SERTIFIKASI DAN PROFESIONALISME
GURU
Oleh: Dr. H. Endang Komara, M.Si.
Add caption |
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen (UUGD) disahkan pada Desember 2005, sertifikasi menjadi istilah yang
sangat populer dan menjadi topik pembicaraan yang hangat pada setiap pertemuan,
baik di kalangan akademisi, guru maupun masyarakat. Dengan diberlakukan UUGD
minimal memiliki tiga fungsi. Pertama sebagai
landasan yuridis bagi guru dari perbuatan semena-mena dari siswa, orang tua dan
masyarakat. Kedua untuk meningkatkan
profesionalisme guru. Ketiga untuk
meningkatkan kesejahteraan guru. Baik yang berstatus sebagai pegawai negeri
(PNS) ataupun non PNS.
UUGD seakan menjadi ‘angin surga’ bagi guru di seluruh wilayah Indonesia yang notabene
termasuk kelompok yang masih perlu peningkatan dari sisi finansial dan
penghargaan profesinya. Namun, persepsi seperti itu cenderung berpotensi
menyesatkan arah perhelatan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di negeri
tercinta ini. Mengapa demikian? Sebab hal ikhwal yang terkait dengan
sertifikasi dan upaya peningkatan kesejahteraan guru harus diletakkan dalam
kerangka peningkatan mutu pendidikan, baik dari sisi proses (layanan) maupun
hasil (luaran) pendidikan. Kerangka pikir dan landasan peningkatan mutu
pendidikan sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Guru sebagai agen pembelajaran di Indonesia
diwajibkan memenuhi tiga persyaratan seperti dijelaskan oleh Muchlas Samani
(2006:7), yaitu kualifikasi pendidikan minimum, kompetensi, dan sertifikasi
pendidik. Ketiga persyaratan untuk menjadi guru sesuai dengan Pasal 1 butir
(12) UUGD yang menyebutkan bahwa sertifikat pendidik merupakan bukti formal
sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Sementara itu, pada Pasal 11 ayat (1) juga disebutkan bahwa sertifikat pendidik
diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Untuk itu, guru dapat
memperoleh sertifikat pendidik jika telah memenuhi dua syarat, yaitu
kualifikasi pendidikan minimum yang ditentukan (diploma-D4/sarjana S1) dan
terbukti telah menguasai kompetensi tertentu. Untuk itu, sebenarnya syarat
untuk menjadi guru bila dicermati lebih dalam hanya ada dua, yaitu kualifikasi
akademik minimum (ijazah D4/S1) dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru
yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan
dua syarat di atas, yaitu kualifikasi akademik minimum dan penguasaan
kompetensi minimal sebagai guru.
Guru memiliki peran yang strategis dalam bidang
pendidikan, bahkan sumberdaya pendidikan lain yang memadai seringkali kurang
berarti apabila tidak disertai dengan kualitas guru yang memadai. Begitu juga
yang terjadi sebaliknya, apabila guru berkualitas kurang ditunjang oleh
sumberdaya pendukung yang lain yang memadai, juga dapat menyebabkan kurang
optimal kinerjanya. Dengan kata lain, guru merupakan ujung tombak dalam upaya
peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan. Dalam berbagai kasus,
kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru
(Beeby, 1969). Untuk itu, peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan
melalui upaya peningkatan kualitas guru. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa
kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan
oleh tidak terpenuhinya kualitas pendidikan minimal. Data dari Direktorat
Tenaga Kependidikan Dikdasmen Depdiknas pada tahun 2004 menunjukkan terdapat
991.243 (45,96%) guru SD, SMP dan SMA yang tidak memenuhi kualifikasi
pendidikan minimal.
Sebagai gambaran rinci keadaan kualifikasi
pendidikan minimal guru di Indonesia sebagai berikut: Guru TK yang tidak
memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 119.470 (78,1%) dengan sebagian
besar 32.510 orang berijazah SLTA. Di tingkat SD, guru yang tidak memenuhi
kualifikasi pendidikan minimal sebesar 391.507 (34%) yang meliputi sebanyak
378.740 orang berijazah SMA dan sebanyak 12.767 orang berijazah D1. Di tingkat
SMP, jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar
317.112 (71,2%) yang terdiri atas 130.753 orang berijazah D1 dan 82.788 orang
berijazah D2. Begitu juga di tingkat SMA, terdapat 87.133 (46,6%) guru yang
belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal, yakni sebanyak 164 orang
berijazah D1, 15.589 orang berijazah D2, dan 71.380 orang berijazah D3.
Gambaran jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal
tersebut akan semakin besar persentasenya bila dilihat dari persyaratan
kualifikasi pendidikan minimal guru yang dituntut oleh PP No. 19/2005 tentang
SNP. Di samping itu, pada Pasal 28 PP tersebut, juga mempersyaratkan seorang
guru harus memenuhi kompetensi minimal sebagai agen pembelajaran pada jenjang
pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah. Kompetensi sebagai agen
pembelajaran ini meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
Isi Pasal 1 butir (11) UUGD menyebutkan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian
sertifikat pendidik kepada guru dan dosen. Tentu saja dengan logika bahwa yang
bersangkutan terbukti telah menguasai kedua hal yang dipersyaratkan di atas
(kualifikasi pendidikan minimum dan penguasaan kompetensi guru). Untuk
kualifikasi pendidikan minimum, buktinya dapat diperoleh melalui ijazah
(D4/S1). Namun sertifikat pendidik sebagai bukti penguasaan kompetensi minimal
sebagai guru harus dilakukan melalui suatu evaluasi yang cermat dan
komprehensif dari aspek-aspek pembentuk sosok guru yang kompeten dan
profesional. Tuntutan evaluasi yang cermat dan komprehensif ini berlandaskan
pada isi Pasal 11 ayat (3) UUGD yang menyebutkan bahwa sertifikasi pendidik
dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Jadi sertifikasi guru
dari sisi proses akan berbentuk uji kompetensi yang cermat dan komprehensif.
Jika seorang guru/calon guru dinyatakan lulus dalam uji kompetensi ini, maka
dia berhak memperoleh sertifikat pendidik.
Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan
tingkat kelayakan seorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen
pembelajaran di sekolah dan sekaligus memberikan sertifikat pendidik bagi guru
yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji sertifikasi. Adapun manfaat uji
sertifikasi sebagai berikut. Pertama,
melindungi profesi guru dari praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten
sehingga dapat merusak citra profesi guru itu sendiri. Keduai, melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak
berkualitas dan profesional yang akan menghambat upaya peningkatan kualitas
pendidikan dan penyiapan sumberdaya manusia di negeri ini. Ketiga, menjadi wahana penjamin mutu bagi LPTK yang bertugas
mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna
layanan pendidikan. Keempat, menjaga
lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan eksternal yang
potensial dapat menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Bentuk uji kompetensi dalam pelaksanaan
sertifikasi guru. Wacana yang berkembang dalam penyusunan Rencana Peraturan
Pemerintah (RPP) Guru, uji kompetensi tersebut terdiri atas dua bagian, yaitu:
(1) ujian tertulis dan (2) ujian kinerja.
Guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi. Untuk meyakinkan bahwa guru sebagai pekerjaan profesional
maka syarat pokok pekerjaan profesional menurut Wina Sanjaya (2005:142-143):
(1) pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam
yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga
kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah; (2) suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalm
bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara
profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas; (3)
tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang
pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi
latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya, semakin tinggi
pula tingkat keahliannya dengan demikian semakin tinggi pula tingkat
penghargaan yang diterimanya; (4) suatu profesi selain dibutuhkan oleh
masyarakat juga memiliki dampak terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga
masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap efek yang ditimbulkan
dari pekerjaan profesinya. Sebagai suatu profesi, kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang guru, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi profesional
dan kompetensi sosial kemasyarakatan.
Melalui sertifikasi diharapkan dapat dipilah mana
guru yang profesional mana yang tidak sehingga yang berhak menerima tunjangan profesi
adalah guru profesional yang bercirikan berilmu pengetahuan, berlaku adil,
berwibawa dan menguasai bidang yang ditekuninya. Semoga.
REFERENSI
Direktorat P2TK dan KPT,
Ditjen Dikti, Depdiknas R.I. 2004. Standar
Kompetensi Guru Pemula PGSMK. Jakarta.
Peraturan Pemerintah RI
Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Samani, Muchlas, dkk. 2006.
Mengenai Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya:
SIC.
Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum
Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media.
Tim Sertifikasi Guru dan
Lulusan. 2006. Bahan Sosialisasi
Sertifikasi Guru. Jakarta: Direktorat Ketenagaan, Ditjen Pendidikan Tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar