Rabu, 28 Desember 2011

ISLAM RASIONAL

PAHAM RASIONAL DALAM PEMIKIRAN ISLAM; TOLOK UKUR DAN IMPLIKASINYADALAM BIDANG HUKUM
 Oleh : Asril Dt. Paduko Sindo

 

A. Pendahuluan

            Di dalam sejarah pemikiran Islam Klasik, muncul para pemikir Muslim yang dikenal dengan pemikirannya yang bercorak rasional. Seperti halnya para pemikir Muslim lainnya, mereka juga mengembangkan pemikirannya berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah. Kelompok ini diakui berjasa besar dalam mengislamkan kalangan tertentu yang merasa cocok dengan Islam yang mereka tafsirkan. Mereka juga telah mewariskan berbagai karya monumental yang sangat berpengaruh bagi perkembangan pemikiran masa-masa selanjutnya. 
            Namun, di sisi lain, penganut paham rasional ini juga tidak sedikit menuai kritik, bahkan tuduhan dan cemoohan yang tajam. Mereka dipandang bukan lagi sebagai penganut ajaran Islam. Berbagai komentar yang memojokkan kalangan penganut paham rasional ini berkembang luas di tengah-tengah umat Islam. Apalagi, sejak para penentang paham ini menguasai perpolitikan masyarakat umat Islam. Kelompok penentang ini dikenal dengan sebutan penganut paham tradisional.
            Kenyataan ini telah melahirkan pengelompokan pemikiran umat Islam ke dalam corak rasional dan corak tradisional. Pengelompokan ini telah menimbulkan dampak yang negatif di kalangan umat Islam sendiri. Saling tuduh yang tidak proporsional sering timbul. Ada kesan bahwa paham rasional seakan-akan lebih mementingkan atau mendahulukan akal dari wahyu. Sebaliknya, paham tradisional dikesankan sebagai pemikiran yang kolot dan terbelakang. Padahal, sesungguhnya tidak ada aliran pemikiran dalam Islam yang dikembangkan tanpa merujuk al-Quran dan al-Sunnah. Tidak ada paham dalam Islam yang meninggalkan ayat-ayat al-Quran dan/atau al-Sunnah demi memenuhi tuntutan rasio atau akal manusia. Betapa pun pola dan coraknya, sesungguhnya, semua pemikiran para pemikir Muslim yang dimunculkan sejak dulu sampai sekarang merupakan jawaban dan respon terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat pada zamannya. 
Dalam pengamatan penulis, perbedaan di antara kedua corak paham ini bukan pada menggunakan atau tidak menggunakan al-Quran dan al-Sunnah, melainkan pada cara dan sikap dalam memahami materi yang sama (al-Quran dan al-Hadits). Seorang Muslim yang sudah dibekali wahyu sebagai pedoman tidak mungkin bersikap mendahulukan atau mengutamakan akal dari pada wahyu. Setiap pemikir Muslim, betapa pun rasionalnya, tetap menyadari bahwa ia tidak mungkin menganut Rasionalisme seperti yang berkembang di dunia Barat. Yang ada di kalangan umat Islam hanyalah para pemikir yang memiliki pemikiran yang bercorak rasional. Agaknya, tidak sedikit orang yang sulit memahami kenyataan ini. Bahkan, kerancuan tersebut tidak hanya terdapat di kalangan awam, tetapi juga terjadi di kalangan akademisi dan golongan cendekiawan. Mereka bingung dalam membedakan kedua corak pemahaman ini. Akibatnya, banyak pula terjadi kekeliruan di kalangan pengamat dalam menempatkan suatu paham ke dalam masing-masing kelompok ketika mereka mencoba mengelompokkan berbagai pemikiran yang muncul kemudian. Suatu paham dikatakan rasional atau tradisional, tetapi setelah diteliti dengan cermat, paham tersebut tidak seperti dikatakan. Hal ini terjadi tak lain karena kriteria atau tolok ukur yang digunakan tidak jelas dan tegas atau malah keliru sama sekali.
            Di dalam forum diskusi ini, penulis mencoba memperkenalkan corak pemikiran rasional dalam pemikiran Islam serta implikasinya dalam bidang hukum yang terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari umat Islam. Untuk itu, terlebih dahulu akan dikemukakan kriteria yang menjadi dasar penetapan suatu paham sebagai paham yang bercorak rasional. Setelah itu, akan dikemukakan pula implikasi pembahasan masalah ini dalam bidang hukum.

B. Kriteria Penetapan Paham Rasional 
            Penetapan rasional atau tidaknya suatu paham dalam pemikiran Islam, pada hakikatnya, didasarkan atas penilaian para penganutnya terhadap kemampuan akal manusia. Di kalangan pemikir Muslim terdapat perbedaan pendapat tentang kemampuan akal dalam memecahkan masalah tertentu. Paham yang dikatakan rasional adalah paham yang berpendapat bahwa akal manusia memiliki kemampuan yang kuat. Sebaliknya, paham tradisional adalah paham yang memandang bahwa akal tidak memiliki kemampuan yang kuat. Dalam hal ini, tidak ada unsur perbandingan antara akal dengan yang lain. Yang dipersoalkan adalah seberapa besar kekuatan akal untuk menyelesaikan masalah tertentu menurut paham yang bersangkutan. Persoalannya bukan pada pertanyaan mana yang lebih kuat atau lebih lemah di antara akal dan wahyu.
            Hal ini tak ubahnya seperti perbedaan pendapat yang mungkin saja terjadi di antara kita tentang kemampuan anak usia tujuh tahun untuk mengangkat beban tertentu. Boleh jadi ada yang berpendapat bahwa anak seusia itu sudah mampu mengangkat beban seberat 40 kg. Sementara yang lain berpendapat bahwa kemampuannya hanya mengangkat beban seberat 30 atau 20 kg. Demikian seterusnya. Jadi, persoalannya bukan pada pertanyaan apakah anak itu lebih kuat dari kuda atau lebih lemah, tetapi persoalannya seberapa besar kekuatan anak itu dalam mengangkat benda tertentu menurut pendapat kita.
            Berkenaan dengan rasionalitas suatu paham dalam pemikiran Islam, ada dua masalah fundamental yang dijadikan batu ujian untuk mengukur kemampuan akal manusia, yaitu pertama apakah pengetahuan tentang wujud (keberadaan) Tuhan (hushul ma’rifat Allah) dapat dihasilkan oleh akal, dan kedua apakah pengetahuan tentang baik dan buruk sesuatu (ma’rifat al-husn wa al-qubh) dapat ditentukan oleh akal. Masalahnya, jika tidak turun petunjuk dalam bentuk wahyu dari Allah swt, apakah akal manusia dapat menghasilkan pengetahuan tentang kedua masalah tersebut atau tidak? Di sini, terdapat pengandaian karena target utamanya adalah mengukur kemampuan akal yang belum didukung oleh wahyu. Dikatakan pengandaian karena dalam kenyataannya persoalan ini timbul setelah al-Quran diturunkan. Bahkan pembahasan masalah ini justru timbul dan didasarkan atas pemahaman terhadap al-Quran dan al-Sunnah.
            Untuk lebih operasionalnya, kedua pertanyaan tersebut diurai lebih lanjut oleh Harun Nasution menjadi empat pertanyaan teologis.  Keempat pertanyaan teologis yang dijadikan tolok ukur oleh para ulama untuk menentukan rasionalitas suatu paham, sebagaimana disimpulkan Harun Nasution adalah:
1.      Apakah akal manusia dapat mengetahui dan menetapkan bahwa Tuhan itu ada? Apakah pengetahuan tentang Tuhan (hushul ma’rifat Allah) dapat diperoleh hanya dengan menggunakan akal?
2.      Bila akal dapat mengetahui dan menetapkan bahwa Tuhan ada, apakah akal juga dapat menetapkan bahwa manusia harus berbuat sesuatu untuk Tuhan sebagai wujud rasa terima kasih atas karunia-Nya? Apakah pengetahuan tentang kewajiban terhadap Tuhan (wujub ma’rifat Allah atau syukr al-mun’im)dapat diperoleh dengan akal?
3.      Apakah akal manusia dapat menentukan hal-hal mana yang baik dan mana pula yang tidak baik? Apakah pengetahuan tentang baik dan buruk (ma’rifat al-husni wa al-qubh)dapat dihasilkan oleh akal?
4.      Bila akal dapat menentukan hal-hal yang baik dan yang tidak baik, apakah akal juga dapat menetapkan atau mewajibkan manusia untuk mengikuti yang baik dan meninggalkan yang tidak baik? Apakah penetapan untuk mengikuti yang baik dan menjauhi yang buruk (wujub i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih)dapat dilakukan oleh akal?
Dengan demikian, penetapan apakah suatu paham bercorak rasional atau tradisional bergantung pada jawaban yang diberikannya terhadap keempat pertanyaan di atas. Bila anda ingin mengetahui apakah anda termasuk penganut paham rasional atau tidak, silakan tanya diri anda sendiri jawaban mana yang anda berikan terhadap keempat pertanyaan itu, ya atau tidak. Jika tidak semua anda jawab ya, lalu pertanyaan mana saja yang dapat dijawab ya dan mana pula yang tidak? Boleh jadi, hasilnya tidak seperti yang anda kira semula.
            Dalam pemikiran Islam, ada aliran atau paham yang berpendapat bahwa keempat pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan ya, dalam pengertian akal tanpa bimbingan wahyu dapat memecahkan keempat masalah itu. Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa hanya sebagian dari pertanyaan itu yang dapat dijawab oleh akal. Ada yang berpendapat bahwa akal hanya mampu menjawab satu, dua, atau tiga pertanyaan.
            Paham yang berpendapat bahwa keempat pertanyaan tersebut dapat dijawab oleh akal dikategorikan sebagai paham rasional. Sementara paham lainnya yang berpendapat hanya sebagian pertanyaan yang dapat dijawab akal, tingkat rasionalitasnya semakin rendah. Paham yang berpendapat bahwa akal dapat menjawab tiga pertanyaan dinilai lebih rasional dari paham yang berpendapat bahwa akal hanya dapat menjawab dua pertanyaan. Paham yang paling rendah rasionalitasnya adalah paham yang berpendapat bahwa hanya satu saja pertanyaan itu yang akan mampu dijawab akal ketika tidak ada wahyu yang menyatakannya. Dalam pengelompokan paham dalam aliran pemikiran Islam, pemisahan antara paham rasional dan tradisional dilakukan dengan rumus paham yang berpendapat bahwa akal hanya dapat menjawab dua pertanyaan, apalagi hanya satu, dikelompokkan menjadi paham tradisional karena, bagi mereka, kemampuan akal lemah dan terbatas. Sebaliknya, paham yang berpendapat bahwa akal dapat menjawab tiga, apalagi empat, pertanyaan tersebut dipandang sebagai paham rasional karena, bagi mereka, akal mempunyai daya yang kuat.
            Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penetapan rasional atau tidaknya suatu paham bukan didasarkan atas pemakaian takwil dalam memahami nushus al-syari’ah sebagaimana dipahami oleh sebagian penulis karena, dalam kenyataannya, semua aliran yang ada sama-sama memakai takwil. Para penganut paham tradisional pun sering menggunakan takwil dalam beristinbath. Tentu saja, mereka menggunakannya pada ungkapan-ungkapan yang sejalan dan mendukung paham mereka masing-masing. Pemilahan itu juga bukan didasarkan atas penggunaan qiyas dalam penetapan hukum karena pengguna qiyas dinilai masih masuk kelompok penganut paham tradisional. Penetapan itu juga tidak didasarkan atas banyak atau sedikitnya suatu paham memakai ayat atau akal karena semua paham sama-sama mendasarkan paham mereka atas wahyu yang ada. Begitu pula, ia tidak ditentukan dengan mendahulukan dan mengemudiankan pemakaian wahyu dan akal.
            Paham rasional dalam Islam adalah suatu corak pemikiran yang menilai bahwa manusia memiliki akal yang kuat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi manusia. Meskipun, mereka juga mempercayai bahwa bimbingan wahyu sangat diperlukan oleh manusia, namun dalam keadaan tertentu (bila tidak ada wahyu secara ekplisit tentang suatu persoalan), manusia perlu memanfaatkan akalnya untuk memikirkan dan mencari solusi terhadap masalah itu. Pemanfaatan akal tidak berarti melakukan sesuatu di luar agama Islam. 

C. Implikasinya Dalam Bidang Hukum
            Corak pemikiran seperti dikemukakan di atas memiliki implikasi yang jelas terhadap masalah-masalah hukum yang dihadapi umat Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Pembahasan tentang paham rasional dan tradisional bukan sekedar utak-atik masa lalu yang tidak berarti. Persoalan ini berkaitan langsung dengan cara dan sikap dalam meresponi berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan nyata. Pembahasan masalah ini pada hakikatnya tertuju pada dua kasus sbb.:
  1.  Dalam kasus ketiadaan wahyu karena dakwah agama belum sampai kepada orang atau kelompok orang tertentu. Bagaimana kita memandang nasib orang-orang yang belum sampai kepada mereka dakwah Islam? Apakah mereka termasuk orang-orang yang akan mempertanggungjawab-kan segala tindakannya saat ini pada hari berbangkit kelak? Ataukah mereka tidak masuk kategori manusia seperti yang lainnya? Pertanyaan ini muncul karena mereka hanya dibekali dengan akal dan tidak menerima bekal wahyu.
  2.  Dalam menghadapi masalah-masalah baru yang tidak disebut secara eks-plisit di dalam teks al-Quran dan/atau al-Hadits. Bagaimana seharus-nya sikap seorang Muslim menghadapi berbagai masalah yang muncul seiring dengan perkembangan peradaban manusia? Banyak hal baru yang muncul dan tidak ditemukan penjelasan langsung mengenai ketetapan hukumnya dalam kedua sumber ajaran Islam, seperti cangkok organ tubuh, bank, kloning, dll.
            Perbedaan sikap rasional dan sikap tradisional akan mempengaruhi seorang pemikir dalam memecahkan masalah yang terkait dengan kedua kasus ini. Metode atau cara yang ditempuh seorang ulama dalam penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak diungkapkan secara eksplisit dalam nushus al-syari’at dipengaruhi oleh corak pemikiran yang dianutnya. Penganut paham rasional berpendapat bahwa masalah-masalah yang tidak terungkap secara eksplisit dalam teks wahyu harus diselesaikan dan ditentukan hukumnya dengan menggunakan akal. Rujukan mereka dalam hal ini bukan ayat-ayat tertentu, melainkan nilai-nilai yang terkandung dalam keseluruhan nushush al-syari’at. Cara ini biasa dikenal dengan cara mashlahat, yaitu dengan menilai kebaikan dan keburukan sesuatu berdasarkan tolok ukur norma dan nilai Islam. Penyelesaian masalah seperti bank, lotre, dll. yang tidak diungkapkan secara eksplisit oleh ayat atau hadis dilakukan dengan mempertimbangkan maslahat dan mudaratnya sesuai dengan maqashid al-syari’at.
            Sebagai konsekuensi lebih lanjut dari sikap ini, para penganut paham rasional tidak mengharuskan pemakaian qiyas (analogi) karena cara ini hanya diperlukan jika setiap masalah mesti dirujukkan secara parsial kepada suatu ayat atau hadis tertentu. Mereka juga memberi tempat bagi penggunaan mashlahat, melihat segi-segi kebaikan dan kemanfaatan suatu sikap atau suatu hal berdasarkan nilai-nilai umum atau misi yang dibawa oleh ajaran Islam (al-Quran dan al-Sunnah) secara keseluruhan.
            Sementara penganut paham tradisional berpendapat bahwa penetapan hukum suatu masalah mesti merujuk kepada salah satu ayat atau hadis tertentu. Bila tidak ada teks ayat atau hadis yang langsung berbicara tentang hal itu, penetapan hukumnya dilakukan dengan cara qiyas. Bagi mereka, bila tidak ada ayat berarti tidak ada hukum. Oleh karena itu, penetapan hukum bagi masalah-masalah yang tidak disebutkan dalam nash syariat harus dengan mencarikan nash yang relevan melalui cara qiyas. Bila qiyasnya fasid (tidak memenuhi syarat), maka hukum ayat tersebut tidak dapat diberlakukan pada masalah yang bersangkutan.[10] Dalam keadaan demikian, hukumnya dikembalikan pada hukum asal sebagaimana dimaksud oleh kaidah ushul, al-ashl fi al-asyya` lil-ibahah, pada dasarnya segala sesuatu hukumnya diperbolehkan.
            Melihat berbagai penjelasan di atas, tampak bahwa para penganut paham yang bercorak rasional dapat bersikap lebih responsif dalam mencari jalan keluar dan menemukan solusi bagi penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Mereka lebih “berani” dalam mengambil keputusan sehingga berbagai persoalan yang timbul dapat diselesaikan pada waktunya. Dinamika perkembangan masyarakat yang begitu cepat pada masa-masa terakhir ini tampaknya akan lebih cocok dihadapi dengan sikap paham rasional.

D. Penutup
            Penulis menyadari bahwa persoalan ini akan selalu eksis di tengah-tengah masyarakat umat Islam. Oleh karena itu, ia juga akan tetap menjadi topik diskusi yang hangat. Sebagai bahan diskusi, tentu saja, uraian ini sudah memadai bila menyajikan hal-hal memiliki kekurangan, bahkan kekeliruan. Diharapkan melalui forum ini, akan diperoleh hal-hal yang positif dan bermanfaat, khususnya bagi pengembangan akademis di lembaga yang terhormat ini. Untuk itu, penulis mengundang para pakar untuk berdiskusi secara akademis sehingga diperoleh pemahaman yang benar terhadap berbagai masalah yang terkait.
Wallahu A’lam bi-al-Shawab!

 

 

Daftar Bacaan

Fakhry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam, Trjemahan Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986
Hosen, Ibrahim, Maa Huwal Maisir (Apakah Judi Itu)?, Jakarta: Institut Ilmu Al-Quran, 1986
Madjid, Nurcholish, Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan, 1987
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986
Syahrastani, Abi al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karim Ibn Abi Bakr Ahmad al-, al-Milal wa al-Nihal, Diedit oleh ‘Abd al-’Aziz Muhammad al-Wakil, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyat, Dar al-Fikr al-’Arabiy, t.t.
 


1 komentar:

  1. Casinos Near Philadelphia - Hendon Mob Casino
    Casinos Near Philadelphia. Explore our map, 제주도 출장샵 check if 영주 출장마사지 there is a 경상북도 출장안마 casino on site, and if there is something to do, 서귀포 출장샵 look 강원도 출장안마 no further.

    BalasHapus