Minggu, 15 April 2012

KOMPETENSI KEPRIBADIAN

 
KOMPETENSI KEPRIBADIAN 
oleh: Said Saleh
A. Pendahuluan
Dalam rangka membangun negara kita ini, maka sangat diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas baik dalam pengesaan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Terlebih lagi dalam pemilikan kepribadian yang dilandasi iman dan takwa kepada  Allah SWT. Untuk mencapai cita-cita tersebut Pendidikan Nasional  yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor : 20 Tahun 2003, (pasal 2), yaitu:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mendiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[1]     
Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut di atas mengandung ciri-ciri pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang mempunyai mutu tinggi, baik itu untuk kebutuhan jasmani dan rohani. Begitu juga dengan guru, profesionalisme guru sebagai tenaga pendidikan, termasuk tenaga keguruan, menjadi  suatu keniscayaan terutama tatkala pendidikan  dan pembelajaran semakin diakui keberadaannya oleh masyarakat. Begitu pentingnya profesionalisme itu, sehingga kebutuhan akan guru profesional yang makin mendesak adalah sejalan dengan tuntutan akan kapasitas guru untuk menjadi manajer kelas yang baik. Ini karena di samping melakukan tugas pendidikan dan pembelajaran, guru juga melaksanakan tugas manajemen atau administrasi. Kemampuan guru dalam mengelola kelas ini menjadi keniscayaan, bahkan merupakan salah satu ukuran kemampuan profesionalisme mereka.
Kalau kita melihat saat ini terdapat realitas bahwa lembaga pendidikan formal, mulai dari jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga pendidikan tinggi mengalami kemajuan pesat secara kuantitatif. Hal ini ditandai oleh peningkatan jumlah  siswa dan angka lulusan dari tahun ke tahun. Namun, bersamaan dengan ini kesempatan kerja semakin terbatas, dan kalau pun ada menuntut persyaratan pengetahuan dan keterampilan yang tinggi. Bagaimana pun kapasitas institusi pendidikan melahirkan lulusan yang bermutu, tetap saja memiliki keterbatasan.
Di lingkungan pendidikan formal, pengkajian tentang pembinaan dan pengembangan kemampuan profesionalisme guru, sepertinya sudah klise, dalam makna, dan selalu didiskusikan. Sesungguhnya hal itu tidaklah klise, karena dari waktu ke waktu, persyaratan guru ideal senantiasa berubah sehingga pertumbuhan profesionalnya harus terus menerus dirangsang. Lebih lagi pada era globalisasi yang makin masif dan ekstensif ini, tanpa didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.   
Menurut penulis bahwa pengembangan kompetensi guru dimaksudkan untuk memenuhi tiga kebutuhan yang sungguh pun memiliki keragaman yang jelas, terdapat banyak kesamaan; pertama, kebutuhan sosial untuk meningkatkan kemampuan sistem pendidikan yang efisien dan manusiawi, serta melakukan adaptasi untuk menyusun kebutuhan-kebutuhan sosial; kedua,  kebutuhan untuk menemukan cara-cara untuk membantu staf pendidikan dalam rangka mengembangkan pribadinya secara luas. Dengan demikian, guru dapat mengembangkan potensi sosial dan potensi akademik generasi muda dalam interaksinya dengan lingkungannya; ketiga, kebutuhan untuk mengembangkan dan mendorong keinginan guru untuk menikmati dan mendorong kehidupan pribadinya, seperti membantu siswanya dalam mengembangkan keinginan dan keyakinan memenuhi tuntutan pribadi yang sesuai dengan potensi dasarnya.
Dalam ajaran Islam, kompetensi merupakan awal dari profesionalisme sering dihubungkan dengan kata ahll, kata ahli digunakan pula dalam arti orang yang ahli melakukan suatu pekerjaan atau orang yang sudah berpengalaman dan dapat dipercaya.
B. Pembahasan
1. Pengertian Kompetensi Kepribadian
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata kompetensi mengandung arti “Kewenangan untuk memutuskan atau bertindak”, sedangkan kepribadian mengandung arti “ sifat yang dimiliki seseorang atau suatu bangsa”.[3] Dalam dunia pendidikan, kompetensi adalah kemampuan yang dapat dilakukan seorang guru. Kompetensi mencakup tiga aspek, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan.[4] Kepribadian  adalah kesan yang   diberikan seseorang kepada orang lain yang diperoleh dari apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat yang terungkap melalui perilaku.[5]  
Penulis memandang bahwa kompetensi kepribadian merupakan kompetensi dimiliki oleh seorang guru dalam kegiatan belajar mengajar. Selain kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, seorang guru juga harus memiliki kompetensi kepribadian yang menunjukkan dirinya sebagai seorang guru. Kepribadian seorang guru adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kepribadian seorang guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pendidikan,  khususnya dalam kegiatan pembelajaran. Pribadi seorang guru juga penunjang pembentukan pribadi peserta didik. Hal sangat memungkinkan karena manusia merupakan sosok makhluk yang senantiasa mencontoh, dan di antaranya mencontoh kepribadian seorang guru. Kompetensi kepribadian sangat besar berpengaruhnya, dan memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian peserta didik, dan berperan dalam menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), menyejahterakan masyarakat, bangsa, dan negara secara umum.
 Berkenaan dengan itu, E. Mulyasa dalam bukunya “Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru” menyatakan bahwa:
“Setiap guru dituntut untuk memiliki kompetensi kepribadian  yang memadai, bahkan kompetensi ini akan melandasi atau menjadi landasan bagi kompetensi-kompetensi lainnya. Guru tidak hanya dituntut untuk mampu memaknai pembelajaran, tetapi yang penting adalah bagaimana seorang guru menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik.”[7]    
Guru dipandang sebagai tenaga profesional, sehingga secara pribadi seorang guru juga harus menunjukkan kemampuan kepribadian sebagai kompetensi yang harus dimilikinya. Kepribadian seorang guru merupakan kompetensi yang paling mendasar yang menjiwai kompetensi-kompetensi lain harus dimiliki oleh seorang guru. Sehingga guru bukan hanya mampu memakna pembelajaran yang dilakukannya, tetapi juga bagaimana menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi bagi guru, dan pada akhirnya berdampak pada perbaikan kualitas pribadi siswa.
Kompetensi kepribadian seseorang guru akan terwujud, apabila guru bersangkutan memenuhi syarat-syarat  ditentukan. Ngalim Purwanto dalam bukunya “Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis” menyatakan bahwa:
“Syarat-syarat untuk menjadi guru di antaranya; pertama, berijazah; kedua, sehat jasmani dan rohani; ketiga, takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; keempat, berkelakuan baik; kelima, bertanggung jawab; keenam, berjiwa nasional.”[8]
Berdasarkan pernyataan di atas, bahwa fungsi syarat-syarat pada guru adalah upaya yang dilakukan institusi pendidikan dalam mewujudkan guru sebagai  tenaga yang profesional yang dapat mengantarkan peserta didik ke masa depan yang lebih baik. Pemenuhan syarat-syarat sebagai guru juga untuk membentuk kepribadian guru yang dapat menjadi contoh dan teladan bagi peserta didik. Syarat pertama yang harus dipenuhi adalah  guru harus berijazah. Guru harus memiliki kualifikasi akademiknya sesuai dengan tingkatan pendidikan yang diajarkan. Sehingga guru dapat memberi wewenang dalam menjalan tugas, dan kualitas guru tidak berada di bawah tingkat pendidikan yang diajarkan. Sesuai dengan amanat UU guru dan dosen tidaknya seorang guru tamatan Strata Satu  (S1).
Syarat kedua adalah seorang guru harus sehat jasmani dan rohani. Maksudnya adalah bahwa guru secara fisik guru harus memiliki badan sehat, sehingga performance guru meyakinkan di depan  peserta didik, dan begitu juga dengan kesehatan rohani. Syarat selanjutnya adalah guru  bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkelakuan baik, maksudnya bahwa guru harus beragama dan mempunyai kelakuan baik. Karena tujuan pendidikan adalah membentuk manusia susila. Sehingga sangat mustahil apabila ketakwaan, kesusilaan atau berbudi pekerti baik dibentuk oleh seorang guru yang tidak beragama dan berkelakuan baik.
Kemudian syarat selanjutnya adalah seorang guru juga harus bertanggung jawab dan berjiwa nasional, maksudnya adalah seorang guru bertanggung jawab membentuk peserta didik sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945, yaitu menjadi warga negara yang baik,  dan bersusila. Dan seorang guru berjiwa nasional, sehingga  dengan muda juga dapat membentuk peserta didik yang juga berjiwa nasional. Begitu juga sebaliknya, peserta didik tidak akan berjiwa nasional, apabila guru tidak berjiwa nasional. Salah satu alat untuk menanamkan jiwa nasional dengan bahasa, yaitu dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan belajar mengajar.     
2.  Pentingnya Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian mempunyai kedudukan yang penting bagi seorang guru. Seorang  guru harus sanggup mengenal dan berbuat menurut kesusilaan.  Karena seorang guru yang sangat mengetahui dan memiliki nilai-nilai hidup, norma-norma kesusilaan, keindahan, keagamaan, kebenaran, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai, dan norma-norma.      
Berkenaan dengan ini, E. Mulyasa menyatakan bagaimana  pentingnya kompetensi kepribadian bagi guru sebagai berikut:
“Guru harus berani tampil beda, karena dituntut untuk memberikan dan  memelihara pandangan tentang kepribadian kepada peserta didiknya. Mengembang fungsi ini guru harus terampil dalam berkomunikasi dengan peserta didik di segala umur, sehingga setiap langkah dari proses pendidikan yang dikelolanya dilaksanakan untuk menunjang pengalaman fungsi.” [9]
Penulis memandang bahwa kepribadian seorang guru sangat menunjang dalam proses pembelajaran di sekolah, karena kepribadian guru cerminan prilakunya. Jadi penampilan guru merupakan  persyaratan mutlak yang harus dilakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Guru harus berani tampil beda, dan berupaya mempertahankan kepribadian yang baik di depan siswanya. Sebab posisi siswa berada pada tahap mencontoh apa yang dilakukan oleh guru. Bagi siswa guru adalah sumber inspirasi dan teladan bagi mereka. Terkadang guru hanya mampu menunjukkan contoh, tetapi sangat jarang memberikan contoh. Untuk itu guru harus mampu mempertahankan kepribadian yang baik dengan senantiasa menjalin komunikasi terbuka dengan siswa, sehingga upaya ini menunjang kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru di kelas.
Korelasi dengan pendidikan agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, maka setidaknya kepribadian guru harus dibentuk berdasarkan ajaran agama Islam. Sumber kepribadian seorang guru bukan hanya bersumber dari Allah  SWT, tetapi juga bersumber dan meneladani akhlak Rasulullah SAW.  Kepribadian Rasulullah tercermin dari sifat kenabian yang melekat padanya. Yaitu; pertama, shidiq; kedua, amanah; ketiga,  tabligh; keempat, fathanah. Rasulullah memberikan contoh dan suri teladan dalam mengajarkan Islam kepada umatnya.
 Sifat shidiq berarti berkata benar, artinya sebagai seorang guru harus mempunyai kepribadian yang benar. Hal ini tercermin dari perkataan yang benar. Benar berarti apa yang dikatakan oleh guru adalah suatu kebenaran yang dapat diamalkan oleh peserta didiknya. Guru harus menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan perkataan yang benar dalam kegiatan belajar mengajar. Perkenaan benar ini senantiasa harus menjadi sifat seorang guru dan dipraktekkan sehari-hari.
Amanah adalah sifat yang sangat sulit dipraktekkan, sebab sifat ini lebih pada kepercayaan yang diterapkan ketimbang hasil yang didapatkan. Seorang guru harus menjadikan amanah sebagai senjata pertama dalam membentuk kepribadian, dan merupakan bagian dari kepribadiannya. Dalam amanah ada kepercayaan sebagai standarnya. Ketika guru dipercaya maka ada amanah di sana, karena amanah adalah tepercaya.    Bagaimana ilmu akan disampaikan oleh seorang guru apabila gurunya tidak dipercaya oleh peserta didik, sekolah, dan lingkungannya.
Sifat selanjutnya yang harus dimiliki oleh guru adalah tabligh, yaitu menyampaikan setiap apa yang diketahuinya tanpa ditutup-tutup. Seorang guru harus becermin dari sifat Rasulullah SAW tentang tabligh. Rasulullah senantiasa menyampaikan wahyu yang dia dapatkan dari Allah SWT tanpa dikurangi sedikit pun. Rasulullah SAW mengajarkan kepada bahwa setiap kita harus menyampaikan sesuatu yang bukan hak kita kepada orang lain. Begitu juga dengan seorang guru harus menyampaikan materi pelajaran, sesuai dengan beban tugas yang ditetapkan kepadanya. Menyampaikan setiap materi pelajaran merupakan kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang guru.
Fathanah berarti cerdas, maksudnya seorang guru harus memiliki karakter yang mencerminkan kejeniusan dalam menghadapi sesuatu. Pintar belum tentu cerdas, sedangkan cerdas sudah tentu pintar. Karena di dalam pintar lebih berorientasi pada buku atau referensi yang dikuasainya, dan lebih bersifat formal.  Sedangkan cerdas lebih bersifat multi referensi dan bersifat nonformal. Seorang guru lebih dituntut cerdas ketimbang pintar, karena guru menghadapi berbagai permasalahan yang menuntutnya untuk menyelesaikan, dan mencari solusinya. Jadi kepribadian seorang guru harus dilengkapi dengan sifat fathanah  di antara sifat-sifat yang lainnya.
3.  Beberapa Bentuk Kompetensi  Kepribadian  Guru
a. Kepribadian yang Mantap, Stabil, dan Dewasa
Seorang guru dapat melaksanakan tugas dengan baik, dan  profesional,  apabila guru memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa. Terkadang banyak masalah pendidikan terjadi, disebabkan oleh masalah guru yang tidak memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa. Keadaan kepribadian seperti ini menyebabkan guru melakukan tindakan-tindakan yang tidak profesional dan terpuji, bahkan ada juga guru yang melakukan perbuatan yang tidak senonoh, dan pada akhirnya menjatuhkan martabat guru. Kita sering mendengar berbagai kasus yang disebabkan seorang guru yang tidak memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa di media elektronik atau media massa. Misalnya adanya oknum guru yang mencabuli peserta didiknya, adanya oknum guru yang mencuri, menipu, bahkan berjualan narkoba, dan perbuatan lainnya yang tidak senonoh. Jadi seorang guru harus memiliki  kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa untuk menghindari perbuatan-perbuatan tersebut.      
Berkenaan dengan permasalahan ini, E. Mulyasa menyatakan bahwa:
“Ujian berat bagi guru dalam hal kepribadian ini adalah rangsangan  yang sering memancing emosinya. Kestabilan emosi amat diperlukan, namun tidak semua orang mampu menahan emosi terhadap rangsangan yang menyinggung perasaan, dan memang diakui bahwa setiap orang mempunyai temperamen yang berbeda dengan orang lain. Untuk keperluan tersebut, upaya dalam bentuk latihan mental akan sangat berguna. Guru mudah marah akan membuat peserta didik takut, dan ketakutan mengakibatkan kurangnya minat untuk mengikuti pembelajaran, dan rendahnya konsentrasi. Ketakutan menimbulkan kekhawatiran  untuk dimarahi, dan membelokkan konsentrasi peserta didik.”[12] 
Seorang guru juga harus tetap istiqomah dalam melaksanakan sikap-sikap terpuji sebagai seorang guru. Istiqomah merupakan kunci dalam melanggengkan kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa pada guru. Seorang guru tidak akan terasa aman dari gangguan emosinya, selama guru yang bersangkutan tidak memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa. Emosional seorang guru dapat diketahui oleh peserta didiknya  dengan melihat kata-kata yang dikeluarkan, raut muka, ataupun tindakan-tindakan tertentu. Emosional seharusnya tidak ditampakkan di depan peserta didik, karena menunjukkan kurang stabilnya emosi guru. Kalau dilihat dari akar permasalahan timbulnya emosional dari seorang guru, lebih banyak disebabkan oleh latar belakang guru bersangkutan, peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan masalah, atau tidak mampu mengerjakan pekerjaan yang diperintahkan. Sebenarnya kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa itu berkembang sejalan dengan pengalaman guru. Jadi kematangan kepribadian seorang guru bukan diukur dari selama mana dia menjadi guru, tetapi lebih dari bagaimana dia dapat memanfaatkan pengalaman yang dialami selama menjadi guru.
b.      Disiplin, Arif, dan Berwibawa     
Disiplin harus diterapkan oleh guru dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya. Sekian banyak peserta didik yang melakukan tindakan yang kurang baik di sekolah atau pun masyarakat, melakukan perbuatan asusila, seksualitas di luar nikah, narkoba, dan lainnya,  disebabkan oleh kepribadian mereka yang tidak disiplin. Guru merupakan pelopor pertama dalam  menanamkan disiplin kepada peserta didik. Setidaknya guru harus lebih dahulu memulai menerapkan pada dirinya mempunyai pribadi yang disiplin, arif, dan berwibawa. Hal ini menjadi penting, karena banyak kita menyaksikan peserta  didik yang berprilaku yang bertentangan dengan sikap moral yang baik. Contohnya berambut gondrong, merokok, membolos, melawan guru, berkelahi, dan perbuatan-perbuatan kriminal lainnya. Realita ini menuntut guru harus bersikap disiplin, arif, dan berwibawa dalam segala tindakannya, serta senantiasa mendisiplinkan peserta didik agar dapat meningkatkan kualitas pembelajarannya.  Berkenaan dengan permasalahan ini, E. Mulyasa menyatakan bahwa:
“Dalam pendidikan, mendisiplinkan peserta didik harus dimulai dengan pribadi guru yang disiplin, arif, dan berwibawa. Kita tidak bisa berharap banyak akan terbentuknya peserta didik yang disiplin dari pribadi guru yang kurang disiplin, kurang arif, dan kurang wibawa. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya kita membina disiplin peserta didik dengan pribadi guru yang disiplin, arif, dan berwibawa.”[14]
Jadi kunci utama dalam mendisiplinkan peserta didik di mulai dengan guru mendisiplinkan dirinya. Disiplin harus ditunjukkan untuk membantu peserta didik menemukan jati dirinya. Dalam menanamkan disiplin guru hendaknya bertanggung jawab mengarahkannya, memberikan contoh, sabar, dan penuh pengertian. Guru juga harus mampu mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang, membantu mencari identitas diri, dan menerapkan disiplin diri.
Guru bukan hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran di dalam kelas, tetapi lebih dari itu guru juga bertugas membentuk kompetensi dan pribadi peserta didik.  Dalam hal mendisiplinkan peserta didik,  guru  harus mampu menjadi pembimbing, memberikan contoh, mengawasi prilaku peserta didik, dan mengendalikan semua tingkah laku mereka. Dan guru juga mampu mengarahkan prilaku peserta didik ke arah yang positif, dan menunjang pembelajaran.
c.       Menjadi Teladan Bagi Peserta Didik
Guru harus menjadi teladan bagi peserta didiknya. Teladan ini harus praktekkan oleh guru di mulai dengan cara berbicara, bertingkah laku sampai pada cara berpikirnya, baik di sekolah maupun di lingkungannya (masyarakat). Keteladanan berbicara dimaksudkan agar seorang guru mampu berbicara yang  bermanfaat bagi semua orang mendengarnya termasuk peserta didik. Terkadang guru tidak mampu menunjukkan cara berbicara yang baik sesuai dengan fungsinya. Untuk guru dituntut untuk dapat berbicara dengan baik sesuai dengan perannya sebagai pembimbing yang mengarahkan   peserta didik agar menjadi manusia bermartabat.
Keteladanan bertingkah laku diarahkan agar guru tetap mampu menjaga kehormatan sebagai pendidik. Kedudukan guru merupakan kedudukan terhormat di tengah-tengah masyarakat. Terkadang guru tidak menyadari atas posisinya tersebut, sehingga guru bertindak dan bersikap tidak sesuai dengan kedudukannya.  Terkadang kita melihat seorang guru mampu berbuat yang tidak senonoh dan amoral dihadapan  peserta didiknya. Hal ini terjadi disebabkan oleh guru yang tidak memahami fungsinya sebagai seorang pendidik.
Keteladanan guru juga dilihat dari cara berpikirnya dalam menyelesaikan permasalahan. Cara berpikir guru harus mengarah kepada cara berpikir jangka panjang.  Berpikir yang berorientasi pada bagaimana menyelamatkan peserta didik dari bertindak dan berprilaku yang tidak semua dengan norma-norma yang telah ditetapkan. Guru harus tidak berpikiran sempit, pragmatis, dan egois. Tetapi cara berpikir yang  harus dikembangkan guru adalah cara berpikir yang logis, fleksibel, dan inovatif. Karena dalam hal ini, guru harus lebih mengutamakan manfaat untuk peserta didik  secara komprehensif, ketimbang manfaat secara parsial atau pun relatif.
Berkenaan dengan permasalahan ini, E. Mulyasa menyatakan bahwa:
“Secara teoritis, menjadi teladan merupakan bagian integral dari seorang guru, sehingga menjadi guru berarti menerima tanggung jawab untuk menjadi teladan. Memang setiap profesi mempunyai tuntutan-tuntutan khusus, dan karenanya bila menolak berarti menolak profesi itu.”[15]
Sebagai teladan, tentu saja seorang guru menjadi sorotan kepribadian dan tingkah lakunya dari peserta didik atau lingkungannya. Dan yang perlu akui bahwa guru juga manusia biasa yang tidak terlepas dari kemungkinan khilaf. Guru yang baik adalah yang menyadari kesenjangan antara yang diinginkan dengan apa yang dimilikinya, kemudian menyadari kesalahan dari perbuatan yang dilakukan. Kesalahan yang dilakukan tidak akan diulangi, dan menggantinya dengan perbuatan yang baik pada kesempatan yang lain. Jadi, guru yang baik adalah guru yang menyadari kelebihan, dan kesalahan yang dimilikinya.
d.  Berakhlak Mulia
Kedudukan pendidikan sangat penting dan kuat eratnya kaitan dengan pembinaan akhlak, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pembinaan akhlak dalam Islam adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan agama Islam. Sebab akhlak yang baik adalah yang dianggap baik oleh agama  Islam, dan akhlak yang buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh agama Islam. Sehingga keutamaan-keutamaan akhlak dalam masyarakat akhlak dan keutamaan yang diajarkan oleh agama Islam. Sehingga bagi seorang muslim tidak sempurna agamanya sampai akhlaknya menjadi baik.
Dalam prosesnya akhlak  bersumber pada  agama Islam memuat jumlah ajaran, yang tidak terbatas pada aspek ritual, tetapi juga mencakup aspek peradaban manusia. Di antaranya  aspek peradaban yang dibangun dalam agama Islam menyempurnakan akhlak. Misi utama kerasulan Nabi Muhammad SAW, adalah untuk memperbaiki akhlak umatnya. Oleh karena misinya sebagai pengemban perbaikan budi pekerti, maka beliau Rasulullah senantiasa menunjukkan uswah khasanah (suri teladan yang baik) sebagai internalisasi nilai dan prototype budi pekerti yang baik, agar umatnya dapat menirunya secara mudah.
Peneliti memandang bahwa korelasi dengan guru adalah guru juga harus memiliki akhlak yang mulia, karena guru adalah pembimbing peserta didik. Guru harus menyadari perannya sebagai orang yang diberi percaya, dan penasihat, dia juga harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental, serta berakhlak. Dengan akhlak yang mulia, guru dalam keadaan bagaimanapun harus memiliki kepercayaan diri (rasa percaya diri) yang istiqamah, dan tidak tergoyahkan. Kompetensi kepribadian guru yang dilandasi akhlak mulia tentu saja tidak tumbuh dengan sendirinya begitu saja, tetapi memerlukan ijtihad yang mujadalah, yakni usaha sungguh-sungguh, kerja keras, tanpa mengenal lelah, dengan niat ibadah.   Berkenaan dengan permasalahan ini, E. Mulyasa menyatakan bahwa:
“Guru harus berakhlak mulia, karena ia adalah seorang penasihat bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasihat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasihati orang. [17]    
            Berakhlak yang mulia pada guru adalah suatu hal wajib dipraktekkan  di dalam atau pun di luar kegiatan belajar mengajar. Akhlak merupakan standar dalam menilai bermartabat atau tidaknya seseorang. Begitu juga dengan seorang guru harus selalu berakhlak yang mulia, karena guru merupakan cerminan dari peserta didik. Untuk itu guru harus mampu mempraktekkan prilaku-prilaku baik yang dapat diadopsi oleh peserta didik, sehingga pada akhirnya peserta didik mampu mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Allah Aklamu bish shawab.  
C.    Penutup
1.  Kesimpulan
a.   Kompetensi kepribadian merupakan kompetensi dimiliki oleh seorang guru dalam kegiatan belajar mengajar. Selain kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, seorang guru juga harus memiliki kompetensi kepribadian yang menunjukkan dirinya sebagai seorang guru. Kepribadian seorang guru adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
b. Kompetensi kepribadian sangat penting dimiliki oleh guru karena  sangat menunjang dalam proses pembelajaran di sekolah, karena kepribadian guru cerminan prilakunya. Jadi penampilan guru merupakan  persyaratan mutlak yang harus dilakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Guru harus berani tampil beda, dan berupaya mempertahankan kepribadian yang baik di depan siswanya. Sebab posisi siswa berada pada tahap mencontoh apa yang dilakukan oleh guru. Bagi siswa guru adalah sumber inspirasi dan teladan bagi mereka.
c. Beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, di antaranya memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa, disiplin, arif, dan berwibawa, menjadi teladan, dan berakhlak mulia.
2.  Saran
Penulis mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih disebabkan oleh kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu penulis mengharapkan kritik yang membangun untuk  perbaikan makalah ini pada masa yang akan datang. 

 
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (1996),  Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI.
______, (2006), Undang-Undang dan Peraturan Pemerintahan RI Tentang Pendidikan, Jakarta:  Depag RI.
______, (2010), Kamus Bahasa Indonesia, Semarang : Agung Media Mulia.
Djaali, (2008), Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyasa, E, (2009), Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung:Remaja Rosdakarya.
Purwanto, Ngalim, (2007), Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung:Remaja Rosdakarya.
Yamin,  Martini,(2004) , Pengembangan Kompetensi Pembelajar, Jakarta: UI Press.
 



[1] Anonim, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintahan RI Tentang Pendidikan, Jakarta:  Depag RI, 2006, h. 8.
[3] Anonim, Kamus Bahasa Indonesia, Semarang : Agung Media Mulia, 2010, hh. 335-491
[4] Martinis Yamin, Pengembangan Kompetensi Pembelajar, Jakarta: UI Press, 2004, h. 1.
[5] Djaali, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, h. 2.
[6] Anonim, op.cit., h. 116.
[7] E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2009, hh. 117-118
[8] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2007 h. 139.
[9] E. Mulyasa, op.cit., h. 119.
[10] Anonim, op.cit., h. 415.
[11]  Ibid, h. 916.
[12] Ibid, h. 121.
[13] Anonim, op.cit., h. 777.
[14] Ibid, h. 122.
[15] Ibid, h. 128.
[16] Anonim, op.cit., h. 670.
[17] Ibid, h. 129.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar