Jumat, 16 Maret 2012

PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIKULTURAL

PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIKULTURAL
Dikutip dari : http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/10/
pembelajaran-berbasis-multikultural/


 Apa itu Pembelajaran Berbasis Multikultural?

Pembelajaran multikultural adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, kelas, (Sleeter and Grant, 1988). Pendidikan multikultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang (Skeel, 1995). Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas (Liliweri, 2005). Pendidikan multuikultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya (Banks, 1993).

Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.

Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan multikultural bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi budaya individual.

Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat (Savage & Armstrong, 1996). Pendidikan multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis. (Farris & Cooper, 1994).

Tujuan pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi: (1) untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; (2) untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3) memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya; (4) untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok (Banks, dalam Skeel, 1995)

Di samping itu, pembelajaran berbasis multikultural dibangun atas dasar konsep pendidikan untuk kebebasan (Dickerson, 1993; Banks, 1994); yang bertujuan untuk: (1) membantu siswa atau mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan masyarakat; (2) memajukan kekebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan budaya untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.

 Mengapa perlu Pembelajaran Berbasis Multikultural?

Rasional tentang pentingnya pendidikan multikultural, karena startegi pendidikan ini dipandang memiliki keutamaan-keutamaan, terutama dalam: (1) memberikan terobosan baru pembelajaran yang mampu meningkatkan empati dan mengurangi prasangka siswa atau mahasiswa sehingga tercipta manusia (warga negara) antarbudaya yang mampu menyelesaikan konflik dengan tanpa kekerasan (nonviolent); (2) menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang potensial dalam mengedepankan proses interaksi sosial dan memiliki kandungan afeksi yang kuat; (3) model pembelajaran multikultural membantu guru dalam mengelola proses pembelajaran menjadi lebih efisien dan efektif, terutama memberikan kemampuan peserta didik dalam membangun kolaboratif dan memiliki komitmen nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk; (4) memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian dan mengelola konflik yang bernuansa SARA yang timbul di masyarakat dengan cara meningkatkan empati dan mengurangi prasangka.

Kondisi keberagaman masyarakat dan budaya, secara positif menggambarkan kekayaan potensi sebuah masyarakat yang bertipe pluralis, namun secara negatif orang merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya orang lain. Setiap etnik atau ras cenderung mempunyai semangat dan ideologi yang etnosentris, yang menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras lain (Jones, dalam Liliweri, 2003). Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota kelompok tertentu. Secara demikian, prasangka memiliki potensi dalam mengambinghitamkan orang lain melalui stereotipe, diskriminasi dan penciptaan jarak sosial (Bennet dan Janet, 1996)

Melalui pembelajaran multikultural, subyek belajar dapat mencapai kesuksesan dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi (Banks, 1996). Dengan kata lain, variabel sekolah terbentuk dimana besar kelompok rasial dan etnis yang memiliki pengalaman dan hak yang sama dalam proses pendidikan. Pelajar mampu mengembangkan keterampilannya dalam memutuskan sesuatu secara bijak. Mereka lebih menjadi suatu subyek dari pada menjadi obyek dalam suatu kurikulum. Mereka menjadi individu yang mampu mengatur dirinya sendiri dan merefleksi kehidupan untuk bertindak secara aktif. Mereka membuat keputusan dan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan konsep, pokok-pokok masalah yang mereka pelajari. Mereka mengembangkan visi sosial yang lebih baik dan memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan serta mengkonstruksinya dengan sistematis dan empatis. Seharusnya guru mengetahui bagaimana berperilaku terhadap para pelajar yang bermacam-macam kulturnya di dalam kelas. Mereka mengetahui perbedaan-perbedaan nilai-nilai dan kultur dan bentuk-bentuk perilaku yang beraneka ragam.

Dimensi dan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Multikultural

James A. Banks (1993, 1994-a), mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:

  1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
  1. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;
  1. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.
  1. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.
  1. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.
Pendekatan yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran di kelas multikultural adalah pendekatan kajian kelompok tunggal (Single Group Studies) dan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspektives Approach). Pendidikan multikultural di Indonesia pada umumnya memakai pendekatan kajian kelompok tunggal. Pendekatan ini dirancang untuk membantu siswa dalam mempelajari pandangan-pandangan kelompok tertentu secara lebih mendalam. Oleh karena itu, harus tersedia data-data tentang sejarah kelompok itu, kebiasaan, pakaian, rumah, makanan, agama yang dianut, dan tradisi lainnya. Data tentang kontribusi kelompok itu terhadap perkembangan musik, sastra, ilmu pengetahuan, politik dan lain-lain harus dihadapkan pada siswa. Pendekatan ini terfokus pada isu-isu yang sarat dengan nilai-nilai kelompok yang sedang dikaji.
           
Sedangkan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspectives) adalah pendekatan yang terfokus pada isu tunggal yang dibahas dari berbagai perspektif kelompok-kelompok yang berbeda. Pada umumnya, guru-guru memiliki berbagai perspektif dalam pembelajarannya. Dalam kaitan ini, Bannet dan Spalding (1992) menyarankan agar pembelajaran menggunakan pendekatan perspektif ganda, dengan alasan pendekatan itu nampak lebih efektif.

Pendekatan perspektif ganda membantu siswa untuk menyadari bahwa suatu peristiwa umum sering diinterpretasikan secara berbeda oleh orang lain, dimana interpretasinya sering didasarkan atas nilai-nilai kelompok yang mereka ikuti. Solusi yang dianggap baik oleh suatu kelompok (karena solusi itu sesuai dengan nilai-nilainya), sering tidak dianggap baik oleh kelompok lainnya karena tidak cocok dengan nilai yang diikutinya (Savage & Armstrong, 1996). Keunggulan pendekatan perspektif ganda ini terletak pada proses berpikir kritis terhadap isu yang sedang dibahas sehingga mendorong siswa untuk menghilangkan prasangka buruk. Interaksi dengan pandangan kelompok yang berbeda-bebada memungkinkan siswa untuk berempati. Hasil penelitian (Byrnes, 1988) membuktikan bahwa siswa yang rendah prasangkanya menunjukkan sikap yang lebih sensitif dan terbuka terhadap pandangan orang lain. Mereka juga mampu berpikir kritis, karena mereka lebih bersikap terbuka, fleksibel, dan menaruh hormat pada pendapat yang berbeda (Walsh, 1988). Bahan pelajaran dan aktivitas belajar yang kuat aspek afektifnya tentang kehidupan bersama dalam perbedaan kultur terbukti efektif untuk mengembangkan perspektif yang fleksibel (Byrnes, 1988). Siswa yang memiliki rasa empati yang besar memungkinkan dia untuk menaruh rasa hormat terhadap perbedaan cara pandang. Tentu saja hal itu akan mampu mengurangi prasangka buruk terhadap kelompok lain. Membaca buku sastra multietnik dapat mengurangi stereotipe negatif tentang budaya orang lain (Walker-Dalhouse, 1992). Pendekatan perspektif ganda mengandung dua sasaran yaitu meningkatkan empati dan menurunkan prasangka. Empati terhadap kultur yang berbeda merupakan prasyarat bagi upaya menurunkan prasangka.





PENDIDIKAN KARAKTER

Mengapa (Perlu) Pendidikan Karakter?
Oleh: Samsuri



A. Pendahuluan
Pertanyaan yang selalu hadir dalam diri penulis makalah ini ketika berhadapan dengan arti penting pendidikan karakter: Mengapa perlu pendidikan karakter? Apakah ”karakter” dapat dididikkan? Karakter apa yang perlu dididikkan? Bagaimana mendidikkan aspek-aspek karakter secara efektif? Bagaimana mengukur keberhasilan sebuah pendidikan karakter? Siapa yang harus melakukan pendidikan karakter? Bagaimana hubungannnya dengan bidang studi lainnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali diperkuat oleh kebijakan yang menjadikan pendidikan karakter sebagai ”program” pendidikan nasional di Indonesia terutama dalam Kementerian Pendidikan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu II. ”Pendidikan karakter” bukanlah hal baru dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Namun, jagad  pendidikan Indonesia kembali diramaikan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional yang mengusung pendidikan karakter lima tahun ke depan melalui Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014. Masih kental di ingatan kalangan pendidikan kita di awal Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, ketika itu Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin, berusaha menghidupkan pendidikan watak dan budi pekerti – sebagai amanat Garis-garis Besar Haluan Negara 1999— terutama untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. 
Pemeo lama di dunia pendidikan nasional Indonesia yang mengatakan bahwa “ganti menteri, maka ganti kurikulum atau ganti kebijakan,” menyiratkan sedikitnya dua hal. Pertama, persoalan pendidikan akan selalu dikaitkan dengan arah politik atau kebijakan pendidikan nasional, sehingga antara pendidikan dan politik selalu berhubungan sangat kuat. Kedua, ada penyederhanaan anggapan bahwa persoalan pendidikan seakan hanya sebatas masalah kurikuler atau urusan kurikulum lembaga pendidikan formal.
Secara khusus, meskipun sebelum ada kebijakan Menteri Pendidikan Nasional tentang pendidikan karakter, namun keputusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta untuk menjadikan Pendidikan Karakter sebagai sebuah program kurikuler mulai tahun akademik 2009/2010, merupakan langkah penting untuk mengkaji ulang secara mendalam tentang pendidikan karakter itu sendiri. Dari sini pula, pertanyaan lanjutannya: Apakah pendidikan karakter di FISE UNY sebuah keberanian kebijakan pendidikan fakulter yang akan terus berlanjut tanpa mengenal pergantian pimpinan fakultas? Pertanyaan ini patut dikemukakan, karena jangan sampai terjadi, sebuah mata kuliah lahir karena sebuah kekuasaan tengah berlangsung. Pergantian kepemimpinan (fakultas atau pun universitas) jangan menjadi faktor utama penggantian atau penghapusan sebuah nomenklatur suatu  mata kuliah.
Paparan makalah ini menyajikan ulang secara ringkas beberapa aspek pendidikan karakter, khususnya pendidikan karakter sebagai program kurikuler. Tujuan utama makalah ini ialah agar diperoleh pemahaman (bahkan kesepahaman) tentang bagaimana pendidikan karakter itu dilakukan secara optimal di kampus FISE UNY.

 B. Ragam Pendidikan Karakter 
 Ada beberapa penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada kajian pembentukan karakter peserta didik, tergantung kepada aspek penekanannya. Di antaranya yang umum dikenal ialah: Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging), misal pendidikan karakter juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu sendiri (Kirschenbaum, 2000). Sebagai kajian akademik, pendidikan karakter tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam konten (isi), pendekatan dan metode kajian. Di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat terdapat pusat-pusat kajian pendidikan karakter (Character Education Partnership; International Center for Character Education). Pusat-pusat ini telah mengembangkan model, konten, pendekatan dan instrumen evaluasi pendidikan karakter. Tokoh-tokoh yang sering dikenal dalam pengembangan pendidikan karakter antara lain Howard Kirschenbaum, Thomas Lickona, dan Berkowitz.  Pendidikan karakter berkembang dengan pendekatan kajian multidisipliner: psikologi, filsafat moral/etika, hukum, sastra/humaniora.
Terminologi ”karakter” itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values (nilai-nilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang melekat dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada gilirannya adalah suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase. Dari hal ini, maka kajian pendidikan karakter akan bersentuhan dengan wilayah filsafat moral atau etika yang bersifat universal, seperti kejujuran. Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai menjadikanupaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai, untuk membantu  siswa mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak  dengan cara-cara yang pasti” (Curriculum Corporation, 2003: 33). Persoalan baik dan buruk, kebajikan-kebajikan, dan keutamaan-keutamaan menjadi aspek penting dalam pendidikan karakter semacam ini.
Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.   
Bagaimana pendidikan karakter yang ideal? Dari penjelasan sederhana di atas, pendidikan karakter hendaknya mencakup aspek pembentukan kepribadian yang memuat dimensi nilai-nilai kebajikan universal dan kesadaran kultural di mana norma-norma kehidupan itu tumbuh dan berkembang. Ringkasnya, pendidikan karakter mampu membuat kesadaran transendental individu mampu terejawantah dalam perilaku yang konstruktif berdasarkan konteks kehidupan di mana ia berada: Memiliki kesadaran global, namun mampu bertindak sesuai konteks lokal.

 C. Perpektif Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter sebagai sebuah program kurikuler telah dipraktekan di sejumlah negara. Studi J. Mark Halstead dan Monica J. Taylor (2000) menunjukkan  bagaimana pembelajaran dan pengajaran nilai-nilai sebagai cara membentuk karakter terpuji telah dikembangkan di sekolah-sekolah di Inggris. Peran sekolah yang menonjol terhadap pembentukan karakter berdasarkan nilai-nilai tersebut ialah dalam dua hal yaitu:
to build on and supplement the values children have already begun to develop by offering further exposure to a range of values that are current in society (such as equal opportunities and respect for diversity); and to help children to reflect on, make sense of and apply their own developing values (Halstead dan Taylor, 2000: 169).
 Untuk membangun dan melengkapi nilai-nilai yang telah dimiliki anak agar berkembang  sebagaiamana nilai-nilai tersebut juga hidup dalam masyarakat, serta agar anak mampu merefleksikan, peka, dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut, maka pendidikan karakter tidak bisa berjalan sendirian. Dalam kasus di Inggris, review penelitian tentang pengajaran nilai-nilai selama dekade 1990-an memperlihatkan bahwa pendidikan karakter yang diusung dengan kajian nilai-nilai dilakukan dengan program lintas kurikulum. Halstead dan Taylor (2000: 170-173) menemukan bahwa nilai-nilai yang diajarkan tersebut juga disajikan dalam pembelajaran Citizenship; Personal, Social and Health Education (PSHE); dan mata pelajaran lainnya seperti Sejarah, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Alam dan Geografi, Desain dan Teknologi, serta Pendidikan Jasmani dan Olahraga.
”Karakter warga negara yang baik” merupakan tujuan universal yang ingin dicapai dari pendidikan kewarganegaraan di negara-negara manapun di dunia. Meskipun terdapat ragam nomenklatur pendidikan kewarganegaraan di sejumlah negara (Kerr, 1999; Cholisin, 2004; Samsuri, 2004, 2009) menunjukkan bahwa pembentukan karakter warga negara yang baik tidak bisa dilepaskan dari kajian pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Sebagai contoh, di Kanada pembentukan karakter warga negara yang baik melalui pendidikan kewarganegaraan diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian. Di negara bagian Alberta (Kanada) kementerian pendidikannya telah memberlakukan kebijakan pendidikan karakter bersama-sama pendidikan karakter melalui implementasi dokumen The Heart of the Matter: Character and Citizenship Education in Alberta Schools (2005). Dalam konteks Indonesia, di era Orde Baru pembentukan karakter warga negara nampak ditekankan kepada mata pelajaran seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP) maupun Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) bahkan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Di era pasca-Orde Baru, kebijakan pendidikan karakter pun ada upaya untuk ”menitipkannya” melalui Pendidikan Kewarganegaraan di samping Pendidikan Agama.
Persoalannya apakah nilai-nilai pembangun karakter yang diajarkan dalam setiap mata pelajaran harus bersifat ekplisit ataukah implisit saja? Temuan Halstead dan Taylor (2000) pun menampakkan perdebatan terhadap klaim-klaim implementasi pengajaran nilai-nilai moral dalam Kurikulum Nasional di Inggris (terutama di era Pemerintahan Tony Blair). Klaim-klaim tersebut antara lain menyatakan pentingnya:

·        Sejarah sebagai sebuah alat untuk membantuk siswa mengembangkan toleransi atau komitmen rasional terhadap nilai-nilai demokratis.
·       Bahasa Inggris sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kemandirian dan menghormati orang lain
·         Pengajaran Bahasa Modern untuk menjamin kebenaran dan integritas personal dalam berkomunikasi
·        Matematika sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan tanggung jawab sosial
·   Ilmu Alam dan Geografi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan sikap-sikap tertentu terhadap lingkungan
·         Desain dan Teknologi sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan nilai-nilai multikultural dan anti-rasis
·         Ekspresi Seni sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kualitas fundamental kemanusiaan dan tanggapan spiritual terhadap kehidupan
·         Pendidikan Jasmani dan Olah Raga sebagai alat untuk membantu siswa mengembangkan kerjasama dan karakter bermutu lainnya (diadaptasikan dari Halstead dan Taylor, 2000: 173).
Paparan tersebut memperkuat alasan bahwa pendidikan karakter merupakan program aksi lintas kurikulum. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat diselenggarakan sebagai program kurikuler yang berdiri sendiri (separated subject) dan lintas kurikuler (integrated subject). Namun, pendidikan karakter juga dapat dilaksanakan semata-mata sebagai bagian dari program ekstra-kurikuler seperti dalam kegiatan kepanduan, layanan masyarakat (community service), maupun program civic voluntary dalam tindakan insidental seperti relawan dalam mitigasi bencana alam. 

KHASIAT SIRSAK

Sirsak Bisa Obati Kanker



Kanker bisa diobati dengan mengonsumsi herbal atau buah-buahan. Dari banyak herbal tersebut, sirsak punya keunggulan dibandingkan buah lain. Sirsak diketahui bisa mencegah dan juga ampuh untuk mengobati beberapa jenis kanker. "Untuk sirsak sendiri telah diteliti dapat mengobati kanker usus besar (kolon), kanker paru-paru, kanker pankreas, kanker prostat, dan juga kanker buah dada (payudara)," ucap dr Hardhi Pranata, SpS, selaku Ketua Umum Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI).
Bagian sirsak yang bermanfaat untuk obat kanker adalah batang, daun, dan juga buahnya atau dalam bentuk jus. Buahnya bisa dimakan langsung, dibikin jus, atau daunnya direbus kemudian hasil rebusannya diminum. "Bisa dengan cara minum jus buah sirsak atau dengan cara merebus 9 lembar daun sirsak dan minum air rebusan tersebut lalu dimonitor keadaannya. Biasanya nafsu makan akan meningkat dan pertumbuhan sel-sel kankernya akan terhambat," ungkap dr Hardhi.
Dia juga menjelaskan, sirsak mengandung senyawa saponin, polifenol, dan juga bioflavonoid yang memiliki khasiat sebagai antioksidan. Nah, cara membunuh sel kanker oleh sirsak inilah yang berbeda dengan herbal lainnya. Sirsak hanya membunuh sel-sel yang tumbuhnya abnormal atau sel-sel spesifik seperti radikal bebas yang ada sel-sel kankernya. Tapi sirsak tidak merusak sel-sel yang sehat. Selain memiliki rasa yang enak, buah sirsak ini juga membantu memelihara kesehatan, mencegah penyakit, dan mengobati penyakit. Hal ini karena buah sirsak juga bisa menurunkan tekanan darah, anti-parasit, obat penenang yang berfungsi meningkatkan kekebalan tubuh serta mengatasi depresi, radang sendi, dan juga untuk asam urat. "Konsumsi buah sirsak ini harus digalakkan lagi agar tidak punah karena banyak manfaat yang bisa didapatkan dengan mengonsumsi buah ini," ujar dokter yang praktik di RSPAD Gatot Subroto ini.
Untuk di Indonesia, penelitian mengenai khasiat sirsak dan tanaman obat lainnya ini akan dilakukan dalam waktu dekat. Dalam studi ini, RS Kanker Dharmais akan bekerja sama dengan Nanjing University of Chinese Medicine yang difasilitasi PDHMI. Dalam penelitian ini akan dilakukan terapi kombinasi antara obat-obatan dan juga herbal. "MoU kerja sama ini sudah ditandatangani dan diperkirakan mulai bulan Desember sudah mulai dilakukan penelitian di Indonesia," imbuh dr Hardhi. Dia menuturkan bahwa di Nanjing University, terapi kombinasi ini sudah dilakukan. Pasien-pasien kanker di sana tidak mengalami mual, rambut rontok, berat badan menurun, dan bisa tetap berjalan-jalan seperti biasa. Terapi kombinasi ini diharapkan bisa mengurangi efek samping dari terapi standar kanker yang dilakukan, seperti kemoterapi, radiasi atau operasi, serta dapat mengurangi jumlah kemoterapi yang seharusnya dilakukan oleh si pasien. Tumbuhan dan buah-buahan yang diketahui memiliki efek anti kanker, seperti:
1.   Tomat diketahui dapat mengobati kanker prostat, dengan cara mengonsumsi tomat yang sudah direbus.
2.  Cabe merah diketahui dapat mencegah kanker usus besar jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama.
3. Biji anggur juga diketahui memiliki senyawa anti-kanker. Oleh karenanya, kalau mengonsumsi anggur, cari yang memiliki biji dan makan bersama kulitnya.
4.    Daun sirih merah diketahui sebagai anti-kanker payudara dengan cara direbus.
5.  Temulawak diketahui memiliki zat aktif cursil yang bersifat sebagai anti-inflamasi dan juga anti kanker.
"Sebagian tumbuhan obat di Indonesia mengandung obat anti-kanker, seperti sitotoksin yang memiliki kemampuan untuk membunuh dan mendeteksi sel-sel yang tumbuhnya tidak normal. Senyawa-senyawa di dalam tumbuhan ini bisa berfungsi dalam bentuk gabungan, tapi ada juga yang single," ujarnya. (sumber dari semua pihak).
                                                                           

Kamis, 15 Maret 2012

EVALUASI KURIKULUM PAI


PERBANDINGAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA
Oleh: Said Saleh



A.   PENDAHULUAN
Asia tenggara yang meliputi beberapa negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Kamboja, Loas, Vietnam, Myanmar, Singapura, Brunai Darussalam, dan Filipina didiami oleh masyarakat religius, dan terdapat sejumlah agama yang dianut oleh masyarakatnya, yakni Islam, Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain.
Khusus agama Islam dianut mayoritas masyarakat yang tinggal di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Mengenai tempat asal datangnya agama Islam ke kawasan ini setidaknya ada tiga teori besar tentang hal ini, yaitu, pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Islam datang ke kawasan ini langsung dari Arab, pendapat ini dikemukakan oleh Crauwfurd (1820), Niemann (1861), dan Veth (1878)[1];kedua, teori  kedua menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia dari India, hal  ini pertama kali dikemukakan oleh Pijnappel (1872); ketiga, teori yang dikembangkan oleh C. Snouck Hur yang menyatakan bahwa Islam datang ke Bengal (Bangladesh).[2]
Ditinjau dari sudut kajian historis, pendidikan Islam itu telah berlangsung sejak awal masuknya Islam, yakni sejak mubalig awal melakukan aktivitas pendidikan di kawasan Nusantara. Atas dasar itu dapat dimaklumi bahwa pendidikan Islam telah berlangsung sejak masuknya Islam di  Asia Tenggara, dan dengan demikian pula pendidikan Islam telah memainkan peranannya dalam proses Islamisasi di kawasani ini.
Kawasan Asia Tenggara terdiri dari negara-negara dengan pemeluknya agamanya yang beragam. Untuk terdiri dari negara-negara mayoritas dengan penduduknya beraga Islam dan negara-negara dengan agama Islam yang minoritas. Negara-negara dengan pemeluknya agama Islam yang mayoritas adalah Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam sedangkan negara-negara dengan pemeluk agama Islam yang minoritas adalah Thailand, Singapura, dan Filipina.
Untuk itu, perbandingan kurikulum Islam dapat dilihat  perkembangan Islam di setiap negara di Asia Tenggara, makalah ini untuk melihat bagaimana perkembangan kurikulum pendidikan Islam seiring dengan perkembangan Islam di setiap negara-negara di Asia Tenggara yang tergolong negara-negara berkembang.
B.  PEMBAHASAN   
1.    Indonesia
Proses Islamisasi Indonesia melalui lewat beberapa saluran antara lain perdagangan, perkawinan, kesenian, sufisme, dan pendidikan. berbicara tentang pendidikan sebagai salah satu jalur Islamisasi perlu didudukan apakah pekerjaan (aktivitas) para mubalig itu dapat digolongkan pada aktivitas  pendidikan? Untuk  membahas ini perlu cari esensi pendidikan. pendidikan itu adalah proses manusia ke arah yang dicita-citakan. Dengan demikian, pendidikan Islam itu bermakna adalah pembentukan manusia sesuai dengan tuntunan Islam. Pada tahap awal  pendidikan Islam di Indonesia berlangsung secara informal. Kontak-kontak person antara mubalig dan masyarakat sekitar yang tidak terancang terstruktur secara jelas dan tegas. Pergaulan keseharian yang di dalamnya mengandung unsur pendidikan, seperti keteladanan yang diberikan oleh para mubalig merupakan ketertarikan masyarakat sekitar untuk memeluk agama Islam.[3]
Untuk mengukur apakah kegiatan mubalig awal tersebut tergolong kepada aktivitas pendidikan. Perlu dilihat unsur pokok dari pendidikan itu. Setidaknya ada lima unsur pendidikan, yaitu; pertama,  ada pemberi (pendidik); kedua,  ada penerima (peserta didik); ketiga,   adanya tujuan baik; keempat, cara atau jalan yang baik; kelima,  konteks positif menjauh konteks negatif. Dengan mengungkapkan unsur dasar pendidikan dapat dijadikan acuan apakah aktivitas pedagang dan mubalig awal itu tergolong kepada aktivitas pendidikan. dari unsur pemberi dan penerima dapat diungkapkan bahwa mubalig adalah pemberi dan masyarakat sekitar yang disampaikan serta target yang ingin dicapai adalah cara atau jalan yang baik berkenaan dengan keterkaitannya dengan nilai. Pedagang dan mubalig dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam terkait dengan cara-cara yang baik. Sedangkan konteks positif adalah konteks yang dapat memberi pengaruh atau efek pada aktivitas pendidikan.[4]
Pendidikan Islam pada awal itu berlangsung secara informal. Kontak-kontak antara pemberi dan penerima.  Tidak ada jadwal waktu tertentu, tidak ada materi tertentu, dan tidak ada tempat yang khusus. Kontak-kontak awal itu tidak terprogram secara rigit dan ketat. Jadi, hal itu belum melembaga sebagai suatu lembaga tertentu. Di sini yang paling berperan adalah mubalig.  Setelah pendidikan formal itu berlangsung, maka muncullah  pendidikan formal. Pendidikan yang terencana, punya waktu, tempat, dan materi tertentu. Dengan demikian ada beberapa lembaga pendidikan Islam formal pertama yang muncul di Indonesia:
a.    Masjid dan Langgar      
Sebagai implikasi dari terbentuknya masyarakat muslim di suatu tempat, maka mereka memerlukan masjid dan langgar sebagai tempat melaksanakan kegiatan ibadah. Fungsi masjid dan langgar tersebut diperluas sebagai juga sebagai tempat pendidikan.
b.   Pesantren   
   Belum ditemukan tahun yang pasti kapan pesantren pertama kali dirikan. Banyak pendapat mengatakan bahwa pesantren muncul pada zaman wali songo, dan Maulana  Malik Ibrahim dipandang sebagai yang pertama mendirikan pesantren.
  c.    Meunasah, Rangkang, dan Dayah  
 Di Aceh ada tiga lembaga pendidikan Islam yang populer, yaitu, pertama, Meunasah, secara etimologi berasal dari perkataan madrasah. Setiap kampung di Aceh ada  Meunasah sebagai tempat belajar bagi anak-anak; kedua,  Rangkang, sebagai tempat tinggal murid yang dibangun di sekitar masjid; ketiga,  Dayah sebagai tempat yang dibangun di sekitar masjid.
d.   Surau          
Surau diartikan tempat (rumah) umat Islam melakukan ibadah (shalat, mengaji, dan lain-lainnya).[5] Lembaga pendidikan formal masih tetap berfungsi sampai pada masa  kemerdekaan. Pendidikan Islam di Indonesia pada masa pasca penjajah (zaman kemerdekaan) dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pertama,  pendidikan Islam sebagai lembaga; kedua, pendidikan Islam sebagai mata pelajaran. Berdasarkan  sejarah pendidikan Islam di Indonesia, munculnya pertanyaan bagaimana pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia? Pendidikan Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan nasional, yang dibagi tiga hal; yaitu, pertama, pendidikan Islam sebagai lembaga; kedua,  pendidikan Islam sebagai mata pelajaran; ketiga, pendidikan Islam sebagai nilai.[6]
Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara eksplisit. Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran diakuinya pendidikan Islam sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Berikutnya pendidikan Islam sebagai nilai, yakni ditemukannya  nilai-nilai Islami dalam sistem pendidikan nasional.[7]
Kajian historis tentang pendidikan Islam di Indonesia sejak awal masuknya Islam ke Indonesia  dapat dibagi tiga fase. Fase pertama sejak mulai tumbuhnya pendidikan Islam sejak awal masuknya Islam ke Indonesia sampai munculnya zaman pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Fase kedua sejak masuknya ide-ide pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, dan fase ketiga sejak disahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU no. 2 tahun 1989 dan dilanjutkan dengan UU No.20 tahun 2003). Setiap fase ditandai dengan ciri khas masing-masing.[8]
Fase pertama adalah fase awal dimulai dengan munculnya pendidikan informal, yang dipentingkan pada tahap awal adalah pengenalan nilai-nilai Islami, selanjutnya baru muncul lembaga-lembaga pendidikan Islam yang diawali  dengan munculnya masjid, meunasah, rangkang, dayah, dan surau. Ciri yang paling menonjol dalam fase ini adalah: pertama,  materi pelajaran terkonsentrasi kepada pengembangan dan pendalaman ilmu-ilmu agama Islam seperti tauhid, fiqih, tasawuf, akhlak, dan lain-lainnya yang sejenis dengan itu, pembelajarannya berkonsentrasi pada pembahasan kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab; kedua, metodenya adalah sorongan, betonan, dan muzakkarah (musyawarah); ketiga, sistemnya non klasikal yakni dengan memakai sistem halaqah. Outputnya akan menjadi ulama, kiai, ustad, guru agama, dan juga menduduki jabatan-jabatan keagamaan.[9]
Fase kedua adalah fase ketika masuknya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam ke Indonesia. Sejak abad ke-19 yang berkumandang ide-ide pembaharuan pemikiran Islam ke seluruh dunia Islam, dimulai dari gerakan pembaharuan di Mesir, Turki, Saudi Arabia, dan juga Indonesia. Perkembangan berikutnya adalah fase ketiga, yakni setelah berlakunya UU No. 2 Tahun 1989 yang diikuti dengan lahirnya sejumlah Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan selanjutnya diikuti dengan lahirnya UU No. 20 tahun 2003.[10]
Untuk meletakkan kedudukan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional perlu diklasifikasi pada tiga hal, yaitu:
a.      Pendidikan Islam Sebagai Lembaga
 Maksudnya pendidikan Islam pada  pendidikan formal, (yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi), pendidikan Islam pada pendidikan informal, dan pendidikan Islam pada pendidikan usia dini.
b.      Pendidikan Islam Sebagai Mata Pelajaran  
   Kurikulum pendidikan Islam sesuai dengan jenjang pendidikan Islam dalam kerangka negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
1)      Pendidikan Agama.
2)      Pendidikan Kewarganegaraan.
3)      Bahasa.
4)      Matematika.
5)      Ilmu Pengetahuan Alam.
6)      Ilmu pengetahuan Sosial.
7)      Seni dan Budaya.
8)      Penjaskes.
9)      Keterampilan/Kejuruan.
10)  Muatan Lokal.
Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
1)   Pendidikan agama.
2)   Pendidikan Kewarganegaraan.
3)   Bahasa.
c.       Nilai-nilai Islami  Dalam UU No. 20 tahun 2003
Inti dari hakikat nilai-nilai Islam itu adalah nilai yang membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk (sesuai dengan konsep rahmatan lil ‘alami), demokratis, egalitarian, humanis. Di antara nilai-nilai tersebut adalah:
1)  Pendidikan nasional adalah pendidikan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2)  Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta keberadaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
3)  Pendidikan nasional bersifat demokratis dan berkeadilan.
4)  Memberikan perhatian kepada peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sebagainya.
5)   Menekankan pentingnya pendidikan keluarga merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
6)   Pendidikan merupakan kewajiban bersama antara orang tua, masyarakat, dan pemerintah.[11]  

2.      Malaysia
a.      Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di Malaysia    
Malaysia adalah salah satu negara anggota ASEAN yang merdeka pada tanggal 31 Agustus 1957 dari tangan Inggris dengan nama Persekutuan Tanah Melayu. Kemudian pada tahun 1963, berubah namanya menjadi Malaysia termasuk di dalamnya Sabah, Serawak, dan Singapura. Dua tahun berikutnya, Singapura terpisah dari Malaysia. Malaysia memiliki tiga belas negara bagian yang disebut  negeri dan dua buah wilayah persekutuan. Ketiga belas negeri tersebut adalah Kelantan, Trengganu, Pahang, Johor, Malaka, Negeri Sembilan, Selangor, Perak, Kedah, Perlis, Pulau Pinang, Sabah, dan Serawak. Sementara, dua wilayah persekutuan adalah Kuala Lumpur  ibu kota negara Malaysia, dan Labuan yang terletak di Sabah, Malaysia Timur.[12]
Kedatangan Islam ke Malaysia tidak berbeda dengan kedatangan islam ke Indonesia, yaitu melalui Selat Malaka. Selat Malaka merupakan jalur perdagangan laut yang sudah lama dilayari oleh pedagang-pedagang  Arab, Parsi, dan India, sebagai sebuah lintasan  perdagangan tentu telah terjadi kontak antara kaum pendatang, yaitu para pedagang dengan bumi putra. Dipandang  dari sudut pendidikan, kedatangan para pedagang yang berperan sebagai dai tentu telah dimulai sejak masuknya Islam ke negeri tersebut. Kontak-kontak personel yang berbentuk informal antara pedagang atau mubalig sangat besar peranannya dalam proses Islamisasi di daerah ini. Terbentuknya komunitas muslim di kawasan ini merupakan hasil proses Islamisasi tersebut.[13]    
Pendidikan Islam di sekolah-sekolah di Malaysia secara formal baru dimulai pada awal tahun 1960-an, yakni setelah kerajaan melaksanakan undang-undang pendidikan yang didasarkan kepada laporan Rahman Taib. Berdasarkan laporan tersebut, terbentuklah Akta Pelajaran pada tahun 1961. Dalam akta ini pada syeksyen 36 (1), disebutkan bahwa pendidikan agama Islam hendaklah diberikan kepada murid-murid beragama Islam berjumlah 15 orang atau lebih.[14]
Pada mulanya, pendidikan Islam di Malaysia berada pengawasan kerajaan negeri sebab termasuk dalam wewenang Raja-Raja Melayu. Akan tetapi, setelah dilaksanakan Akta Pelajaran 1961, pemerintah pusat ikut berperan dalam urusan pendidikan agama Islam. Berdasarkan hal tersebut, ada dua lembaga yang bertanggung jawab untuk mengatur pendidikan agama Islam, yaitu kementerian pendidikan untuk mengatur pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah menengah kerajaan, dan kerajaan negeri untuk mengatur pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah rendah dan sekolah-sekolah agama swasta.[15] 
b.      Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Malaysia
Pasal yang menjelaskan tentang agama Islam sebagai agama persekutuan pada perlembagaan persekutuan  Malaysia penjelasannya  bahwa sebagai berikut:
1) Agama Islam ialah agama bagi persekutuan, tetapi agama-agama lain boleh diamalkan di mana-mana bagian persekutuan.
2) Dalam tiap-tiap negeri melainkan negeri yang tidak mempunyai raja, kedudukan raja sebagai ketua agama Islam dalam negerinya secara dan setakat mana yang diakui diisyaratkan oleh pelembagaan negeri, dan juga, tertakluk kepada pelembagaan negeri itu, segala hak keistimewaan, hak kedaulatan, dan kuasa yang dinikmati oleh ketua agama Islam   tidaklah tersentuh dan tercatat, tetapi dalam apa-apa perbuatan, amalan atau upacara yang telah dipersetujui oleh majelis raja-raja supaya meliputi seluruh persekutuan, maka tiap-tiap orang raja lain hendaklah atas sifatnya sebagai ketua agama Islam membenarkan yang di Pertuan Agung mewakilinya.[16]
Poin-poin tersebut perlu diungkapkan kembali karena memiliki posisi dan kedudukan yang amat penting dalam mengoperasikan dan mengaplikasikan pendidikan agama Islam sebagian bagian yang tak terpisahkan dari agama Islam itu sendiri.
Sebagai realisasi dari hal tersebut, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (negeri) memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan dan mengaplikasikan pendidikan Islam. Untuk melihat posisi dan kedudukan pendidikan Islam di Malaysia dapat dilihat dari tujuan pendidikan Malaysia itu sendiri. Pendidikan di Malaysia adalah suatu usaha yang bertujuan ke arah mengembangkan potensi individu secara menyeluruh dan  bersepatu untuk mewujudkan insan yang harmonis dan seimbang segi intelek, rohani, emosi, dan jasmani berdasarkan kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan. Usaha ini adalah bagi melahirkan rakyat Malaysia yang berilmu pengetahuan, berakhlak mulia, bertanggung jawab, dan berkecukupan mencapai kesejahteraan diri serta memberi sumbangan terhadap apa yang dinamakan dengan keharmonisan dan kemakmuran masyarakat dan negara.[17]
Pada tahun 1955 dibentuk pula satu jawatan kuasa yang akan membahas tentang pendidikan di Malaysia dengan tujuan tetap berorientasi pada kesatuan bangsa yang multikultural, etnis, dan agama. Untuk memenuhi hal tersebut, pemerintahan membagi tingkat pendidikan menjadi empat tingkat, yaitu sekolah rendah, sekolah menengah, maktab, dan universitas. Mengenai kedudukan pendidikan agama Islam di sekolah, disebut dalam seksyen 49 ordinan pelajaran 1957:
1)    Apabila dalam sebuah sekolah bantuan kerajaan terdapat 15 orang murid atau lebih beragama Islam, maka murid-murid itu hendaklah diajarkan agama Islam.
2)   Pengajaran agama Islam hendaknya diajar sekurang-kurangnya 2 jam seminggu dalam waktu pengajaran sekolah-sekolah.
3)   Guru-guru agama yang mengajarkan agama Islam hendaklah terdiri dari mereka yang dibenarkan oleh pihak penguasa negeri.
4)    Lembaga pengurus atau pengelola sekolah hendaklah membuat persediaan yang sepatutnya bagi pengadaan pelajaran agama Islam dengan syarat lembaga pengurus atau pengelola dua buah sekolah atau lebih boleh membuat persediaan-persediaan   bersama bagi pengajaran tersebut kepada murid-murid beragama Islam dalam sekolah-sekolah.[18]
Berdasarkan penjelasan di atas, baik dari historis dan kronologisnya maupun peraturan yang berlaku dalam pendidikan di Malaysia maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan Islam di Malaysia. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam adalah juga merupakan subsistem dari sistem pendidikan Malaysia. Pendidikan Islam baik berupa mata pelajaran maupun lembaga (institusi) memiliki kedudukan penting yang tercantum dalam perundang-undangan pendidikan di Malaysia.         
3.      Brunei Darussalam
Brunei adalah sebuah negeri yang terletak di pulau Kalimantan menghadap ke Laut Cina Selatan, berbatasan dengan Sabah dan Serawak, luasnya sekitar 5.766 KM5. Jumlah penduduknya menurut sensus tahun 1990 adalah 260.863 jiwa dan estimasi di tahun 2001 sekitar 344.000 jiwa. Ada pendapat bahwa Kota Brunei berasal dari Varuni (berani dan Berunah). Varuni berasal dari bahasa Sankrit (Sansekerta) berarti orang laut. Dan kata berani menggambarkan bahwa orang-orang Brunei sebagai bangsa yang gagah dan berani.[19]
Menurut catatan Cina, pengaruh Islam telah masuk ke Brunei pada   tahun 977 M. Menurut catatan itu juga bahwa raja Brunei yang pertama masuk Islam adalah Awang Alak Betatar pada tahun 1371.  Perkembangan pendidikan Islam di Brunei tidak jauh berbeda dengan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Di mulai dari sistem yang bersifat informal, kontak-kontak yang bersifat informal antara si pendidik dan si terdidik berjalan dengan  secara intensif. Setelah itu muncullah pendidikan nonformal yang telah memiliki tempat khusus untuk berlangsungnya proses pembelajaran. Pada saat inilah berperannya masjid, rumah-rumah, dan balai-balai sebagai lembaga pendidikan. Setelah itu baru muncul pendidikan formal seperti munculnya sekolah-sekolah. Proses semacam ini juga berlangsung di Brunei, setelah muncul lembaga pendidikan masjid, rumah, dan balai, seterusnya pendidikan Islam pun dilaksanakan lewat sekolah. Pada tahun 1942 pelajaran agama Islam telah menjalani perkembangan, karena telah menyentuh daerah-daerah lain, seperti:
a.    Sekolah Melayu Kuala Belait, gurunya adalah Imam Abang Idrus bin Muh. Jaafar.
b.    Sekolah Melayu Seria, gurunya ialah Imam Abang Idrus bin Muh. Jaafar.
c.    Sekolah Melayu Bukit Bendira Tutong, gurunya ialah Cekgu Mohammad bin Abu Bakar. [20]  
Sistem pendidikan Negara Brunei Darussalam, sistem pendidikan di negara Brunei dibagi:
a.    Pendidikan prasekolah selama satu tahun.
b.    Pendidikan di tingkat rendah selama enam tahun.
c.    Pendidikan di tingkat menengah rendah selama tiga tahun.
d.   Pendidikan di tingkat menengah atas dua tahun.
e.    Pendidikan di tingkat menengah tinggi dua tahun.[21] 
               Sejak tahun 1965 pendidikan agama Islam telah dimasukkan dalam kurikulum sekolah menengah yang disebut dengan nama pengetahuan agama Islam dan sekaligus pula diikutsertakan dalam ujian di tingkat “O” Level dan “A” level. Mata pelajaran agama Islam itu dibagi pada mata pelajaran tauhid, fiqih, sejarah Islam, tafsir, dan hadits.[22] Untuk memberi pendidikan agama Islam dan memastikan nilai-nilai dan cara hidup Islam dapat diterapkan ke dalam sistem pendidikan melalui kurikulum sekolah. Dipandang dari sudut tujuan pembelajaran agama di Negara Brunei dapat dibagi dua:
a.     Untuk menanamkan dan memupuk tentang agama Islam serta menanamkan ruh keagamaan dan kebiasaan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam diri setiap anak-anak dan juga masyarakat umum.
b.   Untuk menyediakan tenaga-tenaga yang dapat mengislamkan dan mengekalkan keislaman semua perkara yang terdapat dalam kehidupan masyarakat dan negara.[23]  
          Selain dari pada pendidikan yang sifat formal di atas, di Brunei juga tumbuh dengan subur pendidikan yang bersifat informal dan nonformal. Pendidikan informalnya dilaksanakan di rumah-rumah di bawah asuhan orang tua. Sedangkan pendidikan nonformal adalah pendidikan yang dilaksanakan di masyarakat dalam bentuk pengajian keagamaan di masjid-masjid.
4.      Singapura
Singapura sebelum tahun 1963 adalah bagian negara Persekutuan Tanah Melayu, kemudian melepaskan diri menjadi negara yang berdiri sendiri. Singapura tumbuh menjadi kota Kosmopolitan. Di tengah kehidupan kota kosmopolitan, bermukim sekitar 450.000 muslim, yakni  sekitar 16 % dari totalitas penduduk Singapura. Masyarakat muslim Singapura terdiri dari orang Melayu, Arab, India, Pakistan, dan Cina.[24]
Kegiatan umat Islam dalam berbagai aktivitas keagamaan semakin meningkatkan terutama menjelang abad ke-20. Pada awal abad ke-20 dapat dilihat dari pelaksanaan ibadah haji. Banyak orang Indonesia yang bermaksud melaksanakan haji berangkat dari Singapura dan tidak jarang pula di antara mereka sebelum dan sesudah berangkat ke tanah suci bermukim di Singapura. Singapura ketika saat itu berperan sebagai pusat kegiatan pendidikan Islam, karena banyak para sarjana Islam yang memiliki kedalaman ilmu pengetahuan agama yang berasal dari Timur  Tengah, dan ini mendorong banyak pelajar datang ke Singapura untuk menuntut ilmu pengetahuan.[25]  
Kemajuan yang dicapai sejak tahuan 1980-an cukup menggembirakan. Sensus penduduk yang tahun 1990 menunjukkan bahwa jumlah pelajar Melayu Islam yang berpendidikan menengah meningkat dua kali lipat, jumlah berpendidikan menengah atas, termasuk politeknik juga naik dari 2,2% menjadi 5,7%. Begitu juga yang memasuki universitas meningkatkan dari 0,2%, pada tahun 1980 menjadi 1% pada tahun 1990. Pendidikan madrasah juga mengalami kemajuan. Ada 3285 murid madrasah sepenuh masa yang dibagi kepada beberapa klasifikasi, 89% di antaranya pada tingkat madrasah rendah, 395 orang tingkat menengah dan 35 orang di tingkat pra universitas.[26]
Kurikulum madrasah pun mengalami dinamika tidak saja hanya mengajarkan Bahasa Arab dan pendidik agama Islam tetapi juga Sains dan Matematika, khusus mengenai perkembangan pendidikan Islam di Singapura di masa penjajahan tidak jauh berbeda dengan tetangganya Indonesia, Malaysia, dan Thailand yakni terjadinya status yang dualistik (dikotomi) sekolah pemerintah bersifat keduniaan dan sekuler. Sedangkan sekolah-sekolah agama yang bersifat keakhiratan dan mengajarkan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab saja, dalam bentuk informal, nonformal, dan formal.[27]               
Lembaga-lembaga pendidikan di Singapura di antaranya  adalah:
a.   Madrasah Sepenuh Masa
Madrasah sepenuh masa adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, sebagai sentral dari madrasah ini adalah madrasah al-Junaeid.  Madrasah al-Junaeid didirikan oleh Syekh Abdurrahman bin Junied pada tahun 1351H/1927M. Madrasah ini memprogramkan 70% ilmu-ilmu agama dari Bahasa Arab, sedangkan sisanya 30% mengajarkan ilmu pengetahuan umum di antaranya Bahasa Inggris, Matematika, dan Bahasa Melayu. 
b.   Madrasah Separuh Masa
Madrasah separuh masa ialah madrasah yang melangsungkan proses pembelajarannya tidak setiap hari, mungkin dua atau tiga kali seminggu dan dilaksanakan sore atau malam hari. Dipandang dari sudut materi yang diajarkan adalah semata-mata mengajarkan mata pelajaran agama. Pendidikan ini lebih tepat digolongkan pada pendidikan nonformal.  Banyak masjid-masjid di Singapura melaksanakan pendidikan Islam dalam bentuk madrasah separuh masa. Tujuan madrasah ini adalah memberikan pendidikan agama Islam kepada anak-anak. Kurikulum yang diajarkan adalah mengaji al-Qur’an, muqaddam (bacaan shalat), dan akhlak.[28]
5.      Thailand
    Thailand adalah salah satu dari negara Asia Tenggara yang apabila ditinjau dari sudut agama yang dianut oleh penduduknya mayoritas beraga Budha. Umat Islam adalah penduduk minoritas dari jumlah totalitas penduduk Thailand. Mayoritas umat Islam di Thailand tinggal di wilayah selatan Thailand, yaitu daerah yang disebut dengan Patani, daerah ini meliputi provinsi Yala, Narathiwat, Patani, Sentul, dan sebagian Senggora, dihuni oleh sekitar 5 juta jiwa yakni 8% dari jumlah seluruh penduduk Thailand yang berjumlah 65 juta jiwa. Di wilayah ini dihuni oleh sekitar 85% masyarakat muslim.[29]
Proses Islamisasi di Pattani tidak terlepas dari peranan pendidikan. Pada awal pendidikan informal sangat berperan, yaitu kontak informal antara mubalig dengan rakyat setempat. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan munculnya pendidikan nonformal, dan terakhir pendidikan formal. Pada awal pendidikan agama Islam di kawasan Thailand Selatan dilaksanakan pendidikan Al-Qur’an. Pengajian Al-Qur’an adalah sesuatu yang mesti dipelajari oleh setiap muslim. Pengajian Al-Qur’an ini dilaksanakan di masjid dan di rumah-rumah Tok Guru. Di setiap kampung ada rumah Tok Guru  yang dijadikan sebagai tempat pengajian Al-Qur’an. Selanjutnya muncullah pendidikan pondok. Pondok berposisi sebagai lembaga  pendidikan yang amat penting. Profil pelajar-pelajar pondok adalah pelajar-pelajar yang mengamalkan cara hidup harian  yang sama dan seragam mereka sama-sama berkain sarung, berbaju Melayu berkopiah putih dan sama-sama menggunakan tulisan Jawi dan buku-buku Jawi.[30]  
Kebijakan pemerintah Thailand pada tahun 1966 adalah mewajibkan seluruh institusi pondok untuk mendaftarkan diri ke pemerintah di bawah Akta Rongrian Rat Son Sasna Islam (Sekolah Swasta Mengajar Agama Islam). Sejak itu mulai perubahan pendidikan pondok di Selatan Thailand. Perubahan itu munculkan timbulnya madrasah dengan memiliki ciri:
a.  Madrasah adalah lembaga pendidikan gabungan antara pendidikan agama dan akademik. Guru-guru pendidikan akademik disediakan oleh pemerintah. Pemerintah memberi bantuan terhadap sekolah-sekolah agama yang telah melaksanakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
b. Pada akhir tahun 1970-an, sekolah-sekolah agama yang telah memiliki dua aliran ini (agama dan akademik) mendapat sambutan dari masyarakat. Banyak pelajar-pelajar dikirim untuk menuntut ilmu pengetahuan ke institusi tersebut. Dengan demikian peranan pondok semakin mengecil.
c.  Pada tahun 1981 ada sejumlah 199 sekolah agama Islam, 122 di antaranya yang melaksanakan pendidikan  agama Islam dan akademik (umum).[31]   
Mata pelajaran yang diajarkan di pondok adalah mata pelajaran agama Islam yang bersumber dari kitab-kitab klasik, dan kurikulum yang diterapkan di Thailand Selatan sebagai berikut:[32]
a.     Madrasah Ibtidaiyah pada tingkat ini lama belajarnya adalah 6 tahun.  Adapun kurikulum yang diterapkan pada tingkat ini adalah:
 
No.
Mata Pelajaran
Kelas
Keterangan
A.
1.
2.
4.
5.
6.
7.







B.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Pengetahuan Agama
Al-Qur’an
Tajwid
Al-Hadits
Tauhid
Fiqih
Akhlaq
a.     Pendidikan Bahasa Melayu.
b.     Pendidikan Akhlaq I.
c.     Pendidikan Akhlaq II.
d.    Darusul Akhlaq I.
e.     Darusul Akhlak II.
f.      Tafsirul Akhlaq fi Ilmil Akhlaq.
Bahasa Arab, dan Bahasa Asing
Mutala’ah
Insya’
Imla’
Mahfuzot
An-Nahwu
Syaraf
Bahasa Melayu
Sejarah Nabi
Pendidikan Jasmani
Al-Hisab (Berhitung)
Khat

I-IV
II-VI
IV-VI
I-VI
VI
VI
V
I
II
III
IV
V


I-III
III-VI
I-VI
I-VI
III
III-VI
I-VI
I-III
IV-VI
I-VI
I-IV


b. Madrasah Mutawassithah, pada tingkat ini lama belajarnya adalah 3 tahun, sedangkan kurikulum yang diterapkan adalah sebagai berikut:  
No.
Mata Pelajaran
Kelas
Keterangan
1
2
3
4
A.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pengetahuan Agama
Al-Qur’an
Tajwid
Al-Hadits
Tauhid
Fiqih
Akhlaq
Tafsir

I-VI
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III

 
1
2
3
4
B.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

C.
1.
2.
3
4.

Bahasa Arab dan Bahasa Asing
Muthala’ah
Insya’
Muhaddasah
Imla’
Nashusul Adabiyah
Khat
Qawa’id Lughatil Arabiyah
Bahasa Melayu
Bahasa Inggris

Pengetahuan Umum dan Olah Raga
Sejarah Islam
Pendidikan Jasmani
Berhitung
Ilmu Bumi

I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III


I-III
I-III
I-III
I-III

c.  Madrasah Tsanawiyah, di mana pada tingkat ini, lama belajarnya adalah 3 tahun, dan madrasah ini adalah tingkatan yang tertinggi. Madrasah Tsanawiyah   adalah setingkat dengan SLTA. Adapun kurikulum yang diterapkan adalah sebagai berikut:
No.
Mata Pelajaran
Kelas
Keterangan
1
2
3
4
A.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
B.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pengetahuan Agama
Al-Qur’an
Tajwid
Al-Hadits
Tauhid
Fiqih
Akhlaq
Tafsir
Faraidh
Ushul Fiqih
Musthalah Hadits
Ushul At-Tafsir
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris
Qawaidul Lighat Fil Arabiyah
Al-Adabu Wan Nushush
Al-Balaghah
Insya’
Muthala’ah
Bahasa Melayu
Bahasa Inggris

I-VI
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III

I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III

1
2
3
4
B.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Pengetahuan Umum dan Olah Raga
Sejarah Islam
Pendidikan Jasmani
Berhitung/Aljabar
Ilmu Bumi
Ilmu Ekonomi
Ilmu Jiwa
Al-Mantiq
Filsafat dan Akhlak

I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
III
III
III
III


6.      Filipina
Masuknya Islam di Filipina diperkirakan pada abad ketiga belas masehi. Namun, ada juga pendapat bahwa masuknya Islam ke Filipina berkisar antara abad ke-9 dan 15  Masehi dibawa oleh para aulia dan pedagang. Filipina terdiri dari 7.109 pulau dengan luas wilayah 29.062.000 hektar, dihuni oleh penduduk mayoritas beragama katolik. Penduduk muslim, menurut sensus tahun 1980 ada sejumlah 3,5 juta atau sekitar 7%    dari populasi penduduk Filipina. Menurut sensus penduduk tahun 1990 penduduk muslim di Filipina  berjumlah 5% dari totalitas penduduknya seluruhnya yakni sekitar 2,8 juta jiwa.[33]
Penduduk muslim di Filipina terkonsentrasi di bagian selatan Filipina, terutama di Mendanau, Ujung Selatan Palawani, gugusan Kepulauan Sulu. Mereka terdiri dari tiga belas kelompok bahasa dan budaya, yaitu: Maranoa, Iranum, Maguindanao, Tausugs Samal, Bajao, Jama Mapun, Palawani, Malbog, kalibugan, Yakan, Karaza, dan Sangil. Di antara mereka itu ada tiga kelompok terbesar, yaitu Maranaos, Tausugs, dan Magu Indanoas. Decasa dalam Haidar Putra Daulay mengemukakan  bahwa Islam telah dikenal di Sulu pada abad ke-13. Islam dikembangkan lewat jalur perdagangan dan juga disebarkan oleh para da’i yang Filipina Selatan dikenal dengan istilah Masaikh, Makdumin, dan Aulia.[34]  
 Di Filipina, pendidikan formal pada tingkat dasar dan menengah  di sebut dengan maktab dan madrasah. Pendidikan maktab lebih dikhususkan pada pendidikan anak-anak usia 6 sampai 10 tahun. Para orang tua membawa anak-anak  mereka baik laki-laki maupun perempuan ke rumah seorang muslim yang dituakan dan memiliki reputasi dalam bacaan Al-Qur’an.  Selain dari lembaga pendidikan tersebut, di Filipina juga muncul lembaga pendidikan pola Barat ketika orang-orang Barat datang ke Filipina. Sekolah-sekolah Barat bersifat sekuler. Sebagai implikasi dari pemikiran dan budaya yang memisahkan agama dan negara.  Keadaan ini bertentangan dengan doktrin keislaman. Madrasah dimulai dengan sebuah rumah yang sederhana yang diistilahkan dengan maktab, di tempat seorang guru, biasanya seorang pemimpin Islam mengajar sebuah grup kecil anak-anak, yang selanjutnya lembaga ini menempati posisi sebagai sekolah pandita (Pandita School).[35]
Pengintegrasian madrasah ke sistem pendidikan di Filipina telah dilaksanakan pada tahun 1982. Madrasah mendapat pengakuan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Olahraga (The Ministry of Education, Cultural, and  Sport) disingkat dengan MECS. Dengan masuknya madrasah ke dalam sistem pendidikan Filipina, maka pemerintah melaksanakan kegiatan:
a.  Memperbaiki staf pengajar, dan fasilitas  lembaga madrasah.
b.  Memperkuat dan mengembangkan program Islamic Studies diberbagai lembaga pendidikan tinggi, khususnya di Mindanao,
c.   Memperkuat dan mendirikan program pengajaran dan pembelajaran Bahasa Arab.[36]
      Integrasi antara madrasah dengan sistem pendidikan di Filipina dapat dilihat dari dua hal, yaitu:
a.   Sekolah umum boleh memuat beberapa subjek mata pelajaran non agama, sedangkan di madrasah harus memenuhi beberapa mata pelajaran dalam kurikulum:
1)     Angka-angka Arab dapat diperkenalkan di sekolah umum sebagai integral dari pelajaran Matematika.
2)    Sejarah dan Geografi negara-negara Timur Tengah dapat diperkenalkan dalam ilmu pelajaran ilmu sosial (social studies).
3)    Bahasa Arab yang mempunyai arti yang ekuivalen dengan istilah ilmu pengetahuan dapat diintegrasikan ke dalam subjek sains.
4)    Akhlak dan etika Islam dapat dimasukkan ke dalam tingkah laku yang baik atau diintegrasikan ke dalam semua subjek.
5)    Literatur tidak hanya dibatasi dengan literatur bahasa Inggris dan Filipina, akan tetapi seharusnya dimasukkan literatur  Bahasa Arab.
6)    Bahasa Arab dijadikan bahasa yang dijadikan subjek reguler.
7)    Mata pelajaran vokasional yang berorientasi lokal dan Timur Tengah, seharusnya diprioritaskan untuk diberikan pada mata pelajaran seni praktis.
           Selanjutnya adanya hubungan yang perlu diatur antara madrasah dan sekolah umum dengan mempertimbangkan:
1)  Bahasa Arab adalah mata pelajaran yang diberikan bagi pelajar-pelajar muslim di Filipina. Mereka belajar Bahasa Arab pada akhir pekan madrasah.
2)   Madrasah juga mengharuskan kepada pelajarnya untuk mengambil mata pelajaran Matematika, Ilmu Sosial, Sains, Bahasa Inggris, dan Bahasa Filipina. Para pelajar mengambil mata pelajaran - mata pelajaran tersebut di sekolah umum pada jam pelajaran   reguler  mulai hari Senin sampai Jum’at.
b.   Sebuah madrasah dan sekolah umum seharusnya berdekatan(hal ini lumrah di negeri-negeri muslim)  dengan demikian akan memudahkan saling bertukar tanpa menambah pembiayaan. Guru-guru madrasah bisa mengajarkan Bahasa Arab di sekolah umum, sedangkan guru-guru di sekolah umum dapat pula mengajarkan Bahasa Inggris di madrasah. Jadwal pelajaran dari kedua jenis sekolah tersebut dapat disusun tanpa adanya jadwal yang bertabrakan. Berdasarkan observasi The World Federation of Madaris In The Philippines, mengatakan bahwa madrasah kurang berkualitas, hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu:
1)    Sumber finansial berasal dari uang sekolah, dan bantuan dari masyarakat sangat sedikit dan tidak tetap.
2)    Guru-guru Bahasa Arab sangat sedikit dan mereka hanya lulusan sekolah menengah dari madrasah-madrasah lokal.
3)    Semua guru-guru dari berbagai madrasah menerima gaji sangat kecil.
4)    Perpustakaan dan fasilitas sangat kurang.[37]
Hassoubah dalam Haidar Putra Daulay juga merekomendasikan, untuk  meningkatkan mutu madrasah di Filipina, yaitu:
1)   Revisi kurikulum, mata pelajaran –mata pelajaran di sekolah  umum semestinya diperkenalkan juga di madrasah.
2)    Akreditasi dan pengakuan tentang madrasah. Menteri  pendidikan, kebudayaan, dan olahraga, semestinya mengatur operasional madrasah di dalam kesesuaiannya dengan beberapa standar universal dan menekankan keseragaman pengajar dan kualitas pendidikan.
3)   Melaksanakan trainning dan up graiding  untuk peningkatan skill guru bahasa Arab di madrasah.
4)   Memproduksi materi pengajaran dalam Bahasa Arab dan mata pelajaran Islam lewat bantuan pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya.
5)   Tamatan madrasah diperbolehkan memasuki universitas-universitas dan  kolej untuk   melanjutkan pendidikan.
6)   Menetapkan standar profesional madrasah, pelajar-pelajar yang terlatih dapat diizinkan mengajar Bahasa Arab di sekolah umum.[38]
       Secara keseluruhan madrasah di Filipina memiliki peranan dalam pendidikan nasional dilihat dari:
a.   Peranannya dalam mendidik generasi muda Filipina, tidak bisa hanya diharapkan dari sekolah saja. Dalam hal ini madrasah telah memberi sumbangan dalam pendidikan di Filipina sekitar 146.132 pelajar dan 3.384 orang guru.
b. Kaitannya dengan pengajaran Bahasa Arab yang banyak sumbangannya bagi hubungan  yang harmonis antara Filipina dengan negara-negara Arab yang kaya minyak. Madrasah di Filipina berperan meningkatkan kesadaran masyarakat muslim akan peranan mereka sebagai anggota dari masyarakat muslim dunia, dan menjadikan pula memperkuat jati diri mereka dalam bidang jiwa dan perkembangan spiritual.[39] 

C. PENUTUP
 Kesimpulan
a.  Kajian historis tentang pendidikan Islam di Indonesia sejak awal masuknya Islam ke Indonesia  dapat dibagi tiga fase. Fase pertama sejak mulai tumbuhnya pendidikan Islam sejak awal masuknya Islam ke Indonesia sampai munculnya zaman pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Fase kedua sejak masuknya ide-ide pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, dan fase ketiga sejak disahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU no. 2 tahun 1989 dan dilanjutkan dengan UU No.20 tahun 2003).
b.  Pendidikan Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan Islam di Malaysia. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam adalah juga merupakan subsistem dari sistem pendidikan Malaysia. Pendidikan Islam baik berupa mata pelajaran maupun lembaga (institusi) memiliki kedudukan penting yang tercantum dalam perundang-undangan pendidikan di Malaysia.
c.  Pendidikan  yang sifat formal di Brunei juga tumbuh dengan subur pendidikan yang bersifat informal dan nonformal. Pendidikan informalnya dilaksanakan di rumah-rumah di bawah asuhan orang tua. Sedangkan pendidikan nonformal adalah pendidikan yang dilaksanakan di masyarakat dalam bentuk pengajian keagamaan di masjid-masjid.
d.  Pada awal pendidikan agama Islam di kawasan Thailand Selatan dilaksanakan pendidikan Al-Qur’an. Pengajian Al-Qur’an adalah sesuatu yang mesti dipelajari oleh setiap muslim. Pengajian Al-Qur’an ini dilaksanakan di masjid dan di rumah-rumah Tok Guru. Di setiap kampung ada rumah Tok Guru  yang dijadikan sebagai tempat pengajian Al-Qur’an. Selanjutnya muncullah pendidikan pondok.
e.  Kegiatan umat Islam dalam berbagai aktivitas keagamaan semakin meningkatkan terutama menjelang abad ke-20. Pada awal abad ke-20 dapat dilihat dari pelaksanaan ibadah haji. Banyak orang Indonesia yang bermaksud melaksanakan haji berangkat dari Singapura dan tidak jarang pula di antara mereka sebelum dan sesudah berangkat ke tanah suci bermukim di Singapura. Singapura ketika saat itu berperan sebagai pusat kegiatan pendidikan Islam, karena banyak para sarjana Islam yang memiliki kedalaman ilmu pengetahuan agama yang berasal dari Timur  Tengah, dan ini mendorong banyak pelajar datang ke Singapura untuk menuntut ilmu pengetahuan.
f.  Di Filipina, pendidikan formal pada tingkat dasar dan menengah  di sebut dengan maktab dan madrasah. Madrasah dimulai dengan sebuah rumah yang sederhana yang diistilahkan dengan maktab, di tempat seorang guru, biasanya seorang pemimpin Islam mengajar sebuah grup kecil anak-anak, yang selanjutnya lembaga ini menempati posisi sebagai sekolah pandita (Pandita School).




DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, The Surau and Early Reform Movement in Minangkabau, Bandung:Mizan, 1990.
Daulay, Haidar Putra,  Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, Jakarta:Rineka Cipta, 2009.
Chapakia, Ahmad Omar, Politik Thai dan Masyarakat Islam di Selatan Thailand, Kedah:Pustaka Darussalam, 2000.
Esmula, Waja, History of  Islamic Studies in Philipines, Islamic  Studies in Asean, Thailand:Pattani Campus.
Horgronje, C. Snouck,  Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya,  Jakarta: INIS, 1997.
Internasional Law Bool Service, Perlembagaan Persekutuan, Kuala Lumpur: Internasional Law Bool Service, 2000.
Jabatan Pendidikan Kelantan, 1988.
Jabatan Pengajian Islam Brunei, 1996.
Jabatan Pengajian Islam, KHEU, 1996.
Muhadjir,  Noeng, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial,  Jakarta: Rake Sarasin, 1987.
Zein, Md. Haji, Suatu Pendekatan Mengenai  Islam di Brunei, Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 1990.








[1]Azyumardi Azra, The Surau and Early Reform Movement in Minangkabau, (Bandung:Mizan, 1990), hal. ix.
[2] Ibid, hal. xii.
[3] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta:Rineka Cipta, 2009),  hal. 12.
[4] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rake Sarasin, 1987), hal. 5-6.
[5]C. Snouck Horgronje, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya, (Jakarta: INIS, 1997), hal. 23.
[6] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, hal. 44.
[7] Ibid, hal. 45.
[8] Ibid. hal. 45.
[9] Ibid, hal. 45
 [10] Ibid, hal. 46.
[11] Ibid, hal. 47-52
[12] Ibid, hal. 53.
[13] Ibid, hal. 54.
[14] Ibid, hal. 63.
[15] Ibid, hal. 64.
[16]Internasional Law Bool Service, Perlembagaan Persekutuan, (Kuala Lumpur: Internasional Law Bool Service, 2000), hal. 2.
[17] Jabatan Pendidikan Kelantan, 1988, hal. 2.
[18] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, hal. 86.
[19] Ibid, hal. 87.
[20] Md. Haji Zein, Suatu Pendekatan Mengenai  Islam di Brunei, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 1990), hal. 14.
[21] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, hal. 93.
[22] Jabatan Pengajian Islam Brunei, 1996, hal. 72.
[23] Jabatan Pengajian Islam, KHEU, 1996, hal. 55.
[24] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, hal. 112.
[25] Ibid, hal. 112.
[26] Ibid, hal 114.
[27] Ibid, hal. 115.
[28] Ibid, hal. 118-122.
[29] Ibid, hal 131.
[30] Ahmad Omar Chapakia, Politik Thai dan Masyarakat Islam di Selatan Thailand,(Kedah:Pustaka Darussalam, 2000), hal. 27.
[31] Ibid, hal. 28.
[32] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, hal. 145-150.
[33] Ibid, hal. 164.
[34] Ibid, hal. 165.
[35] Ibid, hal. 167.
[36] Ibid, hal. 168.
[37] K.Waja Esmula, History of  Islamic Studies in Philipines, Islamic  Studies in Asean, (Thailand:Pattani Campus, 2000), hal. 36.
[38] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, hal. 170.
[39] Ibid, hal. 174.