Rabu, 28 Desember 2011

STUDI AL-QUR'AN


KITAB-KITAB TAFSIR
Oleh: Said Saleh

A.    PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW terbukti mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang moralitas dan spiritualitas, tetapi juga berbicara tentang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan sarat makna.
Berangkat dari pemikiran di atas, para mufassirin memosisikan Al-Qur’an sebagai kitab hidayah  yang di dalamnya mengandung isyarat-isyarat ilmiah, untuk selanjutnya merangsang manusia untuk mengembangkan dan menganalisisnya lebih jauh lewat observasi dan penelitian. Untuk memberi arah pada observasi dan penelitian ilmiah inilah Al-Qur’an meletakkannya dalam kerangka memperkuat keimanan seseorang. Karena itu, logis kalau Al-Qur’an melabelkan ilmu pengetahuan pada kadar dan tingkat keimanan seseorang. Di sinilah bertemunya isyarat ilmiah Al-Qur’an dengan perintah iqra’ yang sejak pertama diperintahkan Allah SWT kepada Muhammad SAW.
Berkaitan dengan pemikiran tersebut, Muhammad Ismail  Ibrahim, menyebutkan bahwa memaksimalkan peran akal dan kecintaan ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberagaman sekaligus keimanan seseorang.  Ismail menyebutkan bahwa dalam melihat hal ini, ia harus diletakkan  dalam kerangka pencarian kebenaran dan kedekatan pada sang pencipta, serta harus bersesuaian dengan petunjuk Al-Quran dan Sunnah. Dalam kaitannya dengan kemukjizatan Al-Qur’an, isyarat-isyarat ilmiahnya muncul dalam porsi terbesarnya  tentang anjurannya untuk membaca ayat-ayat kawniyah yang terdapat di alam. Anjurannya untuk melihat alam semesta ini.[1]
Menurut  Sirajuddin Zar bertujuan untuk mengantarkan manusia agar mereka  menyadari bahwa di balik “tirai” alam semesta yang disebutnya sebagai kitab alam, ada Zat Yang Maha Kuasa, sekaligus untuk menguatkan keyakinan bahwa Tuhan memang Maha Kuasa sebagaimana yang ditunjukkan Al-Qur’an. Dalam konteks ini, Mehdi Ghulsyani, menyatakan bahwa lebih dari 10%  ayat-ayat Al-Qur’an merupakan rujukan-rujukan kepada fenomena alam. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di era sekarang kita menemukan banyak tafsir ayat Al-Qur’an yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan alam. Di sinilah letak perpaduan harmonis antara ilmu tafsir dan i’jaz Al-Qur’an.[2]
B.     PEMBAHASAN
1.   Pembagian Tafsir Dari Sisi Pendekatannya
a.      Tafsir al-Ma’tsur
Tafsir pertama ini dikenal juga dengan sebutan tafsir  al-Riwayah dan tafsiri al-Manqul, yaitu keterangan atau penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan perincian ayat-ayat Al-Qur’an sendiri, apa yang dinukil dari Rasulullah SAW, dan apa yang dikutip dari para sahabat. Sedangkan penafsiran yang berdasarkan penukilan dari para tabi’in, masih terdapat perselisihan. Al-Zarqani membatasi tafsir al-ma’tsur dengan tafsir yang hanya diberikan oleh ayat-ayat Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad SAW dan para sahabat tanpa penafsiran dari para tabi’in.[3]
Hal ini dikarenakan banyak di antara tabi’in yang menafsirkan Al-Qur’an terpengaruh riwayat-riwayat Israilliyat yang berasal dari kaum Yahudi dan Ahli Kitab lainnya. Riwayat-riwayat Israiliyat tidak selamanya harus ditanggapi negatif dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Jika Israiliyat tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, maka riwayat-riwayat tersebut bisa diterima. Namun jika bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka riwayat-riwayat Israiliyat tersebut tidak diperkenankan untuk menjadi acuan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.[4]
Sedangkan al-Dzahabi memasukkan penukilan dari tabi’in ke dalam tafsir  al-ma’tsur. Dia berpendapat, walaupun para tabi’in tidak menerima tafsir langsung dari Nabi Muhammad SAW, namun kitab-kitab yang termasuk tafsir  al-ma’tsur, misalnya tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karangan Ibnu Jarir al-Tabary yang terkenal dengan sebutan tafsir al-Tabary tidak hanya memuat tafsir Al-Qur’an dari Al-Qur’an sendiri, dari Nabi dan sahabat namun juga berisi tafsir dari tabi’in. Dan yang mendekati kebenaran adalah bahwa tafsir yang dinukil dari tabi’in adalah termasuk tafsir  al-ma’tsur. Hal ini karena tafsir Al-Tabary di samping memuat penafsiran Nabi Muhammad SAW, penafsiran sahabat juga memuat penafsiran tabi’in, yang menjadi rujukan tafsir-tafsir selanjutnya. Demikian juga sebagian besar mufassir pada ghalibnya menggunakan tafsir  al-ma’tsur yang meliputi tafsir dari Al-Qur’an sendiri, Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in ini sebagai rujukan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.[5]
Berdasarkan hal tersebut, menurut penulis bahwa tafsir  al-ma’tsur meliputi tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits Nabi Muhammad SAW baik yang qauli, fi’ly, maupun yang taqriry, tafsir Al-Qur’an dengan nukilan dari sahabat dan tabi’in. Hal ini dilakukan jika penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an tidak ditemukan maka penafsiran Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi SAW. Dan jika penafsiran Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi tidak diperoleh maka penafsiran Al-Qur’an dengan nukilan para sahabat dan tabi’in.
b.      Tafsir al-Ra’yu
 Tafsir ini dikenal juga dengan sebutan tafsir  al-Dirayah dan tafsir  al-Ma’qul, yaitu penjelasan mengenai ayat-ayat Al-Qur’an melalui pemikiran (nalar) dan ijtihad. Dalam tafsir ini seorang yang akan menafsirkan Al-Qur’an (mufassir) dianjurkan untuk memahami bahasa Arab dan gaya-gaya ungkapannya, memahami lafaz-lafaz Arab dan segi-segi dilalah-nya, mengkaji syair-syair Arab sebagai pendukung, dan memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh-mansukh, muhkam-mutasyabihat, am-khas, makkiyah-madaniyah, qira’at dan lain-lain. Apabila seorang mufassir hanya mengandalkan ra’yu semata tanpa menggunakan tafsir  al-ma’tsur, maka akan sulit dan keliru karena tafsir  al-ma’tsur adalah dasar dari tafsir. Apabila suatu kitab tafsir lebih didominasi oleh ra’yu dan ijtihad sementara   al-ma’tsur-nya hanya sedikit maka tafsir yang demikian dinamakan tafsir  al-ra’yu. Tidak berlebihan jika Manna  al-Qattan mendefinisikan tafsir bi al-ra’yu dengan suatu tafsir yang dibuat pedoman oleh mufassir untuk menjelaskan makna dalam suatu pemahaman tertentu. Di samping itu al-Qattan mengukuhkan pernyataan dengan mengatakan bahwa tafsir  al-ra’yu mengalahkan perkembangan tafsiri al-matsur. Dan tafsir  al-ra’yu lebih banyak diminati dari pada tafsiri al-matsur sebagai rujukan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.[6]
Pengertian tafsir di atas, menurut penulis hanya mengandalkan nalar, maka berkembanglah metode (pendekatan) dan corak tafsir. Sehingga  pembahasan tafsir menjadi sangat luas dalam menelusuri ayat demi ayat dalam mengungkap makna Al-Qur’an.
2.      Pembagian Tafsir Dari Sisi Coraknya
a.      Lughaghy (Sastra Bahasa)
 Menjelaskan keistimewaan dan kedalaman arti (kosakata) kandungan Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan banyaknya orang non Arab yang memeluk Islam, serta lemahnya sebagian orang Arab sendiri dalam bidang sastra. Keindahan sastra Al-Qur’an yang tak tertandingi memesona jiwa Badui. Umar bin Khaththab sendiri berpindah agama ke dalam Islam karena terpesona keindahan ayat-ayat Al-Qur’an. Sementara Walid bin Mughirah yang terkenal kefasihannya dalam kesusastraan Arab juga mengakui keindahan Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an tidak disibukkan oleh soal-soal mistis atau metafisika seperti yang terungkap dalam kebanyakan sastra Arab. Semangat Badui pada dasarnya karena kecintaannya kepada musik. Aspirasi, mobilitas dan kemajuannya terefleksi dalam ungkapan-ungkapan ritmis syair Arab. Prosa Arab mengandung semangat Badui, dan semangat kesusastraan Arab secara alamiah menekankan pada puisi. Elemen-elemen metafora tampak sekali dalam puisi yang mengungkapkan pujian-pujian yang bernada riang seperti dalam bait puisi “Langit tanpa awan dan padang pasir tak terbatas, di mana seekor Kaa terbang tergesa-gesa, atau seekor rusa berlari dengan riangnya”.[7]
Terminologi Al-Qur’an selaras dengan tuntutan-tuntutan sederhana kehidupan internal dan eksternal seorang Badui dan bukan kehidupan mereka yang bermukim tetap. Karakteristik-karakteristik bahasa yang jahiliah, pemuja berhala, dan nonmadik. Gagasan yang diekspresikan Al-Qur’an dalam sebuah corak syair bebas merupakan sesuatu yang baru dalam bahasa Arab. Ayat-ayat Al-Qur’an menghapuskan syair Badui yang selalu mempertahankan ritme tersebut. Dalam beberapa ayat, Al-Qur’an banyak menggunakan term-term asing seperti kosakata Malakut, Jalut, Marut, Harut, dll. Dan tentunya term-term tersebut membutuhkan penafsiran yang detail untuk mengungkap sebuah makna yang tersembunyi. Dalam corak ini mufassir menitikberatkan penafsirannya pada kaidah bahasa dalam segala seginya, baik nahwu, sharaf, i’rab, i’lal, isytiqaq, juga bidang balaghah dari segi ma’any, badi’, bayan, haqiqat, majaz, hal ini untuk memperoleh asal usul kata, keindahan kata, dan lain-lain. Penafsiran dengan corak ini tampak dalam tafsir karya Imam al-Zamahsyari al-Kasysyaf, Abd al-Qohhar al-Jurjany I’jaz al-Qur’an, dan Abu Ubaydah Ma’mar Ibnu al-Mutsanna Al-Majaz.[8]
b.      Falsafy wa Kalamy (Filsafat dan Teologi)
Menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan corak filsafat dan teologi. Hal ini akibat penerjemahan kitab-kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal yang berkaitan dengan kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak yang tercermin dalam penafsiran mereka. Pada masa keemasan Islam (Abbasiyah), ada gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, di antaranya adalah penerjemahan karya Aristoteles dan Plato. Menyikapi hal ini, ulama berbeda pendapat; pertama, menolak dengan alasan, di antara isinya bertentangan dengan aqidah dan agama; kedua, mengagumi filsafat, mereka menerima dan menekuni sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha memadukan antara filsafat dan agama serta menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya. Misalnya Ibnu Sina, Ibnu Rusy, dan al-Razy. Dari golongan ini lahir tafsir Mafatih al-Ghaib  karya Al-Fakh al-Razy.[9]

 c.       ‘Ilmy (Penafsiran Ilmiah)
Memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai perkembangan zaman. Hal ini akibat kemajuan ilmu pengetahuan. Para ulama memperbincangkan kaitan antara ayat-ayat kauniyah dengan ilmu-ilmu pengetahuan modern yang ada pada masa sekarang. Sampai sejauh mana paradigma-paradigma ilmiah tersebut memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan menggali berbagai jenis ilmu pengetahuan. Melalui teori-teori baru akhirnya ditemukan hukum-hukum alam, astronomi, teori kimia, ilmu kedokteran, fisika, zoologi, fisika, botani, geografi, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an tidak kurang dari delapan ratus ayat-ayat kauniyah yang membicarakan perihal langit, bumi, udara (aerologi), hewan (zoologi), tumbuh-tumbuhan (botani), perbintangan (astronomi), industri, geografi, sejarah, fisika, dan lain-lain. Hal ini tidak lepas dari perhatian para ahli tafsir untuk mengungkap dan membahasnya dalam sebuah karya tafsir. Di antara kitab-kitab tafsir yang menafsirkan ayat-ayat kauniyah dalam Al-Qur’an adalah Al-Islam Yatahaddaa karya Wahid Al-Din Khan, Al-Islam fi Asr al-Ilmi karya Muhammad Ahmad al-Ghamrawy, Al-Widza’ wa al-Dawa’ karya Jamal al-Din Al-Fandy, dan Al-Qur’an wa al-Ilmi al-Hadits karya Abd Razaq Nawfal [10]
d.      Fiqhy wa Hukmy ( Fiqh dan Hukum)
 Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ayat-ayat hukum sebagai pembuktian kebenaran pendapatnya. Hal ini akibat berkembangnya ilmu figh dan terbentuknya mazhab-mazhab figh. Di dalam Al-Qur’an, baik yang Madaniyah maupun yang Makkiyah banyak sekali ayat-ayat yang membicarakan masalah huku, mulai dari sholat, zakat, puasa, nikah, tala’, mu’amalah, dan lain-lain. Hukum-hukum Islam yang digali (istinbat) dari Al-Qur’an tersebut tersebar dari mulut ke mulut, dihafal oleh generasi sesudahnya secara estafet sehingga sampai pada masa penghimpunan dan penyusunan. Dari sinilah timbullah mazhab-mazhab yang berbeda-beda di kalangan umat Islam. Imam-imam mazhab itu memiliki pengikut yang fanatik terhadap mazhabnya, sehingga mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan mazhab yang diikutinya. Karena sikap yang fanatik itulah lahirlah bermacam-macam tafsir yang bercorak fighy atau hukmy yang cenderung menggiring pada penafsiran yang mazhaby. Dari kalangan Mu’tazilah lahir kitab al-Kasysyaf karya Al-Zamahsyary. Dari kalangan Hanafiyah lahir tafsir Ruh al-Ma’any karya al-Alusi dan Tafsir al-Nasafy. Dari kalangan Malikiyah lahir kitab Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurtuby. Dari kalangan Syafi’iyah lahir kitab Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib karya al-Fakhr al-Razy. Dari kalangan Dhahiriyah, Syi’ah, khawarij juga lahir kitab tafsir, dan lain sebagainya.  Di samping itu karya-karya tafsir yang membahas tentang hukum dari segala seginya adalah Ahkam al-Qur’an karangan al-Jasshash, Ahkam al-Qur’an karangan Ibnu Araby, dan Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Qurtuby. [11]
e.       Shufy (Tasawuf)
 Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan kedalaman hati dan perasaan cinta kepada Allah SWT semata. Hal ini akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan. Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami, dan mendalami Al-Qur’an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka menta’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengacu pada penafsiran dan pengertian secara tekstual terlebih dahulu, kemudian akhirnya menafsirkan Al-Qur’an dengan pengertian batin. Ibarat seseorang yang mengaku dapat memahami rahasia-rahasia Al-Qur’an sebelum mengetahui penafsiran dan pengertian secara tekstual, maka ia laksana orang yang mengaku telah sampai ke bagian dalam ka’bah sebelum ia melewati pintunya. Seseorang yang diberi kelebihan dan keimanan yang mendalam akan meyakini bahwa Al-Qur’an mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan Allah kepada batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki. Dengan berpijak pada yang tersebut maka tafsir sufi dapat diterima jika tidak menafikan makna lahir, diperkuat oleh dalil syara’, tidak bertentangan dengan dalil syara’, dan penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang dikehendaki oleh Allah, sebaliknya ia harus mengakui pengertian tekstual dari ayat tersebut. Di antara kitab-kitab tafsir yang bercorak sufi adalah Tafsir al-Qur’an al-Azim karya Imam al-Tustury, Haqaiq al-Tafsir karya al-Sulamy, dan Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Quran karangan al-Syirazy.[12]
f.       Adaby Ijtima’i (Sastra Budaya Kemasyarakatan)
 Satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Hal ini untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah masyarakat berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dipahami tapi indah didengar. Mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan corak Adaby Ijtima’i mampu mengungkapkan segi balaghah Al-Qur’an dan kemukjizatannya, mampu menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju Al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam yang agung dan tatanan-tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya, mampu memecahkan problematika umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, dengan mengedepankan petunjuk dan ajaran Al-Qur’an sebagai rahmat kebahagiaan dunia akhirat, dan mampu mengikuti perkembangan waktu dan manusia. Tafsir Adaby Ijtima’i merupakan corak baru yang menarik dan merangsang pembaca untuk senantiasa cinta kepada Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, serta memotivasi umat manusia untuk senantiasa menggali makna-makna dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Di antara kitab-kitab tafsir yang bernuansa corak ini adalah Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur’an karya Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Qur’an al-Azim karya Mahmud Syaltut, dan al-Tafsir al-Wadih karangan Muhammad Mahmud Hijazy.[13]  
3.  Pembagian Tafsir Dari Sisi Metodenya
Al-Farmawi dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an baik yang menggunakan riwayat maupun nalar membagi metode tafsir menjadi empat macam, yaitu:
a.      Tahlily
 Satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana tercantum dalam mushaf. Di dalam metode ini mufassir memaparkan arti kosakata, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat baik unsur i’jaz, balaghah dan keindahan susunan kalimatnya, asbabun nuzul, munasabah, pendapat para ulama tafsir dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Di dalam metode ini juga dijelaskan tentang sesuatu yang dapat diistinbatkan dari ayat baik hukum figh, dalil syar’iy, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, aqidah, perintah, larangan, janji, ancaman, haqiqat, majaz, kinayah, isti’arah, serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan  sesudahnya. Baqir al-Shadr memberi nama lain metode tahlily dengan metode tajzi’iy, yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari beberapa segi.[14]
 Melalui metode ini, ayat-ayat Al-Qur’an dijelaskan dengan cara yang mudah dipahami dan dalam ungkapan balaghah yang menarik berdasarkan syair-syair (puisi-puisi) ahli balaghah, ucapan-ucapan ahli hikmah yang arif, teori-teori ilmiah modern yang benar, kajian-kajian bahasa, dan hal-hal lain yang dapat membantu dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.[15]
Metode ini dipergunakan oleh para ahli tafsir dengan uraian yang sangat panjang (Ithnab), misalnya Ibnu Jarir al-Tabary (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an), Fahr al-Razy (Al-Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib), al-Qurtuby (Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an), dan Al-Alusy (Ruh al-Ma’any fi Tafsir al-Qur’an wa al-Sab’u al-Mathany), ada juga yang menguraikannya dengan cara singkat (i’jaz) seperti Al-Suyuti (al-Durr al-Manthur fi al-Tafsir bi al-Matsur) dan Al-Fayruz Abadi (Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas), dan ada pula yang mengambil dengan cara pertengahan (musawah), yaitu Imam al-Baidhawi (Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil), Ibnu Kathir (Tafsir al-Qur’an al-Azim), dan Muhammad Abduh (Tafsir al-Manar). Para mufassir tersebut dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sama-sama menggunakan metode Tahlily, namun corak yang mereka tampilkan dalam tafsirnya berbeda-beda.[16]
b.      Ijmaly
 Satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha memaparkan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an secara global, umum, dan terarah, sehingga mudah dipahami oleh orang yang berilmu, dan orang bodoh. Dalam metode ini, mufassir menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan uraian yang singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya saja tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki. Dengan metode ini, mufassir kadang kala menafsirkan Al-Qur’an dengan lafaz saja sehingga bagi yang membacanya merasa bahwa uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks Al-Qur’an yang penyajiannya mudah dan indah. Pada ayat-ayat tertentu, juga diungkapkan sebab turun ayat, peristiwa yang dapat menjelaskan arti ayat, mengemukakan hadits Nabi Muhammad SAW dan hikmah dibalik sabdanya, dan lain-lain. Dengan uraian yang demikian ini diharapkan dapat mengkaji Al-Qur’an dengan mudah, bagus, terarah, dan sempurna. Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: Tafsir al-Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Qur’an al-Azim karangan Muhammad Farid Wajdi, Shafwah al-Bayan Li Ma’ani al-Qur’an karya Syaikh Husanain Muhammad Makhlut. Shafwat al-Tafasir karya Muhammad Ali al-Sabuni, Tanwir al-Miqbas Min Tafsir Ibnu „Abbas karya Ibnu „Abbas yang dihimpun Al-Fayruz Abady, al-Tafsir al-Muyassir karya Abd Jalil Isa, al-Tafsir al-Wasit karya suatu Commite Ulama produk Lembaga Pengkajian Universitas al-Azhar Mesir, dan al-Tafsir al-Mukhtasar karya suatu Commite Ulama produk Majlis Tinggi Urusan Umat Islam.[17] 
c.       Muqaran
 Satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menguraikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memadukan pendapat para mufassir yang ada. Di samping itu mufassir juga membandingkan pendapat para mufassir tersebut dengan melihat letak persamaan dan perbedaannya. Ada di antara pendapat mufassir itu yang penafsirannya menitikberatkan pada bidang yang dikuasainya, seperti nahwu, balaghah, ilmu kalam, hukum, filsafat, kisah-kisah, dan lain-lain. Metode ini memiliki pengertian dan lapangan yang lebih luas, yaitu membandingkan antara ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang satu masalah atau kasus, juga membandingkan antara ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan kandungan Al-Qur’an serta mengompromikannya sehingga menghilangkan dugaan adanya pertentangan di antara hadits-hadits Nabi Saw. Dalam metode ini mufassir dituntut mampu menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir sehingga dapat mengambil kesimpulan mana penafsirannya yang dianggap benar dan diterima akal, dan mana penafsiran yang tidak memenuhi syarat. Hal ini diharapkan mufassir memiliki kelebihan dan bersikap profesionalisme dalam menggali makna-makna Al-Qur’an yang belum berhasil diungkap oleh mufassir-mufassir yang lainnya. [18]
d.      Maudhu’iy
 Satu metode tafsir yang mufassirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai surat dan yang berkaitan dengan persoalan dan topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan menganalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Metode ini di Indonesia dikenal dengan metode tafsir Tematik, yang kemudian di kembangkan oleh Quraish Shihab, salah seorang pakar tafsir dan ilmu-ilmu Al-Qur’an kebanggaan masyarakat Indonesia. Dalam pandangan Quraish Shihab, metode maudu’iy memiliki dua pengertian, yaitu; pertama, penafsiran mengenai satu surat dalam Al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang menjadi tema sentralnya, kemudian menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya sesuai tema sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan; kedua, Penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, untuk menarik petunjuk Al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas.[19]
Dua pengertian tersebut berpijak pada pendapat Al-Syatibi yang mengatakan bahwa setiap surat walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah yang berbeda tersebut. Lebih jauh Al-Syatibi menjelaskan bahwa satu surat walaupun mengandung beberapa masalah namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu seseorang yang akan mengkaji Al-Qur’an hendaknya jangan mengarahkan pandangannya pada awal surat saja, namun juga harus memperhatikan akhir surat, atau sebaliknya. Karena jika tidak demikian maka akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan. Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat ia bermaksud memahami arti lahiriah dari satu kosakata. Jika arti tersebut tidak dipahaminya maka ia harus memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga akhir.[20]
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsir yang berjudul Tafsir Al-Qur’an al-Karim dalam bentuk penerapan ide. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama dan petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Namun apa yang ditempuh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Qur’an dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat, seperti masalah riba akan ditemukan dalam berbagai surah, misalnya dalam surah al-Baqarah, Ali Imran, dan ar-Rum. Atas dasar ini maka timbullah ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkannya secara utuh dan menyeluruh. Walaupun ide tentang kesatuan dan isi petunjuk surat demi surat telah dilontarkan oleh al-Syatibi, namun perwujudan ide dalam bentuk satu buah kitab tafsir baru terwujud dalam karya Mahmud Syaltut yang berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim. Ide tersebut kemudian dikembangkan oleh Ustadz Ahmad Sayyid al-Kumiy pada akhir tahun 60-an, yang pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode Maudu’iy yang dicetuskan oleh Mahmud Syaltut. Di Irak, seorang pakar tafsir yang bernama Muhammad Baqir al-Shadr melakukan upaya-upaya penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan metode ini. Al-Shadr menulis uraian tafsir tentang hukum-hukum sejarah dalam Al-Qur’an dengan menggunakan metode yang mirip dengan metode tersebut yang ia beri nama Metode Tawhidy (kesatuan).[21]
Penerapan metode ini sebenarnya baru dirintis oleh Universitas al-Azhar dan seluruh fakultas yang bernaung di bawahnya. Kajian metode ini pertama kali dilakukan oleh Ustadz Ahmad al-Sayyid al-Kumy yang menjadi ketua jurusan pada fakultas Usuhuluddin. Sebagai seorang ketua jurusan yang menaungi mahasiswa yang intens terhadap kajian-kajian Al-Qur’an dan tafsir maka mudah bagi al-Kumy dalam mengembangkan metode Maudu’iy ini. Dalam pandangannya,35 ia mengatakan bahwa era di mana manusia hidup adalah era ilmu dan kebudayaan; era yang membutuhkan kepada metode Maudu’iy yang dapat mengantarkan manusia untuk sampai pada suatu maksud dan hakikat suatu persoalan dengan cara yang paling mudah. Terlebih-lebih pada masa ini banyak bertaburan debu-debu terhadap hakikat agama-agama, sehingga tersebarlah doktrin-doktrin komunisme dan ideologi - ideologi lain, dan langit kehidupan manusia dipenuhi oleh awan kesesaatan dan kesamaran. Untuk menghadapi kondisi yang demikian, tidak ada lain kecuali dengan menggunakan senjata yang kuat, jelas dan mudah yang dapat membela telaga-telaga agama dan mempertahankan tiang-tiang agama. Persoalan tersebut tidak dapat terselesaikan kecuali dengan menggunakan metode Maudhu’iy yang dapat diterapkan untuk bermacam-macam tema dalam Al-Qur’an dan meliputi segala seginya. Dari fakultas ini banyak tulisan mahasiswa yang mengkaji kajian-kajian baru dalam tafsir Al-Qur’an dari segala seginya. Misalnya kajian tentang taqwa, sholat, puasa, haji, zakat, sumpah, peperangan, manusia dalam Al-Qur’an dan lain-lain. Di samping itu juga lahir kajian-kajian Al-Qur,an yang mengungkap satu surah, misalnya surah al-Fatihah, Yasin, Al-Fath, al-Kahf, al-Hujurat, Yusuf, Al-Ahzab, al-Nur, dan lain-lain.[22]
Di antara karya-karya tafsir yang menggunakan metode ini adalah Kitab Min Huda al-Qur’an karya Syaikh Mahmud Syaltut, al-Mar’ah fi al-Qur’an karangan Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Riba fi al-Qur’an karya Abu al-A’la al-Maududy, al-Aqidah fi al-Qur’an karya Muhammad Abu Zahroh, Ayat al-Qasam fi al-Qur’an karangan Ahmad Kamal Mahdy, Muqawwamat al-Insaniyah fi al-Qur’an karya Ahmad Ibrahim Mahna, Tafsir Surat Yaasin karya Ali Hasan al-Aridl, Tafsir Surat al-Fath karya Ahmad Sayyid al-Kumy, Adam fi al-Qur’an karangan Ali Nashr al-Din. Seorang pakar dan dosen tafsir di al-Azhar Mesir, Al-Husaini Abu Farhah menulis buku tafsir dengan tema “Al-Futuhat al-Rabbaniyah fi al-Tafsir al-Maudu’iy Li al-Ayat al-Qur’aniyah” dalam dua jilid dengan memilih banyak topik yang dibicarakan Al-Qur’an. Dalam menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkan secara Maudu’iy, Al-Husaini tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun sering kali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana juga tidak dikemukakan perincian ayat-ayat yang turun pada periode Mekkah sambil membedakannya dengan ayat-ayat yang turun pada periode Madinah. Pada tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin al-Azhar, mengarang sebuah karya yang berjudul “Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’iy”. Dalam buku itu diungkapkan secara rinci tentang langkah-langkah dalam menggunakan metode Maudu’iy, yaitu:
 1)      Menetapkan masalah (topik) yang akan dibahas.
2)      Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3)      Menyusun runtutan ayat sesuai masa turunnya (Asbab al-Nuzul).
4)      Memahami korelasi ayat-ayat dalam surahnya masing-masing.
5)      Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
6)      Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan.
7)      Mempelajari ayat-ayat secara keseluruhan dengan cara menghimpun ayat- ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengompromikan antara yang  ‘am dan yang khas, mutlak dan muqayyad, atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga semuanya bertemu dalam satu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan.[23]
 Sedangkan Quraish Shihab mengembangkan langkah-langkah metode Maudu’iy yang dipaparkan al-Farmawy tersebut dengan langkah-langkah sebagai berikut; pertama, Penetapan masalah yang dibahas; kedua, menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya; ketiga, walau metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosakata, namun kesempurnaannya dapat dicapai apabila sejak dini sang mufassir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk pada penggunaan Al-Qur’an sendiri. Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari Tafsir al-Ma’tsur, yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode Maudu’iy. Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa metode ini memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan dengan metode-metode lain yang dipergunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah; pertama, Menghindari problem atau kelemahan metode lain; kedua,  Menafsirkan ayat dengan ayat atau hadits Nabi Muhammad SAW; ketiga, kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami; keempat, metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Qur’an, sekaligus membuktikan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. [24]
C.    PENUTUP
1.  Kesimpulan
a.   Pembagian tafsir dari sisi pendekatannya terbagi menjadi; pertama, tafsir al-ma’tsur ; kedua, tafsir  al-ra’yu.
b.      Pembagian tafsir  dari segi coraknya terbagi menjadi; pertama, lughaghy (sastra bahasa); kedua, falsafy wa kalamy (filsafat dan teologi); ketiga,  ‘ilmy (penafsiran ilmiah); keempat, fiqhy wa hukmy (fiqh dan hukum); kelima,  Shufy (tasawuf); keenam,  adaby ijtima’i (sastra budaya kemasyarakatan).
c.       Pembagian tafsir  dari segi metodenya terbagi menjadi; pertama, tahlily; kedua, ijmaly; ketiga,   muqaran; keempat,  maudhu’iy.

2.      Saran
Penulis mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih disebabkan oleh kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu penulis mengharapkan kritik yang membangun untuk  perbaikan makalah ini pada masa yang akan datang. 


 DAFTAR PUSTAKA

Al-Aridl, Ali Hasan,  Tarikh Ilmu al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, Kairo: Al-Azhar, 1992.
Al-Dzahabi,  Muhammad Huzain, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Mesir: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1961.
Al-Farmawy,  Abdul Hay,  al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, Kairo: Al-Hadaharah Al-Arabiyah, 1977.
Al-Humaid,  Jamal Mustofa Abd., Ushul al-Dakhil fi Tafsir Ayi al-Tanzil, Kairo: Jami’ah al-Azhar, 2001.
Al-Kumy,  Ahmad Sayyid, al-Tafsir al-Maudhu’iy, Mesir: Dar al-Ma’rifah, 1999.

Al-Qattan, Manna, Mabahith fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Mansyurah al-Ashr al-Hadits, 1973.
Al-Shadr, Muhammad Baqir, al-Tafsir al-Maudhu’iy wa al-Tafsir al-Tajzi’iy fi al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar al-Ta’ruf, 1980.
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat  Jilid III, Beirut: Dar al-Ma’rifah,1975.
Al-Zarqany, Muhammad Abd al-Adhim, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, II, Mesir: Isa al-Bab al-Halabi,tt.
Ismail Ibrahim, Muhammad, al-Qur’an wa I’jazuh al’Ilm, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Araby: tt.
Mehdi, Ghulsyani, terj. Filsafat Sains Menurut al-Qur’an,  Bandung: Mizan, 1993.
Nabi, Malik Ben, terj. Fenomena Al-Qur’an. Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim, Bandung: Marja’. 2002.
Shihab,  Quraish, Membumikan Al-Qur’an,Bandung: Mizan, 1992.









[1] Muhammad Ismail Ibrahim, al-Qur’an wa I’jazuh al’Ilm (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Araby: tt), hal. 42-43.
[2] Mehdi Ghulsyani, terj. Filsafat Sains Menurut al-Qur’an,  (Bandung: Mizan, 1993), hal. 137.
[3] Muhammad Abd al-Adhim Al-Zarqany, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, II. (Mesir: Isa al-Bab al-Halabi,tt), hal. 12.
[4] Jamal Mustofa Abd. Al-Humaid, Ushul al-Dakhil fi Tafsir Ayi al-Tanzil.(Kairo: Jami’ah al-Azhar, 2001), hal.  27
[5] Muhammad Huzain Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1961), hal. 152.
[6] Manna Al-Qattan, Mabahith fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Mansyurah al-Ashr al-Hadith, 1973), hal. 342
[7] Malik Ben. Nabi, terj. Fenomena Al-Qur’an. Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim, (Bandung: Marja’. 2002), hal. 31.
[8] Ibid, hal. 32.
[9] Muhammad Huzain Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, hal, 40.
[10] Ibid, hal. 41
[11] Ibid, hal. 42
[12] Ibid, hal. 43.
[13] Ibid, hal. 44.
[14] Abdul Hay Al-Farmawy,  al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy,( Kairo: Al-Hadaharah Al-Arabiyah, 1977), hal. 23.
[15] Muhammad Baqir Al-Shadr, al-Tafsir al-Maudhu’iy wa al-Tafsir al-Tajzi’iy fi al-Qur’an al-Karim,(Beirut: Dar al-Ta’ruf, 1980), hal. 10.
[16] Ali Hasan Al-Aridl, Tarikh Ilmu al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, (Kairo: Al-Azhar, 1992), hal. 41.
[17] Ibid, hal. 42
[18] Ibid, hal. 43
[19] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 1992), hal. 111.
[20] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat  Jilid III, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,1975), hal. 144.
[21] Quraish Shihab,  Membumikan bumi, hal. 74.
[22] Ahmad Sayyid Al-Kumy, al-Tafsir al-Maudhu’iy, ( Mesir: Dar al-Ma’rifah, 1999), hal. 10.
[23]Abdul Hay  Al-Farmawy,  Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’iy, hal. 62.
[24] Quraish Shihab,  Membumikan Al-Qur’an, hal. 115