KITAB-KITAB TAFSIR
Oleh: Said Saleh
A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW terbukti
mampu menampakkan sisi kemukjizatannya yang luar biasa, bukan hanya pada
eksistensinya yang tidak pernah rapuh, tetapi juga pada ajarannya yang telah
terbukti sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga ia menjadi referensi bagi
umat manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia Al-Qur’an tidak hanya
berbicara tentang moralitas dan spiritualitas, tetapi juga berbicara tentang
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia. Al-Qur’an
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat Jibril dengan menggunakan Bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya
terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas
perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat. Akan
tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Allah sehingga muncullah banyak
penafsiran, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan sarat
makna.
Berangkat dari pemikiran di atas, para
mufassirin memosisikan Al-Qur’an sebagai kitab hidayah yang di dalamnya
mengandung isyarat-isyarat ilmiah, untuk selanjutnya merangsang manusia untuk
mengembangkan dan menganalisisnya lebih jauh lewat observasi dan penelitian.
Untuk memberi arah pada observasi dan penelitian ilmiah inilah Al-Qur’an
meletakkannya dalam kerangka memperkuat keimanan seseorang. Karena itu, logis
kalau Al-Qur’an melabelkan ilmu pengetahuan pada kadar dan tingkat keimanan
seseorang. Di sinilah bertemunya isyarat ilmiah Al-Qur’an dengan perintah iqra’
yang sejak pertama diperintahkan Allah SWT kepada Muhammad SAW.
Berkaitan dengan pemikiran tersebut,
Muhammad Ismail Ibrahim, menyebutkan bahwa memaksimalkan peran akal dan
kecintaan ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberagaman sekaligus
keimanan seseorang. Ismail menyebutkan bahwa dalam melihat hal ini, ia
harus diletakkan dalam kerangka pencarian kebenaran dan kedekatan pada
sang pencipta, serta harus bersesuaian dengan petunjuk Al-Quran dan Sunnah.
Dalam kaitannya dengan kemukjizatan Al-Qur’an, isyarat-isyarat ilmiahnya muncul
dalam porsi terbesarnya tentang anjurannya untuk membaca ayat-ayat
kawniyah yang terdapat di alam. Anjurannya untuk melihat alam semesta ini.[1]
Menurut Sirajuddin Zar bertujuan untuk mengantarkan
manusia agar mereka menyadari bahwa di balik “tirai” alam semesta yang
disebutnya sebagai kitab alam, ada Zat Yang Maha Kuasa, sekaligus untuk
menguatkan keyakinan bahwa Tuhan memang Maha Kuasa sebagaimana yang ditunjukkan
Al-Qur’an. Dalam konteks ini, Mehdi Ghulsyani, menyatakan bahwa lebih dari
10% ayat-ayat Al-Qur’an merupakan rujukan-rujukan kepada fenomena alam. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika di era sekarang kita menemukan banyak
tafsir ayat Al-Qur’an yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan alam. Di sinilah
letak perpaduan harmonis antara ilmu tafsir dan i’jaz Al-Qur’an.[2]
B. PEMBAHASAN
1. Pembagian Tafsir Dari Sisi Pendekatannya
a.
Tafsir al-Ma’tsur
Tafsir
pertama ini dikenal juga dengan sebutan tafsir al-Riwayah dan tafsiri al-Manqul,
yaitu keterangan atau penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an dengan perincian ayat-ayat
Al-Qur’an sendiri, apa yang dinukil dari Rasulullah SAW, dan apa yang dikutip
dari para sahabat. Sedangkan penafsiran yang berdasarkan penukilan dari para
tabi’in, masih terdapat perselisihan. Al-Zarqani membatasi tafsir al-ma’tsur
dengan tafsir yang hanya diberikan oleh ayat-ayat Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad
SAW dan para sahabat tanpa penafsiran dari para tabi’in.[3]
Hal ini
dikarenakan banyak di antara tabi’in yang menafsirkan Al-Qur’an terpengaruh
riwayat-riwayat Israilliyat yang berasal dari kaum Yahudi dan Ahli Kitab
lainnya. Riwayat-riwayat Israiliyat tidak selamanya harus ditanggapi
negatif dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Jika Israiliyat tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, maka
riwayat-riwayat tersebut bisa diterima. Namun jika bertentangan dengan al-Qur’an
dan Sunnah, maka riwayat-riwayat Israiliyat tersebut tidak diperkenankan
untuk menjadi acuan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.[4]
Sedangkan al-Dzahabi
memasukkan penukilan dari tabi’in ke dalam tafsir al-ma’tsur. Dia berpendapat, walaupun
para tabi’in tidak menerima tafsir langsung dari Nabi Muhammad SAW, namun
kitab-kitab yang termasuk tafsir
al-ma’tsur, misalnya tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karangan
Ibnu Jarir al-Tabary yang terkenal dengan sebutan tafsir al-Tabary tidak
hanya memuat tafsir Al-Qur’an dari Al-Qur’an sendiri, dari Nabi dan sahabat
namun juga berisi tafsir dari tabi’in. Dan yang mendekati kebenaran adalah
bahwa tafsir yang dinukil dari tabi’in adalah termasuk tafsir al-ma’tsur. Hal ini karena tafsir
Al-Tabary di samping memuat penafsiran Nabi Muhammad SAW, penafsiran sahabat
juga memuat penafsiran tabi’in, yang menjadi rujukan tafsir-tafsir selanjutnya.
Demikian juga sebagian besar mufassir pada ghalibnya menggunakan tafsir al-ma’tsur yang meliputi tafsir dari
Al-Qur’an sendiri, Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan tabi’in ini sebagai rujukan
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.[5]
Berdasarkan hal
tersebut, menurut penulis bahwa tafsir al-ma’tsur meliputi tafsir Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, tafsir Al-Qur’an dengan hadits Nabi Muhammad SAW baik yang qauli,
fi’ly, maupun yang taqriry, tafsir Al-Qur’an dengan nukilan dari
sahabat dan tabi’in. Hal ini dilakukan jika penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
tidak ditemukan maka penafsiran Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi SAW. Dan jika
penafsiran Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi tidak diperoleh maka penafsiran Al-Qur’an
dengan nukilan para sahabat dan tabi’in.
b. Tafsir al-Ra’yu
Tafsir ini dikenal juga dengan sebutan tafsir al-Dirayah dan tafsir al-Ma’qul, yaitu penjelasan mengenai
ayat-ayat Al-Qur’an melalui pemikiran (nalar) dan ijtihad. Dalam tafsir ini
seorang yang akan menafsirkan Al-Qur’an (mufassir) dianjurkan untuk memahami
bahasa Arab dan gaya-gaya ungkapannya, memahami lafaz-lafaz Arab dan segi-segi dilalah-nya,
mengkaji syair-syair Arab sebagai pendukung, dan memperhatikan asbab
al-nuzul, nasikh-mansukh, muhkam-mutasyabihat, am-khas, makkiyah-madaniyah,
qira’at dan lain-lain. Apabila seorang mufassir hanya mengandalkan ra’yu
semata tanpa menggunakan tafsir
al-ma’tsur, maka akan sulit dan keliru karena tafsir al-ma’tsur adalah dasar dari tafsir.
Apabila suatu kitab tafsir lebih didominasi oleh ra’yu dan ijtihad
sementara al-ma’tsur-nya hanya sedikit maka tafsir
yang demikian dinamakan tafsir al-ra’yu.
Tidak berlebihan jika Manna al-Qattan
mendefinisikan tafsir bi al-ra’yu dengan suatu tafsir yang dibuat
pedoman oleh mufassir untuk menjelaskan makna dalam suatu pemahaman tertentu.
Di samping itu al-Qattan mengukuhkan pernyataan dengan mengatakan bahwa tafsir al-ra’yu mengalahkan perkembangan tafsiri
al-matsur. Dan tafsir al-ra’yu lebih
banyak diminati dari pada tafsiri al-matsur sebagai rujukan dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.[6]
Pengertian tafsir di
atas, menurut penulis hanya mengandalkan nalar, maka berkembanglah metode
(pendekatan) dan corak tafsir. Sehingga pembahasan tafsir menjadi sangat luas dalam
menelusuri ayat demi ayat dalam mengungkap makna Al-Qur’an.
2. Pembagian Tafsir Dari
Sisi Coraknya
a.
Lughaghy (Sastra Bahasa)
Menjelaskan keistimewaan dan kedalaman arti
(kosakata) kandungan Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan banyaknya orang non Arab
yang memeluk Islam, serta lemahnya sebagian orang Arab sendiri dalam bidang sastra.
Keindahan sastra Al-Qur’an yang tak tertandingi memesona jiwa Badui. Umar bin
Khaththab sendiri berpindah agama ke dalam Islam karena terpesona keindahan
ayat-ayat Al-Qur’an. Sementara Walid bin Mughirah yang terkenal kefasihannya
dalam kesusastraan Arab juga mengakui keindahan Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an
tidak disibukkan oleh soal-soal mistis atau metafisika seperti yang terungkap
dalam kebanyakan sastra Arab. Semangat Badui pada dasarnya karena kecintaannya
kepada musik. Aspirasi, mobilitas dan kemajuannya terefleksi dalam
ungkapan-ungkapan ritmis syair Arab. Prosa Arab mengandung semangat Badui, dan
semangat kesusastraan Arab secara alamiah menekankan pada puisi. Elemen-elemen metafora
tampak sekali dalam puisi yang mengungkapkan pujian-pujian yang bernada riang
seperti dalam bait puisi “Langit tanpa awan dan padang pasir tak terbatas, di
mana seekor Kaa terbang tergesa-gesa, atau seekor rusa berlari dengan riangnya”.[7]
Terminologi Al-Qur’an
selaras dengan tuntutan-tuntutan sederhana kehidupan internal dan eksternal
seorang Badui dan bukan kehidupan mereka yang bermukim tetap.
Karakteristik-karakteristik bahasa yang jahiliah, pemuja berhala, dan nonmadik.
Gagasan yang diekspresikan Al-Qur’an dalam sebuah corak syair bebas merupakan
sesuatu yang baru dalam bahasa Arab. Ayat-ayat Al-Qur’an menghapuskan syair
Badui yang selalu mempertahankan ritme tersebut. Dalam beberapa ayat, Al-Qur’an
banyak menggunakan term-term asing seperti kosakata Malakut, Jalut, Marut,
Harut, dll. Dan tentunya term-term tersebut membutuhkan penafsiran yang
detail untuk mengungkap sebuah makna yang tersembunyi. Dalam corak ini mufassir
menitikberatkan penafsirannya pada kaidah bahasa dalam segala seginya, baik
nahwu, sharaf, i’rab, i’lal, isytiqaq, juga bidang balaghah dari segi ma’any,
badi’, bayan, haqiqat, majaz, hal ini untuk memperoleh asal usul kata,
keindahan kata, dan lain-lain. Penafsiran dengan corak ini tampak dalam tafsir
karya Imam al-Zamahsyari al-Kasysyaf, Abd al-Qohhar al-Jurjany I’jaz
al-Qur’an, dan Abu Ubaydah Ma’mar Ibnu al-Mutsanna Al-Majaz.[8]
b.
Falsafy wa Kalamy (Filsafat dan Teologi)
Menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan corak filsafat dan teologi. Hal ini akibat
penerjemahan kitab-kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta
akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau
tidak masih mempercayai beberapa hal yang berkaitan dengan kepercayaan lama
mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak yang tercermin dalam
penafsiran mereka. Pada masa keemasan Islam (Abbasiyah), ada gerakan
penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, di antaranya adalah
penerjemahan karya Aristoteles dan Plato. Menyikapi hal ini, ulama berbeda
pendapat; pertama, menolak dengan alasan, di antara isinya bertentangan
dengan aqidah dan agama; kedua, mengagumi filsafat, mereka menerima dan
menekuni sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma Islam. Mereka berusaha
memadukan antara filsafat dan agama serta menghilangkan pertentangan yang
terjadi di antara keduanya. Misalnya Ibnu Sina, Ibnu Rusy, dan al-Razy. Dari
golongan ini lahir tafsir Mafatih al-Ghaib karya Al-Fakh al-Razy.[9]
c.
‘Ilmy (Penafsiran Ilmiah)
Memahami ayat-ayat
Al-Qur’an sesuai perkembangan zaman. Hal ini akibat kemajuan ilmu pengetahuan.
Para ulama memperbincangkan kaitan antara ayat-ayat kauniyah dengan
ilmu-ilmu pengetahuan modern yang ada pada masa sekarang. Sampai sejauh mana
paradigma-paradigma ilmiah tersebut memberikan dukungan dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur’an dan menggali berbagai jenis ilmu pengetahuan. Melalui
teori-teori baru akhirnya ditemukan hukum-hukum alam, astronomi, teori kimia,
ilmu kedokteran, fisika, zoologi, fisika, botani, geografi, dan lain-lain. Di
dalam Al-Qur’an tidak kurang dari delapan ratus ayat-ayat kauniyah yang
membicarakan perihal langit, bumi, udara (aerologi), hewan (zoologi),
tumbuh-tumbuhan (botani), perbintangan (astronomi), industri,
geografi, sejarah, fisika, dan lain-lain. Hal ini tidak lepas dari perhatian
para ahli tafsir untuk mengungkap dan membahasnya dalam sebuah karya tafsir. Di
antara kitab-kitab tafsir yang menafsirkan ayat-ayat kauniyah dalam Al-Qur’an
adalah Al-Islam Yatahaddaa karya Wahid Al-Din Khan, Al-Islam fi Asr
al-Ilmi karya Muhammad Ahmad al-Ghamrawy, Al-Widza’ wa al-Dawa’ karya
Jamal al-Din Al-Fandy, dan Al-Qur’an wa al-Ilmi al-Hadits karya Abd
Razaq Nawfal [10]
d.
Fiqhy wa Hukmy ( Fiqh dan Hukum)
Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ayat-ayat hukum sebagai
pembuktian kebenaran pendapatnya. Hal ini akibat berkembangnya ilmu figh dan
terbentuknya mazhab-mazhab figh. Di dalam Al-Qur’an, baik yang Madaniyah maupun
yang Makkiyah banyak sekali ayat-ayat yang membicarakan masalah huku,
mulai dari sholat, zakat, puasa, nikah, tala’, mu’amalah, dan lain-lain.
Hukum-hukum Islam yang digali (istinbat) dari Al-Qur’an tersebut
tersebar dari mulut ke mulut, dihafal oleh generasi sesudahnya secara estafet
sehingga sampai pada masa penghimpunan dan penyusunan. Dari sinilah timbullah
mazhab-mazhab yang berbeda-beda di kalangan umat Islam. Imam-imam mazhab itu
memiliki pengikut yang fanatik terhadap mazhabnya, sehingga mereka dalam
menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan mazhab yang diikutinya. Karena sikap yang
fanatik itulah lahirlah bermacam-macam tafsir yang bercorak fighy atau hukmy
yang cenderung menggiring pada penafsiran yang mazhaby. Dari
kalangan Mu’tazilah lahir kitab al-Kasysyaf karya Al-Zamahsyary. Dari
kalangan Hanafiyah lahir tafsir Ruh al-Ma’any karya al-Alusi dan Tafsir
al-Nasafy. Dari kalangan Malikiyah lahir kitab Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an
karya al-Qurtuby. Dari kalangan Syafi’iyah lahir kitab Tafsir al-Kabir
Mafatih al-Ghaib karya al-Fakhr al-Razy. Dari kalangan Dhahiriyah, Syi’ah,
khawarij juga lahir kitab tafsir, dan lain sebagainya. Di samping itu karya-karya tafsir yang
membahas tentang hukum dari segala seginya adalah Ahkam al-Qur’an karangan
al-Jasshash, Ahkam al-Qur’an karangan Ibnu Araby, dan Al-Jami’ Li
Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Qurtuby. [11]
e.
Shufy (Tasawuf)
Menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan
kedalaman hati dan perasaan cinta kepada Allah SWT semata. Hal ini akibat
timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang
dirasakan. Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan
waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami, dan mendalami Al-Qur’an dengan
sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka menta’wilkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengacu pada penafsiran dan pengertian secara
tekstual terlebih dahulu, kemudian akhirnya menafsirkan Al-Qur’an dengan
pengertian batin. Ibarat seseorang yang mengaku dapat memahami rahasia-rahasia Al-Qur’an
sebelum mengetahui penafsiran dan pengertian secara tekstual, maka ia laksana
orang yang mengaku telah sampai ke bagian dalam ka’bah sebelum ia melewati
pintunya. Seseorang yang diberi kelebihan dan keimanan yang mendalam akan
meyakini bahwa Al-Qur’an mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan Allah
kepada batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki. Dengan berpijak pada yang
tersebut maka tafsir sufi dapat diterima jika tidak menafikan makna lahir,
diperkuat oleh dalil syara’, tidak bertentangan dengan dalil syara’, dan
penafsirannya tidak mengakui bahwa hanya penafsirannya (batin) itulah yang
dikehendaki oleh Allah, sebaliknya ia harus mengakui pengertian tekstual dari
ayat tersebut. Di antara kitab-kitab tafsir yang bercorak sufi adalah Tafsir
al-Qur’an al-Azim karya Imam al-Tustury, Haqaiq al-Tafsir karya
al-Sulamy, dan Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Quran karangan al-Syirazy.[12]
f.
Adaby Ijtima’i (Sastra Budaya Kemasyarakatan)
Satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk
ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Hal ini
untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah masyarakat
berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut
dalam bahasa yang mudah dipahami tapi indah didengar. Mufassir menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan corak Adaby Ijtima’i mampu
mengungkapkan segi balaghah Al-Qur’an dan kemukjizatannya, mampu
menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju Al-Qur’an, mengungkapkan
hukum-hukum alam yang agung dan tatanan-tatanan kemasyarakatan yang
dikandungnya, mampu memecahkan problematika umat Islam khususnya dan umat
manusia pada umumnya, dengan mengedepankan petunjuk dan ajaran Al-Qur’an
sebagai rahmat kebahagiaan dunia akhirat, dan mampu mengikuti perkembangan
waktu dan manusia. Tafsir Adaby Ijtima’i merupakan corak baru yang
menarik dan merangsang pembaca untuk senantiasa cinta kepada Al-Qur’an sebagai
pedoman hidup, serta memotivasi umat manusia untuk senantiasa menggali
makna-makna dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Di antara
kitab-kitab tafsir yang bernuansa corak ini adalah Tafsir al-Manar karya
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla, Tafsir al-Qur’an karya Ahmad Mustafa
al-Maraghi, Tafsir al-Qur’an al-Azim karya Mahmud Syaltut, dan al-Tafsir
al-Wadih karangan Muhammad Mahmud Hijazy.[13]
3. Pembagian Tafsir Dari Sisi Metodenya
Al-Farmawi dalam
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an baik yang menggunakan riwayat maupun nalar
membagi metode tafsir menjadi empat macam, yaitu:
a.
Tahlily
Satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan
ayat-ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya dengan memperhatikan runtutan
ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana tercantum dalam mushaf. Di dalam metode ini
mufassir memaparkan arti kosakata, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran
yang dituju dan kandungan ayat baik unsur i’jaz, balaghah dan
keindahan susunan kalimatnya, asbabun nuzul, munasabah, pendapat para
ulama tafsir dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat-ayat Al-Qur’an.
Di dalam metode ini juga dijelaskan tentang sesuatu yang dapat diistinbatkan
dari ayat baik hukum figh, dalil syar’iy, arti secara bahasa, norma-norma
akhlak, aqidah, perintah, larangan, janji, ancaman, haqiqat, majaz, kinayah,
isti’arah, serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya
dengan surat sebelum dan sesudahnya.
Baqir al-Shadr memberi nama lain metode tahlily dengan metode tajzi’iy,
yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dari beberapa segi.[14]
Melalui metode ini, ayat-ayat Al-Qur’an
dijelaskan dengan cara yang mudah dipahami dan dalam ungkapan balaghah yang
menarik berdasarkan syair-syair (puisi-puisi) ahli balaghah, ucapan-ucapan ahli
hikmah yang arif, teori-teori ilmiah modern yang benar, kajian-kajian bahasa,
dan hal-hal lain yang dapat membantu dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.[15]
Metode ini
dipergunakan oleh para ahli tafsir dengan uraian yang sangat panjang (Ithnab),
misalnya Ibnu Jarir al-Tabary (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an), Fahr
al-Razy (Al-Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib), al-Qurtuby (Al-Jami’
Li Ahkam al-Qur’an), dan Al-Alusy (Ruh al-Ma’any fi Tafsir al-Qur’an wa
al-Sab’u al-Mathany), ada juga yang menguraikannya dengan cara singkat (i’jaz)
seperti Al-Suyuti (al-Durr al-Manthur fi al-Tafsir bi al-Matsur) dan
Al-Fayruz Abadi (Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas), dan ada pula
yang mengambil dengan cara pertengahan (musawah), yaitu Imam al-Baidhawi
(Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil), Ibnu Kathir (Tafsir al-Qur’an
al-Azim), dan Muhammad Abduh (Tafsir al-Manar). Para mufassir
tersebut dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sama-sama menggunakan metode Tahlily,
namun corak yang mereka tampilkan dalam tafsirnya berbeda-beda.[16]
b.
Ijmaly
Satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha
memaparkan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an secara global, umum, dan terarah,
sehingga mudah dipahami oleh orang yang berilmu, dan orang bodoh. Dalam metode
ini, mufassir menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan uraian yang singkat yang
dapat menjelaskan sebatas artinya saja tanpa menyinggung hal-hal selain arti
yang dikehendaki. Dengan metode ini, mufassir kadang kala menafsirkan Al-Qur’an
dengan lafaz saja sehingga bagi yang membacanya merasa bahwa uraian tafsirnya
tidak jauh dari konteks Al-Qur’an yang penyajiannya mudah dan indah. Pada
ayat-ayat tertentu, juga diungkapkan sebab turun ayat, peristiwa yang dapat
menjelaskan arti ayat, mengemukakan hadits Nabi Muhammad SAW dan hikmah dibalik
sabdanya, dan lain-lain. Dengan uraian yang demikian ini diharapkan dapat
mengkaji Al-Qur’an dengan mudah, bagus, terarah, dan sempurna. Di antara
kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: Tafsir al-Jalalain karya
Jalaluddin al-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Qur’an al-Azim karangan
Muhammad Farid Wajdi, Shafwah al-Bayan Li Ma’ani al-Qur’an karya Syaikh
Husanain Muhammad Makhlut. Shafwat al-Tafasir karya Muhammad Ali
al-Sabuni, Tanwir al-Miqbas Min Tafsir Ibnu „Abbas karya Ibnu „Abbas
yang dihimpun Al-Fayruz Abady, al-Tafsir al-Muyassir karya Abd Jalil
Isa, al-Tafsir al-Wasit karya suatu Commite Ulama produk Lembaga
Pengkajian Universitas al-Azhar Mesir, dan al-Tafsir al-Mukhtasar karya
suatu Commite Ulama produk Majlis Tinggi Urusan Umat Islam.[17]
c.
Muqaran
Satu metode tafsir yang mufassirnya
berusaha menguraikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memadukan pendapat para
mufassir yang ada. Di samping itu mufassir juga membandingkan pendapat para
mufassir tersebut dengan melihat letak persamaan dan perbedaannya. Ada di antara
pendapat mufassir itu yang penafsirannya menitikberatkan pada bidang yang
dikuasainya, seperti nahwu, balaghah, ilmu kalam, hukum, filsafat, kisah-kisah,
dan lain-lain. Metode ini memiliki pengertian dan lapangan yang lebih luas,
yaitu membandingkan antara ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang satu
masalah atau kasus, juga membandingkan antara ayat-ayat Al-Qur’an dengan
hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan kandungan Al-Qur’an serta mengompromikannya
sehingga menghilangkan dugaan adanya pertentangan di antara hadits-hadits Nabi
Saw. Dalam metode ini mufassir dituntut mampu menganalisis pendapat-pendapat
para ulama tafsir sehingga dapat mengambil kesimpulan mana penafsirannya yang
dianggap benar dan diterima akal, dan mana penafsiran yang tidak memenuhi
syarat. Hal ini diharapkan mufassir memiliki kelebihan dan bersikap profesionalisme
dalam menggali makna-makna Al-Qur’an yang belum berhasil diungkap oleh
mufassir-mufassir yang lainnya. [18]
d.
Maudhu’iy
Satu metode tafsir yang mufassirnya berupaya
menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai surat dan yang berkaitan dengan
persoalan dan topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan
menganalisa kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang
utuh. Metode ini di Indonesia dikenal dengan metode tafsir Tematik, yang kemudian
di kembangkan oleh Quraish Shihab, salah seorang pakar tafsir dan ilmu-ilmu Al-Qur’an
kebanggaan masyarakat Indonesia. Dalam pandangan Quraish Shihab, metode maudu’iy
memiliki dua pengertian, yaitu; pertama, penafsiran mengenai satu surat
dalam Al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang
menjadi tema sentralnya, kemudian menghubungkan persoalan-persoalan yang
beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya sesuai tema
sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan; kedua, Penafsiran yang bermula dari menghimpun
ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau
surat Al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian
menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, untuk menarik
petunjuk Al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas.[19]
Dua pengertian tersebut berpijak pada pendapat Al-Syatibi yang mengatakan
bahwa setiap surat walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda,
namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah yang berbeda
tersebut. Lebih jauh Al-Syatibi menjelaskan bahwa satu surat walaupun
mengandung beberapa masalah namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara
yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu seseorang yang akan mengkaji Al-Qur’an
hendaknya jangan mengarahkan pandangannya pada awal surat saja, namun juga
harus memperhatikan akhir surat, atau sebaliknya. Karena jika tidak demikian
maka akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan. Tidak dibenarkan
seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada
saat ia bermaksud memahami arti lahiriah dari satu kosakata. Jika arti tersebut
tidak dipahaminya maka ia harus memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal
hingga akhir.[20]
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsir yang
berjudul Tafsir Al-Qur’an al-Karim dalam bentuk penerapan ide. Syaltut
tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau
bagian-bagian tertentu dalam satu surat, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama
dan petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya, kemudian merangkainya dengan
tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Namun apa yang ditempuh
Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Qur’an dipaparkan dalam
bentuk menyeluruh, karena satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat,
seperti masalah riba akan ditemukan dalam berbagai surah, misalnya dalam surah al-Baqarah,
Ali Imran, dan ar-Rum. Atas dasar ini maka timbullah ide untuk menghimpun
semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan
satu dengan yang lain, dan menafsirkannya secara utuh dan menyeluruh. Walaupun
ide tentang kesatuan dan isi petunjuk surat demi surat telah dilontarkan oleh
al-Syatibi, namun perwujudan ide dalam bentuk satu buah kitab tafsir baru
terwujud dalam karya Mahmud Syaltut yang berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim.
Ide tersebut kemudian dikembangkan oleh Ustadz Ahmad Sayyid al-Kumiy pada akhir
tahun 60-an, yang pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode Maudu’iy
yang dicetuskan oleh Mahmud Syaltut. Di Irak, seorang pakar tafsir yang bernama
Muhammad Baqir al-Shadr melakukan upaya-upaya penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan
metode ini. Al-Shadr menulis uraian tafsir tentang hukum-hukum sejarah dalam Al-Qur’an
dengan menggunakan metode yang mirip dengan metode tersebut yang ia beri nama
Metode Tawhidy (kesatuan).[21]
Penerapan metode ini sebenarnya baru dirintis oleh Universitas al-Azhar dan
seluruh fakultas yang bernaung di bawahnya. Kajian metode ini pertama kali
dilakukan oleh Ustadz Ahmad al-Sayyid al-Kumy yang menjadi ketua jurusan pada
fakultas Usuhuluddin. Sebagai seorang ketua jurusan yang menaungi mahasiswa
yang intens terhadap kajian-kajian Al-Qur’an dan tafsir maka mudah bagi
al-Kumy dalam mengembangkan metode Maudu’iy ini. Dalam pandangannya,35
ia mengatakan bahwa era di mana manusia hidup adalah era ilmu dan kebudayaan;
era yang membutuhkan kepada metode Maudu’iy yang dapat mengantarkan manusia
untuk sampai pada suatu maksud dan hakikat suatu persoalan dengan cara yang
paling mudah. Terlebih-lebih pada masa ini banyak bertaburan debu-debu terhadap
hakikat agama-agama, sehingga tersebarlah doktrin-doktrin komunisme dan ideologi
- ideologi lain, dan langit kehidupan manusia dipenuhi oleh awan kesesaatan dan
kesamaran. Untuk menghadapi kondisi yang demikian, tidak ada lain kecuali
dengan menggunakan senjata yang kuat, jelas dan mudah yang dapat membela
telaga-telaga agama dan mempertahankan tiang-tiang agama. Persoalan tersebut
tidak dapat terselesaikan kecuali dengan menggunakan metode Maudhu’iy yang
dapat diterapkan untuk bermacam-macam tema dalam Al-Qur’an dan meliputi segala
seginya. Dari fakultas ini banyak tulisan mahasiswa yang mengkaji kajian-kajian
baru dalam tafsir Al-Qur’an dari segala seginya. Misalnya kajian tentang taqwa,
sholat, puasa, haji, zakat, sumpah, peperangan, manusia dalam Al-Qur’an dan
lain-lain. Di samping itu juga lahir kajian-kajian Al-Qur,an yang mengungkap
satu surah, misalnya surah al-Fatihah, Yasin, Al-Fath, al-Kahf, al-Hujurat,
Yusuf, Al-Ahzab, al-Nur, dan lain-lain.[22]
Di antara karya-karya tafsir yang menggunakan metode ini adalah Kitab
Min Huda al-Qur’an karya Syaikh Mahmud Syaltut, al-Mar’ah fi al-Qur’an karangan
Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Riba fi al-Qur’an karya Abu al-A’la
al-Maududy, al-Aqidah fi al-Qur’an karya Muhammad Abu Zahroh, Ayat
al-Qasam fi al-Qur’an karangan Ahmad Kamal Mahdy, Muqawwamat
al-Insaniyah fi al-Qur’an karya Ahmad Ibrahim Mahna, Tafsir Surat Yaasin
karya Ali Hasan al-Aridl, Tafsir Surat al-Fath karya Ahmad Sayyid
al-Kumy, Adam fi al-Qur’an karangan Ali Nashr al-Din. Seorang pakar dan
dosen tafsir di al-Azhar Mesir, Al-Husaini Abu Farhah menulis buku tafsir
dengan tema “Al-Futuhat al-Rabbaniyah fi al-Tafsir al-Maudu’iy Li al-Ayat
al-Qur’aniyah” dalam dua jilid dengan memilih banyak topik yang dibicarakan
Al-Qur’an. Dalam menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkan secara Maudu’iy,
Al-Husaini tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun sering
kali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh,
sebagaimana juga tidak dikemukakan perincian ayat-ayat yang turun pada periode Mekkah
sambil membedakannya dengan ayat-ayat yang turun pada periode Madinah. Pada
tahun 1977, Abdul Hay al-Farmawy, guru besar Fak. Ushuluddin al-Azhar,
mengarang sebuah karya yang berjudul “Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’iy”.
Dalam buku itu diungkapkan secara rinci tentang langkah-langkah dalam
menggunakan metode Maudu’iy, yaitu:
1)
Menetapkan masalah (topik) yang akan dibahas.
2)
Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut.
3)
Menyusun runtutan ayat sesuai masa turunnya (Asbab
al-Nuzul).
4)
Memahami korelasi ayat-ayat dalam surahnya
masing-masing.
5)
Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna.
6)
Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang
relevan dengan pokok bahasan.
7) Mempelajari ayat-ayat
secara keseluruhan dengan cara menghimpun ayat- ayatnya yang mempunyai
pengertian yang sama, atau mengompromikan antara yang ‘am dan yang khas, mutlak dan muqayyad, atau
yang pada lahirnya bertentangan sehingga semuanya bertemu dalam satu muara
tanpa perbedaan atau pemaksaan.[23]
Sedangkan Quraish Shihab mengembangkan
langkah-langkah metode Maudu’iy yang dipaparkan al-Farmawy tersebut
dengan langkah-langkah sebagai berikut; pertama, Penetapan masalah yang
dibahas; kedua, menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya; ketiga,
walau metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosakata, namun
kesempurnaannya dapat dicapai apabila sejak dini sang mufassir berusaha
memahami arti kosakata ayat dengan merujuk pada penggunaan Al-Qur’an sendiri.
Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari Tafsir al-Ma’tsur, yang
pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode Maudu’iy. Lebih lanjut Quraish
Shihab menjelaskan bahwa metode ini memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan
dengan metode-metode lain yang dipergunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an,
di antaranya adalah; pertama, Menghindari problem atau kelemahan metode
lain; kedua, Menafsirkan ayat
dengan ayat atau hadits Nabi Muhammad SAW; ketiga, kesimpulan yang
dihasilkan mudah dipahami; keempat, metode ini memungkinkan seseorang
untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Qur’an, sekaligus
membuktikan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan masyarakat. [24]
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Pembagian tafsir dari sisi pendekatannya
terbagi menjadi; pertama, tafsir al-ma’tsur ; kedua, tafsir al-ra’yu.
b. Pembagian tafsir dari segi coraknya terbagi menjadi; pertama,
lughaghy (sastra bahasa); kedua, falsafy wa kalamy (filsafat dan
teologi); ketiga, ‘ilmy (penafsiran
ilmiah); keempat, fiqhy wa hukmy (fiqh dan hukum); kelima, Shufy (tasawuf); keenam, adaby ijtima’i (sastra budaya kemasyarakatan).
c. Pembagian tafsir dari segi metodenya terbagi menjadi; pertama,
tahlily; kedua, ijmaly; ketiga,
muqaran; keempat,
maudhu’iy.
2. Saran
Penulis mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih
disebabkan oleh kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu
penulis mengharapkan kritik yang membangun untuk perbaikan makalah ini pada masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridl, Ali Hasan, Tarikh Ilmu al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin,
Kairo: Al-Azhar, 1992.
Al-Dzahabi, Muhammad Huzain, al-Tafsir wa
al-Mufassirun, Mesir: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1961.
Al-Farmawy, Abdul Hay,
al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, Kairo: Al-Hadaharah
Al-Arabiyah, 1977.
Al-Humaid, Jamal Mustofa Abd., Ushul al-Dakhil fi
Tafsir Ayi al-Tanzil, Kairo: Jami’ah al-Azhar, 2001.
Al-Kumy,
Ahmad Sayyid, al-Tafsir al-Maudhu’iy, Mesir: Dar al-Ma’rifah,
1999.
Al-Qattan, Manna, Mabahith fi Ulum
al-Qur’an, Beirut: Mansyurah al-Ashr al-Hadits, 1973.
Al-Shadr, Muhammad Baqir, al-Tafsir
al-Maudhu’iy wa al-Tafsir al-Tajzi’iy fi al-Qur’an al-Karim, Beirut: Dar
al-Ta’ruf, 1980.
Al-Syatibi,
Al-Muwafaqat Jilid III, Beirut:
Dar al-Ma’rifah,1975.
Al-Zarqany,
Muhammad Abd al-Adhim, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, II, Mesir:
Isa al-Bab al-Halabi,tt.
Ismail
Ibrahim, Muhammad, al-Qur’an wa I’jazuh al’Ilm, Beirut: Dar al-Fikr
al-‘Araby: tt.
Mehdi,
Ghulsyani, terj. Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1993.
Nabi, Malik Ben, terj. Fenomena Al-Qur’an.
Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim, Bandung: Marja’. 2002.
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an,Bandung:
Mizan, 1992.
[1] Muhammad Ismail Ibrahim, al-Qur’an wa
I’jazuh al’Ilm (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Araby: tt), hal. 42-43.
[2] Mehdi Ghulsyani, terj. Filsafat Sains
Menurut al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
1993), hal. 137.
[3] Muhammad Abd al-Adhim Al-Zarqany, Manahil
al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, II. (Mesir: Isa al-Bab al-Halabi,tt), hal. 12.
[4] Jamal Mustofa Abd. Al-Humaid, Ushul
al-Dakhil fi Tafsir Ayi al-Tanzil.(Kairo: Jami’ah al-Azhar, 2001),
hal. 27
[5] Muhammad Huzain Al-Dzahabi, al-Tafsir
wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1961), hal. 152.
[6] Manna Al-Qattan, Mabahith fi Ulum al-Qur’an,
(Beirut: Mansyurah al-Ashr al-Hadith, 1973), hal. 342
[7] Malik Ben. Nabi, terj. Fenomena Al-Qur’an. Pemahaman
Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim, (Bandung: Marja’. 2002), hal. 31.
[8] Ibid,
hal. 32.
[9] Muhammad Huzain Al-Dzahabi, al-Tafsir
wa al-Mufassirun, hal, 40.
[12] Ibid,
hal. 43.
[14] Abdul Hay
Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudhu’iy,( Kairo: Al-Hadaharah Al-Arabiyah, 1977), hal. 23.
[15] Muhammad Baqir Al-Shadr, al-Tafsir al-Maudhu’iy wa
al-Tafsir al-Tajzi’iy fi al-Qur’an al-Karim,(Beirut: Dar al-Ta’ruf, 1980),
hal. 10.
[16]
Ali Hasan Al-Aridl,
Tarikh Ilmu al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, (Kairo: Al-Azhar, 1992),
hal. 41.
[19] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an. (Bandung:
Mizan, 1992), hal. 111.
[20] Al-Syatibi,
Al-Muwafaqat Jilid III, (Beirut:
Dar al-Ma’rifah,1975), hal. 144.
[21]
Quraish
Shihab, Membumikan bumi, hal. 74.
[22]
Ahmad Sayyid
Al-Kumy, al-Tafsir al-Maudhu’iy, ( Mesir: Dar al-Ma’rifah, 1999), hal.
10.
[23]Abdul Hay Al-Farmawy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu’iy, hal.
62.