Rabu, 28 Desember 2011

FILSAFAT ILMU


HASSAN HANAFI DAN PEMIKIRANNYA
 Oleh: Said Saleh


A. Pendahuluan
Sekian banyak cendekiawan Muslim dalam arti pemikir yang memiliki komitmen cukup baik kepada Islam, keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam, dan tetap berusaha mengembangkan pemikirannya untuk membangun peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai universalitas Islam. Salah satu dari cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi, yang berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Proyek besar itu dia tempuh dengan gayanya yang revolusioner dan menembus semua dimensi ajaran keagamaan Islam.
Hassan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Byzantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa modern. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi.
Hassan Hanafi bukanlah nama yang asing di telinga akademis masyarakat Indonesia, terutama yang gencar membaca karya tentang kebangkitan Islam. Dalam pemikirannya ia dapat disejajarkan dengan tokoh pemikir Islam yang lain seperti Fazlur Rahaman, Mohammad Arkoun, Ali Syariati, M. Sahrur, Ismail Raji Al Faruqi, Sayyed Hossein Nasr, Salman Rushdie, Ali Asghar E. dan lain-lain. Hassan Hanafi merupakan tokoh yang berbeda dengan pemikiran Islam yang lain pemikirannya lebih mengedepankan al-Turats wa Tajdid (tradisi dan pembaharuan). Dalam golongan intelektual Hassan Hanafi dikategorikan sebagai sosok intelektual yang bersifat kritis. Dalam kebangkitan Islam bagi Hassan Hanafi adalah kebangkitan rasionalisme dan menghidupkan kembali khasanah klasik, melakukan wacana perlawanan terhadap kebudayaan barat dan menganalisis realistis dunia Islam. Hassan Hanafi dalam forum internasional juga dikenal dengan Islam Kiri.
Dalam membaca pemikiran Hassan Hanafi yang terasa adalah adanya gugatan terhadap tradisi lama Islam. Gugatan tersebut bukan hanya terhadap tradisi paradigma klasik dalam Ushuluddin tetapi juga terhadap tradisi dan konvensi teknis dikalangan Muttakalimun dalam pembahan ilmu ini. Bahwa menurut Hassan Hanafi bahwa ulama klasik dalam mukadimahnya telah memperlihatkan pembahasan keimanan pada pendahuluan hingga seakan-akan merupakan kesimpulan. Sedangkan pembahasan di antara mukadimah dan kesimpulan merupakan sesuatu yang tidak berarti. Sebarnya ungkapan muatan keimanan sering mengabaikan argumentasi, menghancurkan dalil-dalil, menyoalkan keilmuan, lebih, lebih jika keimanan jika hendak tidak diterapkan. Keimanan kami adalah tradisi dan modernisasi dan pemecahan terhadap krisis modernitas yang menengik warisan Islam klasik, serta mencari kemungkinan untuk merekonstruksi bangunan warisan intelektual klasik guna memberukan sesuatu yang baru bagi zaman modern untuk mencapai kemajuan.
B.     Pembahasan
1.  Riwayat Hidup dan Kondisi Sosiokultural Mesir
Hassan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Byzantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa modern. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi.[1]
Selain itu, ia juga mempelajari pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan keislaman. Tahun 1952 itu juga, setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda, terus ke Universitas Sorbone, Prancis. Pada tahun 1966, ia berhasil menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus dengan tesis “Les Methodes d’Exegeses: Essay sur La Science des Fundament de La Comprehensions Ilmu Ushul Fiqh’ dan desertasi ‘L’Exegese de la Phenomenology, L’etat actual de la Methode Phenomenology et son Application au Phenomena Religious.” Karier akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat sebagai Lektor, kemudian Lektor Kepala (1973), Profesor Filsafat (1980) pada jurusan Filsafat Universitas Kairo, dan diserahi jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat pada Universitas yang sama. Selain itu, Hanafi juga aktif memberi kuliah di beberapa negara, seperti di Prancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia AS (1971 - 1975), Universitas Kuwait (1979) dan Universitas Fez Maroko (1982 - 1984 ). Selanjutnya, diangkat sebagai guru besar tamu pada Universitas Tokyo (1984 - 1985), di Persatuan Emirat Arab (1985), dan menjadi penasihat program pada Universitas PBB di Jepang (1985 - 1987)[2]
Masa kecil Hassan Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan.[3]  
Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hassan Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para Syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, di tubuh Ikhwan pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di Pemuda Muslimin. Kemudian Hassan Hanafi kembali disarankan oleh para anggota Ikhwanul untuk bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua organisasi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Hassan Hanafi atas cara berpikir kalangan muda Islam yang berkotak-kotak. Kekecewaan ini menyebabkan ia memutuskan beralih konsentrasi untuk mendalami pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan perubahan sosial. Ini juga yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutub, seperti tentang prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Islam.[4]
Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hassan Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hassan Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Muhammad Najib memiliki komitmen dan visi keislaman yang jelas. Kejadian-kejadian yang ia alami pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis.[5]
Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan konflik internal terus terjadi. Tahun-tahun berikutnya, Hassan Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Prancis, pada tahun 1956 sampai 1966. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Prancis inilah ia dilatih untuk berpikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion.[6]
Semangat Hassan Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi sejak ia pulang dari Prancis pada tahun 1966. Akan tetapi, kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. la kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang perjuangannya itu, Hanafi juga mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan akademis yang telah is peroleh dengan memanfaatkan media massa sebagai corong perjuangannya. Ia menulis banyak artikel untuk menanggapi masalah-masalah aktual dan melacak faktor kelemahan umat Islam.[7]
Di waktu-waktu luangnya, Hassan Hanafi mengajar di Universitas Kairo dan beberapa universitas di luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di Prancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas Tem­ple, Amerika Serikat. Kepergiannya ke Amerika, sesungguhnya berawal dari adanya keberatan pemerintah terhadap aktivitasnya di Mesir, sehingga ia diberikan dua pilihan apakah ia akan tetap meneruskan aktivitasnya itu atau pergi ke Amerika Serikat. Pada kenyataannya, aktivitasnya yang baru di Amerika memberinya kesempatan untuk banyak menulis tentang dialog antar agama dengan revolusi. Baru setelah kembali dari Amerika ia mulai menulis tentang pembaruan pemikiran Islam. la kemudian memulai penulisan buku Al-Turats wa al-Tajdid. Karya ini, saat itu, belum sempat ia selesaikan karena ia dihadapkan pada gerakan anti- pemerintah Anwar Sadat yang pro-Barat dan “berkolaborasi” dengan Israel. la terpaksa harus terlibat untuk membantu menjernihkan situasi melalui tulisan-tulisannya yang berlangsung antara tahun 1976 hingga 1981. Tulisan-tulisannya itulah yang kemudian tersusun menjadi buku Al Din wa AI- Tsaurah. Sementara itu, dari tahun 1980 sampai 1983 ia menjadi profesor tamu di Universitas Tokyo, tahun 1985 di Emirat Arab. Ia pun diminta untuk merancang berdirinya Universitas Fes ketika ia mengajar di sana pada tahun-tahun 1983-1984.[8]
Hassan Hanafi berkali-kali mengunjungi negara-negara Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Prancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia, dan sebagainya antara tahun 1980-1987. Pengalaman pertemuannya dengan para pemikir besar di negara-negara tersebut telah menambah wawasannya untuk semakin tajam memahami persoalan-persoalan yang dihadapi oleh dunia Islam. Maka, dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak masih remaja membuat ia memiliki perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu, meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan-pergerakan yang ada di Mesir. Sedangkan pengalamannya dalam bidang akademis dan intelektual, baik secara formal maupun tidak, dan pertemuannya dengan para pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya sehingga mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan-persoalan besar umat Islam.[9]
2.      Perkembangan Pemikiran dan Karya-Karyanya
Untuk memudahkan uraian pada bagian ini, kita dapat mengklasifikasikan karya-karya Hassan Hanafi dalam tiga periode seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa penulis yang telah lebih dulu mengkaji pemikiran tokoh ini: Periode pertama berlangsung pada tahun-tahun 1960-an; periode kedua pada tahun-tahun 1970-an, dan periode ketiga dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an. Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hassan Hanafi dipengaruhi oleh paham-paham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik- po­pulistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme, dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967.[10]
Pada awal dasawarsa ini pula (1956-1966), sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi sedang berada dalam masa-masa belajar di Prancis. Di Prancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam. Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama berada di Prancis ia mengadakan penelitian tentang, terutama, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori hukum Islam, Islamic legal the­ory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontemporer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya untuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne (Prancis), dan ia berhasil menulis disertasi yang berjudul Essai sur la Methode d’ Exegese (Esai tentang Metode Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.[11]
Beberapa pemikirannya Hassan Hanafi dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.      Akal dan Waktu
Islam Kiri muncul atas dasar telaah terhadap sejumlah program modernisasi dalam masyarakat kita; pertama, modernisasi cenderung terkait dengan kekuasaan yang mentransformasikan Islam ke dalam ritus keagamaan yang menekankan akhirat, dan sebaliknya, realitas Islam bertentangan dengan sistem Islam. “Islam ritualistik” tidak lain daripada selubung yang menyatukan kaum Westernis, feodalis dan kapitalis kesukuan. Karena pandangan ilahiah dan konsep pusat piramidal alam tunduk pada kecenderungan- kecenderungan ini, maka pandangan humanistis, konsep sejarah dan gerakan sosial hilang; kedua, kecenderungan-kecenderungan liberal yang dominan sebelum revolusi Arab secara kultural berasal dari Barat, walaupun mereka menganggap imperialisme sebagai musuh. Maka kita merasakan apa yang dikenal sebagai Westernisasi budaya, dan kita menjadi korban kepentingan dan monopoli ekonomi; ketiga, kecenderungan-kecenderungan Marxis-Barat ingin membangun suatu kemapanan yang menentang imperialisme. Tapi mereka tidak bisa mengembangkan khazanah keislaman kita. Bahkan ada tanda-tanda yang menunjukkan, ia berlawanan dengan massa Muslim. Yang paling penting dari gejala- gejala ini adalah tetap berkuasanya status quo; keempat, ada gejala-gejala revolusi -nasional yang menimbulkan perubahan mendasar dalam struktur sosial -budaya kita, namun tidak melibatkan kesadaran massa Muslim. Munculnya Islam Kiri adalah untuk merealisasikan tujuan revolusi nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosialis yang bersandar pada kesadaran masyarakat Muslim dan khazanah komunitas Islam secara keseluruhan.[12]
b.      Islam Kiri adalah ideologi revolusi kaum Muslim
Islam Kiri juga merupakan tahap lain dalam perkembangan reformasi keagamaan kita yang telah kita mulai kira-kira 200 tahun lalu. Ini bukan hanya kekuatan pada tingkat konfrontasi melawan bahaya-bahaya abad ini, tapi juga pada tingkat rekonstruksi pemikiran keagamaan reformis. Di sini pemikiran keagamaan kembali dibentuk, sejak filsafat Ibn Rusyd, teologi Mu’tazilah, landasan hukum Islam Syathibi, sejarah Ibn Khaldun, dan hukum Islam Ibn Taymiyah. Kita telah mengambil jarak dari Asy’ariyah, yang bergandengan dengan sufisme, yang menjadi dasar pandangan dunia kita selama ini, basis kekuatan yang melestarikan penguasa, perilaku fatalistik pada sebagian kaum Muslim, yang hanya menunggu bantuan dan inspirasi dari langit, yang mengabaikan kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri. [13]
 c.       Apa Esensi Pemimpin Umat Manusia
Islam Kiri juga punya akar dalam karya pemikir Islam revolusioner, Ali Syari’ati, dan pemikir yang menggerakkan revolusi Islam Iran yang agung, Imam Khomeini. Ia juga terkait dengan gerakan-gerakan yang bermacam-macam di Libya, Sudan, Aljazair, Maroko, dan gerakan-gerakan di bawah pimpinan Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, dll. Islam Kiri menggalang revolusi melawan imperialisme dan keterbelakangan. Ia membangkitkan gerakan-gerakan Islam revolusioner sekarang, dan merumuskan teorinya.Islam Kiri terlibat di zaman ini, dan mengupayakan transformasi kaum Muslim dari keterbelakangan ke kemajuan, dari kolonialisme ke pembebasan, dari penyalahgunaan ke kekuasaan masyarakat Muslim yang sejahtera, dari feodalisme suku dan kapitalisme kelas menengah ke sosialisme masyarakat Muslim, umat, dan dari penguasaan ke kebebasan dan demokrasi. Ini merupakan partisipasi dalam gerakan sejarah kaum Muslim setelah Revolusi Islam di Iran, dan bertugas merebut hak-hak dan kekayaan kaum Muslim agar dikuasainya. Kalau kaum Muslim memenangkan revolusi dan merebut kekayaan mereka, mereka akan menguasai dunia. Pada waktu itu Tuhan akan menjadikan mereka pemimpin dan ahli waris dunia. Akan ada pembaru pada abad ke-15 H., seperti yang diungkapkan Hadits: “Tuhan mengutus seorang manusia yang memperbarui agama pada awal abad.”[14]
d.      Menghidupkan Kembali Khazanah Klasik
Khazanah kita mengandung tiga macam ilmu: ilmu-ilmu rasional-tradisional seperti dasar-dasar agama, yakni ushul al-fiqh, filsafat dan sufisme; ilmu-ilmu rasional seperti matematika, astronomi, fisika, kimia, kedokteran dan farmasi; ilmu-ilmu tradisional seperti ilmu al-Qur’an, ilmu Hadits, Sirah (biografi nabi), fiqih, dan tafsir. “Islam Kiri” mengambil, menghidupkan dan mengembangkan kembali bagian yang revolusioner dari ilmu-ilmu ini. Islam Kiri sejalan dengan Mu’tazilah yang menghadirkan revolusi akal, dunia alam, dan kebebasan manusia. Ia menjelaskan bahwa tauhid lebih dekat ke prinsip-prinsip pemikiran murni ketimbang kehidupan yang terbatas; tanzih (transendensi) dipandang lebih mengungkapkan hakikat akal daripada tasybih (antropomorfisme); tauhid antara esensi dan sifat dipandang lebih dekat pada keadilan daripada perbedaan antara keduanya; individu dipandang punya kebebasan bertanggung jawab, pemilik tindakannya; akal diyakini mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, dua sifat dalam perbuatan manusia; dunia dipandang bergerak menuju suatu tujuan sesuai dengan hukum dunia yang paling mungkin; iman dipandang terkait dengan tindakkan; pemimpin kaum Muslim harus dipilih; dan menyuruh pada kebaikan dan menjauhi kemungkaran adalah kewajiban kaum Muslim.[15]
e.       Tantangan bagi Peradaban Barat
Islam Kiri tampil menentang peradaban Barat, dan berusaha untuk menggantinya. Al-Afghani memusatkan perhatiannya pada imperialisme militer pada zaman penjajahan. Islam Kiri memusatkan perhatiannya pada imperialisme budaya, yakni serangan terhadap kebudayaan kita dari dalam dengan memusnahkan afiliasinya dengan komunitas (umat) sehingga komunitas menjadi tidak berakar. “Islam Kiri” membela rakyat komunitas Islam, dan menentang westernisasi yang pada dasarnya bertujuan untuk memusnahkan budaya-budaya pribumi untuk menyempurnakan hegemoni budaya Barat. Meskipun rakyat terbelakang dilihat dari standar Barat, mereka masih mempertahankan unsur-unsur kekuatannya dengan standar budaya mereka yang khusus. Tugas Islam Kiri adalah mendefinisikan kuantitas Barat, yakni mengembalikannya ke batas alamiahnya dan mengakhiri mitosnya yang mendunia. Barat berada pada pusat peradaban dunia, dan ingin mengekspor peradabannya kepada bangsa-bangsa lain. Barat menyediakan model pembangunan sebagai alat untuk menguasai dan menghilangkan kekhasan bangsa-bangsa lain. Akibatnya bangsa- bangsa nonbarat tidak mampu menentukan nasib dan menguasai kekayaan mereka sendiri.[16]
Walaupun peradaban Barat mengembangkan kebudayaannya dengan mengambil dari kebudayaan bangsa-bangsa lain, ia telah mentransformasikannya ke dalam rasisme. Ini merupakan rasisme yang menjadikan satu-satunya model bagi peradaban. Model yang lain, dengan demikian, dicap terbelakang dan primitif, dan harws dihilangkan agar semua bangsa-bangsa mengikuti model peradaban satu-satunya ini (Barat). Barat mulai membangun peradabannya dari Yunani dengan mengesampingkan semua peradaban Timur yang mendahului dan mempengaruhi peradaban Yunani. Zaman pertengahan Barat dianggap sebagai zaman kegelapan dan keterbelakangan, tapi merupakan zaman keemasan kita. Barat menyebut lima abad terakhir sebagai zaman modern, dan menganggapnya sebagai puncak peradaban. Zaman modern ini bagi kita merupakan periode stagnasi di mana pasangan Asy’ariyah dan sufisme menguasai kesadaran kita. Krisis abad ke-20 di Barat bagi kita adalah awal reformasi. Tugas Islam Kiri adalah mengembalikan peradaban Barat pada tempat kelahiran, lingkungan dan sejarahnya. Ini untuk menghilangkan hambatan bagi berkembangnya peradaban non-Barat. Dan model-model bagi kemajuan, dengan demikian, bisa menjadi banyak dan bervariasi.[17]
f.       Realitas Dunia Islam
Islam Kiri memberikan suatu gambaran situasi di dunia Islam tanpa mengikuti suatu metode bimbingan atau nasihat. Realitas menampakkan dirinya, seperti statistik. Pemikiran keagamaan kita bersandar pada metode yang mentransfer teks ke realitas; pertama, teks bukanlah realitas, ia hanya deskripsi linguistik tentang realitas; maka ia tidak menjadi buku tanpa kembali ke landasannya dalam realitas; kedua, teks mensyaratkan iman terhadapnya, masalahnya siapa yang beriman pada teks itu; ketiga, teks terletak pada otoritas kitab, bukan pada otoritas akal. Bukti tentang otoritas bukanlah bukti; keempat, teks adalah bukti bagian luar yang datang dari luar realitas; kelima, teks membutuhkan penafsiran atas sauhnya; tapi tidak akan ada arti yang benar bagi suatu teks tanpa sauh ini; keenam, teks bersifat sepihak (unilateral), dan ia bersandar pada banyak hal dari teks-teks lain; ketujuh, teks bersandar pada pilihan, pilihan mengikuti kecenderungan dan kepentingan; kedelapan, kondisi- kondisi sosial dari penafsir adalah dasar dari pilihan atas teks; kesembilan, teks mengacu pada keyakinan masyarakat, pujian dari perasaan-perasaan keagamaan orang yang berlebihan dan pengakuan dari lawan; kesepuluh, metode teks lebih dekat pada peringatan dan bimbingan, ia mempertahankan Islam sebagai suatu prinsip dari pada kaum Muslim sebagai umat. Akhirnya, metode teks memberikan pernyataan, tapi bukan kuantitas. Metode Islam Kiri mendefinisikan kuantitas dengan statistik sehingga realitas bicara sendiri.[18]
g.      Agama dan Revolusi
Tugas Islam Kiri adalah meneliti unsur-unsur revolusioner dalam agama. Agama adalah apa yang kita miliki dalam tradisi yang asli; revolusi adalah hasil zaman kita. Dan dalam agama sendiri ada revolusi. Para nabi adalah para revolusioner dan sekaligus reformis. Revolusi tauhid menentang kemusyrikan dibawa Nabi Ibrahim; revolusi semangat oleh Nabi Isa, revolusi orang miskin, budak, dan orang-orang yang malang dibawa Nabi Muhammad. Tauhid mempunyai fungsi praktis untuk menghasilkan perilaku dan iman yang diarahkan pada perubahan kehidupan masyarakat dan sistem sosialnya. Para nabi muncul dan melakukan revolusi untuk membuat reformasi ke arah kondisi-kondisi yang lebih baik. Para nabi adalah pendidik kemanusiaan untuk mencapai kemajuan dan kesempurnaan. Akhir kenabian adalah bahwa kemanusiaan menjadi kemerdekaan akal, dan ia mulai bergerak sendiri ke arah kemajuan.[19]
Banyak revolusi dalam sejarah kita: revolusi al-Qaramithah, Mahdi di Sudan, Sanusiyah di Libya, Islam di Aljazair dan Jihad ikhwan al-Muslimin. Tugas “Islam Kiri” adalah membawa revolusi ini. Sayangnya pemikiran yang menyembunyikan ide-ide revolusioner itu justru telah menang. Islam Kiri mempunyai akarnya dalam revolusi-revolusi agama dalam masyarakat manusia. Banyak revolusi dalam sejarah Yudaisme dan agama Ktisten. Revolusi agama tidak terbatas hanya pada tiga agama monoteis, juga dalam agama-agama lain: revolusi Budha di Vietnam, revolusi Konfusianis di Cina, dan revolusi-revolusi lain di Afrika Selatan. Gerakkan revolusioner agama-agama telah diklasifikasikan ke dalam messianisme, milleniarisme dan karisma dalam sejarah agama dan sosiologi agama. Tapi analisis ini masih berputar di sekitar wilayah agama Kristen, belum mampu menyentuh bentuk revolusi Islam, yakni revolusi tawhid yang tidak membutuhkan gambaran Messiah bagi pembebasan. Inilah yang berusaha dikemukakan Islam Kiri.[20]
h.      Kesatuan Nasional
Islam Kiri bermaksud mengajak dialog semua pihak dalam dunia Islam. Ia bukan sekte baru, tapi berusaha menciptakan kesatuan di antara kaum Muslim sesuai dengan tuntutan zaman, seperti kebebasan, keadilan, dan kemajuan. Kesatuan pemikiran adalah prasyarat bagi kesatuan ummah; pertama, Islam Kiri berseru kepada kaum muslimin dalam jurnal al-Da’wah. Sejumlah penulis jurnal ini telah mengembangkan kesadaran akan dunia Islam, tapi kebanyakan tetap berada dalam tradisi. Kita menyerukan agar ada dialog antara mereka dengan kita. Kita boleh berbeda tapi saling menghormati dalam butir-butir pemikiran yang berbeda. Perbedaan kita mungkin formal, tidak esensial. Saudara-Saudara Muslim menyajikan kecenderungan-kecenderungan yang sesungguhnya di antara kita. Mereka melakukan jihad melawan kolonialisme di Palestina dan Suez. Terjadi konflik yang paling keras antara mereka dan revolusi Mesir. Apa yang mampu mereka lakukan adalah mendukung rakyat dalam revolusi, tapi mereka masih tidak mempunyai koordinasi politik untuk memobilisasi rakyat. Semangat revolusi ini mengulang penafsiran tradisional sehingga mereka mewujudkan objek-objek revolusi dalam kebebasan dan keadilan. Kita tak mengganti siapa pun dengan orang yang tidak beriman dan kita berharap tidak ada orang menggantikan kita dengan orang yang tidak beriman, tapi kita berseru demi kesatuan nasional minimum antar kita dan mereka. Nabi mampu melakukan dialog dengan rakyat dan mampu melakukan pendekatan. Ini hanyalah koalisi politik karena kepentingan yang mendesak, bukan kesatuan nasional bagi gerakan pembebasan nasional melawan imperialisme Barat; kedua, kita menghimbau secara damai Saudara-Saudara sebangsa (kaum Marxis, Nasseris dan Liberalis) untuk berdialog. Kita bisa sepakat dalam cita-cita, yakni kebebasan, demokrasi, dan keadilan sosial. Kita semua terlibat dalam memperkuat kesadaran kelas para pekerja dan dalam pembentukan barisan depan revolusioner. Kaum Nasseris bisa mencapai implementasi sosial yang terbesar dalam sejarah modern kita. Nasserisme juga membangun basis gerakan revolusioner dan juga telah memberi sumbangan bagi gerakan-gerakan revolusioner di Dunia Ketiga. Kolonialisme Dunia menghubungkan Nasserisme dengan kekalahan tahun 1967. Nasserisme masih hidup dalam sentimen rakyat dan nampak dalam getaran revolusi Islam di Iran.[21]
i.        Keraguan dan Bahaya
Islam Kiri sepenuhnya bebas dari Timur atau pun Barat. Ia bukan Marxisme baru, liberalisme revolusioner atau gerakan Syi’ah. Ia menghadirkan kecenderungan budaya ideologis yang berakar dari warisan klasik kita, al-Qurtan dan Sunnah. Ia muncul di Mesir, yakni pusat dunia Islam dan jantung Arabisme. Ia bukan partai politik, bukan oposisi menentang pemerintah atau kemapanan, dan juga tidak melakukan agitasi bagi pemberontakan dalam negeri. Islam Kiri mempertimbangkan politik dalam budaya ummah dan renaissans ummah, dan perjuangannya adalah pada tingkat kesadaran budaya dan peradaban ummah. Ia bertujuan melampaui pemecahan-pemecahan yang parsial untuk mencapai pandangan yang menyeluruh. Islam Kiri bukan hanya bekas dengan semangat yang berapi-api dalam pikiran masyarakat, tapi bertujuan untuk mentransformasikan bekas itu ke dalam akal, dialog dan pencerahan untuk mempertahankan kebaikan Islam.
Pada fase awal pemikirannya itu, tulisan-tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir dasawarsa itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur, liberation).[22] Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.[23]
Hassan Hanafi sampai pada kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik yang ada. Pada akhir periode ini, dan berlanjut hingga awal periode 1970-an, Hassan Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Buku ini memberikan deskripsi tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para pemikir dalam menanggapi problema umat, dan tentang pentingnya pembaruan pemikiran Islam untuk menghidupkan kembali khazanah tradisional Islam. Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan. Beberapa pemikir Barat yang ia singgung itu antara lain Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Unamuno, Karl Jaspers, Karl Marx, Marx Weber, Edmund Husserl, dan Herbert Marcuse.[24]
Kedua buku itu secara keseluruhan merangkum dua pokok pendekatan analisis yang berkaitan dengan sebab-sebab kekalahan umat Islam; memahami posisi umat Islam sendiri yang lemah, dan memahami posisi Barat yang superior. Untuk yang pertama penekanan diberikan pada upaya pemberdayaan umat, terutama dari segi pola pikirnya, dan bagi yang kedua ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana menekan superioritas Barat dalam segala aspek kehidupan. Kedua pendekatan inilah yang nantinya melahirkan dua pokok pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah karyanya, yaitu Al-Turats wa al-Tajdid (Tradisi dan Pembaruan), dan Al-Istighrab (Oksidentalisme).[25]
Pada periode ini, yaitu antara tahun-tahun 1971-1975, Hassan Hanafi juga menganalisis sebab-sebab ketegangan antara berbagai kelompok kepentingan di Mesir, terutama antara kekuatan Islam radikal dengan pemerintah. Pada saat yang sama situasi politik Mesir mengalami ketidakstabilan yang ditandai dengan beberapa peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap Anwar Sadat yang pro-Barat dan memberikan kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada Oktober 1981. Keadaan itu membawa Hassan Hanafi pada pemikiran bahwa seorang ilmuwan juga harus mempunyai tanggung jawab politik terhadap nasib bangsanya. Untuk itulah kemudian ia menulis Al-Din wa al-Tsaurah fi Mishr 1952-1981. Karya ini terdiri dari 8 jilid yang merupakan himpunan berbagai artikel yang ditulis antara tahun 1976 sampai 1981 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1987. Karya itu berisi pembicaraan dan analisis tentang kebudayaan nasional dan hubungannya dengan agama, hubungan antara agama dengan perkembangan nasionalisme, tentang gagasan mengenai gerakan “Kiri Keagamaan” yang membahas gerakan-gerakan keagamaan kontemporer, fundamentalisme Islam, serta “Kiri Islam dan Integritas Nasional”. Dalam analisisnya Hassan Hanafi menemukan bahwa salah satu penyebab utama konflik berkepanjangan di Mesir adalah tarik-menarik antara ideologi Islam dan Barat dan ideologi sosialisme. Ia juga memberikan bukti-bukti penyebab munculnya berbagai tragedi politik dan, terakhir, menganalisis penyebab munculnya radikalisme Islam.[26]
Karya-karya lain yang ia tulis pada periode ini adalah Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran yang ditulisnya antara tahun 1972-1976 ketika ia berada di Amerika Serikat, dan terbit pertama kali pada tahun 1977. Pada bagian pertama buku ini ia merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan antara agama dengan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan fenomenologi sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.[27]
Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilmu keislaman klasik, seperti ushul fikih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk disesuaikan dengari realitas kontemporer. Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah “manifesto politik” yang berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat di atas. [28]
Jika Islam Kiri baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hassan Hanafi yang paling monumental. Satu bagian pokok bahasan yang sangat penting dari buku ini adalah gagasan rekonstruksi ilmu kalam. Pertama-tama ia mencoba menjelaskan seluruh karya dan aliran ilmu kalam, baik dari sisi kemunculannya, aspek isi dan metodologi maupun perkembangannya. Lalu ia melakukan analisis untuk melihat kelebihan dan kekurangannya, terutama relevansinya dengan konteks modernitas. Salah satu kesimpulannya adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat teoretis, elitis dan statis secara konsepsional. Ia merekomendasikan sebuah teologi atau ilmu kalam yang antroposentris, populis, dan transformatif.[29]
Selanjutnya, pada tahun-tahun 1985-1987, Hassan Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Prancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid). Selain berisi kajian-kajian agama dan filsafat, dalam karya-karyanya yang terakhir pemikiran Hassan Hanafi juga berisi kajian-kajian ilmu sosial, seperti ekonomi dan teknologi. Fokus pemikiran Hassan Hanafi pada karya- karya terakhir ini lebih tertuju pada upaya untuk meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam pembangunan di negara-negara dunia ketiga. [30]
Pada perkembangan selanjutnya, Hassan Hanafi tidak lagi berbicara tentang ideologi tertentu melainkan tentang paradigma baru yang sesuai dengan ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum muslimin. Sublimasi pemikiran dalam diri Hanafi ini antara lain didorong oleh maraknya wacana nasionalisme-pragmatik Anwar Sadat yang menggeser popularitas paham sosialisme Nasser di Mesir pada dasawarsa 1970-an. Paradigma baru ini ia kembangkan sejak paro kedua dasawarsa 1980-an hingga sekarang. Pandangan universalistik ini di satu sisi ditopang oleh upaya pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam upaya penegakan martabat manusia melalui pencapaian otonomi individual bagi warga masyarakat; penegakan kedaulatan hukum, penghargaan pada HAM, dan penguatan (empowerment) bagi kekuatan massa rakyat jelata.[31]
Pada sisi lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hassan Hanafi harus dimulai dari pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. Orang Islam, menurut Hassan Hanafi, tidak butuh hanya sekadar menerima dan mengambil alih paradigma ilmu pengetahuan modern Barat yang bertumpu pada materialisme, melainkan juga harus mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu pengetahuan Arab. Seleksi dan dialog konstruktif dengan peradaban Barat itu dibutuhkan untuk mengenal dunia Barat dengan setepat-tepatnya. Dan upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan kepada ilmu-ilmu kebaratan (al-Istighrab, Oksidentalisme)[32]
Sebagai imbalan bagi ilmu-ilmu ketimuran (al-Istisyraq, Orientalisme). Oksidentalisme dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, sehingga dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang diperlukan kaum muslimin dalam ukuran jangka panjang. Dengan pandangan ini Hassan Hanafi memberikan harapan Islam untuk menjadi mitra bagi peradaban-peradaban lain dalam penciptaan peradaban dunia baru dan universal. [33]
3.      Pandangan Hassan Hanafi tentang Teologi Tradisional Islam
Di muka telah kita lihat, meskipun dalam beberapa hal menolak dan mengkritik Barat, Hassan Hanafi banyak menyerap dan mengonsentrasikan diri pada kajian pemikir Barat pra-modern dan modern. Oleh karena itu, Shimogaki mengategorikan Hassan Hanafi sebagai seorang  modernis-liberal, karena ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya.[34]
Pemikiran Hassan Hanafi sendiri, menurut Isaa J. Boulatta dalam Trends and lssues in Contemporary Arabs Thought bertumpu pada tiga landasan: 1) tradisi atau sejarah Islam; 2) metode fenomenologi, dan; 3) analisis sosial Marxian. Dengan demikian dapat dipahami bahwa gagasan semacam Kiri Islam dapat disebut sebagai pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial masyarakat (socially contructed) berkelas yang merupakan ciri khas tradisi Marxian.[35]
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hassan Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks sosial-politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hassan Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan dialektika kata-kata, bukan dialektika konsep-konsep tentang sifat masyarakat atau tentang sejarah. Sementara itu konteks sosial-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, lanjut Hassan Hanafi, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.[36] Teologi merupakan refleksi dari wahyu yang memanfaatkan kosakata zamannya dan didorong oleh kebutuhan dan tujuan masyarakat; apakah kebutuhan dan tujuan itu merupakan keinginan obyektif atau semata-mata manusiawi, atau barangkali hanya merupakan cita-cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni.[37]
Dalam konteks ini, teologi merupakan basil proyeksi kebutuhan dan tujuan masyarakat manusia ke dalam teks-teks kitab suci. Ia menegaskan, tidak ada arti-arti yang betul-betul berdiri sendiri untuk setiap ayat Kitab Suci. Sejarah teologi, kata Hassan Hanafi, adalah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam Kitab Suci itu. Setiap ahli teologi atau. penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada naskah-naskah itu.[38] Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hassan Hanafi menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdiri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran teologi, dengan demikian, adalah kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hanafi, persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu berupa nilai-nilai manusiawi yang universal. Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu.[39]
Hassan Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsep-konsep dan argumen-argumen antara individu-individu, melainkan dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan.[40]
Rekonstruksi itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan-harapan dunia muslim terhadap kemerdekaan, kebebasan, kesamaan sosial, penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa. Teologi baru itu harus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan perkataan (kalam) dan sebagai analisis percakapan. Karena itu pula harus tersusun secara kemanusiaan.[41]
Asumsi dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hassan Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi.[42] Baginya, Islam memiliki makna ganda; pertama, Islam sebagai petunjuk; yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas; kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan.[43] ­
Secara generik, istilah aslama adalah menyerahkan diri kepada Tuhan, bukan kepada apa pun yang lain. Pengertian ini secara langsung menyatakan sebuah tindakan ganda; Yaitu menolak segala kekuasaan yang tidak transendental dan menerima kekuasaan transendental. Makna ganda dari kata kerja aslama dan kata benda Islam ini, menurut Hanafi, dengan sengaja disalahgunakan untuk mendorong Islam cenderung pada salah satu sisinya, yakni tunduk. Maka rekonstruksi teologi tradisional itu berarti pula untuk menunjukkan aspek lain dari Islam yang, menurutnya, sengaja disembunyikan, yakni penolakan, oposisi den pergolakan yang merupakan kebutuhan aktual masyarakat muslim. Di dalam hal ini, karena selalu terkait dengan masyarakat, refleksi atas nilai-nilai universal agama pun mengikuti bentuk dan struktur kemasyarakatan, struktur sosial dan kekuatan politik.[44]
 
C.     Penutup
1.      Kesimpulan
a.   Dunia Islam saat ini telah berkooptasi oleh Barat, baik sistem, kepentingan, struktur maupun kultur. Hal ini sebagai dampak kolonialisme dan imperialisme. Masyarakat Islam punya ketergantungan yang sangat besar terhadap Barat. Dunia Barat berusaha meng-’hegemoni’ kultur Islam, termasuk tentang Islam itu sendiri. Barat mengupayakan pemahaman Islam versi Barat. Itulah cara Barat untuk mencabut lebur akar sejarah Islam dari sumber aslinya, yakni Al-Qur’an dan Hadits.
b. Merespons kondisi tersebut, Hassan Hanafi dengan Islam Kirinya sangat menentang peradaban Barat, khususnya imperialisme ekonomi dan kebudayaan. Hassan Hanafi memperkuat umat Islam dengan memperkokoh tradisinya sendiri, dengan gagasan progresifnya adalah; pertama, melokalisasi Barat pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos dunia Barat sebagai pusat peradaban dunia serta menepis ambisi kebudayaan Barat untuk menjadi paradigma kemajuan bagi bangsa-bangsa lain; kedua, mengembalikan peradaban Barat pada batas-batas kebaratannya; ketiga, Hassan Hanafi menawarkan gagasan menjadikan Barat sebagai objek kajian Oksidentalisme. Bagi  Hasan Hanafi Oksidentalisme merupakan suatu upaya menandingi Orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke akar-akarnya. Untuk mengembalikan citra Islam, ia memberikan jalan dengan melakukan reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan.
2.      Saran
Penulis mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih disebabkan oleh kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu penulis mengharapkan kritik yang membangun untuk  perbaikan makalah ini pada masa yang akan datang.  

DAFTAR PUSTAKA

Boulatta, Issa J., Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan, Terj. Saiful Mujani, Islamika, 1993.
Hanafi, Hassan, Al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, al-Azminat,1989.
___________, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy,1987.
___________, Qadhaya Mu`ashirat fi`Fikrina al-Mu`ashir,Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba`at al-Nasyr, 1983.
___________,Dialog Agama dan Revolosi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
___________, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta, P3M, 1991.
___________, Al-Mukaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, Kairo, 1991.
___________, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam: Prisma, 1984.
Iwad, Luwis, Dirasat fi al-Hadlarat, Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989.
Shimogaki, Kazuo, Between Modernity and Posmodernity, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought:  A Critical Reading, Japan: The Institute of Middle Eastern Studies, 1988.
______, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritits Pemikiran Hassan Hanafi, Terj: M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, Jogjakarta: LkiS, 2007.
Wahid, Abdurrahman, Pengantar, dalam Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta: P3M, 1991.


 

[1]  Luwis: ‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, (Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989), hal. 133.
[2] Ibid.
[3] Hassan Hanafi, Al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, (Mesir, al-Azminat,, 1989), hal. 15.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Hassan Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Vol. VII, (Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy, I987), hal. 332
[7]Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi`Fikrina al-Mu`ashir, (Beirut:Dar al-Tanwir li al-Thiba`at al-Nasyr, 1983),  hal. 7.
[8] Hassan Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981,  hal. 17.
[9] Ibid.
[10] Abdurrahman Wahid, Terj. Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta: LkiS, 2007), hal. 9.
[11] Ibid., hal. 11.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hal. 13.
[14] Ibid.
[15] Ibid., hal. 14.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid,, hal. 15.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid., hal. 16
[22] Ibid., hal. 13.
[23]Abdurrahman Wahid, Pengantar, dalam Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta: P3M, 1991),  hal. 11.
[24] Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi al-Fikr al-Gharb al-Mu’ashir, (Beirut: Al-Muassasat al-Jami’iyyat li Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 1990), hal. 4.
[25] Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1991), hal. 13.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28]Abdurrahman Wahid, Pengantar, dalam Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan,  hal. 16.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Hassan Hanafi, Al-Mukaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, (Kairo, tt, 1991), hal. 7.
[33] Abdurrahman Wahid, Pengantar, dalam Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, hal. 17.
[34] Shimogaki, Between Modernity and Posmodernity, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought:  A Critical Reading ( Between Modernity), (Japan: The Institute of Middle Eastern Studies, 1988), hal. 14.
[35] Issa J. Boullatta, Terj. Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan, (tt: tt, 1993), hal. 21.
[36] Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta, P3M, 1991), hal. 6. 
[37] Hassan Hanafi, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam, (Jakarta Prisma, 1984), hal. 39.
[38] Ibid.
[39] Ibid.
[40] Ibid., hal.7
[41] Ibid.
[42] Ibid., hal. 103.
[43] Ibid., hal. 104.
[44] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar