Selasa, 27 Desember 2011

ILMU JARH WATTA’DIL

ILMU JARH WATTA’DIL (MENGKRITIK DAN MENILAI BAIK)  
oleh: Said Saleh

A.    PENDAHULUAN 
Bagi umat Islam, hadits diyakini sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an.  Ada sekelompok kecil yang meragukannya sebagai hujjah, namun kuantitas mereka sangat kecil, juga kekeliruannya telah dibuktikan oleh para ulama hadits. Di samping itu, hajat  umat Islam terhadap hadits selain ditopang oleh argumentasi-argumentasi aqliyah  juga ditopang oleh argumentasi-argumentasi naqliyah. Literatur-literatur kehaditsan telah mengemukakan argumentasi-argumentasi itu dengan baik. Berbeda dengan Al-Qur’an yang keseluruhannya bersifat Qath’i Al-Wurud (kepastian datang dari sumber pertama, yaitu Allah SWT, dan kemurniannya telah dijamin oleh Allah SWT), maka kualitas hadits bersifat Dzanni Al-Wurud (kepastiannya berada antara positif dan negatif, dan di samping  itu, kemurniannya pun tidak mendapat jaminan dari Allah SWT). Sifatnya yang tipikal itu, tidak menjamin hadits  tidak dapat terhindar dari intervensi-intervensi luar yang bersifat konstruktif, terutama adanya usaha-usaha untuk memalsukannya. Dalam  rentang  waktu pemodifikasian hadits yang cukup lama, yakni kurang lebih 200 tahun semenjak kewafatan Nabi SAW, tak pelak lagi telah terjadi pertumbuhan hadits-hadits dengan palsu dengan berbagai motivasi. Hal itu mendorong para ulama hadits untuk merumuskan disiplin ilmu hadits yang salah satunya adalah memberikan kerangka acuan untuk memberi batasan antara hadits yang bersumber dari Nabi SAW dengan hadits palsu. Tidak dapat dipastikan berapa banyak kitab-kitab hadits yang telah dihasilkan oleh para ulama. Yang pasti, diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengkajinya. Sehubungan dengan hal tersebut, salah satu usaha yang dilakukan oleh para ulama yaitu dengan Ilmu Jarh Watta’dil. Usaha untuk membedakan hadits-hadits sahih, dhaif, ataupun maudhu’.  Mereka para ulama mempelajari sejarah perawi, perjalanan hidupnya, dan hal-hal yang umum dari keadaan perawi-perawi itu. Maka dengan mengungkapkan  kecacatan-kecacatan  perawi, dan mengumumkan mana orang-orang yang boleh dan tidak boleh meriwayatkan hadits atau riwayatnya tidak dapat dijadikan hujjah. Dengan demikian umat Islam dapat mengetahui keabsahan suatu hadits, dan dapat mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

B.  PEMBAHASAN 
1.  Pengertian Ilmu Jarh Watta’dil   
Menurut bahasa, kata al-Jarh adalah dalam bentuk mashdar dari kata jaraha-yajrahu, artinya melukai. Keadaan luka dalam hal ini dapat dikaitkan dengan fisik, misalnya luka kena senjata tajam, atau dengan nonfisik, misalnya luka hati karena kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang. Apabila kata Jarh  dipakai oleh hakim pengadilan yang ditujukan oleh kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti menggiurkan keabsahan sakti.  Dalam kitab Ushul al-Hadits dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Jarh adalah sifat pribadi periwayat yang tidak adil atau yang buruk hafalannya dan kurang kecermatannya, sehingga menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan rawi tersebut.  Menurut istilah Ilmu Hadits, al-Jarh adalah kecacatan pada perawi hadits disebabkan oleh semua yang dapat merusak keadilan dan kedhabitan perawi. Definisi  lain menyatakan bahwa  al-Jarh adalah pengungkapan keadaan perawi tentang sifat-sifatnya yang tercela, menyebabkan lemah atau ditolaknya riwayat yang disampaikan oleh periwayat tersebut.   Adapun kata al-Ta’dil  adalah bentuk mashdar  dari kata kerja ‘addala- ya’adillu, artinya mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Menurut istilah, al-Ta’dil  adalah mengungkapkan sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga tampak jelas keadilan perawi itu, dan karenanya riwayat yang disampaikan  dapat diterima. Ulama memberi pengertian   al-Jarh dan al-Ta’dil  dalam satu definisi, yaitu ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencatatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan dan lafaz tertentu.  M. Hasbi Ash-Shiddiqy, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu al-Jarh wal  al-Ta’dil adalah:   "[I]lmu al-Jarh wal  al-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang hal cacatan-cacatan yang dihadapkan   kepada para perawi, dan tentang penta’dilannya (memandang para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus, dan tentang martabat-martabat kata-kata itu.  

2.    Syarat-Syarat Pen-jarh dan Pen-ta’dil 
Ulama sepakat bahwa persaksian dengan al-Jarh dan al-Ta’dil dari seseorang perawi tidak akan diterima terkecuali dengan syarat-syarat: a.    Orang yang  Pen-jarh dan Pen-ta’dil itu hendaknya mengetahui kaidah-kaidah  ilmu hadits, mengetahui rawi yang diterima dan yang tidak diterima menurut muhadditsin. b.    Hendaknya Pen-jarh dan Pen-ta’dil itu termasuk orang yang bijak, memiliki pendengaran yang baik, tidak termasuk pengikuti hawa nafsu dan orang yang mempunyai kepentingan pribadi. c.    Hendaknya mempunyai tujuan untuk memurnikan Sunnah Rasulullah SAW dari unsur-unsur ahli bid’ah, dan kebohongan dari para pendusta, dan bermaksud mencari keridhaan  Allah SWT, dan kemaslahatan agama Islam. d.    Hendaknya dikenal sebagai orang berilmu, jujur, takwa, dan wara’ (shaleh).    e.    Hendaknya terkenal baik hafalannya ataupun kedhabitannya, mempunyai komitmen, dan mengetahui rijalul hadits beserta keadaan mereka. f.  Hendaknya rendah hati, tidak membanggakan diri, dan tidak terpedaya oleh ilmunya.   
Dalam pendapat ulama yang lain, ada beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi Pen-jarh dan Pen-ta’dil, sebagai berikut: a.    Memenuhi kriteria sebagai seorang yang ‘alim. b.     Memenuhi kriteria sebagai seorang yang bertakwa. c.    Memenuhi kriteria sebagai orang yang wara’  d.    Seorang yang tidak terkena jarh. e.    Tidak fanatik terhadap sebagian rawi. f.    Memahami dengan baik sebab-sebab jarh dan ‘adl.  
3. Tingkatan Jarh dan Ta’dil 
Sebagaimana diketahui bahwa kualitas perawi diikuti oleh nilai sanad, kemudian diketahuilah nilai suatu  hadits. Tingkatan jarh dan ta’dil para perawi berbeda-beda. 
Maratib (tingkatan) nilai ta’dil disusun dengan urutan ke bawah. Sedangkan tingkatan nilai jarh disusun dengan susunan ke atas.  a.    Tingkatan (Maratib)  Jarh 1)    Tingkatan tertinggi, penyifatan rawi yang menunjukkan hanya sekedar dhaif atau tidak bisa dijadikan pegangan seperti lafal-lafal “Layyin al-Hadits”, maksudnya hadits lemah. “Fihi Dha’fun”. Maksudnya dalam hadits lemah. “Fi Haditsihi Dha’fun” maksudnya hadisnya lemah. “Laisa Bilqawi” maksudnya tidak kaut hadits. “Fihi Maqal Na’rifahu Minhu wa Nunkiru”maksudnya masih dalam pembicaraan hadisnya, ada yang kita akui dan ada pula yang kita tolak. “Laisa bilhujjah”, maksudnya hadits tidak bisa dijadikan hujjah. “Laisa bil’umadah”, maksudnya hadisnya tidak bisa dijadikan pegangan. “Laisa Mardhiyah”, maksudnya haditsnya tidak diterima. “Fihi Khalafun Takallamu fihi”, maksudnya di dalamnya dipertentangkan, hadits sedang dibicarakan. “Tha’anu fihi”, maksudnya jelek hafalannya. “Dha’if” maksudnya hadits lemah. “Fihi layin”, maksudnya terdapat cacat hadisnya.    2)    Tingkatan kedua, penyifatan rawi dengan tingkat ke-dha’if-annya  yang lebih besar dari penyifatan yang sebelumnya atau yang menunjukkan sesuatu yang harus ditinggalkan, seperti “Dha’if al-hadits”    (hadits lemah), “Munkar al-hadits” (hadits munkar), “Haditsu- hu munkar” (haditsnya munkar), “Lahu manakir” (memiliki kemungkaran-kemungkaran), “Ruwiya li-ma yunkar ‘alaih”(diriwayatkan untuk diingkarinya), “Mudhatharrab al-Hadits wahi la yahtaj bi-hi” (bentuknya kacau dan lemah sehingga tidak bisa dijadikan hujjah). Derajat yang memiliki kedua sifat ini adalah mendekati derajat ‘adalah. Haditsnya hanya diriwayatkan dalam memberi contoh  saja, tidak bisa dijadikan hujjah dalam syara’.  3)    Tingkatan ketiga, penyifatan rawi yang menggugurkan hadits, seperti “Mardud al-Hadits” (hadits-nya tertolak), “Raddu al-Haditsahu”  (mereka menolak hadits-nya),  “Dha’if Jiddan” (lemah sekali), “Laisa bi Syai” (tidak ada sesuatu), “La Yusawi Syai”(tidak menyamai sesuatu sedikitpun).  4)    Tingkatan keempat, penyifatan rawi menunjukkan tidak adil seperti “Matrik al-Hadits”(haditsnya ditinggalkan), “Taraka-hu”(mereka yang meninggalkan hadits), “Saqith Halik” (gugur dan rusak), “Fi-hi Nazhar” (perlu diperhatikan), “Sakata ‘An-hu”(mereka mendiamkan), “La Ya’tabar Bi-hi” (tidak dianggap), “Laisa bi al-Tsiqah” (tidak tsiqah), “Huma Muttaham bi al-Kadzib” (dia tertuduh berdusta), “Muttaham bi al-Wadhi”(ia tertuduh pemalsu), “La Yuktab Haditsu-hu”( hadits-nya tidak ditulis), “La Yahil al-Akhdz’an-hu”(tidak boleh diambil hadits-nya), lain-lainnya yang menunjukkan jarh.  5)    Tingkatan kelima, penyifatan rawi yang mencelakan dan menggugurkan keadilan rawi, seperti “Huwa Kadzdzab” (ia pendusta), “Yakdzib” (ia berdusta), “Dajjal” (ia pembohong), “Wadhi’a Haditsu-hu” (hadits-nya palsu).    6)    Tingkatan keenam, penyifatan yang menunjukkan keterlaluan (al-Mubalaghah) yang menggugurkan keadilan rawi seperti “Inna-hu Akhdzab al-Nas” (sesungguhnya ia adalah orang yang paling pendusta),”Ajra’ al-Wadhadha”(betul-betul pemalsu), “Akhthar Min Wadhi al-Hadits” (pemalsu yang sangat berbahaya), “Ilaih al-Muntaha fi al-Wadh” (puncaknya pemalsuan), “La Nara Kadzdzab Mitsla-hu” (belum pernah saya melihat pendusta seperti dia), “La Yuqaribu-hu fi al-Wadhdha”(tidak ada seorang pun yang menyamainya dalam pemalsuan hadits).    
Adapun contoh jarh, dapat dilihat sebagai berikut:   Siapa yang tidak kenal dengan Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah? Ia adalah imam kota Madinah, panutan dalam ilmu di masanya. Apakah semua perkataannya dalam bidang al-jarh wat-ta’dil diterima dan haram hukumnya untuk ditolak ? Mari kita lihat tentang kasus Al-Imam Muhammad bin Ishaq rahimahullah, seorang imam di bidang sirah.Apa kata Al-Imam Malik kepadanya? Akan saya sebutkan sedikit di antaranya. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: يحيى بن آدم: حدثنا ابن إدريس قال: كنت عند مالك، فقال له رجل: إن محمد بن إسحاق يقول: اعرضوا علي علم مالك فإني بيطاره.فقال مالك: انظروا إلى دجال من الدجاجلة يقول: اعرضوا علي علم مالك.   Yahya bin Adam berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, ia berkata: Kami pernah bersama Malik (pada suatu saat). Ada seseorang yang berkata kepada beliau: Sesungguhnya Muhammad bin Ishaq berkata: “Paparkan kepadaku ilmunya Malik, karena aku adalah pakarnya’. Maka Malik pun berkata: ’Lihatlah oleh kalian seorang pendusta (dajjal) di antara para pendusta itu. Ia mengatakan paparkan ilmunya Malik kepadaku?”   أبو جعفر العقيلي: حدثني أسلم بن سهل، حدثني محمد بن عمرو بن عون، حدثنا محمد بن يحيى بن سعيد القطان قال: قال أبي: سمعت مالكا يقول: يا أهل العراق من يغت عليكم بعد محمد بن إسحاق ؟ Abu Ja’far Al-’Uqailiy berkata : Telah menceritakan kepadaku Aslam bin Sahl : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ’Amru bin ’Aun : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yahya bin Sa’id Al-Qaththaan, ia berkata: Telah berkata ayahku: Aku telah mendengar Malik berkata: ”Wahai penduduk ’Iraq, siapa lagi yang merusak kalian setelah Muhammad bin Ishaq ?”  Jarh dari Al-Imam Malik kepada Ibnu Ishaq ini didahului oleh Hisyam bin ’Urwah yang menuduhnya pula sebagai pendusta. Adz-Dzahabi membawakan riwayat: العقيلي: حدثنا العباس بن الفضل الاسفاطي، حدثنا سليمان بن داود، حدثنا يحيى بن سعيد، حدثنا وهيب: سمعت هشام بن عروة يقول: ابن إسحاق كذاب  ”Al-’Uqailiy berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-’Abbas bin Al-Fadhl Al-Isfaathiy : Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib : Aku mendengar Hisyaam bin ’Urwah berkata : ”Ibnu Ishaq adalah pendusta (kadzdzaab)”.
b. Tingkatan (Maratib) Ta’dil 1)    Tingkatan pertama, penyifatan rawi yang menunjukkan bentuk keta’dilan dan kedhabitan tertinggi (bentuk mubalanghah), seperti “Ilahi al-Muntaha fil al-Dhabti wa al-Tatsabut”(ia sangat tinggi dalam segi ketelitian dan kecermatan), “La Ahada Afdhalu Minhu fi al-Hifzh wa al-Tsatsabut” (tidak ada seseorang yang lebih dari dirinya dalam segi hafalan dan kecermatan), “La A’rifu Laha Naszhiran fi ‘Adalathi wa Dhabtihi” (saya tidak melihat orang yang setaraf dengannya dalam segi keta’dilan dan kedhabitan). Di antara tingkatan itu ada sifat rawi yang menunjukkan bentuk tingkatan tertinggi (al-Fadhil), seperti “Austsaqunnas” (orang yang paling tepercaya -tsiqat), “Atsbatuhum” (orang yang paling cermat), “A’duluhum” (orang yang paling adil), “A’zhamuhum” (orang yang paling agung), “Walaisa ‘Inda al-Muhadditsin Arfu’u Darajatin min Hadzihi al-Darajat” (menurut muhadditsin tidak ada derajat yang tertinggi selain derajat ini).   2)    Tingkatan kedua, penyifatan rawi yang menunjukkan kemasyhuran dalam keta’dilan dan kecermatan (al-Tatsabut), seperti “Fulan La Tusalu ‘Anhu” (orang yang tidak dipertanyakan lagi), “LaYubhatsu ‘Anhalihi”(seseorang yang tidak perlu dibicarakan keadaannya), “Wa man Kafulanin?”(siapa yang menyerupai orang ini).   3)    Tingkatan ketiga, menyifati rawi yang menunjukkan kecermatan (tasabut) dan  memperkukuh sifat rawi dengan pengulangan sifat yang sama atau yang sepadan seperti “Hujah Hujah”(betul-betul hujah), “Tsiqat Tsiqat”(betul-betul tepercaya), “ Tsabtun Tsabtun” (betul-betul cermat), “Hujjatun Tsabatun” (betul hujah dan tepercaya), “Tsiqat Hujjatun”(betul tepercaya dan hujah), “Tsiqatun Tsabtun” (betul tepercaya dan cermat). Di antara kelompok ini ada pendapat Sufyan bin Uyainah, Umar bin Dinar...”Tsiqatun Tsiqatun” (dengan sembilan kali). Pendapat Ibnu Sa’ad dalam kitab Al-Thabaqat dari Syu’bab, “Tsiqatun Makmum”, Tsabtun Hujjatun”, Shahib Haditsin”.  4)    Tingkatan keempat, penyifatan rawi yang menunjukkan ketepercayaan tanpa diulang, seperti “Hujjatun”, Tsiqatun Tabtun”, “Imamun”, “Dhabitun Mutqinun ‘Adlun Hafizhun”.   5)    Tingkatan kelima, penyifatan rawi yang menunjukkan kebaikan keadaannya, seperti “La Ba’ka bihi” (tidak mengapa), “Laisa Bihi Ba’sun”(tidak menjadi apa), “Ma’mun Shaduqun”(tepercaya dan jujur), “Min Khiyar Al-Nas”(tepercaya masuk orang yang terpilih).  6)    Tingkatan keenam, penyifatan rawi yang menunjukkan kelemahan, seperti “Huwa Syaikhun Wasthun” (ia tokoh menengah), “Wasthun Shalih al-Hadits” (orang menengah yang saleh hadisnya), “Jayyid al-Hadits”(orang yang baik haditsnya), “Rawau ‘Anhu”(orang-orang meriwayatkan hadits darinya), “Yurwa Haditsuhu” (hadits diriwayatkan), “Yuktabu”(ditulis), “Shaduq Lahu Awham” (jujur namun mempunyai keraguan), “Shaduq Yukhthi”(jujur namun ada kekeliruan), “Shaduq Ghairu Akhiru Hayatihi” (jujur pada selain akhir kehidupannya), “Shaduq Ikhtalatha”(jujur namun kacau hafalannya), “Shaduq Lakinnahu Mutasyabi”(jujur dan memuaskan), dan seterusnya.  7)    Tingkatan ketujuh, penyifatan rawi yang tidak dipandang sebagai jarh (cacat), seperti “Shalih al-Hadits”(haditsnya benar), “Arju an Yakuuna Shaduqan” (saya mengharapkan ia jujur), “Shaduq Insya Allah” (insya allah ia jujur), “Arju an La Baksa bihi” (saya mengharapkan, ia tidak mengapa), “Shuwailuhun”(sedikit benar), dan “Makbul Laisa Ba’idan min Al-Shawab”(diterima, tidak jauh dari kebenaran. 

4.  Faktor-Faktor yang Mendorong Jarh Watta’dil
Penyebab dan dorongan untuk mengkritik perawi yang berbeda-beda berdasarkan perbedaan pandangan para perawi yang mengkritik, tetapi mereka sepakat bahwa ada peluang untuk mengkritik seorang perawi. Terkadang terjadi perbedaan, yaitu sebagian ulama men-jarh, dan sebagian ulama lainnya men-ta’dil. Di antara ulama ada yang betul-betul ketat (mutasyaddid) menilai seorang perawi. Penilaian ketat kepada seorang perawi itu sangat diharuskan karena masalah jarh watta’dil  sangat penting dan berkaitan dengan sumber agama Islam kedua, yaitu hadits. Sebagian besar ulama ada yang bersikap di tengah-tengah dan sebagian lagi ada yang bersikap longgar (mutasahil). Oleh karena itu, terkadang kita menemukan kesepakatan penilaian di antara mereka, tetapi adakalanya kita temukan perbedaan penilaian di antara mereka. Mereka telah sepakat mengkritik (jarh) dan tidak menilai baik, mereka sepakat menilai baik (ta’dil), dan tidak mengkritik. Perbedaan-perbedaan ini disebabkan perbedaan penilaian. Di satu pihak ada ulama yang menilai baik kepada seorang  perawi, namun ada juga yang menilai jelek kepadanya. Karena itu, kita tidak boleh menyebutkan penilaian buruk berdasarkan penilaian seseorang, dan juga tidak boleh menyebutkan penilaian baik berdasarkan penilaian seseorang.   Permasalahan jarh watta’dil ini sangat penting, sehingga Imam Ibnu Hajar ra mencoba mengkaji faktor-faktor yang mendorong jarh  ini dalam beberapa faktor, yaitu:   a.    Jarh (mengkritik)  karena penganut bid’ah, yaitu mengada-ada  atau membuat-buat. Bid’ah yaitu pembicaraan yang tidak ada sumbernya. Bid’ah dalam agama yaitu pembicaraan yang tidak ada sandarannya, baik Al-Qur’an  ataupun sunnah atau ijma. Bid’ah dalam bentuk umum ialah sesuatu yang mencacatkan karena pelakunya mengada-ada dalam agama, sehingga dia tidak dapat dipercaya. Oleh karena itu, kebanyakan ulama hadits menolak periwayatan ahli bid’ah secara mutlak apapun bentuknya.   b.    Jarh (mengkritik) karena menyalahi perawi yang lebih tepercaya, maksudnya seorang perawi tepercaya yang menyalahi beberapa perawi yang lebih tepercaya, dan lebih dhabith  yang hadits-haditsnya  tidak bisa dikompromikan, sehingga hadits yang tepercaya itu menjadi janggal atau aneh.  c.    Jarh (mengkritik) karena kekeliruan, maksudnya kesalahan atau kekeliruan sekali atau dua kali yang dilakukan seorang perawi  tidak mempengaruhi kecacatannya jika tidak disertai dengan kesalahan yang diriwayatkannya. Namun jika sering kali melakukan kesalahan, maka harus ditolak periwayatannya.  d.    Jarh (mengkritik) karena perawi tidak dikenal identitasnya, maksudnya seorang yang tidak kenal profesinya atau keahliannya dalam bidang ilmu dan tidak dikenal oleh ulama, atau haditsnya hanya diriwayatkan oleh seorang. Di samping diisyaratkan sebagai seorang muslim menjadi syarat diterimanya periwayatan hadits, syarat lainnya adalah dikenal dari kalangan ahli ilmu, sehingga tidak dibolehkan mengambil hadits dari perawi yang tidak kenal pribadinya dan identitasnya.      e.    Jarh (mengkritik) karena terputus sanad, yaitu terputusnya sanad disebabkan tadlis  (mengganti perawi) atau irsal (gugur atau terputus). Terputus sanad dinyatakan ditolak periwayatan haditsnya berdasarkan sepakatan ulama.      
                               
C.  PENUTUP  
1. Kesimpulan
  a.    Menurut bahasa, kata al-Jarh adalah dalam bentuk mashdar dari kata jaraha-yajrahu, artinya melukai. Menurut istilah Ilmu Hadits, al-Jarh adalah kecacatan pada perawi hadits disebabkan oleh semua yang dapat merusak keadilan dan kedhabitan perawi. Adapun kata al-Ta’dil  adalah bentuk mashdar  dari kata kerja ‘addala- ya’adillu, artinya mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang. Menurut istilah, al-Ta’dil  adalah mengungkapkan sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga tampak jelas keadilan perawi itu,  dan karenanya riwayat yang disampaikan  dapat diterima. b.    Ulama memberi pengertian   al-Jarh dan al-Ta’dil  dalam satu definisi, yaitu ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencatatkan atau membersihkan mereka dengan ungkapan dan lafaz tertentu. c.    Tingkatan jarh dan ta’dil para perawi berbeda-beda. Maratib (tingkatan) nilai ta’dil disusun dengan urutan ke bawah. Sedangkan tingkatan nilai jarh disusun dengan susunan ke atas. d.    Penyebab dan dorongan untuk mengkritik perawi yang berbeda-beda berdasarkan perbedaan pandangan para perawi yang mengkritik, tetapi mereka sepakat bahwa ada peluang untuk mengkritik seorang perawi. Di antara faktor mendorong kritik hadits adalah karena penganut bid’ah, menyalahi perawi yang lebih tepercaya, kekeliruan, perawi tidak dikenal identitasnya, dan terputus sanad.

2. Saran 
Penulis mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih disebabkan oleh kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu penulis mengharapkan kritik yang membangun untuk  perbaikan makalah ini pada masa yang akan datang.    

DAFTAR PUSTAKA 

Ali Fayyad, Mahmud, Terj. Metodologi Penetapan Kesahihan Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 1998.  Al-Khathib, M.‘Ajaj, Ushul al-Hadits, ‘Ulumu-hu wa Musthalahu-hu, Beirut: Dar  al-Fikr, 1981.  Ash-Shiddiqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.  Adz-Dzahabi,  Siyaru A’laamin-Nubalaa’,tt: Muassasah Ar-Risaalah,1993. 
Ismail,  M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi,  Jakarta:Bulan Bintang, 1992.
Sulaiman,  M. Noor, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta:Gaung Persada Press, 2009.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar