HASSAN
HANAFI DAN PEMIKIRANNYA
Oleh: Said Saleh
A. Pendahuluan
Sekian
banyak cendekiawan Muslim dalam arti pemikir yang memiliki komitmen cukup baik
kepada Islam, keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam, dan tetap berusaha
mengembangkan pemikirannya untuk membangun peradaban yang didasarkan atas
nilai-nilai universalitas Islam. Salah satu dari cendikiawan itu adalah Hassan
Hanafi, yang berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan
tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif
dengan dimensi pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya Islam bukan sebagai
institusi penyerahan diri yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya
dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan
sebuah basis gerakan ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan
martabat manusia. Proyek besar itu dia tempuh dengan gayanya yang revolusioner
dan menembus semua dimensi ajaran keagamaan Islam.
Hassan
Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir
pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah
perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa
muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar.
Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi
keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota
Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun,
Romawi, Byzantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa modern.
Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting
bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi.
Hassan
Hanafi bukanlah nama yang asing di telinga akademis masyarakat Indonesia,
terutama yang gencar membaca karya tentang kebangkitan Islam. Dalam
pemikirannya ia dapat disejajarkan dengan tokoh pemikir Islam yang lain seperti
Fazlur Rahaman, Mohammad Arkoun, Ali Syariati, M. Sahrur, Ismail Raji Al
Faruqi, Sayyed Hossein Nasr, Salman Rushdie, Ali Asghar E. dan lain-lain. Hassan
Hanafi merupakan tokoh yang berbeda dengan pemikiran Islam yang lain
pemikirannya lebih mengedepankan al-Turats wa Tajdid (tradisi dan
pembaharuan). Dalam golongan intelektual Hassan Hanafi dikategorikan sebagai
sosok intelektual yang bersifat kritis. Dalam kebangkitan Islam bagi Hassan
Hanafi adalah kebangkitan rasionalisme dan menghidupkan kembali khasanah
klasik, melakukan wacana perlawanan terhadap kebudayaan barat dan menganalisis
realistis dunia Islam. Hassan Hanafi dalam forum internasional juga dikenal
dengan Islam Kiri.
Dalam
membaca pemikiran Hassan Hanafi yang terasa adalah adanya gugatan terhadap
tradisi lama Islam. Gugatan tersebut bukan hanya terhadap tradisi paradigma
klasik dalam Ushuluddin tetapi juga terhadap tradisi dan konvensi teknis
dikalangan Muttakalimun dalam pembahan ilmu ini. Bahwa menurut Hassan Hanafi
bahwa ulama klasik dalam mukadimahnya telah memperlihatkan pembahasan keimanan
pada pendahuluan hingga seakan-akan merupakan kesimpulan. Sedangkan pembahasan
di antara mukadimah dan kesimpulan merupakan sesuatu yang tidak berarti.
Sebarnya ungkapan muatan keimanan sering mengabaikan argumentasi, menghancurkan
dalil-dalil, menyoalkan keilmuan, lebih, lebih jika keimanan jika hendak tidak
diterapkan. Keimanan kami adalah tradisi dan modernisasi dan pemecahan terhadap
krisis modernitas yang menengik warisan Islam klasik, serta mencari kemungkinan
untuk merekonstruksi bangunan warisan intelektual klasik guna memberukan
sesuatu yang baru bagi zaman modern untuk mencapai kemajuan.
B.
Pembahasan
1. Riwayat Hidup dan
Kondisi Sosiokultural Mesir
Hassan Hanafi
adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13
Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar.
Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia
yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan
sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang
di sana sejak lama. Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah
dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Byzantium,
Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa modern. Hal ini menunjukkan
bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal
tradisi keilmuan Hassan Hanafi.[1]
Selain itu, ia juga
mempelajari pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan keislaman.
Tahun 1952 itu juga, setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen
Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana
muda, terus ke Universitas Sorbone, Prancis. Pada tahun 1966, ia berhasil
menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus dengan tesis “Les
Methodes d’Exegeses: Essay sur La Science des Fundament de La Comprehensions
Ilmu Ushul Fiqh’ dan desertasi ‘L’Exegese de la Phenomenology, L’etat actual de
la Methode Phenomenology et son Application au Phenomena Religious.” Karier
akademiknya dimulai tahun 1967 ketika diangkat sebagai Lektor, kemudian Lektor
Kepala (1973), Profesor Filsafat (1980) pada jurusan Filsafat Universitas
Kairo, dan diserahi jabatan sebagai Ketua Jurusan Filsafat pada Universitas
yang sama. Selain itu, Hanafi juga aktif memberi kuliah di beberapa negara,
seperti di Prancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia AS
(1971 - 1975), Universitas Kuwait (1979) dan Universitas Fez Maroko (1982 -
1984 ). Selanjutnya, diangkat sebagai guru besar tamu pada Universitas Tokyo
(1984 - 1985), di Persatuan Emirat Arab (1985), dan menjadi penasihat program
pada Universitas PBB di Jepang (1985 - 1987)[2]
Masa
kecil Hassan Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah
penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan
sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih
berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang
melawan Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap
usianya masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari
kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat
itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan.[3]
Ketika
masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hassan Hanafi menyaksikan
sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para Syuhada di Terusan Suez.
Bersama-sama dengan para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan
revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an hingga revolusi itu
meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun
ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi,
di tubuh Ikhwan pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di
Pemuda Muslimin. Kemudian Hassan Hanafi kembali disarankan oleh para anggota
Ikhwanul untuk bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam
tubuh Mesir Muda sama dengan kedua organisasi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan
ketidakpuasan Hassan Hanafi atas cara berpikir kalangan muda Islam yang berkotak-kotak.
Kekecewaan ini menyebabkan ia memutuskan beralih konsentrasi untuk mendalami
pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan perubahan sosial. Ini juga yang
menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutub, seperti
tentang prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Islam.[4]
Sejak
tahun 1952 sampai dengan 1956 Hassan Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk
mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang
paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras
antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hassan Hanafi berada pada pihak Muhammad
Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Muhammad Najib memiliki
komitmen dan visi keislaman yang jelas. Kejadian-kejadian yang ia alami pada
masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang
pemikir, pembaharu, dan reformis.[5]
Keprihatinan
yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan
konflik internal terus terjadi. Tahun-tahun berikutnya, Hassan Hanafi
berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Prancis, pada tahun 1956
sampai 1966. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari
jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya
dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Prancis inilah ia dilatih untuk
berpikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau
karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean
Gitton; tentang metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia
belajar fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan bimbingan
penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor Masnion.[6]
Semangat
Hassan Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang pembaharuan
pemikiran Islam semakin tinggi sejak ia pulang dari Prancis pada tahun 1966.
Akan tetapi, kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel tahun 1967 telah
mengubah niatnya itu. la kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan
membangun kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang
perjuangannya itu, Hanafi juga mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan
akademis yang telah is peroleh dengan memanfaatkan media massa sebagai corong
perjuangannya. Ia menulis banyak artikel untuk menanggapi masalah-masalah
aktual dan melacak faktor kelemahan umat Islam.[7]
Di
waktu-waktu luangnya, Hassan Hanafi mengajar di Universitas Kairo dan beberapa
universitas di luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di Prancis (1969)
dan Belgia (1970). Kemudian antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di
Universitas Temple, Amerika Serikat. Kepergiannya ke Amerika, sesungguhnya
berawal dari adanya keberatan pemerintah terhadap aktivitasnya di Mesir,
sehingga ia diberikan dua pilihan apakah ia akan tetap meneruskan aktivitasnya
itu atau pergi ke Amerika Serikat. Pada kenyataannya, aktivitasnya yang baru di
Amerika memberinya kesempatan untuk banyak menulis tentang dialog antar agama
dengan revolusi. Baru setelah kembali dari Amerika ia mulai menulis tentang pembaruan
pemikiran Islam. la kemudian memulai penulisan buku Al-Turats wa al-Tajdid.
Karya ini, saat itu, belum sempat ia selesaikan karena ia dihadapkan pada
gerakan anti- pemerintah Anwar Sadat yang pro-Barat dan “berkolaborasi” dengan
Israel. la terpaksa harus terlibat untuk membantu menjernihkan situasi melalui tulisan-tulisannya
yang berlangsung antara tahun 1976 hingga 1981. Tulisan-tulisannya itulah yang
kemudian tersusun menjadi buku Al Din wa AI- Tsaurah. Sementara itu,
dari tahun 1980 sampai 1983 ia menjadi profesor tamu di Universitas Tokyo,
tahun 1985 di Emirat Arab. Ia pun diminta untuk merancang berdirinya
Universitas Fes ketika ia mengajar di sana pada tahun-tahun 1983-1984.[8]
Hassan
Hanafi berkali-kali mengunjungi negara-negara Belanda, Swedia, Portugal,
Spanyol, Prancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia, dan sebagainya
antara tahun 1980-1987. Pengalaman pertemuannya dengan para pemikir
besar di negara-negara tersebut telah menambah wawasannya untuk semakin tajam
memahami persoalan-persoalan yang dihadapi oleh dunia Islam. Maka, dari
pengalaman hidup yang ia peroleh sejak masih remaja membuat ia memiliki
perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu, meskipun
tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia
pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan-pergerakan yang
ada di Mesir. Sedangkan pengalamannya dalam bidang akademis dan intelektual,
baik secara formal maupun tidak, dan pertemuannya dengan para pemikir besar
dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya sehingga mendorong
hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru untuk
membantu menyelesaikan persoalan-persoalan besar umat Islam.[9]
2.
Perkembangan
Pemikiran dan Karya-Karyanya
Untuk
memudahkan uraian pada bagian ini, kita dapat mengklasifikasikan karya-karya Hassan
Hanafi dalam tiga periode seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa penulis
yang telah lebih dulu mengkaji pemikiran tokoh ini: Periode pertama berlangsung
pada tahun-tahun 1960-an; periode kedua pada tahun-tahun 1970-an, dan periode
ketiga dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an. Pada awal dasawarsa
1960-an pemikiran Hassan Hanafi dipengaruhi oleh paham-paham dominan yang berkembang
di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik- populistik yang juga dirumuskan
sebagai ideologi Pan Arabisme, dan oleh situasi nasional yang kurang
menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun
1967.[10]
Pada
awal dasawarsa ini pula (1956-1966), sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi
sedang berada dalam masa-masa belajar di Prancis. Di Prancis inilah, Hanafi
lebih banyak lagi menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu sosial dalam
kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran
Islam. Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama berada di Prancis ia mengadakan
penelitian tentang, terutama, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan
bidang ushul fikih (teori hukum Islam, Islamic legal theory) dan
tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas
kontemporer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya untuk meraih gelar
doktor pada Universitas Sorbonne (Prancis), dan ia berhasil menulis disertasi
yang berjudul Essai sur la Methode d’ Exegese (Esai tentang Metode
Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan sebagai karya
ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas Hanafi
berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund
Husserl.[11]
Beberapa
pemikirannya Hassan Hanafi dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.
Akal dan Waktu
Islam
Kiri muncul atas dasar telaah terhadap sejumlah program modernisasi dalam
masyarakat kita; pertama, modernisasi cenderung terkait dengan kekuasaan
yang mentransformasikan Islam ke dalam ritus keagamaan yang menekankan akhirat,
dan sebaliknya, realitas Islam bertentangan dengan sistem Islam. “Islam
ritualistik” tidak lain daripada selubung yang menyatukan kaum Westernis,
feodalis dan kapitalis kesukuan. Karena pandangan ilahiah dan konsep pusat piramidal
alam tunduk pada kecenderungan- kecenderungan ini, maka pandangan humanistis,
konsep sejarah dan gerakan sosial hilang; kedua,
kecenderungan-kecenderungan liberal yang dominan sebelum revolusi Arab secara
kultural berasal dari Barat, walaupun mereka menganggap imperialisme sebagai
musuh. Maka kita merasakan apa yang dikenal sebagai Westernisasi budaya, dan
kita menjadi korban kepentingan dan monopoli ekonomi; ketiga,
kecenderungan-kecenderungan Marxis-Barat ingin membangun suatu kemapanan yang
menentang imperialisme. Tapi mereka tidak bisa mengembangkan khazanah keislaman
kita. Bahkan ada tanda-tanda yang menunjukkan, ia berlawanan dengan massa
Muslim. Yang paling penting dari gejala- gejala ini adalah tetap berkuasanya
status quo; keempat, ada gejala-gejala revolusi -nasional yang
menimbulkan perubahan mendasar dalam struktur sosial -budaya kita, namun tidak
melibatkan kesadaran massa Muslim. Munculnya Islam Kiri adalah untuk
merealisasikan tujuan revolusi nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosialis
yang bersandar pada kesadaran masyarakat Muslim dan khazanah komunitas Islam
secara keseluruhan.[12]
b.
Islam Kiri adalah ideologi revolusi kaum Muslim
Islam
Kiri juga merupakan tahap lain dalam perkembangan reformasi keagamaan kita yang
telah kita mulai kira-kira 200 tahun lalu. Ini bukan hanya kekuatan pada
tingkat konfrontasi melawan bahaya-bahaya abad ini, tapi juga pada tingkat
rekonstruksi pemikiran keagamaan reformis. Di sini pemikiran keagamaan kembali
dibentuk, sejak filsafat Ibn Rusyd, teologi Mu’tazilah, landasan hukum Islam
Syathibi, sejarah Ibn Khaldun, dan hukum Islam Ibn Taymiyah. Kita telah
mengambil jarak dari Asy’ariyah, yang bergandengan dengan sufisme, yang menjadi
dasar pandangan dunia kita selama ini, basis kekuatan yang melestarikan
penguasa, perilaku fatalistik pada sebagian kaum Muslim, yang hanya menunggu
bantuan dan inspirasi dari langit, yang mengabaikan kemampuan manusia untuk
menentukan tindakannya sendiri. [13]
c.
Apa Esensi
Pemimpin Umat Manusia
Islam
Kiri juga punya akar dalam karya pemikir Islam revolusioner, Ali Syari’ati, dan
pemikir yang menggerakkan revolusi Islam Iran yang agung, Imam Khomeini. Ia
juga terkait dengan gerakan-gerakan yang bermacam-macam di Libya, Sudan,
Aljazair, Maroko, dan gerakan-gerakan di bawah pimpinan Hasan al-Banna, Sayyid
Quthb, dll. Islam Kiri menggalang revolusi melawan imperialisme dan
keterbelakangan. Ia membangkitkan gerakan-gerakan Islam revolusioner sekarang,
dan merumuskan teorinya.Islam Kiri terlibat di zaman ini, dan mengupayakan
transformasi kaum Muslim dari keterbelakangan ke kemajuan, dari kolonialisme ke
pembebasan, dari penyalahgunaan ke kekuasaan masyarakat Muslim yang sejahtera,
dari feodalisme suku dan kapitalisme kelas menengah ke sosialisme masyarakat
Muslim, umat, dan dari penguasaan ke kebebasan dan demokrasi. Ini merupakan
partisipasi dalam gerakan sejarah kaum Muslim setelah Revolusi Islam di Iran,
dan bertugas merebut hak-hak dan kekayaan kaum Muslim agar dikuasainya. Kalau
kaum Muslim memenangkan revolusi dan merebut kekayaan mereka, mereka akan
menguasai dunia. Pada waktu itu Tuhan akan menjadikan mereka pemimpin dan ahli
waris dunia. Akan ada pembaru pada abad ke-15 H., seperti yang diungkapkan
Hadits: “Tuhan mengutus seorang manusia yang memperbarui agama pada awal abad.”[14]
d.
Menghidupkan Kembali Khazanah Klasik
Khazanah
kita mengandung tiga macam ilmu: ilmu-ilmu rasional-tradisional seperti
dasar-dasar agama, yakni ushul al-fiqh, filsafat dan sufisme; ilmu-ilmu
rasional seperti matematika, astronomi, fisika, kimia, kedokteran dan farmasi;
ilmu-ilmu tradisional seperti ilmu al-Qur’an, ilmu Hadits, Sirah (biografi
nabi), fiqih, dan tafsir. “Islam Kiri” mengambil, menghidupkan dan
mengembangkan kembali bagian yang revolusioner dari ilmu-ilmu ini. Islam Kiri
sejalan dengan Mu’tazilah yang menghadirkan revolusi akal, dunia alam, dan
kebebasan manusia. Ia menjelaskan bahwa tauhid lebih dekat ke prinsip-prinsip
pemikiran murni ketimbang kehidupan yang terbatas; tanzih (transendensi)
dipandang lebih mengungkapkan hakikat akal daripada tasybih (antropomorfisme);
tauhid antara esensi dan sifat dipandang lebih dekat pada keadilan daripada
perbedaan antara keduanya; individu dipandang punya kebebasan bertanggung
jawab, pemilik tindakannya; akal diyakini mampu mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk, dua sifat dalam perbuatan manusia; dunia dipandang bergerak
menuju suatu tujuan sesuai dengan hukum dunia yang paling mungkin; iman
dipandang terkait dengan tindakkan; pemimpin kaum Muslim harus dipilih; dan
menyuruh pada kebaikan dan menjauhi kemungkaran adalah kewajiban kaum Muslim.[15]
e.
Tantangan bagi Peradaban Barat
Islam
Kiri tampil menentang peradaban Barat, dan berusaha untuk menggantinya.
Al-Afghani memusatkan perhatiannya pada imperialisme militer pada zaman
penjajahan. Islam Kiri memusatkan perhatiannya pada imperialisme budaya, yakni
serangan terhadap kebudayaan kita dari dalam dengan memusnahkan afiliasinya
dengan komunitas (umat) sehingga komunitas menjadi tidak berakar. “Islam Kiri”
membela rakyat komunitas Islam, dan menentang westernisasi yang pada dasarnya
bertujuan untuk memusnahkan budaya-budaya pribumi untuk menyempurnakan hegemoni
budaya Barat. Meskipun rakyat terbelakang dilihat dari standar Barat, mereka
masih mempertahankan unsur-unsur kekuatannya dengan standar budaya mereka yang
khusus. Tugas Islam Kiri adalah mendefinisikan kuantitas Barat, yakni
mengembalikannya ke batas alamiahnya dan mengakhiri mitosnya yang mendunia.
Barat berada pada pusat peradaban dunia, dan ingin mengekspor peradabannya
kepada bangsa-bangsa lain. Barat menyediakan model pembangunan sebagai alat
untuk menguasai dan menghilangkan kekhasan bangsa-bangsa lain. Akibatnya
bangsa- bangsa nonbarat tidak mampu menentukan nasib dan menguasai kekayaan
mereka sendiri.[16]
Walaupun
peradaban Barat mengembangkan kebudayaannya dengan mengambil dari kebudayaan
bangsa-bangsa lain, ia telah mentransformasikannya ke dalam rasisme. Ini
merupakan rasisme yang menjadikan satu-satunya model bagi peradaban. Model yang
lain, dengan demikian, dicap terbelakang dan primitif, dan harws dihilangkan
agar semua bangsa-bangsa mengikuti model peradaban satu-satunya ini (Barat).
Barat mulai membangun peradabannya dari Yunani dengan mengesampingkan semua
peradaban Timur yang mendahului dan mempengaruhi peradaban Yunani. Zaman
pertengahan Barat dianggap sebagai zaman kegelapan dan keterbelakangan, tapi
merupakan zaman keemasan kita. Barat menyebut lima abad terakhir sebagai zaman
modern, dan menganggapnya sebagai puncak peradaban. Zaman modern ini bagi kita
merupakan periode stagnasi di mana pasangan Asy’ariyah dan sufisme menguasai
kesadaran kita. Krisis abad ke-20 di Barat bagi kita adalah awal reformasi.
Tugas Islam Kiri adalah mengembalikan peradaban Barat pada tempat kelahiran,
lingkungan dan sejarahnya. Ini untuk menghilangkan hambatan bagi berkembangnya
peradaban non-Barat. Dan model-model bagi kemajuan, dengan demikian, bisa
menjadi banyak dan bervariasi.[17]
f.
Realitas Dunia Islam
Islam
Kiri memberikan suatu gambaran situasi di dunia Islam tanpa mengikuti suatu
metode bimbingan atau nasihat. Realitas menampakkan dirinya, seperti statistik.
Pemikiran keagamaan kita bersandar pada metode yang mentransfer teks ke
realitas; pertama, teks bukanlah realitas, ia hanya deskripsi linguistik
tentang realitas; maka ia tidak menjadi buku tanpa kembali ke landasannya dalam
realitas; kedua, teks mensyaratkan iman terhadapnya, masalahnya siapa
yang beriman pada teks itu; ketiga, teks terletak pada otoritas kitab,
bukan pada otoritas akal. Bukti tentang otoritas bukanlah bukti; keempat,
teks adalah bukti bagian luar yang datang dari luar realitas; kelima,
teks membutuhkan penafsiran atas sauhnya; tapi tidak akan ada arti yang benar
bagi suatu teks tanpa sauh ini; keenam, teks bersifat sepihak
(unilateral), dan ia bersandar pada banyak hal dari teks-teks lain; ketujuh,
teks bersandar pada pilihan, pilihan mengikuti kecenderungan dan kepentingan; kedelapan,
kondisi- kondisi sosial dari penafsir adalah dasar dari pilihan atas teks; kesembilan,
teks mengacu pada keyakinan masyarakat, pujian dari perasaan-perasaan keagamaan
orang yang berlebihan dan pengakuan dari lawan; kesepuluh, metode teks
lebih dekat pada peringatan dan bimbingan, ia mempertahankan Islam sebagai
suatu prinsip dari pada kaum Muslim sebagai umat. Akhirnya, metode teks
memberikan pernyataan, tapi bukan kuantitas. Metode Islam Kiri mendefinisikan
kuantitas dengan statistik sehingga realitas bicara sendiri.[18]
g.
Agama dan Revolusi
Tugas
Islam Kiri adalah meneliti unsur-unsur revolusioner dalam agama. Agama adalah
apa yang kita miliki dalam tradisi yang asli; revolusi adalah hasil zaman kita.
Dan dalam agama sendiri ada revolusi. Para nabi adalah para revolusioner dan
sekaligus reformis. Revolusi tauhid menentang kemusyrikan dibawa Nabi Ibrahim;
revolusi semangat oleh Nabi Isa, revolusi orang miskin, budak, dan orang-orang
yang malang dibawa Nabi Muhammad. Tauhid mempunyai fungsi praktis untuk
menghasilkan perilaku dan iman yang diarahkan pada perubahan kehidupan
masyarakat dan sistem sosialnya. Para nabi muncul dan melakukan revolusi untuk
membuat reformasi ke arah kondisi-kondisi yang lebih baik. Para nabi adalah
pendidik kemanusiaan untuk mencapai kemajuan dan kesempurnaan. Akhir kenabian
adalah bahwa kemanusiaan menjadi kemerdekaan akal, dan ia mulai bergerak sendiri
ke arah kemajuan.[19]
Banyak
revolusi dalam sejarah kita: revolusi al-Qaramithah, Mahdi di Sudan, Sanusiyah
di Libya, Islam di Aljazair dan Jihad ikhwan al-Muslimin. Tugas “Islam Kiri”
adalah membawa revolusi ini. Sayangnya pemikiran yang menyembunyikan ide-ide
revolusioner itu justru telah menang. Islam Kiri mempunyai akarnya dalam
revolusi-revolusi agama dalam masyarakat manusia. Banyak revolusi dalam sejarah
Yudaisme dan agama Ktisten. Revolusi agama tidak terbatas hanya pada tiga agama
monoteis, juga dalam agama-agama lain: revolusi Budha di Vietnam, revolusi
Konfusianis di Cina, dan revolusi-revolusi lain di Afrika Selatan. Gerakkan
revolusioner agama-agama telah diklasifikasikan ke dalam messianisme,
milleniarisme dan karisma dalam sejarah agama dan sosiologi agama. Tapi
analisis ini masih berputar di sekitar wilayah agama Kristen, belum mampu
menyentuh bentuk revolusi Islam, yakni revolusi tawhid yang tidak membutuhkan
gambaran Messiah bagi pembebasan. Inilah yang berusaha dikemukakan Islam Kiri.[20]
h.
Kesatuan Nasional
Islam Kiri bermaksud mengajak dialog semua pihak dalam
dunia Islam. Ia bukan sekte baru, tapi berusaha menciptakan kesatuan di antara
kaum Muslim sesuai dengan tuntutan zaman, seperti kebebasan, keadilan, dan
kemajuan. Kesatuan pemikiran adalah prasyarat bagi kesatuan ummah; pertama,
Islam Kiri berseru kepada kaum muslimin dalam jurnal al-Da’wah. Sejumlah
penulis jurnal ini telah mengembangkan kesadaran akan dunia Islam, tapi
kebanyakan tetap berada dalam tradisi. Kita menyerukan agar ada dialog antara
mereka dengan kita. Kita boleh berbeda tapi saling menghormati dalam
butir-butir pemikiran yang berbeda. Perbedaan kita mungkin formal, tidak
esensial. Saudara-Saudara Muslim menyajikan kecenderungan-kecenderungan yang
sesungguhnya di antara kita. Mereka melakukan jihad melawan kolonialisme di
Palestina dan Suez. Terjadi konflik yang paling keras antara mereka dan
revolusi Mesir. Apa yang mampu mereka lakukan adalah mendukung rakyat dalam
revolusi, tapi mereka masih tidak mempunyai koordinasi politik untuk
memobilisasi rakyat. Semangat revolusi ini mengulang penafsiran tradisional
sehingga mereka mewujudkan objek-objek revolusi dalam kebebasan dan keadilan.
Kita tak mengganti siapa pun dengan orang yang tidak beriman dan kita berharap
tidak ada orang menggantikan kita dengan orang yang tidak beriman, tapi kita
berseru demi kesatuan nasional minimum antar kita dan mereka. Nabi mampu
melakukan dialog dengan rakyat dan mampu melakukan pendekatan. Ini hanyalah
koalisi politik karena kepentingan yang mendesak, bukan kesatuan nasional bagi
gerakan pembebasan nasional melawan imperialisme Barat; kedua, kita
menghimbau secara damai Saudara-Saudara sebangsa (kaum Marxis, Nasseris dan
Liberalis) untuk berdialog. Kita bisa sepakat dalam cita-cita, yakni kebebasan,
demokrasi, dan keadilan sosial. Kita semua terlibat dalam memperkuat kesadaran
kelas para pekerja dan dalam pembentukan barisan depan revolusioner. Kaum
Nasseris bisa mencapai implementasi sosial yang terbesar dalam sejarah modern
kita. Nasserisme juga membangun basis gerakan revolusioner dan juga telah
memberi sumbangan bagi gerakan-gerakan revolusioner di Dunia Ketiga.
Kolonialisme Dunia menghubungkan Nasserisme dengan kekalahan tahun 1967.
Nasserisme masih hidup dalam sentimen rakyat dan nampak dalam getaran revolusi
Islam di Iran.[21]
i.
Keraguan dan Bahaya
Islam
Kiri sepenuhnya bebas dari Timur atau pun Barat. Ia bukan Marxisme baru,
liberalisme revolusioner atau gerakan Syi’ah. Ia menghadirkan kecenderungan
budaya ideologis yang berakar dari warisan klasik kita, al-Qurtan dan Sunnah.
Ia muncul di Mesir, yakni pusat dunia Islam dan jantung Arabisme. Ia bukan
partai politik, bukan oposisi menentang pemerintah atau kemapanan, dan juga
tidak melakukan agitasi bagi pemberontakan dalam negeri. Islam Kiri mempertimbangkan
politik dalam budaya ummah dan renaissans ummah, dan perjuangannya adalah pada
tingkat kesadaran budaya dan peradaban ummah. Ia bertujuan melampaui
pemecahan-pemecahan yang parsial untuk mencapai pandangan yang menyeluruh.
Islam Kiri bukan hanya bekas dengan semangat yang berapi-api dalam pikiran
masyarakat, tapi bertujuan untuk mentransformasikan bekas itu ke dalam akal,
dialog dan pencerahan untuk mempertahankan kebaikan Islam.
Pada
fase awal pemikirannya itu, tulisan-tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni.
Baru pada akhir dasawarsa itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk
mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (taharrur,
liberation).[22]
Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar
dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan
sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi
kehidupannya dan kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.[23]
Hassan
Hanafi sampai pada kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi
ideologi populistik yang ada. Pada akhir periode ini, dan berlanjut hingga awal
periode 1970-an, Hassan Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari
penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh
karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an,
ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib,
Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976,
tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya
Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Buku ini memberikan deskripsi tentang
realitas dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para pemikir dalam
menanggapi problema umat, dan tentang pentingnya pembaruan pemikiran Islam
untuk menghidupkan kembali khazanah tradisional Islam. Kemudian, pada tahun
1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharib.
Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat
bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan
pembaruan. Beberapa pemikir Barat yang ia singgung itu antara lain Spinoza,
Voltaire, Kant, Hegel, Unamuno, Karl Jaspers, Karl Marx, Marx Weber, Edmund
Husserl, dan Herbert Marcuse.[24]
Kedua
buku itu secara keseluruhan merangkum dua pokok pendekatan analisis yang
berkaitan dengan sebab-sebab kekalahan umat Islam; memahami posisi umat Islam
sendiri yang lemah, dan memahami posisi Barat yang superior. Untuk yang pertama
penekanan diberikan pada upaya pemberdayaan umat, terutama dari segi pola
pikirnya, dan bagi yang kedua ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana menekan
superioritas Barat dalam segala aspek kehidupan. Kedua pendekatan inilah yang
nantinya melahirkan dua pokok pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah
karyanya, yaitu Al-Turats wa al-Tajdid (Tradisi dan Pembaruan), dan Al-Istighrab
(Oksidentalisme).[25]
Pada
periode ini, yaitu antara tahun-tahun 1971-1975, Hassan Hanafi juga
menganalisis sebab-sebab ketegangan antara berbagai kelompok kepentingan di
Mesir, terutama antara kekuatan Islam radikal dengan pemerintah. Pada saat yang
sama situasi politik Mesir mengalami ketidakstabilan yang ditandai dengan
beberapa peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap Anwar Sadat yang
pro-Barat dan memberikan kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada
Oktober 1981. Keadaan itu membawa Hassan Hanafi pada pemikiran bahwa seorang ilmuwan
juga harus mempunyai tanggung jawab politik terhadap nasib bangsanya. Untuk
itulah kemudian ia menulis Al-Din wa al-Tsaurah fi Mishr 1952-1981. Karya
ini terdiri dari 8 jilid yang merupakan himpunan berbagai artikel yang ditulis
antara tahun 1976 sampai 1981 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1987.
Karya itu berisi pembicaraan dan analisis tentang kebudayaan nasional dan
hubungannya dengan agama, hubungan antara agama dengan perkembangan nasionalisme,
tentang gagasan mengenai gerakan “Kiri Keagamaan” yang membahas gerakan-gerakan
keagamaan kontemporer, fundamentalisme Islam, serta “Kiri Islam dan Integritas
Nasional”. Dalam analisisnya Hassan Hanafi menemukan bahwa salah satu penyebab
utama konflik berkepanjangan di Mesir adalah tarik-menarik antara ideologi
Islam dan Barat dan ideologi sosialisme. Ia juga memberikan bukti-bukti
penyebab munculnya berbagai tragedi politik dan, terakhir, menganalisis
penyebab munculnya radikalisme Islam.[26]
Karya-karya
lain yang ia tulis pada periode ini adalah Religious Dialogue and Revolution
dan Dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran yang
ditulisnya antara tahun 1972-1976 ketika ia berada di Amerika Serikat, dan
terbit pertama kali pada tahun 1977. Pada bagian pertama buku ini ia
merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Islam,
Kristen, dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan
antara agama dengan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan fenomenologi sebagai
metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.[27]
Sementara
itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun
1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilmu keislaman
klasik, seperti ushul fikih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan
pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang
upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk disesuaikan dengari realitas
kontemporer. Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal
1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil
ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats
wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan
landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan
langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri
Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah “manifesto politik” yang
berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat di atas. [28]
Jika
Islam Kiri baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian
dari program pembaruannya, buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid),
yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988.
Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia
canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu,
bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hassan Hanafi yang
paling monumental. Satu bagian pokok bahasan yang sangat penting dari buku ini
adalah gagasan rekonstruksi ilmu kalam. Pertama-tama ia mencoba menjelaskan
seluruh karya dan aliran ilmu kalam, baik dari sisi kemunculannya, aspek isi
dan metodologi maupun perkembangannya. Lalu ia melakukan analisis untuk melihat
kelebihan dan kekurangannya, terutama relevansinya dengan konteks modernitas.
Salah satu kesimpulannya adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat
teoretis, elitis dan statis secara konsepsional. Ia merekomendasikan sebuah
teologi atau ilmu kalam yang antroposentris, populis, dan transformatif.[29]
Selanjutnya,
pada tahun-tahun 1985-1987, Hassan Hanafi menulis banyak artikel yang ia
presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika
Serikat, Prancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan
tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah buku yang berjudul Religion,
Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa
artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the
Modern World (2 jilid). Selain berisi kajian-kajian agama dan filsafat,
dalam karya-karyanya yang terakhir pemikiran Hassan Hanafi juga berisi kajian-kajian
ilmu sosial, seperti ekonomi dan teknologi. Fokus pemikiran Hassan Hanafi pada
karya- karya terakhir ini lebih tertuju pada upaya untuk meletakkan posisi
agama serta fungsinya dalam pembangunan di negara-negara dunia ketiga. [30]
Pada
perkembangan selanjutnya, Hassan Hanafi tidak lagi berbicara tentang ideologi
tertentu melainkan tentang paradigma baru yang sesuai dengan ajaran Islam
sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum muslimin. Sublimasi pemikiran dalam diri
Hanafi ini antara lain didorong oleh maraknya wacana nasionalisme-pragmatik
Anwar Sadat yang menggeser popularitas paham sosialisme Nasser di Mesir pada
dasawarsa 1970-an. Paradigma baru ini ia kembangkan sejak paro kedua dasawarsa
1980-an hingga sekarang. Pandangan universalistik ini di satu sisi ditopang
oleh upaya pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke
dalam upaya penegakan martabat manusia melalui pencapaian otonomi individual
bagi warga masyarakat; penegakan kedaulatan hukum, penghargaan pada HAM, dan
penguatan (empowerment) bagi kekuatan massa rakyat jelata.[31]
Pada
sisi lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hassan Hanafi harus dimulai
dari pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. Orang Islam, menurut Hassan
Hanafi, tidak butuh hanya sekadar menerima dan mengambil alih paradigma ilmu
pengetahuan modern Barat yang bertumpu pada materialisme, melainkan juga harus
mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu pengetahuan Arab.
Seleksi dan dialog konstruktif dengan peradaban Barat itu dibutuhkan untuk
mengenal dunia Barat dengan setepat-tepatnya. Dan upaya pengenalan itu sebagai
unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan kepada ilmu-ilmu kebaratan (al-Istighrab,
Oksidentalisme)[32]
Sebagai
imbalan bagi ilmu-ilmu ketimuran (al-Istisyraq, Orientalisme). Oksidentalisme
dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, sehingga dari
pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang diperlukan
kaum muslimin dalam ukuran jangka panjang. Dengan pandangan ini Hassan Hanafi
memberikan harapan Islam untuk menjadi mitra bagi peradaban-peradaban lain
dalam penciptaan peradaban dunia baru dan universal. [33]
3.
Pandangan
Hassan Hanafi tentang Teologi Tradisional Islam
Di
muka telah kita lihat, meskipun dalam beberapa hal menolak dan mengkritik
Barat, Hassan Hanafi banyak menyerap dan mengonsentrasikan diri pada kajian pemikir
Barat pra-modern dan modern. Oleh karena itu, Shimogaki mengategorikan Hassan Hanafi
sebagai seorang modernis-liberal, karena
ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak
mempengaruhinya.[34]
Pemikiran
Hassan Hanafi sendiri, menurut Isaa J. Boulatta dalam Trends and lssues in
Contemporary Arabs Thought bertumpu pada tiga landasan: 1) tradisi atau
sejarah Islam; 2) metode fenomenologi, dan; 3) analisis sosial Marxian. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa gagasan semacam Kiri Islam dapat disebut sebagai
pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial masyarakat (socially
contructed) berkelas yang merupakan ciri khas tradisi Marxian.[35]
Dalam
gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hassan Hanafi menegaskan
perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi)
sesuai dengan perubahan konteks sosial-politik yang terjadi. Teologi
tradisional, kata Hassan Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti
keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh
wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk
mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya. Dialektika
berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak; hanya merupakan
dialektika kata-kata, bukan dialektika konsep-konsep tentang sifat masyarakat
atau tentang sejarah. Sementara itu konteks sosial-politik sekarang sudah
berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran
sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, lanjut Hassan Hanafi, kerangka
konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayaan klasik harus
diubah menjadi kerangka konseptual baru, yang berasal dari kebudayaan modern.[36]
Teologi merupakan refleksi dari wahyu yang memanfaatkan kosakata zamannya dan
didorong oleh kebutuhan dan tujuan masyarakat; apakah kebutuhan dan tujuan itu
merupakan keinginan obyektif atau semata-mata manusiawi, atau barangkali hanya merupakan
cita-cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni.[37]
Dalam
konteks ini, teologi merupakan basil proyeksi kebutuhan dan tujuan masyarakat
manusia ke dalam teks-teks kitab suci. Ia menegaskan, tidak ada arti-arti yang
betul-betul berdiri sendiri untuk setiap ayat Kitab Suci. Sejarah teologi, kata
Hassan Hanafi, adalah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam Kitab Suci
itu. Setiap ahli teologi atau. penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu
yang ingin mereka lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan
kebutuhan dan tujuannya pada naskah-naskah itu.[38]
Teologi dapat berperan sebagai suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas
atau sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para penindas. Teologi memberikan
fungsi legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing
lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hassan Hanafi menyimpulkan bahwa
tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdiri sendiri, terlepas dari
keinginan manusiawi. Kebenaran teologi, dengan demikian, adalah kebenaran
korelasional atau, dalam bahasa Hanafi, persesuaian antara arti naskah asli
yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu berupa nilai-nilai
manusiawi yang universal. Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa
membaca kebenaran obyektif yang sama pada setiap ruang dan waktu.[39]
Hassan
Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi
hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengonfrontasikan
ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang
terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih
banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang.
Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri
atas konsep-konsep dan argumen-argumen antara individu-individu, melainkan
dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di antara kepentingan-kepentingan
yang bertentangan.[40]
Rekonstruksi
itu bertujuan untuk mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi
harapan-harapan dunia muslim terhadap kemerdekaan, kebebasan, kesamaan sosial,
penyatuan kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa. Teologi baru itu
harus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan perkataan (kalam)
dan sebagai analisis percakapan. Karena itu pula harus tersusun secara kemanusiaan.[41]
Asumsi
dasar dari pandangan teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hassan
Hanafi, adalah protes, oposisi dan revolusi.[42]
Baginya, Islam memiliki makna ganda; pertama, Islam sebagai petunjuk;
yang diberlakukan oleh kekuatan politik kelas atas; kedua, Islam sebagai
revolusi, yang diberlakukan oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang
miskin. Jika untuk mempertahankan status-quo suatu rezim politik, Islam
ditafsirkan sebagai tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial
politik melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan.[43]
Secara
generik, istilah aslama adalah menyerahkan diri kepada Tuhan, bukan
kepada apa pun yang lain. Pengertian ini secara langsung menyatakan sebuah
tindakan ganda; Yaitu menolak segala kekuasaan yang tidak transendental dan
menerima kekuasaan transendental. Makna ganda dari kata kerja aslama dan
kata benda Islam ini, menurut Hanafi, dengan sengaja disalahgunakan
untuk mendorong Islam cenderung pada salah satu sisinya, yakni tunduk. Maka
rekonstruksi teologi tradisional itu berarti pula untuk menunjukkan aspek lain
dari Islam yang, menurutnya, sengaja disembunyikan, yakni penolakan, oposisi den
pergolakan yang merupakan kebutuhan aktual masyarakat muslim. Di dalam hal ini,
karena selalu terkait dengan masyarakat, refleksi atas nilai-nilai universal
agama pun mengikuti bentuk dan struktur kemasyarakatan, struktur sosial dan
kekuatan politik.[44]
C.
Penutup
1.
Kesimpulan
a. Dunia Islam saat ini telah berkooptasi oleh
Barat, baik sistem, kepentingan, struktur maupun kultur. Hal ini sebagai dampak
kolonialisme dan imperialisme. Masyarakat Islam punya ketergantungan yang
sangat besar terhadap Barat. Dunia Barat berusaha meng-’hegemoni’ kultur Islam,
termasuk tentang Islam itu sendiri. Barat mengupayakan pemahaman Islam versi
Barat. Itulah cara Barat untuk mencabut lebur akar sejarah Islam dari sumber
aslinya, yakni Al-Qur’an dan Hadits.
b. Merespons kondisi tersebut, Hassan Hanafi dengan Islam Kirinya sangat
menentang peradaban Barat, khususnya imperialisme ekonomi dan kebudayaan. Hassan
Hanafi memperkuat umat Islam dengan memperkokoh tradisinya sendiri, dengan
gagasan progresifnya adalah; pertama, melokalisasi Barat pada
batas-batas alamiahnya dan menepis mitos dunia Barat sebagai pusat peradaban
dunia serta menepis ambisi kebudayaan Barat untuk menjadi paradigma kemajuan
bagi bangsa-bangsa lain; kedua, mengembalikan peradaban Barat pada
batas-batas kebaratannya; ketiga, Hassan Hanafi menawarkan gagasan menjadikan
Barat sebagai objek kajian Oksidentalisme. Bagi Hasan Hanafi Oksidentalisme merupakan suatu
upaya menandingi Orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke akar-akarnya. Untuk
mengembalikan citra Islam, ia memberikan jalan dengan melakukan reformasi
agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan.
2.
Saran
Penulis
mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih disebabkan oleh
kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu penulis
mengharapkan kritik yang membangun untuk
perbaikan makalah ini pada masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Boulatta,
Issa J., Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan, Terj. Saiful
Mujani, Islamika, 1993.
Hanafi,
Hassan, Al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, al-Azminat,1989.
___________,
Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Kairo: A1-Maktabat
a1-Madbuliy,1987.
___________,
Qadhaya Mu`ashirat fi`Fikrina al-Mu`ashir,Beirut: Dar al-Tanwir li
al-Thiba`at al-Nasyr, 1983.
___________,Dialog
Agama dan Revolosi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
___________,
Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta, P3M, 1991.
___________,
Al-Mukaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, Kairo, 1991.
___________,
Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam: Prisma, 1984.
Iwad,
Luwis, Dirasat fi al-Hadlarat, Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989.
Shimogaki,
Kazuo, Between
Modernity and Posmodernity, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s
Thought: A Critical Reading,
Japan:
The Institute of Middle Eastern Studies, 1988.
______, Kiri
Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritits Pemikiran Hassan
Hanafi, Terj: M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, Jogjakarta: LkiS, 2007.
Wahid, Abdurrahman, Pengantar,
dalam Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta: P3M, 1991.
[1] Luwis: ‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, (Kairo:
Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989), hal. 133.
[2] Ibid.
[3] Hassan
Hanafi, Al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, (Mesir, al-Azminat,,
1989), hal. 15.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Hassan
Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Vol. VII, (Kairo:
A1-Maktabat a1-Madbuliy, I987), hal. 332
[7]Hassan Hanafi, Qadhaya
Mu`ashirat fi`Fikrina al-Mu`ashir, (Beirut:Dar al-Tanwir li al-Thiba`at
al-Nasyr, 1983), hal. 7.
[8]
Hassan Hanafi,
Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, hal. 17.
[9] Ibid.
[10] Abdurrahman
Wahid, Terj. Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya dalam Kazuo Shimogaki, Kiri
Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan
Hanafi, (Yogyakarta: LkiS, 2007), hal. 9.
[11] Ibid., hal.
11.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hal. 13.
[14] Ibid.
[15] Ibid., hal.
14.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid,, hal.
15.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid., hal. 16
[22] Ibid., hal. 13.
[23]Abdurrahman
Wahid, Pengantar, dalam Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan
Pembangunan, (Jakarta: P3M, 1991), hal.
11.
[24] Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi al-Fikr al-Gharb al-Mu’ashir,
(Beirut: Al-Muassasat al-Jami’iyyat li Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 1990), hal.
4.
[25] Hassan Hanafi, Dialog
Agama dan Revolusi, (Jakarta,
Pustaka Firdaus, 1991), hal. 13.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28]Abdurrahman
Wahid, Pengantar, dalam Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan
Pembangunan, hal. 16.
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Hassan Hanafi, Al-Mukaddimah
fi ‘Ilm al-Istighrab, (Kairo, tt, 1991), hal. 7.
[33] Abdurrahman Wahid,
Pengantar, dalam Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, hal.
17.
[34] Shimogaki, Between Modernity
and Posmodernity, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A
Critical Reading ( Between Modernity), (Japan: The Institute of Middle
Eastern Studies, 1988), hal. 14.
[35]
Issa J. Boullatta, Terj. Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan,
(tt: tt, 1993), hal. 21.
[36] Hassan
Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta, P3M, 1991), hal.
6.
[37]
Hassan Hanafi, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam, (Jakarta
Prisma, 1984), hal. 39.
[38] Ibid.
[39] Ibid.
[40] Ibid., hal.7
[41] Ibid.
[42] Ibid., hal.
103.
[44] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar