Rabu, 28 Desember 2011

SYEKH AHMAD KHATIB AL-MINANG KABAWI-SSPI




SYEKH AHMAD KHATIB AL-MINANG KABAWI


A.  Pendahuluan
Pendidikan Islam menurut sistem lama, hanya terdiri dari dua tingkat saja : pengajian qur’an dan pengajian kitab. Hampir seluruh pendidikan Islam di Indonesia seperti demikian keadaannya. Kemudian banyaklah pelajar-pelajar dan guru-guru agama di Minangkabau pergi naik haji ke Mekah, serta bermukim di sana melanjutkan pelajarannya bertahun-tahun lamanya. Terutama pada waktu itu di Masjidil Haram ada guru besar’Alim ‘Allamah dari bangsa Indonesia, seperti Syekh Akhmad Khatib Minangkabau, Imam Syafi’i di Masjidil Haram, Syekh Nawawi Banten, Syekh Banjari dan lain-lain.[1]
Ahmad Khatib adalah putera Indonesia yang sangat dalam pengetahuan ke Islamannya. Dengan ilmu yang dimiliki selain mengajar beliau juga menjadi imam dan khatib di Masjidil Haram, suatu kedudukan keagamaan yang amat langka dipegang oleh orang-orang non-Arab di tanah suci. Beliau bukan guru agama biasa. Ia ulama yang kaya dengan gagasan-gagasan progresif untuk memajukan umat Islam. Melalui murid-muridnya putera Indonesia yang belajar padanya di Mekkah. Ahmad Khatib telah menyumbangkan peran yang tidak kecil artinya bagi kemajuan umat, dan menjadi guru dari hampir keseluruhan para pembaharu di tanah air pada abad ke -20
Ada yang menganggap beliau sebagai pelopor pembaharuan dan sekurang-kurangnya guru dari generasi pertama pembaharuan Islam pada abad ke-20. disamping itu ada juga pendapat yang sangat negatif, yaitu pendapat Snouck Hurgronje, bahwa dia hanya bersifat oportunis yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan yang mendalam dan hanya dengan jalan perkawinan mencari kedudukan politik dan keuntungan finansial.[2]

Antara dua pendapat yang bertentangan ini maka perlu dikaji kembali tentang jalan tengah yang cocok dengan kebenaran. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis mencoba untuk memaparkan beberapa permasalahan tentang Syekh Ahmad Khatib meliputi :
1)      Riwayat hidup Syekh Ahmad Khatib
2)      Ahmad Khatib dan adat di Minangkabau di bidang hukum warisan
3)      Ahmad Khatib menentang tarekat
4)      Ahmad Khatib sebagai guru pertama
5)      Peran dan pengaruh Ahmad Khatib terhadap pendidikan Islam di Indonesia

B.     Pembahasan
  1. Riwayat Hidup Syekh Ahmad Khatib
Ahmad Khatib dilahirkan di kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Terdapat dua pendapat mengenai tahun kelahirannya. Menurut Prof. Dr. Hamka, Ahmad Khatib lahir tahun 1276 H/1860 M. Sedangkan menurut Deliar Noer, seorang cendikiawan Islam, tahun 1855 M.[3]
Ayah dari Ahmad Khatib bernama Abdul Latief. Dari pihak ayah, Ahmad Khatib bersepupu dengan KH. Agus Salim, seorang cendekiawan dan pemimpin Islam yang berpengaruh. Ibu Ahmad Khatib adalah Limbak Urai, anak Tuanku Nan Renceh, seorang ulama Paderi terkemuka. Dari pihak ibu, Ahmad Khatib adalah saudara sepupu Syekh Taher Jalaluddin, seorang ulama besar Minangkabawi lainnya. Di lihat dari keturunan ayah dan ibu. Ahmad Khatib terhitung datang dari keluarga yang terpandang di Minangkabawi pada zamannya.[4]
Ahmad Khatib di duga sempat belajar di sekolah raja di Bukit Tinggi pada umur 11 tahun, setelah menyelesaikan sekolah rendah.[5] Ahmad Khatib dibawa ayahnya ke Mekkah dan bermukim di sana. Dengan demikian cerita tentang Ahmad Khatib pada kajian di bawah ini berada di Mekah.
Pada tahun 1296 H , yaitu setelah 10 tahun dia di Mekkah, karena baik budi dan luas ilmunya dan disayangi orang, beliau disayangi oleh seorang hartawan Mekkah, bernama Syekh Saleh Kurdi, saudagar dan penjual kitab-kitab agama. Syekh Saleh berasal dari keturunan Kurdi dan Mazhab orang Kurdi adalah Syafi’i. Oleh karena Syekh Saleh seorang hartawan dan baik hubungannya dengan pihak kerajaan syarif-syarif di Mekkah. Maka Ahmad Khatib dikenal oleh istana dan oleh ulama-ulama lain dan memang sikap budi bahasanya dan keteguhan pribadinya menunjukkan pula bahwa dia seorang yang berdarah dan berbudi bangsawan, bintangnya cepat naik.[6] Karena kedekatannya dengan Syekh Saleh Kurdi Ahmad Khatib diangkat jadi menantu. Istrinya bernama Khodijah, beliau menikah setelah sepuluh tahun bermukim di Mekkah.
2.      Ahmad Khatib, dan Adat Minangkabau di bidang hukum warisan
Pembagian harta pusaka menurut garis matrinial sangat keras dilarang oleh Ahmad Khatib. Sekalipun kedudukannya di sini memang sama sekali tidak berbeda dari ajaran buku Fiqh dan ulama lain, namun cara menulis dan mengajarnya lebih keras, tajam dan polemis. Pada tahun 1309 H/1891 M dia menerbitkan buku kecil di bidang ini dalam bahasa Arab dengan judul “Al Da’i Al Masmu “Fil Radd ‘Ala Yuwarrithu Al-Ikhirah Wa-Awlad Al-Akhawat Ma’a Wujud Al usul Wa’i Furu’. Artinya seruan yang di dengar dalam menolak pewarisan kepada saudara dan anak-anak saudara perempuan beserta dasar dan perincian, yang ditulis dalam bahasa Arab dan dicetak di Mesir pada tahun 1309 H.[7]
Adat Minangkabawi menetapkan bahwa harta pusaka diwariskan kepada kemenakan. bukan kepada anak sesuai dengan ajaran Islam. Harta itupun diserahkan kepada kemenakan perempuan. Sedangkan kemenakan laki-laki hanya menjadi pembantu saja dalam menggarap dan memelihara harta pusaka itu. la hanya memperoleh sebagian hasil sebagai upah dari pekerjaannya. Padahal menurut ajaran Islam, harta pusaka diwariskan kepada anak sendiri dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh bagian yang lebih besar dari pada anak perempuan. Jadi jelas adanya perbedaan / pertentangan antara peraturan adat dengan peraturan agama dalam hal warisan di Minangkabawi.
Menurut Ahmad Khatib, barang siapa yang masih mematuhi adat yang berasal dari syaitan yaitu dari Datuk Perpatih Nan Sebatang Nan Datuk Ketumanggungan. Disamping hukum Tuhan adalah kafir dan akan masuk neraka. Semua harta benda yang di peroleh menurut hukum waris kemenakan dianggap sebagai harta rampasan. Barang siapa yang mempertahankannya sebagai miliknya berdosa besar, karena menghabiskan harta benda anak yatim piatu. Pelakunya adalah fasik dan tidak berhak menjadi saksi dalam perkawinan. Karena itu tobat adalah mutlak dan perkawinan itu harus di ulang kembali, kalau tidak maka orang menjadi murtad. Hendaknya hubungan diputuskan dengan mereka yang tidak mau menerima hukum waris Islam dan mereka tidak punya hak untuk mendapatkan pemakaman secara Islam.[8]
3.      Ahmad Khatib Menentang Tarekat
Selain tantangan terhadap pembagian warisan, Ahmad Khatib juga menentang terekat. Buku Ahmad Khatib yang paling terkenal di bidang ini ialah Izharu Zaghlil Kadzibin Fi Tasyabbuhihim bis shadiqin, tentangan tarekat khususnya terekat Naqsyabandi. Buku yang ditulis dalam bahasa melayu itu sudah pernah di-Indonesiakan oleh A. Arief pada tahun 1961 dan dicetak ulang pada tahun 1978, karena serangan terhadap tarekat dianggap telah aktual.[9]
Menurut informasi yang diterima oleh Snouck Hurgronje dalam Karel A Steenbrink, alasan yang paling kuat untuk menentang terekat adalah sikap iri hati Syekh Ahmad Khatib terhadap Syekh Jalal Kubis atau Sulaiman Effendi. Ada beberapa alasan yang cukup kuat dan rasional untuk menentang tarekat ini. Menurut mukadimahnya Ahmad Khatib mengambil bahan untuk bagian pertama dari kitab Alba’ist Ila Inkar Al-Bid’ah Wa’l Hawadist, permulaan kitab ini hanya merupakan kumpulan kutipan dari Al-Qur’an dan Hadist yang khusus menyerukan agar menjauhkan diri dari bid’ah. Selanjutnya kitab ini ditulis dalam bentuk jawaban terhadap lima pertanyaan. Masalah pertama adalah tentang asal tarekat Naqsyabandinya
Dalam Karel A Steenbrink dituliskan bahwa Ahmad Khatib mempunyai kecenderungan untuk cepat sekali “mengafirkan” orang lain, sebagaimana dia mengatakan :
Mungkin ia meyakini suatu i’tikad yang salah tentang Allah ta’ala: maka ia menurut hukum syari’ah dan pada sisi Tuhan, menjadi kafir. Padahal ia tidak mengetahui telaah menjadi kafir dengan i’tikad itu, seperti kebanyakan ahli terekat di Indonesia yang mengi’tikadkan Allah itu “Diiya’u lami, laisa kamistlihi syai’un”, artinya : “Cahaya yang cemerlang, yang tidak ada sempurnanya suatu jua”, maka orang yang menyakini Allah ta’ala cahaya dan tiap-tiap cahaya itu baharu. Dan diyakininya ia bersifat cemerlang dan cemerlang adalah sifat yang baharu seperti sifat api, matahari, tiap-tiap yang bercahaya dan tiap-tiap yang licin, maka orang mukmin tidak ragu lagi tentang kafirnya dengan i’tikad ini karena ia bertuhan kepada cahaya....”[10]

  1. Ahmad Khatib Sebagai Guru Pertama
Ahmad Khatib adalah sebagai pelopor dan sekurang-kurangnya guru dari generasi pertama pembaharuan Islam dalam abad ke 20.[11] Kendati dalam sumber lain ada yang berpendapat sangat negatif tentang Ahmad Khatib, namun dari kajian literatur yang penulis baca banyak  para pembaharuan yang muncul di tanah air pernah belajar dan menuntut ilmu dengan Syekh Ahmad Khatib di Mekah. Para pembaharu itu diantaranya : Syekh Muhammad Jamil Jambek, Kiyai Haji Ahmad Dahlan, Syekh H. Abdullah Ahmad, Syekh H. Abdul Karim Amrullah, Sykeh Taher Jalaluddin[12]. Dari tokoh pembaharu tersebut kesemuanya telah ikut menentukan sejarah perkembangan pendidikan Islam di di Indonesia
Murid-murid Ahmad Khatib pada umumnya menjadi ulama besar di tempat mereka masing-masing. Ulasan tentang para tokoh agama yang kembali dari Mekah setelah belajar agama selama beberapa tahun, maka akan lebih jelaslah bagi kita peranan Ahmad Khatib sebagai tokoh, guru pertama para pembaharu dan pembangun Islam di Indonesia. Memang sebagian besar murid-murid Ahmad Khatib berasal dari Minangkabau namun ada yang berasal dari pulau Jawa seperti KH Ahmad Dahan dimana hasil pembaharuannya mencakup seluruh kepulauan nusantara.
5.      Murid-murid Ahmad Khatib
Murid-murid Ahmad Khatib ikut menentukan sejarah perkembangan pendidikan Islam di tanah air pada masa ini, terutama di Minangkabau, dari murid-muridnya lagi kemudian menyebar ke tempat-tempat lain bukan saja di Minangkabau. Sebagian besar diantara mereka selain memperjuangkan pemurnian Islam dari berbagai unsur baru dan campuran yang tidak sejalan dengan ajaran agama yang murni. Sesuai dengan dorongan guru mereka juga tampil sebagai tokoh pembaharuan di daerah mereka masing-masing. Murid-murid Ahmad Khatib yang menjadi tokoh pembaharu di Minangkabau antara lain :
1)      Syekh Thaher Jalaluddin
Syekh Thaher Jalaluddin menetap di Malaysia setelah belajar di Mekkah kira-kira tahun 1900. ide-ide pembaharuan pemikirannya ia sebarkan melalui majalah Al-Imam yang dibaca kaum muda di Sumatra Barat[13]. Pada tahun 1908, beliau bersama seseorang yang bernama Raja Haji Ali bin Ahmad mendirikan sekolah Al-Iqbal Al-Islamiyah di Singapura.
Sekolah ini pun memberikan inspirasi kepada Haji Abdullah Ahmad pembaharu di Sumatra Barat untuk mendirikan sebuah sekolah agama yang bernama Sekolah Agama Adabiyah.
2)      Syekh Muhammad Jamil Jambek
Syekh Muhammad Jamil Jambek (1862-1947) belajar di Mekkah selama sembilan tahun (1890-1903) dan semenjak itu ia menyiarkan agama kepada masyarakat. Pada tahun 1913 ia mendirikan suatu organisasi dengan nama Tsamaratul Ikhwan di Bukit Tinggi[14]. Organisasi ini adalah organisasi sosial yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas masyarakat dalam beragama. Syekh Muhammad Jamil Jambek adalah ulama pertama yang mengajar dengan cara berpidato di muka umum, di Minangkabau khususnya[15]. Pada tahun 1918 ia mendirikan sebuah surau yang menjadi pusat kegiatan untuk memberikan pelajaran agama dan sekaligus menjadi tempat pertemuan organisasi-organisasi Islam. Di situ beliau secara rutin memberikan pelajaran agama kepada murid-muridnya.
Cara mengajar berpidato, mendatangi murid ke kampung-kampung. dan memberikan keterangan secara terperinci agar mudah dicerna. Itu semua adalah baru pada masa itu. Biasanya pelajaran diberikan dengan cara berhalaqah. duduk melingkar mengelilingi guru. Murid mendatangi guru ke suraunya.
Syekh Muhammad Jamil Jambek sangat memperhatikan keimanan dalam pengajarannya. Beliau seorang yang anti tarekat, sebagaimana halnya guru beliau Ahmad Khatib. Tetapi murid-muridnya yang terdiri dari guru dan kulipah tarekat. Kecaman-kecamannya terhadap tarekat disampaikan dengan cara yang dapat diterima oleh orang banyak. sehingga beliau dihormati sebagai seorang ahli tarekat.

3)      Haji Abdul Karim Amrullah (1879-1945)
Haji Abdul Karim Amrullah dikenal dengan Haji Rasul. Belajar di Mekkah selama tujuh tahun dimulai pada tahun 1894. kemudian ia belajar di sana selama beberapa tahun dan pulang kembali pada tahun 1906[16]. Sejak saat itu ia aktif menyiarkan agama dari suatu daerah ke daerah lain di Sumatra Barat. Ia juga mengadakan perjalanan ke luar Sumatra Barat yaitu Malaysia (1916) dan Jawa (1917). Dari kunjungan ke Jawa ia mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Dialah yang memperkenalkan Muhammadiyah di Minangkabau. Pada tahun 1925 surau tempat dia menyiarkan agama dan membimbing jamaah di Padang Panjang bernama surau Jambatan Besi kemudian menjadi lembaga pendidikan Sumatra Thawalib[17]. Ia juga menjadi penasehat organisasi Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) pada tahun berdirinya.
Haji Karim Amrullah atau HAKA adalah murid Ahmad Khatib yang sangat radikal dalam gerakan pembaharuan Islam di Minangkabawi. Beliau adalah seorang ulama besar yang berpengalaman, ahli pidato, dan sangat berani mengeluarkan pendapatnya dalam rangka pemurnian ajaran dan pelaksanaan ibadah Islam[18]. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya kemampuannya di bidang ilmu pengetahuan Islam telah diakui oleh Universitas Al-Azhar di Kairo.
Pendekatan HAKA dalam penyampaian ajaran Islam bersifat keras, tanpa maaf, dan tanpa kompromi. Beliau mengecam dan menyerang segala hal yang bertentangan dengan ilmu agama yang diperolehnya sampai ke persoalan yang kecil dalam tabligh-tabligh yang diadakannya[19]

4)      Haji Abdullah Ahmad (1879 – 1933)
Haji Abdullah Ahmad belajar di Mekkah selama empat tahun. Ia tertarik dengan modernisasi pemikiran yang telah dipublikasikan dan hal itu direalisasikannya dengan jalan menjadi agen dari berbagai majalah yang berisikan ide-ide pembaharuan yang sampai ke Sumatra Barat waktu itu.
Tahun 1906 Haji Abdulah Ahmad pindah ke Padang untuk menggantikan pamannya yang baru meninggal sebagai guru. Disana ia menyiarkan agama dengan jalan mengadakan pertemuan-pertemuan dan membahas masalah-masalah agama. Kenyataan yang muncul saat itu, tidak semua anak pedagang dapat masuk sekolah yang di dirikan oleh pemerintah, motivasi Haji Abdullah Ahmad untuk mendirikan sekolah Adabiah setelah ia mengunjungi sekolah Iqbal di Singapura Tahun 1909.
H. A. Ahmad adalah salah seorang dari “tiga serangkai” pembaharu Islam Minangkabawi yang terkenal itu, disamping Syekh Muhammad Jamil Jambek dan Haji Abdul Karim Amrullah[20]. Bila Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih banyak menyebarkan pembaharuan dan pemurnian Islam melalui tabligh atau dakwah lisan maka H. A. Ahmad lebih banyak melakukannya melalui tulisan ketengah masyarakat Islam[21]. Pengaruh Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih banyak tersebar di tengah masyarakat Minangkabawi, tetapi pengaruh H. A. Ahmad tersebar sampai keluar Sumatra melalui majalah yang diterbitkannya.
Selain mengajar, membentuk lembaga pendidikan, dan menerbitkan majalah H. A. Ahmad bersama seorang sahabatnya Thaher Marah Sultan mendirikan sebuah perkumpulan yang bernama “Syarikat Usaha”. Perkumpulan ini bertujuan mendirikan sekolah-sekolah seperti yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Usaha ini melahirkan H.L.S Adabiyah, yang kemudian diberi subsidi oleh pemerintah. Di sekolah ini disamping ilmu pengetahuan umum diajarkan pula agama.
Haji Abdullah Ahmad seorang ulama produktif dalam menulis dan diangkat menjadi ketua persatuan wartawan di Padang tahun 1914[22]. ia mempunyai hubungan yang erat dengan siswa-siswa pemerintah di di Padang dan Sekolah Dokter di Jakarta dan memberikan bantuannya dalam kegiatan Jong Sumatranen Bond. Ia mengomandani majalah Al-Munir di Padang (1911-1916) dan Al-Akhbar (1913), dan menjadi redaktur bidang agama Islam dalam majalah Al-Islam (1916) yang diterbitkan oleh Sarekat Islam.[23]
5)      Kiyai Haji Ahmad Dahan (1868 – 1923)
Kiyai Haji Ahmad Dahlan adalah murid Ahmad Khatib yang melancarkan pembaharuan di pulau Jawa. Selain beliau berguru kepada Ahmad Khatibh, Ahmad Dahlan pernah juga berguru kepada Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama terkenal di Bukit Tinggi yang mempunyai reputasi dan berwawasan modern ketika itu.[24]
Usaha yang pertama dilakukan Ahmad Dahlan sekembalinya dari Mekkah adalah membetulkan orang kiblat umat Islam pada waktu itu. Pada umumnya orang sholat menghadap ke Barat. Sedangkan arah kiblat yang benar itu adalah 24 ½ derajat ke utara. Tradisi tempat ibadah yang kebanyakan hanya mengukur kepada keadaan dan pengetahuan umum semata.
Pokok pikiran Ahmad Dahlan meliputi bidang keagamaan, bidang sosial kemasyarakatan, bidang politik kenegaraan dan bidang pendidikan, bhaw atujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh, menguasai ilmu agama dan ilmu umum material spritual dan dunia akhirat. Metode yang dipakai adalah pendekatan kontekstual.
Gerakan pendidikan K.H. Ahmad Dahlan membuahkan hasil yang jelas pada saat Ahmad Dahlan mendirikan sekolah modern. Pada tahun 1911 beliau berhasil mendirikan sekolah dengan sitem kelas, para murid bukan lagi belajar di surau dan di halaqoh. Beliau juga mengajar bukan saja ilmu-ilmu agama melainkan juga ilmu-ilmu umum. Murid perempuan tidak lagi dipisahkan dari murid laki-laki sebagaimana di surau-surau dan di halaqoh.[25]
6.      Peranan Ahmad Khatib Terhadap Pendidikan di Indonesia
Syekh Ahmad Khatib pergi ke Mekkah untuk belajar pada tahun 1876 dan kemudian ia mencapai kedudukan tertinggi dalam mengajarkan agama, yaitu sebagai imam dari mazhab Syafi'i di Mesjid al-Haram. Walaupun beliau tidak pernah kembali ke daerah asalnya kemudian, tetapi ia tetap mempunyai hubungan dengan daerah asalnya melalui mereka yang naik haji ke Mekkah dan belajar padanya yang kemudian menjadi guru di daerah-daerah asal mereka masing-masing. Bicara masalah perhajian menurut Azyumardi Azra ada tiga kategori kehadiran imigran ke Haramyn, pertama mereka disebut little immigrant, kedua adalah grant immigrant, dan ketiga adalah ulama dan murid pengembara.[26] Bila penulis kaji Syekh Ahmad Khatib termasuk kategori yang kedua dan murid-muridnya termasuk kategori yang ketiga. Hubungan tersebut dipererat lagi dengan publikasi tulisan-tulisannya tentang persoalan yang sering dikemukakan kepadanya oleh murid-murid dari Indonesia.
Syekh Ahmad Khatib adalah seorang guru besar di Masjidil Haram, yang terkenal karena tinggi ilmunya. banyak murid belajar kepadanya. Diantaranya ada yang datang dari Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Malaya. Kepada mereka Ahmad Khatib menekankan agar mempunyai keberanian untuk mengemukakan pikiran sendiri. Mereka dibiarkan berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dicetuskan oleh Muhammad 'Abduh. seperti yang terdapat di dalam majalah Al-'urwah al-Wutsqa dan membaca serta mempelajari tafsir AI-Manar. Karena itu muncullah diantara murid-murid yang belajar kepada Ahmad Khatib beberapa tokoh pembaharuan di tanah air kita pada awal abad 20 ini.[27]
Ahmad Khatib adalah seorang ulama pendidikan pembaharu dan pembangun pendidikan Islam di Indonesia. Beliau berjuang dari tempat yang jauh di Mekkah. Walaupun beliau tidak terjun langsung ke tanah air, namun beliau memegang peranan penting dalam pergerakan Islam di tanah air pada awal abad ke 20 ini. Beliau telah mendidik para pelopor pembaharuan dan para pembangun Islam khususnya di Minangkabau dan Indonesia umumnya[28]. Para pelopor pembaharuan juga berperan dalam modernisasi pemikiran di Sumatra Barat karena mereka mempunyai akses langsung ke masyarakat.
 
 
C.  Penutup
1.      Kesimpulan
Dari paparan di atas penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1)  Syekh Ahmad Khatib adalah sebagai pelopor dan sekurang-kurangnya guru dari generasi pertama pembaharuan Islam di Indonesia pada abad ke-20. dimana banyak para pembaharu yang muncul di tanah air pernah belajar dan menuntut ilmu dengan Syekh Ahmad Khatib di Mekkah serta ikut menentukan sejarah perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.
2)  Syekh Ahmad Khatib setelah ke Mekah memang tidak pernah kembali ke tanah air, namun pengaruhnya sangat besar sekali. Hal ini bisa kita lihat dari beliau masih mempunyai hubungan dengan daerah asalnya melalui mereka yang naik haji ke Mekkah dan belajar padanya dan kemudian mereka menjadi guru di daerah asalnya masing-masing serta mengadakan pembaharuan pendidikan Islam pada awal abad ke-20. Pengaruhnya bukan saja melalui murid-muridnya akan tetapi juga melalui publikasi tulisan-tulisannya tentang persoalan yang dikemukakan oleh murid-muridnya dari tanah air.

2.      Saran
Setelah penulis selesai memaparkan tentang Syekh Ahmad Khatib sebagai guru pertama para pembaharu dan pengaruhnya terhadap pendidikan di Indonesia maka penulis menyarankan :
1)    Tidak salahnya kita semua membaca tentang tokoh-tokoh lain sebagai pembaharuan Islam bukan saja di Minangkabau namun di daerah-daerah lain.
2) Begitu besarnya peranan tokoh-tokoh Islam dalam pembaharuan yang terkait terhadap pendidikan kita semua patut mencontoh tokoh-tokoh tersebut sebatas kemampuan masing-masing.
3)   Analisis Historis pendidikan Islam di Minangkabau ikut mewarnai kemajuan pendidikan pada saat sekarang maka tidak mustahil analisis ini bisa kita angkat menjadi tesis pada program pasca sarjana (S2).
4)     Selanjutnya penulis menyadari masih banyak kealfaan pada pemaparan makalah ini baik dari segi tulisan, literatur dan yang lainnya, maka kritik, saran dan masukan penulis siap untuk memperbaikinya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoev, 2002

Lihat dalam Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, Jakarta : Penada Media, 2004


Daya, Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1990.

Latief M., Sanusi, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar di Sumatra Barat, Padang : Islamic Centre Sumatra Barat, 1981.

Nazar, Akhtiar, Syekh Ahmad Khatib Ilmuan Islam di Permukaan Abad Ini, Jakarta : Pustaka Panjimas. 1983.

Nizar, Hayati, Jurnal Keislaman dan Peradaban, Analisis Historis Pendidikan Demokrasi di Minangkabau, Padang : Hadharah Pasca Sarjana IAIN Imam Bonjol Padang, 2003.

Net, Daliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Cet ke 7 Jakarta : LP3ES, 1995.

Sani, Abdul, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998

Stenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 15, Jakarta : Bulan Bintang, 1984

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1979.



 


       [1] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, 1979, h. 53
       [2] Karel A Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta.1984.h.  139
       [3] Ibid., h. 139
       [4] Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Islam. Yogyakarta, 1990. h.10
       [5] Anonim, Ensiklopedi Islam. Jakarta, 2002, h.87
      [6] Karel  A Steenbrink, op.cit. h. 141
      [7] Ibid,, h. 145
       [8]  Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib Ilmuan dipermulaan Abad ini, Jakarta, 1983. h.24
       [9]  Karel A Steenbrink, op.cit, h.143
       [10] Ibid., h.144
       [11]  Dalier Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta : 1995, h. 38
       [12]  Hayati Nizar Hadharah, Jurnal KeIslaman dan Peradaban. Padang, h. 139.
       [13] Hayati Nizar, op.cit, h. 140
       [14] Ibid., h. 140
       [15] Ibid.,
       [16] Ibid.,
       [17] Ibid.,
       [18] Ibid, h.141
       [19] Akhria Nazwar, op.cit, h. 53
        [20] Ibid., h.54
        [21] Ibid.,
        [22] Hayati Nizar, op.cit, h.141
        [23] M. Sanusi Latief dkk, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar di Sumatra Barat,  Padang, 1981. h. 120
        [24] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta, 1998, h.202
         [25] Anonim, op.cit, h.35
         [26] Lihat dalam Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Memodernisasi Pemikiran di Sumatra Barat Karena Mereka Mempunyai Akses Langsung ke Masyarakat dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, Jakarta : 2004, h.109.
       [27] Deliar Noer, op.cit, h. 42
       [28] Akhria Nazwa, op.cit, h. 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar