Syarat kedua adalah seorang guru harus sehat jasmani dan rohani. Maksudnya adalah bahwa guru secara fisik guru harus memiliki badan sehat, sehingga performance guru meyakinkan di depan  peserta didik, dan begitu juga dengan kesehatan rohani. Syarat selanjutnya adalah guru  bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkelakuan baik, maksudnya bahwa guru harus beragama dan mempunyai kelakuan baik. Karena tujuan pendidikan adalah membentuk manusia susila. Sehingga sangat mustahil apabila ketakwaan, kesusilaan atau berbudi pekerti baik dibentuk oleh seorang guru yang tidak beragama dan berkelakuan baik.
Kemudian syarat selanjutnya adalah seorang guru juga harus bertanggung jawab dan berjiwa nasional, maksudnya adalah seorang guru bertanggung jawab membentuk peserta didik sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945, yaitu menjadi warga negara yang baik,  dan bersusila. Dan seorang guru berjiwa nasional, sehingga  dengan muda juga dapat membentuk peserta didik yang juga berjiwa nasional. Begitu juga sebaliknya, peserta didik tidak akan berjiwa nasional, apabila guru tidak berjiwa nasional. Salah satu alat untuk menanamkan jiwa nasional dengan bahasa, yaitu dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan belajar mengajar.     
2.  Pentingnya Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian mempunyai kedudukan yang penting bagi seorang guru. Seorang  guru harus sanggup mengenal dan berbuat menurut kesusilaan.  Karena seorang guru yang sangat mengetahui dan memiliki nilai-nilai hidup, norma-norma kesusilaan, keindahan, keagamaan, kebenaran, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai, dan norma-norma.      
Berkenaan dengan ini, E. Mulyasa menyatakan bagaimana  pentingnya kompetensi kepribadian bagi guru sebagai berikut:
“Guru harus berani tampil beda, karena dituntut untuk memberikan dan  memelihara pandangan tentang kepribadian kepada peserta didiknya. Mengembang fungsi ini guru harus terampil dalam berkomunikasi dengan peserta didik di segala umur, sehingga setiap langkah dari proses pendidikan yang dikelolanya dilaksanakan untuk menunjang pengalaman fungsi.” [9]
Penulis memandang bahwa kepribadian seorang guru sangat menunjang dalam proses pembelajaran di sekolah, karena kepribadian guru cerminan prilakunya. Jadi penampilan guru merupakan  persyaratan mutlak yang harus dilakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Guru harus berani tampil beda, dan berupaya mempertahankan kepribadian yang baik di depan siswanya. Sebab posisi siswa berada pada tahap mencontoh apa yang dilakukan oleh guru. Bagi siswa guru adalah sumber inspirasi dan teladan bagi mereka. Terkadang guru hanya mampu menunjukkan contoh, tetapi sangat jarang memberikan contoh. Untuk itu guru harus mampu mempertahankan kepribadian yang baik dengan senantiasa menjalin komunikasi terbuka dengan siswa, sehingga upaya ini menunjang kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru di kelas.
Korelasi dengan pendidikan agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, maka setidaknya kepribadian guru harus dibentuk berdasarkan ajaran agama Islam. Sumber kepribadian seorang guru bukan hanya bersumber dari Allah  SWT, tetapi juga bersumber dan meneladani akhlak Rasulullah SAW.  Kepribadian Rasulullah tercermin dari sifat kenabian yang melekat padanya. Yaitu; pertama, shidiq; kedua, amanah; ketiga,  tabligh; keempat, fathanah. Rasulullah memberikan contoh dan suri teladan dalam mengajarkan Islam kepada umatnya.
 Sifat shidiq berarti berkata benar, artinya sebagai seorang guru harus mempunyai kepribadian yang benar. Hal ini tercermin dari perkataan yang benar. Benar berarti apa yang dikatakan oleh guru adalah suatu kebenaran yang dapat diamalkan oleh peserta didiknya. Guru harus menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan perkataan yang benar dalam kegiatan belajar mengajar. Perkenaan benar ini senantiasa harus menjadi sifat seorang guru dan dipraktekkan sehari-hari.
Amanah adalah sifat yang sangat sulit dipraktekkan, sebab sifat ini lebih pada kepercayaan yang diterapkan ketimbang hasil yang didapatkan. Seorang guru harus menjadikan amanah sebagai senjata pertama dalam membentuk kepribadian, dan merupakan bagian dari kepribadiannya. Dalam amanah ada kepercayaan sebagai standarnya. Ketika guru dipercaya maka ada amanah di sana, karena amanah adalah tepercaya.    Bagaimana ilmu akan disampaikan oleh seorang guru apabila gurunya tidak dipercaya oleh peserta didik, sekolah, dan lingkungannya.
Sifat selanjutnya yang harus dimiliki oleh guru adalah tabligh, yaitu menyampaikan setiap apa yang diketahuinya tanpa ditutup-tutup. Seorang guru harus becermin dari sifat Rasulullah SAW tentang tabligh. Rasulullah senantiasa menyampaikan wahyu yang dia dapatkan dari Allah SWT tanpa dikurangi sedikit pun. Rasulullah SAW mengajarkan kepada bahwa setiap kita harus menyampaikan sesuatu yang bukan hak kita kepada orang lain. Begitu juga dengan seorang guru harus menyampaikan materi pelajaran, sesuai dengan beban tugas yang ditetapkan kepadanya. Menyampaikan setiap materi pelajaran merupakan kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang guru.
Fathanah berarti cerdas, maksudnya seorang guru harus memiliki karakter yang mencerminkan kejeniusan dalam menghadapi sesuatu. Pintar belum tentu cerdas, sedangkan cerdas sudah tentu pintar. Karena di dalam pintar lebih berorientasi pada buku atau referensi yang dikuasainya, dan lebih bersifat formal.  Sedangkan cerdas lebih bersifat multi referensi dan bersifat nonformal. Seorang guru lebih dituntut cerdas ketimbang pintar, karena guru menghadapi berbagai permasalahan yang menuntutnya untuk menyelesaikan, dan mencari solusinya. Jadi kepribadian seorang guru harus dilengkapi dengan sifat fathanah  di antara sifat-sifat yang lainnya.
3.  Beberapa Bentuk Kompetensi  Kepribadian  Guru
a. Kepribadian yang Mantap, Stabil, dan Dewasa
Seorang guru dapat melaksanakan tugas dengan baik, dan  profesional,  apabila guru memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa. Terkadang banyak masalah pendidikan terjadi, disebabkan oleh masalah guru yang tidak memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa. Keadaan kepribadian seperti ini menyebabkan guru melakukan tindakan-tindakan yang tidak profesional dan terpuji, bahkan ada juga guru yang melakukan perbuatan yang tidak senonoh, dan pada akhirnya menjatuhkan martabat guru. Kita sering mendengar berbagai kasus yang disebabkan seorang guru yang tidak memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa di media elektronik atau media massa. Misalnya adanya oknum guru yang mencabuli peserta didiknya, adanya oknum guru yang mencuri, menipu, bahkan berjualan narkoba, dan perbuatan lainnya yang tidak senonoh. Jadi seorang guru harus memiliki  kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa untuk menghindari perbuatan-perbuatan tersebut.      
Berkenaan dengan permasalahan ini, E. Mulyasa menyatakan bahwa:
“Ujian berat bagi guru dalam hal kepribadian ini adalah rangsangan  yang sering memancing emosinya. Kestabilan emosi amat diperlukan, namun tidak semua orang mampu menahan emosi terhadap rangsangan yang menyinggung perasaan, dan memang diakui bahwa setiap orang mempunyai temperamen yang berbeda dengan orang lain. Untuk keperluan tersebut, upaya dalam bentuk latihan mental akan sangat berguna. Guru mudah marah akan membuat peserta didik takut, dan ketakutan mengakibatkan kurangnya minat untuk mengikuti pembelajaran, dan rendahnya konsentrasi. Ketakutan menimbulkan kekhawatiran  untuk dimarahi, dan membelokkan konsentrasi peserta didik.”[12] 
Seorang guru juga harus tetap istiqomah dalam melaksanakan sikap-sikap terpuji sebagai seorang guru. Istiqomah merupakan kunci dalam melanggengkan kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa pada guru. Seorang guru tidak akan terasa aman dari gangguan emosinya, selama guru yang bersangkutan tidak memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa. Emosional seorang guru dapat diketahui oleh peserta didiknya  dengan melihat kata-kata yang dikeluarkan, raut muka, ataupun tindakan-tindakan tertentu. Emosional seharusnya tidak ditampakkan di depan peserta didik, karena menunjukkan kurang stabilnya emosi guru. Kalau dilihat dari akar permasalahan timbulnya emosional dari seorang guru, lebih banyak disebabkan oleh latar belakang guru bersangkutan, peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan masalah, atau tidak mampu mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan. Sebenarnya kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa itu berkembang sejalan dengan pengalaman guru. Jadi kematangan kepribadian seorang guru bukan diukur dari selama mana dia menjadi guru, tetapi lebih dari bagaimana dia dapat memanfaatkan pengalaman yang dialami selama menjadi guru.
b.      Disiplin, Arif, dan Berwibawa     
Disiplin harus diterapkan oleh guru dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya. Sekian banyak peserta didik yang melakukan tindakan yang kurang baik di sekolah atau pun masyarakat, melakukan perbuatan asusila, seksualitas di luar nikah, narkoba, dan lainnya,  disebabkan oleh kepribadian mereka yang tidak disiplin. Guru merupakan pelopor pertama dalam  menanamkan disiplin kepada peserta didik. Setidaknya guru harus lebih dahulu memulai menerapkan pada dirinya mempunyai pribadi yang disiplin, arif, dan berwibawa. Hal ini menjadi penting, karena banyak kita menyaksikan peserta  didik yang berprilaku yang bertentangan dengan sikap moral yang baik. Contohnya berambut gondrong, merokok, membolos, melawan guru, berkelahi, dan perbuatan-perbuatan kriminal lainnya. Realita ini menuntut guru harus bersikap disiplin, arif, dan berwibawa dalam segala tindakannya, serta senantiasa mendisiplinkan peserta didik agar dapat meningkatkan kualitas pembelajarannya.  Berkenaan dengan permasalahan ini, E. Mulyasa menyatakan bahwa:
“Dalam pendidikan, mendisiplinkan peserta didik harus dimulai dengan pribadi guru yang disiplin, arif, dan berwibawa. Kita tidak bisa berharap banyak akan terbentuknya peserta didik yang disiplin dari pribadi guru yang kurang disiplin, kurang arif, dan kurang wibawa. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya kita membina disiplin peserta didik dengan pribadi guru yang disiplin, arif, dan berwibawa.”[14]
Jadi kunci utama dalam mendisiplinkan peserta didik di mulai dengan guru mendisiplinkan dirinya. Disiplin harus ditunjukkan untuk membantu peserta didik menemukan jati dirinya. Dalam menanamkan disiplin guru hendaknya bertanggung jawab mengarahkannya, memberikan contoh, sabar, dan penuh pengertian. Guru juga harus mampu mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang, membantu mencari identitas diri, dan menerapkan disiplin diri.
Guru bukan hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran di dalam kelas, tetapi lebih dari itu guru juga bertugas membentuk kompetensi dan pribadi peserta didik.  Dalam hal mendisiplinkan peserta didik,  guru  harus mampu menjadi pembimbing, memberikan contoh, mengawasi prilaku peserta didik, dan mengendalikan semua tingkah laku mereka. Dan guru juga mampu mengarahkan prilaku peserta didik ke arah yang positif, dan menunjang pembelajaran.
c.       Menjadi Teladan Bagi Peserta Didik
Guru harus menjadi teladan bagi peserta didiknya. Teladan ini harus praktekkan oleh guru di mulai dengan cara berbicara, bertingkah laku sampai pada cara berpikirnya, baik di sekolah maupun di lingkungannya (masyarakat). Keteladanan berbicara dimaksudkan agar seorang guru mampu berbicara yang  bermanfaat bagi semua orang mendengarnya termasuk peserta didik. Terkadang guru tidak mampu menunjukkan cara berbicara yang baik sesuai dengan fungsinya. Untuk guru dituntut untuk dapat berbicara dengan baik sesuai dengan perannya sebagai pembimbing yang mengarahkan   peserta didik agar menjadi manusia bermartabat.
Keteladanan bertingkah laku diarahkan agar guru tetap mampu menjaga kehormatan sebagai pendidik. Kedudukan guru merupakan kedudukan terhormat di tengah-tengah masyarakat. Terkadang guru tidak menyadari atas posisinya tersebut, sehingga guru bertindak dan bersikap tidak sesuai dengan kedudukannya.  Terkadang kita melihat seorang guru mampu berbuat yang tidak senonoh dan amoral dihadapan  peserta didiknya. Hal ini terjadi disebabkan oleh guru yang tidak memahami fungsinya sebagai seorang pendidik.
Keteladanan guru juga dilihat dari cara berpikirnya dalam menyelesaikan permasalahan. Cara berpikir guru harus mengarah kepada cara berpikir jangka panjang.  Berpikir yang berorientasi pada bagaimana menyelamatkan peserta didik dari bertindak dan berprilaku yang tidak semua dengan norma-norma yang telah ditetapkan. Guru harus tidak berpikiran sempit, pragmatis, dan egois. Tetapi cara berpikir yang  harus dikembangkan guru adalah cara berpikir yang logis, fleksibel, dan inovatif. Karena dalam hal ini, guru harus lebih mengutamakan manfaat untuk peserta didik  secara komprehensif, ketimbang manfaat secara parsial atau pun relatif.
Berkenaan dengan permasalahan ini, E. Mulyasa menyatakan bahwa:
“Secara teoritis, menjadi teladan merupakan bagian integral dari seorang guru, sehingga menjadi guru berarti menerima tanggung jawab untuk menjadi teladan. Memang setiap profesi mempunyai tuntutan-tuntutan khusus, dan karenanya bila menolak berarti menolak profesi itu.”[15]
Sebagai teladan, tentu saja seorang guru menjadi sorotan kepribadian dan tingkah lakunya dari peserta didik atau lingkungannya. Dan yang perlu akui bahwa guru juga manusia biasa yang tidak terlepas dari kemungkinan khilaf. Guru yang baik adalah yang menyadari kesenjangan antara yang diinginkan dengan apa yang dimilikinya, kemudian menyadari kesalahan dari perbuatan yang dilakukan. Kesalahan yang dilakukan tidak akan diulangi, dan menggantinya dengan perbuatan yang baik pada kesempatan yang lain. Jadi, guru yang baik adalah guru yang menyadari kelebihan, dan kesalahan yang dimilikinya.
d.  Berakhlak Mulia
Kedudukan pendidikan sangat penting dan kuat eratnya kaitan dengan pembinaan akhlak, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pembinaan akhlak dalam Islam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan agama Islam. Sebab akhlak yang baik adalah yang dianggap baik oleh agama  Islam, dan akhlak yang buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh agama Islam. Sehingga keutamaan-keutamaan akhlak dalam masyarakat akhlak dan keutamaan yang diajarkan oleh agama Islam. Sehingga bagi seorang muslim tidak sempurna agamanya sampai akhlaknya menjadi baik.
Dalam prosesnya akhlak  bersumber pada  agama Islam memuat jumlah ajaran, yang tidak terbatas pada aspek ritual, tetapi juga mencakup aspek peradaban manusia. Di antaranya  aspek peradaban yang dibangun dalam agama Islam menyempurnakan akhlak. Misi utama kerasulan Nabi Muhammad SAW, adalah untuk memperbaiki akhlak umatnya. Oleh karena misinya sebagai pengemban perbaikan budi pekerti, maka beliau Rasulullah senantiasa menunjukkan uswah khasanah (suri teladan yang baik) sebagai internalisasi nilai dan prototype budi pekerti yang baik, agar umatnya dapat menirunya secara mudah.
Peneliti memandang bahwa korelasi dengan guru adalah guru juga harus memiliki akhlak yang mulia, karena guru adalah pembimbing peserta didik. Guru harus menyadari perannya sebagai orang yang diberi percaya, dan penasihat, dia juga harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental, serta berakhlak. Dengan akhlak yang mulia, guru dalam keadaan bagaimanapun harus memiliki kepercayaan diri (rasa percaya diri) yang istiqamah, dan tidak tergoyahkan. Kompetensi kepribadian guru yang dilandasi akhlak mulia tentu saja tidak tumbuh dengan sendirinya begitu saja, tetapi memerlukan ijtihad yang mujadalah, yakni usaha sungguh-sungguh, kerja keras, tanpa mengenal lelah, dengan niat ibadah.   Berkenaan dengan permasalahan ini, E. Mulyasa menyatakan bahwa:
“Guru harus berakhlak mulia, karena ia adalah seorang penasihat bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasihat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasihati orang. [17]    
            Berakhlak yang mulia pada guru adalah suatu hal wajib dipraktekkan  di dalam atau pun di luar kegiatan belajar mengajar. Akhlak merupakan standar dalam menilai bermartabat atau tidaknya seseorang. Begitu juga dengan seorang guru harus selalu berakhlak yang mulia, karena guru merupakan cerminan dari peserta didik. Untuk itu guru harus mampu mempraktekkan prilaku-prilaku baik yang dapat diadopsi oleh peserta didik, sehingga pada akhirnya peserta didik mampu mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Allah Aklamu bish shawab.  
C.    Penutup
1.  Kesimpulan
a.   Kompetensi kepribadian merupakan kompetensi dimiliki oleh seorang guru dalam kegiatan belajar mengajar. Selain kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, seorang guru juga harus memiliki kompetensi kepribadian yang menunjukkan dirinya sebagai seorang guru. Kepribadian seorang guru adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
b. Kompetensi kepribadian sangat penting dimiliki oleh guru karena  sangat menunjang dalam proses pembelajaran di sekolah, karena kepribadian guru cerminan prilakunya. Jadi penampilan guru merupakan  persyaratan mutlak yang harus dilakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Guru harus berani tampil beda, dan berupaya mempertahankan kepribadian yang baik di depan siswanya. Sebab posisi siswa berada pada tahap mencontoh apa yang dilakukan oleh guru. Bagi siswa guru adalah sumber inspirasi dan teladan bagi mereka.
c. Beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, di antaranya memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa, disiplin, arif, dan berwibawa, menjadi teladan, dan berakhlak mulia.
2.  Saran
Penulis mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih disebabkan oleh kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu penulis mengharapkan kritik yang membangun untuk  perbaikan makalah ini pada masa yang akan datang. 

 
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (1996),  Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI.
______, (2006), Undang-Undang dan Peraturan Pemerintahan RI Tentang Pendidikan, Jakarta:  Depag RI.
______, (2010), Kamus Bahasa Indonesia, Semarang : Agung Media Mulia.
Djaali, (2008), Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyasa, E, (2009), Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung:Remaja Rosdakarya.
Purwanto, Ngalim, (2007), Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung:Remaja Rosdakarya.
Yamin,  Martini,(2004) , Pengembangan Kompetensi Pembelajar, Jakarta: UI Press.
 



[1] Anonim, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintahan RI Tentang Pendidikan, Jakarta:  Depag RI, 2006, h. 8.
[3] Anonim, Kamus Bahasa Indonesia, Semarang : Agung Media Mulia, 2010, hh. 335-491
[4] Martinis Yamin, Pengembangan Kompetensi Pembelajar, Jakarta: UI Press, 2004, h. 1.
[5] Djaali, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, h. 2.
[6] Anonim, op.cit., h. 116.
[7] E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2009, hh. 117-118
[8] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2007 h. 139.
[9] E. Mulyasa, op.cit., h. 119.
[10] Anonim, op.cit., h. 415.
[11]  Ibid, h. 916.
[12] Ibid, h. 121.
[13] Anonim, op.cit., h. 777.
[14] Ibid, h. 122.
[15] Ibid, h. 128.
[16] Anonim, op.cit., h. 670.
[17] Ibid, h. 129.