Kamis, 15 Maret 2012

EVALUASI KURIKULUM PAI


PERBANDINGAN KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA
Oleh: Said Saleh



A.   PENDAHULUAN
Asia tenggara yang meliputi beberapa negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Kamboja, Loas, Vietnam, Myanmar, Singapura, Brunai Darussalam, dan Filipina didiami oleh masyarakat religius, dan terdapat sejumlah agama yang dianut oleh masyarakatnya, yakni Islam, Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain.
Khusus agama Islam dianut mayoritas masyarakat yang tinggal di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Mengenai tempat asal datangnya agama Islam ke kawasan ini setidaknya ada tiga teori besar tentang hal ini, yaitu, pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Islam datang ke kawasan ini langsung dari Arab, pendapat ini dikemukakan oleh Crauwfurd (1820), Niemann (1861), dan Veth (1878)[1];kedua, teori  kedua menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia dari India, hal  ini pertama kali dikemukakan oleh Pijnappel (1872); ketiga, teori yang dikembangkan oleh C. Snouck Hur yang menyatakan bahwa Islam datang ke Bengal (Bangladesh).[2]
Ditinjau dari sudut kajian historis, pendidikan Islam itu telah berlangsung sejak awal masuknya Islam, yakni sejak mubalig awal melakukan aktivitas pendidikan di kawasan Nusantara. Atas dasar itu dapat dimaklumi bahwa pendidikan Islam telah berlangsung sejak masuknya Islam di  Asia Tenggara, dan dengan demikian pula pendidikan Islam telah memainkan peranannya dalam proses Islamisasi di kawasani ini.
Kawasan Asia Tenggara terdiri dari negara-negara dengan pemeluknya agamanya yang beragam. Untuk terdiri dari negara-negara mayoritas dengan penduduknya beraga Islam dan negara-negara dengan agama Islam yang minoritas. Negara-negara dengan pemeluknya agama Islam yang mayoritas adalah Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam sedangkan negara-negara dengan pemeluk agama Islam yang minoritas adalah Thailand, Singapura, dan Filipina.
Untuk itu, perbandingan kurikulum Islam dapat dilihat  perkembangan Islam di setiap negara di Asia Tenggara, makalah ini untuk melihat bagaimana perkembangan kurikulum pendidikan Islam seiring dengan perkembangan Islam di setiap negara-negara di Asia Tenggara yang tergolong negara-negara berkembang.
B.  PEMBAHASAN   
1.    Indonesia
Proses Islamisasi Indonesia melalui lewat beberapa saluran antara lain perdagangan, perkawinan, kesenian, sufisme, dan pendidikan. berbicara tentang pendidikan sebagai salah satu jalur Islamisasi perlu didudukan apakah pekerjaan (aktivitas) para mubalig itu dapat digolongkan pada aktivitas  pendidikan? Untuk  membahas ini perlu cari esensi pendidikan. pendidikan itu adalah proses manusia ke arah yang dicita-citakan. Dengan demikian, pendidikan Islam itu bermakna adalah pembentukan manusia sesuai dengan tuntunan Islam. Pada tahap awal  pendidikan Islam di Indonesia berlangsung secara informal. Kontak-kontak person antara mubalig dan masyarakat sekitar yang tidak terancang terstruktur secara jelas dan tegas. Pergaulan keseharian yang di dalamnya mengandung unsur pendidikan, seperti keteladanan yang diberikan oleh para mubalig merupakan ketertarikan masyarakat sekitar untuk memeluk agama Islam.[3]
Untuk mengukur apakah kegiatan mubalig awal tersebut tergolong kepada aktivitas pendidikan. Perlu dilihat unsur pokok dari pendidikan itu. Setidaknya ada lima unsur pendidikan, yaitu; pertama,  ada pemberi (pendidik); kedua,  ada penerima (peserta didik); ketiga,   adanya tujuan baik; keempat, cara atau jalan yang baik; kelima,  konteks positif menjauh konteks negatif. Dengan mengungkapkan unsur dasar pendidikan dapat dijadikan acuan apakah aktivitas pedagang dan mubalig awal itu tergolong kepada aktivitas pendidikan. dari unsur pemberi dan penerima dapat diungkapkan bahwa mubalig adalah pemberi dan masyarakat sekitar yang disampaikan serta target yang ingin dicapai adalah cara atau jalan yang baik berkenaan dengan keterkaitannya dengan nilai. Pedagang dan mubalig dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam terkait dengan cara-cara yang baik. Sedangkan konteks positif adalah konteks yang dapat memberi pengaruh atau efek pada aktivitas pendidikan.[4]
Pendidikan Islam pada awal itu berlangsung secara informal. Kontak-kontak antara pemberi dan penerima.  Tidak ada jadwal waktu tertentu, tidak ada materi tertentu, dan tidak ada tempat yang khusus. Kontak-kontak awal itu tidak terprogram secara rigit dan ketat. Jadi, hal itu belum melembaga sebagai suatu lembaga tertentu. Di sini yang paling berperan adalah mubalig.  Setelah pendidikan formal itu berlangsung, maka muncullah  pendidikan formal. Pendidikan yang terencana, punya waktu, tempat, dan materi tertentu. Dengan demikian ada beberapa lembaga pendidikan Islam formal pertama yang muncul di Indonesia:
a.    Masjid dan Langgar      
Sebagai implikasi dari terbentuknya masyarakat muslim di suatu tempat, maka mereka memerlukan masjid dan langgar sebagai tempat melaksanakan kegiatan ibadah. Fungsi masjid dan langgar tersebut diperluas sebagai juga sebagai tempat pendidikan.
b.   Pesantren   
   Belum ditemukan tahun yang pasti kapan pesantren pertama kali dirikan. Banyak pendapat mengatakan bahwa pesantren muncul pada zaman wali songo, dan Maulana  Malik Ibrahim dipandang sebagai yang pertama mendirikan pesantren.
  c.    Meunasah, Rangkang, dan Dayah  
 Di Aceh ada tiga lembaga pendidikan Islam yang populer, yaitu, pertama, Meunasah, secara etimologi berasal dari perkataan madrasah. Setiap kampung di Aceh ada  Meunasah sebagai tempat belajar bagi anak-anak; kedua,  Rangkang, sebagai tempat tinggal murid yang dibangun di sekitar masjid; ketiga,  Dayah sebagai tempat yang dibangun di sekitar masjid.
d.   Surau          
Surau diartikan tempat (rumah) umat Islam melakukan ibadah (shalat, mengaji, dan lain-lainnya).[5] Lembaga pendidikan formal masih tetap berfungsi sampai pada masa  kemerdekaan. Pendidikan Islam di Indonesia pada masa pasca penjajah (zaman kemerdekaan) dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pertama,  pendidikan Islam sebagai lembaga; kedua, pendidikan Islam sebagai mata pelajaran. Berdasarkan  sejarah pendidikan Islam di Indonesia, munculnya pertanyaan bagaimana pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia? Pendidikan Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan nasional, yang dibagi tiga hal; yaitu, pertama, pendidikan Islam sebagai lembaga; kedua,  pendidikan Islam sebagai mata pelajaran; ketiga, pendidikan Islam sebagai nilai.[6]
Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara eksplisit. Pendidikan Islam sebagai mata pelajaran diakuinya pendidikan Islam sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Berikutnya pendidikan Islam sebagai nilai, yakni ditemukannya  nilai-nilai Islami dalam sistem pendidikan nasional.[7]
Kajian historis tentang pendidikan Islam di Indonesia sejak awal masuknya Islam ke Indonesia  dapat dibagi tiga fase. Fase pertama sejak mulai tumbuhnya pendidikan Islam sejak awal masuknya Islam ke Indonesia sampai munculnya zaman pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Fase kedua sejak masuknya ide-ide pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, dan fase ketiga sejak disahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU no. 2 tahun 1989 dan dilanjutkan dengan UU No.20 tahun 2003). Setiap fase ditandai dengan ciri khas masing-masing.[8]
Fase pertama adalah fase awal dimulai dengan munculnya pendidikan informal, yang dipentingkan pada tahap awal adalah pengenalan nilai-nilai Islami, selanjutnya baru muncul lembaga-lembaga pendidikan Islam yang diawali  dengan munculnya masjid, meunasah, rangkang, dayah, dan surau. Ciri yang paling menonjol dalam fase ini adalah: pertama,  materi pelajaran terkonsentrasi kepada pengembangan dan pendalaman ilmu-ilmu agama Islam seperti tauhid, fiqih, tasawuf, akhlak, dan lain-lainnya yang sejenis dengan itu, pembelajarannya berkonsentrasi pada pembahasan kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab; kedua, metodenya adalah sorongan, betonan, dan muzakkarah (musyawarah); ketiga, sistemnya non klasikal yakni dengan memakai sistem halaqah. Outputnya akan menjadi ulama, kiai, ustad, guru agama, dan juga menduduki jabatan-jabatan keagamaan.[9]
Fase kedua adalah fase ketika masuknya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam ke Indonesia. Sejak abad ke-19 yang berkumandang ide-ide pembaharuan pemikiran Islam ke seluruh dunia Islam, dimulai dari gerakan pembaharuan di Mesir, Turki, Saudi Arabia, dan juga Indonesia. Perkembangan berikutnya adalah fase ketiga, yakni setelah berlakunya UU No. 2 Tahun 1989 yang diikuti dengan lahirnya sejumlah Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan selanjutnya diikuti dengan lahirnya UU No. 20 tahun 2003.[10]
Untuk meletakkan kedudukan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional perlu diklasifikasi pada tiga hal, yaitu:
a.      Pendidikan Islam Sebagai Lembaga
 Maksudnya pendidikan Islam pada  pendidikan formal, (yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi), pendidikan Islam pada pendidikan informal, dan pendidikan Islam pada pendidikan usia dini.
b.      Pendidikan Islam Sebagai Mata Pelajaran  
   Kurikulum pendidikan Islam sesuai dengan jenjang pendidikan Islam dalam kerangka negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
1)      Pendidikan Agama.
2)      Pendidikan Kewarganegaraan.
3)      Bahasa.
4)      Matematika.
5)      Ilmu Pengetahuan Alam.
6)      Ilmu pengetahuan Sosial.
7)      Seni dan Budaya.
8)      Penjaskes.
9)      Keterampilan/Kejuruan.
10)  Muatan Lokal.
Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
1)   Pendidikan agama.
2)   Pendidikan Kewarganegaraan.
3)   Bahasa.
c.       Nilai-nilai Islami  Dalam UU No. 20 tahun 2003
Inti dari hakikat nilai-nilai Islam itu adalah nilai yang membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk (sesuai dengan konsep rahmatan lil ‘alami), demokratis, egalitarian, humanis. Di antara nilai-nilai tersebut adalah:
1)  Pendidikan nasional adalah pendidikan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2)  Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta keberadaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
3)  Pendidikan nasional bersifat demokratis dan berkeadilan.
4)  Memberikan perhatian kepada peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sebagainya.
5)   Menekankan pentingnya pendidikan keluarga merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
6)   Pendidikan merupakan kewajiban bersama antara orang tua, masyarakat, dan pemerintah.[11]  

2.      Malaysia
a.      Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam di Malaysia    
Malaysia adalah salah satu negara anggota ASEAN yang merdeka pada tanggal 31 Agustus 1957 dari tangan Inggris dengan nama Persekutuan Tanah Melayu. Kemudian pada tahun 1963, berubah namanya menjadi Malaysia termasuk di dalamnya Sabah, Serawak, dan Singapura. Dua tahun berikutnya, Singapura terpisah dari Malaysia. Malaysia memiliki tiga belas negara bagian yang disebut  negeri dan dua buah wilayah persekutuan. Ketiga belas negeri tersebut adalah Kelantan, Trengganu, Pahang, Johor, Malaka, Negeri Sembilan, Selangor, Perak, Kedah, Perlis, Pulau Pinang, Sabah, dan Serawak. Sementara, dua wilayah persekutuan adalah Kuala Lumpur  ibu kota negara Malaysia, dan Labuan yang terletak di Sabah, Malaysia Timur.[12]
Kedatangan Islam ke Malaysia tidak berbeda dengan kedatangan islam ke Indonesia, yaitu melalui Selat Malaka. Selat Malaka merupakan jalur perdagangan laut yang sudah lama dilayari oleh pedagang-pedagang  Arab, Parsi, dan India, sebagai sebuah lintasan  perdagangan tentu telah terjadi kontak antara kaum pendatang, yaitu para pedagang dengan bumi putra. Dipandang  dari sudut pendidikan, kedatangan para pedagang yang berperan sebagai dai tentu telah dimulai sejak masuknya Islam ke negeri tersebut. Kontak-kontak personel yang berbentuk informal antara pedagang atau mubalig sangat besar peranannya dalam proses Islamisasi di daerah ini. Terbentuknya komunitas muslim di kawasan ini merupakan hasil proses Islamisasi tersebut.[13]    
Pendidikan Islam di sekolah-sekolah di Malaysia secara formal baru dimulai pada awal tahun 1960-an, yakni setelah kerajaan melaksanakan undang-undang pendidikan yang didasarkan kepada laporan Rahman Taib. Berdasarkan laporan tersebut, terbentuklah Akta Pelajaran pada tahun 1961. Dalam akta ini pada syeksyen 36 (1), disebutkan bahwa pendidikan agama Islam hendaklah diberikan kepada murid-murid beragama Islam berjumlah 15 orang atau lebih.[14]
Pada mulanya, pendidikan Islam di Malaysia berada pengawasan kerajaan negeri sebab termasuk dalam wewenang Raja-Raja Melayu. Akan tetapi, setelah dilaksanakan Akta Pelajaran 1961, pemerintah pusat ikut berperan dalam urusan pendidikan agama Islam. Berdasarkan hal tersebut, ada dua lembaga yang bertanggung jawab untuk mengatur pendidikan agama Islam, yaitu kementerian pendidikan untuk mengatur pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah menengah kerajaan, dan kerajaan negeri untuk mengatur pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah rendah dan sekolah-sekolah agama swasta.[15] 
b.      Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Malaysia
Pasal yang menjelaskan tentang agama Islam sebagai agama persekutuan pada perlembagaan persekutuan  Malaysia penjelasannya  bahwa sebagai berikut:
1) Agama Islam ialah agama bagi persekutuan, tetapi agama-agama lain boleh diamalkan di mana-mana bagian persekutuan.
2) Dalam tiap-tiap negeri melainkan negeri yang tidak mempunyai raja, kedudukan raja sebagai ketua agama Islam dalam negerinya secara dan setakat mana yang diakui diisyaratkan oleh pelembagaan negeri, dan juga, tertakluk kepada pelembagaan negeri itu, segala hak keistimewaan, hak kedaulatan, dan kuasa yang dinikmati oleh ketua agama Islam   tidaklah tersentuh dan tercatat, tetapi dalam apa-apa perbuatan, amalan atau upacara yang telah dipersetujui oleh majelis raja-raja supaya meliputi seluruh persekutuan, maka tiap-tiap orang raja lain hendaklah atas sifatnya sebagai ketua agama Islam membenarkan yang di Pertuan Agung mewakilinya.[16]
Poin-poin tersebut perlu diungkapkan kembali karena memiliki posisi dan kedudukan yang amat penting dalam mengoperasikan dan mengaplikasikan pendidikan agama Islam sebagian bagian yang tak terpisahkan dari agama Islam itu sendiri.
Sebagai realisasi dari hal tersebut, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (negeri) memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan dan mengaplikasikan pendidikan Islam. Untuk melihat posisi dan kedudukan pendidikan Islam di Malaysia dapat dilihat dari tujuan pendidikan Malaysia itu sendiri. Pendidikan di Malaysia adalah suatu usaha yang bertujuan ke arah mengembangkan potensi individu secara menyeluruh dan  bersepatu untuk mewujudkan insan yang harmonis dan seimbang segi intelek, rohani, emosi, dan jasmani berdasarkan kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan. Usaha ini adalah bagi melahirkan rakyat Malaysia yang berilmu pengetahuan, berakhlak mulia, bertanggung jawab, dan berkecukupan mencapai kesejahteraan diri serta memberi sumbangan terhadap apa yang dinamakan dengan keharmonisan dan kemakmuran masyarakat dan negara.[17]
Pada tahun 1955 dibentuk pula satu jawatan kuasa yang akan membahas tentang pendidikan di Malaysia dengan tujuan tetap berorientasi pada kesatuan bangsa yang multikultural, etnis, dan agama. Untuk memenuhi hal tersebut, pemerintahan membagi tingkat pendidikan menjadi empat tingkat, yaitu sekolah rendah, sekolah menengah, maktab, dan universitas. Mengenai kedudukan pendidikan agama Islam di sekolah, disebut dalam seksyen 49 ordinan pelajaran 1957:
1)    Apabila dalam sebuah sekolah bantuan kerajaan terdapat 15 orang murid atau lebih beragama Islam, maka murid-murid itu hendaklah diajarkan agama Islam.
2)   Pengajaran agama Islam hendaknya diajar sekurang-kurangnya 2 jam seminggu dalam waktu pengajaran sekolah-sekolah.
3)   Guru-guru agama yang mengajarkan agama Islam hendaklah terdiri dari mereka yang dibenarkan oleh pihak penguasa negeri.
4)    Lembaga pengurus atau pengelola sekolah hendaklah membuat persediaan yang sepatutnya bagi pengadaan pelajaran agama Islam dengan syarat lembaga pengurus atau pengelola dua buah sekolah atau lebih boleh membuat persediaan-persediaan   bersama bagi pengajaran tersebut kepada murid-murid beragama Islam dalam sekolah-sekolah.[18]
Berdasarkan penjelasan di atas, baik dari historis dan kronologisnya maupun peraturan yang berlaku dalam pendidikan di Malaysia maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan Islam di Malaysia. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam adalah juga merupakan subsistem dari sistem pendidikan Malaysia. Pendidikan Islam baik berupa mata pelajaran maupun lembaga (institusi) memiliki kedudukan penting yang tercantum dalam perundang-undangan pendidikan di Malaysia.         
3.      Brunei Darussalam
Brunei adalah sebuah negeri yang terletak di pulau Kalimantan menghadap ke Laut Cina Selatan, berbatasan dengan Sabah dan Serawak, luasnya sekitar 5.766 KM5. Jumlah penduduknya menurut sensus tahun 1990 adalah 260.863 jiwa dan estimasi di tahun 2001 sekitar 344.000 jiwa. Ada pendapat bahwa Kota Brunei berasal dari Varuni (berani dan Berunah). Varuni berasal dari bahasa Sankrit (Sansekerta) berarti orang laut. Dan kata berani menggambarkan bahwa orang-orang Brunei sebagai bangsa yang gagah dan berani.[19]
Menurut catatan Cina, pengaruh Islam telah masuk ke Brunei pada   tahun 977 M. Menurut catatan itu juga bahwa raja Brunei yang pertama masuk Islam adalah Awang Alak Betatar pada tahun 1371.  Perkembangan pendidikan Islam di Brunei tidak jauh berbeda dengan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Di mulai dari sistem yang bersifat informal, kontak-kontak yang bersifat informal antara si pendidik dan si terdidik berjalan dengan  secara intensif. Setelah itu muncullah pendidikan nonformal yang telah memiliki tempat khusus untuk berlangsungnya proses pembelajaran. Pada saat inilah berperannya masjid, rumah-rumah, dan balai-balai sebagai lembaga pendidikan. Setelah itu baru muncul pendidikan formal seperti munculnya sekolah-sekolah. Proses semacam ini juga berlangsung di Brunei, setelah muncul lembaga pendidikan masjid, rumah, dan balai, seterusnya pendidikan Islam pun dilaksanakan lewat sekolah. Pada tahun 1942 pelajaran agama Islam telah menjalani perkembangan, karena telah menyentuh daerah-daerah lain, seperti:
a.    Sekolah Melayu Kuala Belait, gurunya adalah Imam Abang Idrus bin Muh. Jaafar.
b.    Sekolah Melayu Seria, gurunya ialah Imam Abang Idrus bin Muh. Jaafar.
c.    Sekolah Melayu Bukit Bendira Tutong, gurunya ialah Cekgu Mohammad bin Abu Bakar. [20]  
Sistem pendidikan Negara Brunei Darussalam, sistem pendidikan di negara Brunei dibagi:
a.    Pendidikan prasekolah selama satu tahun.
b.    Pendidikan di tingkat rendah selama enam tahun.
c.    Pendidikan di tingkat menengah rendah selama tiga tahun.
d.   Pendidikan di tingkat menengah atas dua tahun.
e.    Pendidikan di tingkat menengah tinggi dua tahun.[21] 
               Sejak tahun 1965 pendidikan agama Islam telah dimasukkan dalam kurikulum sekolah menengah yang disebut dengan nama pengetahuan agama Islam dan sekaligus pula diikutsertakan dalam ujian di tingkat “O” Level dan “A” level. Mata pelajaran agama Islam itu dibagi pada mata pelajaran tauhid, fiqih, sejarah Islam, tafsir, dan hadits.[22] Untuk memberi pendidikan agama Islam dan memastikan nilai-nilai dan cara hidup Islam dapat diterapkan ke dalam sistem pendidikan melalui kurikulum sekolah. Dipandang dari sudut tujuan pembelajaran agama di Negara Brunei dapat dibagi dua:
a.     Untuk menanamkan dan memupuk tentang agama Islam serta menanamkan ruh keagamaan dan kebiasaan mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam diri setiap anak-anak dan juga masyarakat umum.
b.   Untuk menyediakan tenaga-tenaga yang dapat mengislamkan dan mengekalkan keislaman semua perkara yang terdapat dalam kehidupan masyarakat dan negara.[23]  
          Selain dari pada pendidikan yang sifat formal di atas, di Brunei juga tumbuh dengan subur pendidikan yang bersifat informal dan nonformal. Pendidikan informalnya dilaksanakan di rumah-rumah di bawah asuhan orang tua. Sedangkan pendidikan nonformal adalah pendidikan yang dilaksanakan di masyarakat dalam bentuk pengajian keagamaan di masjid-masjid.
4.      Singapura
Singapura sebelum tahun 1963 adalah bagian negara Persekutuan Tanah Melayu, kemudian melepaskan diri menjadi negara yang berdiri sendiri. Singapura tumbuh menjadi kota Kosmopolitan. Di tengah kehidupan kota kosmopolitan, bermukim sekitar 450.000 muslim, yakni  sekitar 16 % dari totalitas penduduk Singapura. Masyarakat muslim Singapura terdiri dari orang Melayu, Arab, India, Pakistan, dan Cina.[24]
Kegiatan umat Islam dalam berbagai aktivitas keagamaan semakin meningkatkan terutama menjelang abad ke-20. Pada awal abad ke-20 dapat dilihat dari pelaksanaan ibadah haji. Banyak orang Indonesia yang bermaksud melaksanakan haji berangkat dari Singapura dan tidak jarang pula di antara mereka sebelum dan sesudah berangkat ke tanah suci bermukim di Singapura. Singapura ketika saat itu berperan sebagai pusat kegiatan pendidikan Islam, karena banyak para sarjana Islam yang memiliki kedalaman ilmu pengetahuan agama yang berasal dari Timur  Tengah, dan ini mendorong banyak pelajar datang ke Singapura untuk menuntut ilmu pengetahuan.[25]  
Kemajuan yang dicapai sejak tahuan 1980-an cukup menggembirakan. Sensus penduduk yang tahun 1990 menunjukkan bahwa jumlah pelajar Melayu Islam yang berpendidikan menengah meningkat dua kali lipat, jumlah berpendidikan menengah atas, termasuk politeknik juga naik dari 2,2% menjadi 5,7%. Begitu juga yang memasuki universitas meningkatkan dari 0,2%, pada tahun 1980 menjadi 1% pada tahun 1990. Pendidikan madrasah juga mengalami kemajuan. Ada 3285 murid madrasah sepenuh masa yang dibagi kepada beberapa klasifikasi, 89% di antaranya pada tingkat madrasah rendah, 395 orang tingkat menengah dan 35 orang di tingkat pra universitas.[26]
Kurikulum madrasah pun mengalami dinamika tidak saja hanya mengajarkan Bahasa Arab dan pendidik agama Islam tetapi juga Sains dan Matematika, khusus mengenai perkembangan pendidikan Islam di Singapura di masa penjajahan tidak jauh berbeda dengan tetangganya Indonesia, Malaysia, dan Thailand yakni terjadinya status yang dualistik (dikotomi) sekolah pemerintah bersifat keduniaan dan sekuler. Sedangkan sekolah-sekolah agama yang bersifat keakhiratan dan mengajarkan ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab saja, dalam bentuk informal, nonformal, dan formal.[27]               
Lembaga-lembaga pendidikan di Singapura di antaranya  adalah:
a.   Madrasah Sepenuh Masa
Madrasah sepenuh masa adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, sebagai sentral dari madrasah ini adalah madrasah al-Junaeid.  Madrasah al-Junaeid didirikan oleh Syekh Abdurrahman bin Junied pada tahun 1351H/1927M. Madrasah ini memprogramkan 70% ilmu-ilmu agama dari Bahasa Arab, sedangkan sisanya 30% mengajarkan ilmu pengetahuan umum di antaranya Bahasa Inggris, Matematika, dan Bahasa Melayu. 
b.   Madrasah Separuh Masa
Madrasah separuh masa ialah madrasah yang melangsungkan proses pembelajarannya tidak setiap hari, mungkin dua atau tiga kali seminggu dan dilaksanakan sore atau malam hari. Dipandang dari sudut materi yang diajarkan adalah semata-mata mengajarkan mata pelajaran agama. Pendidikan ini lebih tepat digolongkan pada pendidikan nonformal.  Banyak masjid-masjid di Singapura melaksanakan pendidikan Islam dalam bentuk madrasah separuh masa. Tujuan madrasah ini adalah memberikan pendidikan agama Islam kepada anak-anak. Kurikulum yang diajarkan adalah mengaji al-Qur’an, muqaddam (bacaan shalat), dan akhlak.[28]
5.      Thailand
    Thailand adalah salah satu dari negara Asia Tenggara yang apabila ditinjau dari sudut agama yang dianut oleh penduduknya mayoritas beraga Budha. Umat Islam adalah penduduk minoritas dari jumlah totalitas penduduk Thailand. Mayoritas umat Islam di Thailand tinggal di wilayah selatan Thailand, yaitu daerah yang disebut dengan Patani, daerah ini meliputi provinsi Yala, Narathiwat, Patani, Sentul, dan sebagian Senggora, dihuni oleh sekitar 5 juta jiwa yakni 8% dari jumlah seluruh penduduk Thailand yang berjumlah 65 juta jiwa. Di wilayah ini dihuni oleh sekitar 85% masyarakat muslim.[29]
Proses Islamisasi di Pattani tidak terlepas dari peranan pendidikan. Pada awal pendidikan informal sangat berperan, yaitu kontak informal antara mubalig dengan rakyat setempat. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan munculnya pendidikan nonformal, dan terakhir pendidikan formal. Pada awal pendidikan agama Islam di kawasan Thailand Selatan dilaksanakan pendidikan Al-Qur’an. Pengajian Al-Qur’an adalah sesuatu yang mesti dipelajari oleh setiap muslim. Pengajian Al-Qur’an ini dilaksanakan di masjid dan di rumah-rumah Tok Guru. Di setiap kampung ada rumah Tok Guru  yang dijadikan sebagai tempat pengajian Al-Qur’an. Selanjutnya muncullah pendidikan pondok. Pondok berposisi sebagai lembaga  pendidikan yang amat penting. Profil pelajar-pelajar pondok adalah pelajar-pelajar yang mengamalkan cara hidup harian  yang sama dan seragam mereka sama-sama berkain sarung, berbaju Melayu berkopiah putih dan sama-sama menggunakan tulisan Jawi dan buku-buku Jawi.[30]  
Kebijakan pemerintah Thailand pada tahun 1966 adalah mewajibkan seluruh institusi pondok untuk mendaftarkan diri ke pemerintah di bawah Akta Rongrian Rat Son Sasna Islam (Sekolah Swasta Mengajar Agama Islam). Sejak itu mulai perubahan pendidikan pondok di Selatan Thailand. Perubahan itu munculkan timbulnya madrasah dengan memiliki ciri:
a.  Madrasah adalah lembaga pendidikan gabungan antara pendidikan agama dan akademik. Guru-guru pendidikan akademik disediakan oleh pemerintah. Pemerintah memberi bantuan terhadap sekolah-sekolah agama yang telah melaksanakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
b. Pada akhir tahun 1970-an, sekolah-sekolah agama yang telah memiliki dua aliran ini (agama dan akademik) mendapat sambutan dari masyarakat. Banyak pelajar-pelajar dikirim untuk menuntut ilmu pengetahuan ke institusi tersebut. Dengan demikian peranan pondok semakin mengecil.
c.  Pada tahun 1981 ada sejumlah 199 sekolah agama Islam, 122 di antaranya yang melaksanakan pendidikan  agama Islam dan akademik (umum).[31]   
Mata pelajaran yang diajarkan di pondok adalah mata pelajaran agama Islam yang bersumber dari kitab-kitab klasik, dan kurikulum yang diterapkan di Thailand Selatan sebagai berikut:[32]
a.     Madrasah Ibtidaiyah pada tingkat ini lama belajarnya adalah 6 tahun.  Adapun kurikulum yang diterapkan pada tingkat ini adalah:
 
No.
Mata Pelajaran
Kelas
Keterangan
A.
1.
2.
4.
5.
6.
7.







B.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Pengetahuan Agama
Al-Qur’an
Tajwid
Al-Hadits
Tauhid
Fiqih
Akhlaq
a.     Pendidikan Bahasa Melayu.
b.     Pendidikan Akhlaq I.
c.     Pendidikan Akhlaq II.
d.    Darusul Akhlaq I.
e.     Darusul Akhlak II.
f.      Tafsirul Akhlaq fi Ilmil Akhlaq.
Bahasa Arab, dan Bahasa Asing
Mutala’ah
Insya’
Imla’
Mahfuzot
An-Nahwu
Syaraf
Bahasa Melayu
Sejarah Nabi
Pendidikan Jasmani
Al-Hisab (Berhitung)
Khat

I-IV
II-VI
IV-VI
I-VI
VI
VI
V
I
II
III
IV
V


I-III
III-VI
I-VI
I-VI
III
III-VI
I-VI
I-III
IV-VI
I-VI
I-IV


b. Madrasah Mutawassithah, pada tingkat ini lama belajarnya adalah 3 tahun, sedangkan kurikulum yang diterapkan adalah sebagai berikut:  
No.
Mata Pelajaran
Kelas
Keterangan
1
2
3
4
A.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pengetahuan Agama
Al-Qur’an
Tajwid
Al-Hadits
Tauhid
Fiqih
Akhlaq
Tafsir

I-VI
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III

 
1
2
3
4
B.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

C.
1.
2.
3
4.

Bahasa Arab dan Bahasa Asing
Muthala’ah
Insya’
Muhaddasah
Imla’
Nashusul Adabiyah
Khat
Qawa’id Lughatil Arabiyah
Bahasa Melayu
Bahasa Inggris

Pengetahuan Umum dan Olah Raga
Sejarah Islam
Pendidikan Jasmani
Berhitung
Ilmu Bumi

I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III


I-III
I-III
I-III
I-III

c.  Madrasah Tsanawiyah, di mana pada tingkat ini, lama belajarnya adalah 3 tahun, dan madrasah ini adalah tingkatan yang tertinggi. Madrasah Tsanawiyah   adalah setingkat dengan SLTA. Adapun kurikulum yang diterapkan adalah sebagai berikut:
No.
Mata Pelajaran
Kelas
Keterangan
1
2
3
4
A.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
B.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pengetahuan Agama
Al-Qur’an
Tajwid
Al-Hadits
Tauhid
Fiqih
Akhlaq
Tafsir
Faraidh
Ushul Fiqih
Musthalah Hadits
Ushul At-Tafsir
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris
Qawaidul Lighat Fil Arabiyah
Al-Adabu Wan Nushush
Al-Balaghah
Insya’
Muthala’ah
Bahasa Melayu
Bahasa Inggris

I-VI
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III

I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
I-III

1
2
3
4
B.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Pengetahuan Umum dan Olah Raga
Sejarah Islam
Pendidikan Jasmani
Berhitung/Aljabar
Ilmu Bumi
Ilmu Ekonomi
Ilmu Jiwa
Al-Mantiq
Filsafat dan Akhlak

I-III
I-III
I-III
I-III
I-III
III
III
III
III


6.      Filipina
Masuknya Islam di Filipina diperkirakan pada abad ketiga belas masehi. Namun, ada juga pendapat bahwa masuknya Islam ke Filipina berkisar antara abad ke-9 dan 15  Masehi dibawa oleh para aulia dan pedagang. Filipina terdiri dari 7.109 pulau dengan luas wilayah 29.062.000 hektar, dihuni oleh penduduk mayoritas beragama katolik. Penduduk muslim, menurut sensus tahun 1980 ada sejumlah 3,5 juta atau sekitar 7%    dari populasi penduduk Filipina. Menurut sensus penduduk tahun 1990 penduduk muslim di Filipina  berjumlah 5% dari totalitas penduduknya seluruhnya yakni sekitar 2,8 juta jiwa.[33]
Penduduk muslim di Filipina terkonsentrasi di bagian selatan Filipina, terutama di Mendanau, Ujung Selatan Palawani, gugusan Kepulauan Sulu. Mereka terdiri dari tiga belas kelompok bahasa dan budaya, yaitu: Maranoa, Iranum, Maguindanao, Tausugs Samal, Bajao, Jama Mapun, Palawani, Malbog, kalibugan, Yakan, Karaza, dan Sangil. Di antara mereka itu ada tiga kelompok terbesar, yaitu Maranaos, Tausugs, dan Magu Indanoas. Decasa dalam Haidar Putra Daulay mengemukakan  bahwa Islam telah dikenal di Sulu pada abad ke-13. Islam dikembangkan lewat jalur perdagangan dan juga disebarkan oleh para da’i yang Filipina Selatan dikenal dengan istilah Masaikh, Makdumin, dan Aulia.[34]  
 Di Filipina, pendidikan formal pada tingkat dasar dan menengah  di sebut dengan maktab dan madrasah. Pendidikan maktab lebih dikhususkan pada pendidikan anak-anak usia 6 sampai 10 tahun. Para orang tua membawa anak-anak  mereka baik laki-laki maupun perempuan ke rumah seorang muslim yang dituakan dan memiliki reputasi dalam bacaan Al-Qur’an.  Selain dari lembaga pendidikan tersebut, di Filipina juga muncul lembaga pendidikan pola Barat ketika orang-orang Barat datang ke Filipina. Sekolah-sekolah Barat bersifat sekuler. Sebagai implikasi dari pemikiran dan budaya yang memisahkan agama dan negara.  Keadaan ini bertentangan dengan doktrin keislaman. Madrasah dimulai dengan sebuah rumah yang sederhana yang diistilahkan dengan maktab, di tempat seorang guru, biasanya seorang pemimpin Islam mengajar sebuah grup kecil anak-anak, yang selanjutnya lembaga ini menempati posisi sebagai sekolah pandita (Pandita School).[35]
Pengintegrasian madrasah ke sistem pendidikan di Filipina telah dilaksanakan pada tahun 1982. Madrasah mendapat pengakuan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Olahraga (The Ministry of Education, Cultural, and  Sport) disingkat dengan MECS. Dengan masuknya madrasah ke dalam sistem pendidikan Filipina, maka pemerintah melaksanakan kegiatan:
a.  Memperbaiki staf pengajar, dan fasilitas  lembaga madrasah.
b.  Memperkuat dan mengembangkan program Islamic Studies diberbagai lembaga pendidikan tinggi, khususnya di Mindanao,
c.   Memperkuat dan mendirikan program pengajaran dan pembelajaran Bahasa Arab.[36]
      Integrasi antara madrasah dengan sistem pendidikan di Filipina dapat dilihat dari dua hal, yaitu:
a.   Sekolah umum boleh memuat beberapa subjek mata pelajaran non agama, sedangkan di madrasah harus memenuhi beberapa mata pelajaran dalam kurikulum:
1)     Angka-angka Arab dapat diperkenalkan di sekolah umum sebagai integral dari pelajaran Matematika.
2)    Sejarah dan Geografi negara-negara Timur Tengah dapat diperkenalkan dalam ilmu pelajaran ilmu sosial (social studies).
3)    Bahasa Arab yang mempunyai arti yang ekuivalen dengan istilah ilmu pengetahuan dapat diintegrasikan ke dalam subjek sains.
4)    Akhlak dan etika Islam dapat dimasukkan ke dalam tingkah laku yang baik atau diintegrasikan ke dalam semua subjek.
5)    Literatur tidak hanya dibatasi dengan literatur bahasa Inggris dan Filipina, akan tetapi seharusnya dimasukkan literatur  Bahasa Arab.
6)    Bahasa Arab dijadikan bahasa yang dijadikan subjek reguler.
7)    Mata pelajaran vokasional yang berorientasi lokal dan Timur Tengah, seharusnya diprioritaskan untuk diberikan pada mata pelajaran seni praktis.
           Selanjutnya adanya hubungan yang perlu diatur antara madrasah dan sekolah umum dengan mempertimbangkan:
1)  Bahasa Arab adalah mata pelajaran yang diberikan bagi pelajar-pelajar muslim di Filipina. Mereka belajar Bahasa Arab pada akhir pekan madrasah.
2)   Madrasah juga mengharuskan kepada pelajarnya untuk mengambil mata pelajaran Matematika, Ilmu Sosial, Sains, Bahasa Inggris, dan Bahasa Filipina. Para pelajar mengambil mata pelajaran - mata pelajaran tersebut di sekolah umum pada jam pelajaran   reguler  mulai hari Senin sampai Jum’at.
b.   Sebuah madrasah dan sekolah umum seharusnya berdekatan(hal ini lumrah di negeri-negeri muslim)  dengan demikian akan memudahkan saling bertukar tanpa menambah pembiayaan. Guru-guru madrasah bisa mengajarkan Bahasa Arab di sekolah umum, sedangkan guru-guru di sekolah umum dapat pula mengajarkan Bahasa Inggris di madrasah. Jadwal pelajaran dari kedua jenis sekolah tersebut dapat disusun tanpa adanya jadwal yang bertabrakan. Berdasarkan observasi The World Federation of Madaris In The Philippines, mengatakan bahwa madrasah kurang berkualitas, hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu:
1)    Sumber finansial berasal dari uang sekolah, dan bantuan dari masyarakat sangat sedikit dan tidak tetap.
2)    Guru-guru Bahasa Arab sangat sedikit dan mereka hanya lulusan sekolah menengah dari madrasah-madrasah lokal.
3)    Semua guru-guru dari berbagai madrasah menerima gaji sangat kecil.
4)    Perpustakaan dan fasilitas sangat kurang.[37]
Hassoubah dalam Haidar Putra Daulay juga merekomendasikan, untuk  meningkatkan mutu madrasah di Filipina, yaitu:
1)   Revisi kurikulum, mata pelajaran –mata pelajaran di sekolah  umum semestinya diperkenalkan juga di madrasah.
2)    Akreditasi dan pengakuan tentang madrasah. Menteri  pendidikan, kebudayaan, dan olahraga, semestinya mengatur operasional madrasah di dalam kesesuaiannya dengan beberapa standar universal dan menekankan keseragaman pengajar dan kualitas pendidikan.
3)   Melaksanakan trainning dan up graiding  untuk peningkatan skill guru bahasa Arab di madrasah.
4)   Memproduksi materi pengajaran dalam Bahasa Arab dan mata pelajaran Islam lewat bantuan pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya.
5)   Tamatan madrasah diperbolehkan memasuki universitas-universitas dan  kolej untuk   melanjutkan pendidikan.
6)   Menetapkan standar profesional madrasah, pelajar-pelajar yang terlatih dapat diizinkan mengajar Bahasa Arab di sekolah umum.[38]
       Secara keseluruhan madrasah di Filipina memiliki peranan dalam pendidikan nasional dilihat dari:
a.   Peranannya dalam mendidik generasi muda Filipina, tidak bisa hanya diharapkan dari sekolah saja. Dalam hal ini madrasah telah memberi sumbangan dalam pendidikan di Filipina sekitar 146.132 pelajar dan 3.384 orang guru.
b. Kaitannya dengan pengajaran Bahasa Arab yang banyak sumbangannya bagi hubungan  yang harmonis antara Filipina dengan negara-negara Arab yang kaya minyak. Madrasah di Filipina berperan meningkatkan kesadaran masyarakat muslim akan peranan mereka sebagai anggota dari masyarakat muslim dunia, dan menjadikan pula memperkuat jati diri mereka dalam bidang jiwa dan perkembangan spiritual.[39] 

C. PENUTUP
 Kesimpulan
a.  Kajian historis tentang pendidikan Islam di Indonesia sejak awal masuknya Islam ke Indonesia  dapat dibagi tiga fase. Fase pertama sejak mulai tumbuhnya pendidikan Islam sejak awal masuknya Islam ke Indonesia sampai munculnya zaman pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Fase kedua sejak masuknya ide-ide pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia, dan fase ketiga sejak disahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU no. 2 tahun 1989 dan dilanjutkan dengan UU No.20 tahun 2003).
b.  Pendidikan Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan Islam di Malaysia. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam adalah juga merupakan subsistem dari sistem pendidikan Malaysia. Pendidikan Islam baik berupa mata pelajaran maupun lembaga (institusi) memiliki kedudukan penting yang tercantum dalam perundang-undangan pendidikan di Malaysia.
c.  Pendidikan  yang sifat formal di Brunei juga tumbuh dengan subur pendidikan yang bersifat informal dan nonformal. Pendidikan informalnya dilaksanakan di rumah-rumah di bawah asuhan orang tua. Sedangkan pendidikan nonformal adalah pendidikan yang dilaksanakan di masyarakat dalam bentuk pengajian keagamaan di masjid-masjid.
d.  Pada awal pendidikan agama Islam di kawasan Thailand Selatan dilaksanakan pendidikan Al-Qur’an. Pengajian Al-Qur’an adalah sesuatu yang mesti dipelajari oleh setiap muslim. Pengajian Al-Qur’an ini dilaksanakan di masjid dan di rumah-rumah Tok Guru. Di setiap kampung ada rumah Tok Guru  yang dijadikan sebagai tempat pengajian Al-Qur’an. Selanjutnya muncullah pendidikan pondok.
e.  Kegiatan umat Islam dalam berbagai aktivitas keagamaan semakin meningkatkan terutama menjelang abad ke-20. Pada awal abad ke-20 dapat dilihat dari pelaksanaan ibadah haji. Banyak orang Indonesia yang bermaksud melaksanakan haji berangkat dari Singapura dan tidak jarang pula di antara mereka sebelum dan sesudah berangkat ke tanah suci bermukim di Singapura. Singapura ketika saat itu berperan sebagai pusat kegiatan pendidikan Islam, karena banyak para sarjana Islam yang memiliki kedalaman ilmu pengetahuan agama yang berasal dari Timur  Tengah, dan ini mendorong banyak pelajar datang ke Singapura untuk menuntut ilmu pengetahuan.
f.  Di Filipina, pendidikan formal pada tingkat dasar dan menengah  di sebut dengan maktab dan madrasah. Madrasah dimulai dengan sebuah rumah yang sederhana yang diistilahkan dengan maktab, di tempat seorang guru, biasanya seorang pemimpin Islam mengajar sebuah grup kecil anak-anak, yang selanjutnya lembaga ini menempati posisi sebagai sekolah pandita (Pandita School).




DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, The Surau and Early Reform Movement in Minangkabau, Bandung:Mizan, 1990.
Daulay, Haidar Putra,  Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, Jakarta:Rineka Cipta, 2009.
Chapakia, Ahmad Omar, Politik Thai dan Masyarakat Islam di Selatan Thailand, Kedah:Pustaka Darussalam, 2000.
Esmula, Waja, History of  Islamic Studies in Philipines, Islamic  Studies in Asean, Thailand:Pattani Campus.
Horgronje, C. Snouck,  Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya,  Jakarta: INIS, 1997.
Internasional Law Bool Service, Perlembagaan Persekutuan, Kuala Lumpur: Internasional Law Bool Service, 2000.
Jabatan Pendidikan Kelantan, 1988.
Jabatan Pengajian Islam Brunei, 1996.
Jabatan Pengajian Islam, KHEU, 1996.
Muhadjir,  Noeng, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial,  Jakarta: Rake Sarasin, 1987.
Zein, Md. Haji, Suatu Pendekatan Mengenai  Islam di Brunei, Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 1990.








[1]Azyumardi Azra, The Surau and Early Reform Movement in Minangkabau, (Bandung:Mizan, 1990), hal. ix.
[2] Ibid, hal. xii.
[3] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta:Rineka Cipta, 2009),  hal. 12.
[4] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rake Sarasin, 1987), hal. 5-6.
[5]C. Snouck Horgronje, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya, (Jakarta: INIS, 1997), hal. 23.
[6] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, hal. 44.
[7] Ibid, hal. 45.
[8] Ibid. hal. 45.
[9] Ibid, hal. 45
 [10] Ibid, hal. 46.
[11] Ibid, hal. 47-52
[12] Ibid, hal. 53.
[13] Ibid, hal. 54.
[14] Ibid, hal. 63.
[15] Ibid, hal. 64.
[16]Internasional Law Bool Service, Perlembagaan Persekutuan, (Kuala Lumpur: Internasional Law Bool Service, 2000), hal. 2.
[17] Jabatan Pendidikan Kelantan, 1988, hal. 2.
[18] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, hal. 86.
[19] Ibid, hal. 87.
[20] Md. Haji Zein, Suatu Pendekatan Mengenai  Islam di Brunei, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 1990), hal. 14.
[21] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, hal. 93.
[22] Jabatan Pengajian Islam Brunei, 1996, hal. 72.
[23] Jabatan Pengajian Islam, KHEU, 1996, hal. 55.
[24] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, hal. 112.
[25] Ibid, hal. 112.
[26] Ibid, hal 114.
[27] Ibid, hal. 115.
[28] Ibid, hal. 118-122.
[29] Ibid, hal 131.
[30] Ahmad Omar Chapakia, Politik Thai dan Masyarakat Islam di Selatan Thailand,(Kedah:Pustaka Darussalam, 2000), hal. 27.
[31] Ibid, hal. 28.
[32] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, hal. 145-150.
[33] Ibid, hal. 164.
[34] Ibid, hal. 165.
[35] Ibid, hal. 167.
[36] Ibid, hal. 168.
[37] K.Waja Esmula, History of  Islamic Studies in Philipines, Islamic  Studies in Asean, (Thailand:Pattani Campus, 2000), hal. 36.
[38] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, hal. 170.
[39] Ibid, hal. 174.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar