PAHAM RASIONAL DALAM PEMIKIRAN ISLAM; TOLOK UKUR
DAN IMPLIKASINYADALAM BIDANG HUKUM
A. Pendahuluan
Di dalam sejarah pemikiran Islam
Klasik, muncul para pemikir Muslim yang dikenal dengan pemikirannya yang
bercorak rasional. Seperti halnya para pemikir Muslim lainnya, mereka juga
mengembangkan pemikirannya berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah. Kelompok ini
diakui berjasa besar dalam mengislamkan kalangan tertentu yang merasa cocok
dengan Islam yang mereka tafsirkan. Mereka juga telah mewariskan berbagai karya
monumental yang sangat berpengaruh bagi perkembangan pemikiran masa-masa
selanjutnya.
Namun, di sisi lain, penganut paham
rasional ini juga tidak sedikit menuai kritik, bahkan tuduhan dan cemoohan yang
tajam. Mereka dipandang bukan lagi sebagai penganut ajaran Islam. Berbagai
komentar yang memojokkan kalangan penganut paham rasional ini berkembang luas
di tengah-tengah umat Islam. Apalagi, sejak para penentang paham ini menguasai
perpolitikan masyarakat umat Islam. Kelompok penentang ini dikenal dengan
sebutan penganut paham tradisional.
Kenyataan
ini telah melahirkan pengelompokan pemikiran umat Islam ke dalam corak rasional
dan corak tradisional. Pengelompokan ini telah menimbulkan dampak yang negatif
di kalangan umat Islam sendiri. Saling tuduh yang tidak proporsional sering
timbul. Ada kesan bahwa paham rasional seakan-akan lebih mementingkan
atau mendahulukan akal dari wahyu. Sebaliknya, paham tradisional
dikesankan sebagai pemikiran yang kolot dan terbelakang. Padahal, sesungguhnya
tidak ada aliran pemikiran dalam Islam yang dikembangkan tanpa merujuk al-Quran
dan al-Sunnah. Tidak ada paham dalam Islam yang meninggalkan ayat-ayat al-Quran
dan/atau al-Sunnah demi memenuhi tuntutan rasio atau akal manusia. Betapa pun
pola dan coraknya, sesungguhnya, semua pemikiran para pemikir Muslim yang
dimunculkan sejak dulu sampai sekarang merupakan jawaban dan respon terhadap
berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat pada zamannya.
Dalam pengamatan penulis,
perbedaan di antara kedua corak paham ini bukan pada menggunakan atau tidak
menggunakan al-Quran dan al-Sunnah, melainkan pada cara dan sikap dalam
memahami materi yang sama (al-Quran dan al-Hadits). Seorang Muslim yang sudah
dibekali wahyu sebagai pedoman tidak mungkin bersikap mendahulukan atau
mengutamakan akal dari pada wahyu. Setiap pemikir Muslim, betapa pun
rasionalnya, tetap menyadari bahwa ia tidak mungkin menganut Rasionalisme
seperti yang berkembang di dunia Barat. Yang ada di kalangan umat Islam
hanyalah para pemikir yang memiliki pemikiran yang bercorak rasional.
Agaknya, tidak sedikit orang yang sulit memahami kenyataan ini. Bahkan,
kerancuan tersebut tidak hanya terdapat di kalangan awam, tetapi juga terjadi
di kalangan akademisi dan golongan cendekiawan. Mereka bingung dalam membedakan
kedua corak pemahaman ini. Akibatnya, banyak pula terjadi kekeliruan di
kalangan pengamat dalam menempatkan suatu paham ke dalam masing-masing kelompok
ketika mereka mencoba mengelompokkan berbagai pemikiran yang muncul kemudian.
Suatu paham dikatakan rasional atau tradisional, tetapi setelah diteliti dengan
cermat, paham tersebut tidak seperti dikatakan. Hal ini terjadi tak lain karena
kriteria atau tolok ukur yang digunakan tidak jelas dan tegas atau malah keliru
sama sekali.
Di dalam forum diskusi ini, penulis
mencoba memperkenalkan corak pemikiran rasional dalam pemikiran Islam serta
implikasinya dalam bidang hukum yang terkait langsung dengan kehidupan
sehari-hari umat Islam. Untuk itu, terlebih dahulu akan dikemukakan kriteria
yang menjadi dasar penetapan suatu paham sebagai paham yang bercorak rasional.
Setelah itu, akan dikemukakan pula implikasi pembahasan masalah ini dalam
bidang hukum.
B.
Kriteria Penetapan Paham Rasional
Penetapan rasional atau tidaknya
suatu paham dalam pemikiran Islam, pada hakikatnya, didasarkan atas penilaian
para penganutnya terhadap kemampuan akal manusia. Di kalangan pemikir Muslim
terdapat perbedaan pendapat tentang kemampuan akal dalam memecahkan masalah
tertentu. Paham yang dikatakan rasional adalah paham yang berpendapat bahwa
akal manusia memiliki kemampuan yang kuat. Sebaliknya, paham tradisional adalah paham yang
memandang bahwa akal tidak memiliki kemampuan yang kuat. Dalam hal ini, tidak ada unsur perbandingan antara
akal dengan yang lain. Yang dipersoalkan adalah seberapa besar kekuatan akal
untuk menyelesaikan masalah tertentu menurut paham yang bersangkutan.
Persoalannya bukan pada pertanyaan mana yang lebih kuat atau lebih lemah di
antara akal dan wahyu.
Hal ini tak ubahnya seperti
perbedaan pendapat yang mungkin saja terjadi di antara kita tentang kemampuan
anak usia tujuh tahun untuk mengangkat beban tertentu. Boleh jadi ada yang
berpendapat bahwa anak seusia itu sudah mampu mengangkat beban seberat 40 kg.
Sementara yang lain berpendapat bahwa kemampuannya hanya mengangkat beban
seberat 30 atau 20 kg. Demikian seterusnya. Jadi, persoalannya bukan pada
pertanyaan apakah anak itu lebih kuat dari kuda atau lebih lemah, tetapi
persoalannya seberapa besar kekuatan anak itu dalam mengangkat benda tertentu
menurut pendapat kita.
Berkenaan dengan rasionalitas suatu
paham dalam pemikiran Islam, ada dua masalah fundamental yang dijadikan batu
ujian untuk mengukur kemampuan akal manusia, yaitu pertama apakah
pengetahuan tentang wujud (keberadaan) Tuhan (hushul ma’rifat Allah)
dapat dihasilkan oleh akal, dan kedua apakah pengetahuan tentang baik
dan buruk sesuatu (ma’rifat al-husn wa al-qubh) dapat ditentukan oleh
akal. Masalahnya, jika tidak turun petunjuk dalam bentuk
wahyu dari Allah swt, apakah akal manusia dapat menghasilkan pengetahuan
tentang kedua masalah tersebut atau tidak? Di sini, terdapat pengandaian karena
target utamanya adalah mengukur kemampuan akal yang belum didukung oleh wahyu. Dikatakan pengandaian karena dalam kenyataannya
persoalan ini timbul setelah al-Quran diturunkan. Bahkan pembahasan masalah ini
justru timbul dan didasarkan atas pemahaman terhadap al-Quran dan al-Sunnah.
Untuk lebih operasionalnya, kedua
pertanyaan tersebut diurai lebih lanjut oleh Harun Nasution menjadi empat
pertanyaan teologis. Keempat
pertanyaan teologis yang dijadikan tolok ukur oleh para ulama untuk menentukan
rasionalitas suatu paham, sebagaimana disimpulkan Harun Nasution adalah:
1.
Apakah akal manusia dapat mengetahui dan menetapkan bahwa Tuhan itu ada?
Apakah pengetahuan tentang Tuhan (hushul ma’rifat Allah) dapat diperoleh
hanya dengan menggunakan akal?
2.
Bila akal dapat mengetahui dan menetapkan bahwa Tuhan ada, apakah akal
juga dapat menetapkan bahwa manusia harus berbuat sesuatu untuk Tuhan sebagai
wujud rasa terima kasih atas karunia-Nya? Apakah pengetahuan tentang kewajiban
terhadap Tuhan (wujub ma’rifat Allah atau syukr al-mun’im)dapat
diperoleh dengan akal?
3.
Apakah akal manusia dapat menentukan hal-hal mana yang baik dan mana pula
yang tidak baik? Apakah pengetahuan tentang baik dan buruk (ma’rifat
al-husni wa al-qubh)dapat dihasilkan oleh akal?
4.
Bila akal dapat menentukan hal-hal yang baik dan yang tidak baik, apakah
akal juga dapat menetapkan atau mewajibkan manusia untuk mengikuti yang baik
dan meninggalkan yang tidak baik? Apakah penetapan untuk mengikuti yang baik
dan menjauhi yang buruk (wujub i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih)dapat
dilakukan oleh akal?
Dengan demikian,
penetapan apakah suatu paham bercorak rasional atau tradisional bergantung pada
jawaban yang diberikannya terhadap keempat pertanyaan di atas. Bila anda ingin
mengetahui apakah anda termasuk penganut paham rasional atau tidak, silakan
tanya diri anda sendiri jawaban mana yang anda berikan terhadap keempat
pertanyaan itu, ya atau tidak. Jika tidak semua anda jawab ya,
lalu pertanyaan mana saja yang dapat dijawab ya dan mana pula yang tidak?
Boleh jadi, hasilnya tidak seperti yang anda kira semula.
Dalam pemikiran Islam, ada aliran
atau paham yang berpendapat bahwa keempat pertanyaan tersebut dapat dijawab
dengan ya, dalam pengertian akal tanpa bimbingan wahyu dapat memecahkan
keempat masalah itu. Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa hanya
sebagian dari pertanyaan itu yang dapat dijawab oleh akal. Ada yang berpendapat
bahwa akal hanya mampu menjawab satu, dua, atau tiga pertanyaan.
Paham yang berpendapat bahwa keempat
pertanyaan tersebut dapat dijawab oleh akal dikategorikan sebagai paham
rasional. Sementara paham lainnya yang berpendapat hanya sebagian pertanyaan
yang dapat dijawab akal, tingkat rasionalitasnya semakin rendah. Paham yang
berpendapat bahwa akal dapat menjawab tiga pertanyaan dinilai lebih rasional
dari paham yang berpendapat bahwa akal hanya dapat menjawab dua pertanyaan.
Paham yang paling rendah rasionalitasnya adalah paham yang berpendapat bahwa
hanya satu saja pertanyaan itu yang akan mampu dijawab akal ketika tidak ada
wahyu yang menyatakannya. Dalam pengelompokan paham dalam aliran pemikiran
Islam, pemisahan antara paham rasional dan tradisional dilakukan dengan rumus
paham yang berpendapat bahwa akal hanya dapat menjawab dua pertanyaan, apalagi
hanya satu, dikelompokkan menjadi paham tradisional karena, bagi mereka,
kemampuan akal lemah dan terbatas. Sebaliknya, paham yang berpendapat bahwa
akal dapat menjawab tiga, apalagi empat, pertanyaan tersebut dipandang sebagai
paham rasional karena, bagi mereka, akal mempunyai daya yang kuat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa penetapan rasional atau tidaknya suatu paham bukan didasarkan
atas pemakaian takwil dalam memahami nushus al-syari’ah sebagaimana
dipahami oleh sebagian penulis karena, dalam kenyataannya, semua aliran yang
ada sama-sama memakai takwil. Para penganut paham tradisional pun sering
menggunakan takwil dalam beristinbath. Tentu saja, mereka menggunakannya
pada ungkapan-ungkapan yang sejalan dan mendukung paham mereka masing-masing.
Pemilahan itu juga bukan didasarkan atas penggunaan qiyas dalam
penetapan hukum karena pengguna qiyas dinilai masih masuk kelompok
penganut paham tradisional. Penetapan itu juga tidak didasarkan atas banyak
atau sedikitnya suatu paham memakai ayat atau akal karena semua paham sama-sama
mendasarkan paham mereka atas wahyu yang ada. Begitu pula, ia tidak ditentukan
dengan mendahulukan dan mengemudiankan pemakaian wahyu dan akal.
Paham rasional dalam Islam adalah
suatu corak pemikiran yang menilai bahwa manusia memiliki akal yang kuat untuk
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi manusia. Meskipun, mereka juga
mempercayai bahwa bimbingan wahyu sangat diperlukan oleh manusia, namun dalam
keadaan tertentu (bila tidak ada wahyu secara ekplisit tentang suatu
persoalan), manusia perlu memanfaatkan akalnya untuk memikirkan dan mencari
solusi terhadap masalah itu. Pemanfaatan akal tidak berarti melakukan sesuatu
di luar agama Islam.
C.
Implikasinya Dalam Bidang Hukum
Corak pemikiran seperti dikemukakan
di atas memiliki implikasi yang jelas terhadap masalah-masalah hukum yang
dihadapi umat Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Pembahasan tentang paham
rasional dan tradisional bukan sekedar utak-atik masa lalu yang tidak berarti.
Persoalan ini berkaitan langsung dengan cara dan sikap dalam meresponi berbagai
masalah yang timbul dalam kehidupan nyata. Pembahasan masalah ini pada hakikatnya
tertuju pada dua kasus sbb.:
1. Dalam kasus ketiadaan wahyu karena dakwah agama
belum sampai kepada orang atau kelompok orang tertentu. Bagaimana kita
memandang nasib orang-orang yang belum sampai kepada mereka dakwah Islam?
Apakah mereka termasuk orang-orang yang akan mempertanggungjawab-kan segala
tindakannya saat ini pada hari berbangkit kelak? Ataukah mereka tidak masuk
kategori manusia seperti yang lainnya? Pertanyaan ini muncul karena mereka
hanya dibekali dengan akal dan tidak menerima bekal wahyu.
2. Dalam menghadapi masalah-masalah baru yang tidak
disebut secara eks-plisit di dalam teks al-Quran dan/atau al-Hadits. Bagaimana
seharus-nya sikap seorang Muslim menghadapi berbagai masalah yang muncul
seiring dengan perkembangan peradaban manusia? Banyak hal baru yang muncul dan
tidak ditemukan penjelasan langsung mengenai ketetapan hukumnya dalam kedua
sumber ajaran Islam, seperti cangkok organ tubuh, bank, kloning, dll.
Perbedaan sikap rasional dan sikap
tradisional akan mempengaruhi seorang pemikir dalam memecahkan masalah yang
terkait dengan kedua kasus ini. Metode atau cara yang ditempuh seorang ulama
dalam penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak diungkapkan secara
eksplisit dalam nushus al-syari’at dipengaruhi oleh corak pemikiran yang
dianutnya. Penganut paham rasional berpendapat bahwa masalah-masalah yang tidak
terungkap secara eksplisit dalam teks wahyu harus diselesaikan dan ditentukan
hukumnya dengan menggunakan akal. Rujukan mereka dalam hal ini bukan ayat-ayat
tertentu, melainkan nilai-nilai yang terkandung dalam keseluruhan nushush
al-syari’at. Cara ini biasa dikenal dengan cara mashlahat, yaitu
dengan menilai kebaikan dan keburukan sesuatu berdasarkan tolok ukur norma dan
nilai Islam. Penyelesaian masalah seperti bank, lotre, dll. yang tidak
diungkapkan secara eksplisit oleh ayat atau hadis dilakukan dengan
mempertimbangkan maslahat dan mudaratnya sesuai dengan maqashid al-syari’at.
Sebagai konsekuensi lebih lanjut
dari sikap ini, para penganut paham rasional tidak mengharuskan pemakaian qiyas
(analogi) karena cara ini hanya diperlukan jika setiap masalah mesti dirujukkan
secara parsial kepada suatu ayat atau hadis tertentu. Mereka juga memberi
tempat bagi penggunaan mashlahat, melihat segi-segi kebaikan dan
kemanfaatan suatu sikap atau suatu hal berdasarkan nilai-nilai umum atau misi
yang dibawa oleh ajaran Islam (al-Quran dan al-Sunnah) secara keseluruhan.
Sementara penganut paham tradisional
berpendapat bahwa penetapan hukum suatu masalah mesti merujuk kepada salah satu
ayat atau hadis tertentu. Bila tidak ada teks ayat atau hadis yang langsung
berbicara tentang hal itu, penetapan hukumnya dilakukan dengan cara qiyas.
Bagi mereka, bila tidak ada ayat berarti tidak ada hukum. Oleh karena itu,
penetapan hukum bagi masalah-masalah yang tidak disebutkan dalam nash syariat
harus dengan mencarikan nash yang relevan melalui cara qiyas. Bila
qiyasnya fasid (tidak memenuhi syarat), maka hukum ayat tersebut tidak
dapat diberlakukan pada masalah yang bersangkutan.[10] Dalam keadaan demikian, hukumnya dikembalikan pada
hukum asal sebagaimana dimaksud oleh kaidah ushul, al-ashl fi al-asyya`
lil-ibahah, pada dasarnya segala sesuatu hukumnya diperbolehkan.
Melihat berbagai penjelasan di atas,
tampak bahwa para penganut paham yang bercorak rasional dapat bersikap lebih
responsif dalam mencari jalan keluar dan menemukan solusi bagi penyelesaian
berbagai masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Mereka lebih “berani” dalam
mengambil keputusan sehingga berbagai persoalan yang timbul dapat diselesaikan
pada waktunya. Dinamika perkembangan masyarakat yang begitu cepat pada
masa-masa terakhir ini tampaknya akan lebih cocok dihadapi dengan sikap paham
rasional.
D.
Penutup
Penulis menyadari bahwa persoalan
ini akan selalu eksis di tengah-tengah masyarakat umat Islam. Oleh karena itu,
ia juga akan tetap menjadi topik diskusi yang hangat. Sebagai bahan diskusi,
tentu saja, uraian ini sudah memadai bila menyajikan hal-hal memiliki
kekurangan, bahkan kekeliruan. Diharapkan melalui forum ini, akan diperoleh
hal-hal yang positif dan bermanfaat, khususnya bagi pengembangan akademis di
lembaga yang terhormat ini. Untuk itu, penulis mengundang para pakar untuk
berdiskusi secara akademis sehingga diperoleh pemahaman yang benar terhadap
berbagai masalah yang terkait.
Wallahu
A’lam bi-al-Shawab!
Daftar Bacaan
Fakhry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam,
Trjemahan Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986
Hosen, Ibrahim, Maa Huwal Maisir (Apakah Judi
Itu)?, Jakarta: Institut Ilmu Al-Quran, 1986
Madjid, Nurcholish, Islam, Kemoderenan, dan
Keindonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan, 1987
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1986
Syahrastani, Abi al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim Ibn
Abi Bakr Ahmad al-, al-Milal wa al-Nihal, Diedit oleh ‘Abd al-’Aziz
Muhammad al-Wakil, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib
al-Islamiyyat, Dar al-Fikr al-’Arabiy, t.t.
Casinos Near Philadelphia - Hendon Mob Casino
BalasHapusCasinos Near Philadelphia. Explore our map, 제주도 출장샵 check if 영주 출장마사지 there is a 경상북도 출장안마 casino on site, and if there is something to do, 서귀포 출장샵 look 강원도 출장안마 no further.