KOMPETENSI KEPRIBADIAN
oleh: Said Saleh
oleh: Said Saleh
A. Pendahuluan
Dalam
rangka membangun negara kita ini, maka sangat diperlukan sumber daya manusia
yang berkualitas baik dalam pengesaan ilmu pengetahuan maupun teknologi.
Terlebih lagi dalam pemilikan kepribadian yang dilandasi iman dan takwa
kepada Allah SWT. Untuk mencapai
cita-cita tersebut Pendidikan Nasional
yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional nomor : 20 Tahun 2003, (pasal 2), yaitu:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mendiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[1]
Dalam rumusan
tujuan pendidikan nasional tersebut di atas mengandung ciri-ciri pembentukan
manusia Indonesia seutuhnya yang mempunyai mutu tinggi, baik itu untuk
kebutuhan jasmani dan rohani. Begitu juga dengan guru, profesionalisme guru
sebagai tenaga pendidikan, termasuk tenaga keguruan, menjadi suatu keniscayaan terutama tatkala pendidikan dan pembelajaran semakin diakui keberadaannya
oleh masyarakat. Begitu pentingnya profesionalisme itu, sehingga kebutuhan akan
guru profesional yang makin mendesak adalah sejalan dengan tuntutan akan
kapasitas guru untuk menjadi manajer kelas yang baik. Ini karena di samping
melakukan tugas pendidikan dan pembelajaran, guru juga melaksanakan tugas
manajemen atau administrasi. Kemampuan guru dalam mengelola kelas ini menjadi
keniscayaan, bahkan merupakan salah satu ukuran kemampuan profesionalisme
mereka.
Kalau kita
melihat saat ini terdapat realitas bahwa lembaga pendidikan formal, mulai dari
jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga pendidikan tinggi
mengalami kemajuan pesat secara kuantitatif. Hal ini ditandai oleh peningkatan
jumlah siswa dan angka lulusan dari
tahun ke tahun. Namun, bersamaan dengan ini kesempatan kerja semakin terbatas,
dan kalau pun ada menuntut persyaratan pengetahuan dan keterampilan yang
tinggi. Bagaimana pun kapasitas institusi pendidikan melahirkan lulusan yang
bermutu, tetap saja memiliki keterbatasan.
Di lingkungan
pendidikan formal, pengkajian tentang pembinaan dan pengembangan kemampuan
profesionalisme guru, sepertinya sudah klise, dalam makna, dan selalu
didiskusikan. Sesungguhnya hal itu tidaklah klise, karena dari waktu ke waktu,
persyaratan guru ideal senantiasa berubah sehingga pertumbuhan profesionalnya
harus terus menerus dirangsang. Lebih lagi pada era globalisasi yang makin
masif dan ekstensif ini, tanpa didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas.
Menurut
penulis bahwa pengembangan kompetensi guru dimaksudkan untuk memenuhi tiga
kebutuhan yang sungguh pun memiliki keragaman yang jelas, terdapat banyak
kesamaan; pertama, kebutuhan sosial untuk meningkatkan kemampuan sistem
pendidikan yang efisien dan manusiawi, serta melakukan adaptasi untuk menyusun
kebutuhan-kebutuhan sosial; kedua,
kebutuhan untuk menemukan cara-cara untuk membantu staf pendidikan dalam
rangka mengembangkan pribadinya secara luas. Dengan demikian, guru dapat
mengembangkan potensi sosial dan potensi akademik generasi muda dalam
interaksinya dengan lingkungannya; ketiga, kebutuhan untuk mengembangkan
dan mendorong keinginan guru untuk menikmati dan mendorong kehidupan
pribadinya, seperti membantu siswanya dalam mengembangkan keinginan dan
keyakinan memenuhi tuntutan pribadi yang sesuai dengan potensi dasarnya.
Dalam
ajaran Islam, kompetensi merupakan awal dari profesionalisme sering dihubungkan
dengan kata ahll, kata ahli digunakan pula dalam arti orang yang ahli
melakukan suatu pekerjaan atau orang yang sudah berpengalaman dan dapat
dipercaya.
B. Pembahasan
1. Pengertian
Kompetensi Kepribadian
Dalam Kamus
Bahasa Indonesia kata kompetensi mengandung arti “Kewenangan untuk memutuskan
atau bertindak”, sedangkan kepribadian mengandung arti “ sifat yang dimiliki
seseorang atau suatu bangsa”.[3]
Dalam dunia pendidikan, kompetensi adalah kemampuan yang dapat dilakukan seorang
guru. Kompetensi mencakup tiga aspek, yaitu pengetahuan, sikap, dan
keterampilan.[4] Kepribadian
adalah kesan yang diberikan
seseorang kepada orang lain yang diperoleh dari apa yang dipikirkan, dirasakan,
dan diperbuat yang terungkap melalui perilaku.[5]
Penulis memandang bahwa kompetensi kepribadian merupakan kompetensi dimiliki
oleh seorang guru dalam kegiatan belajar mengajar. Selain kompetensi pedagogik,
kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, seorang guru juga harus memiliki
kompetensi kepribadian yang menunjukkan dirinya sebagai seorang guru. Kepribadian
seorang guru adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif,
dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Kepribadian seorang guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan
pendidikan, khususnya dalam kegiatan
pembelajaran. Pribadi seorang guru juga penunjang pembentukan pribadi peserta
didik. Hal sangat memungkinkan karena manusia merupakan sosok makhluk yang
senantiasa mencontoh, dan di antaranya mencontoh kepribadian seorang guru. Kompetensi
kepribadian sangat besar berpengaruhnya, dan memiliki peran dan fungsi yang
sangat penting dalam membentuk kepribadian peserta didik, dan berperan dalam
menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), menyejahterakan
masyarakat, bangsa, dan negara secara umum.
Berkenaan
dengan itu, E. Mulyasa dalam bukunya “Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru”
menyatakan bahwa:
“Setiap guru dituntut untuk memiliki kompetensi kepribadian yang memadai, bahkan kompetensi ini akan melandasi
atau menjadi landasan bagi kompetensi-kompetensi lainnya. Guru tidak hanya
dituntut untuk mampu memaknai pembelajaran, tetapi yang penting adalah
bagaimana seorang guru menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan
kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik.”[7]
Guru dipandang
sebagai tenaga profesional, sehingga secara pribadi seorang guru juga harus
menunjukkan kemampuan kepribadian sebagai kompetensi yang harus dimilikinya. Kepribadian
seorang guru merupakan kompetensi yang paling mendasar yang menjiwai
kompetensi-kompetensi lain harus dimiliki oleh seorang guru. Sehingga guru bukan
hanya mampu memakna pembelajaran yang dilakukannya, tetapi juga bagaimana
menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi bagi guru, dan
pada akhirnya berdampak pada perbaikan kualitas pribadi siswa.
Kompetensi
kepribadian seseorang guru akan terwujud, apabila guru bersangkutan memenuhi
syarat-syarat ditentukan. Ngalim
Purwanto dalam bukunya “Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis” menyatakan bahwa:
“Syarat-syarat untuk menjadi guru di antaranya; pertama,
berijazah; kedua, sehat jasmani dan rohani; ketiga, takwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa; keempat, berkelakuan baik; kelima, bertanggung
jawab; keenam, berjiwa nasional.”[8]
Berdasarkan
pernyataan di atas, bahwa fungsi syarat-syarat pada guru adalah upaya yang
dilakukan institusi pendidikan dalam mewujudkan guru sebagai tenaga yang profesional yang dapat
mengantarkan peserta didik ke masa depan yang lebih baik. Pemenuhan
syarat-syarat sebagai guru juga untuk membentuk kepribadian guru yang dapat
menjadi contoh dan teladan bagi peserta didik. Syarat pertama yang harus
dipenuhi adalah guru harus berijazah.
Guru harus memiliki kualifikasi akademiknya sesuai dengan tingkatan pendidikan yang
diajarkan. Sehingga guru dapat memberi wewenang dalam menjalan tugas, dan kualitas
guru tidak berada di bawah tingkat pendidikan yang diajarkan. Sesuai dengan
amanat UU guru dan dosen tidaknya seorang guru tamatan Strata Satu (S1).
Syarat kedua
adalah seorang guru harus sehat jasmani dan rohani. Maksudnya adalah bahwa guru
secara fisik guru harus memiliki badan sehat, sehingga performance guru meyakinkan
di depan peserta didik, dan begitu juga
dengan kesehatan rohani. Syarat selanjutnya adalah guru bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berkelakuan baik, maksudnya bahwa guru harus beragama dan mempunyai kelakuan
baik. Karena tujuan pendidikan adalah membentuk manusia susila. Sehingga sangat
mustahil apabila ketakwaan, kesusilaan atau berbudi pekerti baik dibentuk oleh
seorang guru yang tidak beragama dan berkelakuan baik.
Kemudian syarat
selanjutnya adalah seorang guru juga harus bertanggung jawab dan berjiwa
nasional, maksudnya adalah seorang guru bertanggung jawab membentuk peserta
didik sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945, yaitu menjadi warga negara
yang baik, dan bersusila. Dan seorang
guru berjiwa nasional, sehingga dengan
muda juga dapat membentuk peserta didik yang juga berjiwa nasional. Begitu juga
sebaliknya, peserta didik tidak akan berjiwa nasional, apabila guru tidak
berjiwa nasional. Salah satu alat untuk menanamkan jiwa nasional dengan bahasa,
yaitu dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan belajar mengajar.
2. Pentingnya
Kompetensi Kepribadian
Kompetensi
kepribadian mempunyai kedudukan yang penting bagi seorang guru. Seorang guru harus sanggup mengenal dan berbuat menurut
kesusilaan. Karena seorang guru yang
sangat mengetahui dan memiliki nilai-nilai hidup, norma-norma kesusilaan, keindahan,
keagamaan, kebenaran, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai, dan norma-norma.
Berkenaan
dengan ini, E. Mulyasa menyatakan bagaimana pentingnya kompetensi kepribadian bagi guru
sebagai berikut:
“Guru harus berani tampil beda, karena dituntut
untuk memberikan dan memelihara
pandangan tentang kepribadian kepada peserta didiknya. Mengembang fungsi ini
guru harus terampil dalam berkomunikasi dengan peserta didik di segala umur,
sehingga setiap langkah dari proses pendidikan yang dikelolanya dilaksanakan untuk
menunjang pengalaman fungsi.” [9]
Penulis memandang
bahwa kepribadian seorang guru sangat menunjang dalam proses pembelajaran di
sekolah, karena kepribadian guru cerminan prilakunya. Jadi penampilan guru merupakan
persyaratan mutlak yang harus dilakukan
kegiatan belajar mengajar di sekolah. Guru harus berani tampil beda, dan
berupaya mempertahankan kepribadian yang baik di depan siswanya. Sebab posisi
siswa berada pada tahap mencontoh apa yang dilakukan oleh guru. Bagi siswa guru
adalah sumber inspirasi dan teladan bagi mereka. Terkadang guru hanya mampu
menunjukkan contoh, tetapi sangat jarang memberikan contoh. Untuk itu guru
harus mampu mempertahankan kepribadian yang baik dengan senantiasa menjalin
komunikasi terbuka dengan siswa, sehingga upaya ini menunjang kegiatan belajar
mengajar yang dilakukan oleh guru di kelas.
Korelasi
dengan pendidikan agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, maka
setidaknya kepribadian guru harus dibentuk berdasarkan ajaran agama Islam. Sumber
kepribadian seorang guru bukan hanya bersumber dari Allah SWT, tetapi juga bersumber dan meneladani akhlak
Rasulullah SAW. Kepribadian Rasulullah tercermin
dari sifat kenabian yang melekat padanya. Yaitu; pertama, shidiq; kedua,
amanah; ketiga, tabligh; keempat,
fathanah. Rasulullah memberikan contoh dan suri teladan dalam mengajarkan Islam
kepada umatnya.
Sifat shidiq
berarti berkata benar, artinya sebagai seorang guru harus mempunyai kepribadian
yang benar. Hal ini tercermin dari perkataan yang benar. Benar berarti apa yang
dikatakan oleh guru adalah suatu kebenaran yang dapat diamalkan oleh peserta
didiknya. Guru harus menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan perkataan
yang benar dalam kegiatan belajar mengajar. Perkenaan benar ini senantiasa harus
menjadi sifat seorang guru dan dipraktekkan sehari-hari.
Amanah
adalah sifat yang sangat sulit dipraktekkan, sebab sifat ini lebih pada
kepercayaan yang diterapkan ketimbang hasil yang didapatkan. Seorang guru harus
menjadikan amanah sebagai senjata pertama dalam membentuk kepribadian, dan
merupakan bagian dari kepribadiannya. Dalam amanah ada kepercayaan sebagai standarnya.
Ketika guru dipercaya maka ada amanah di sana, karena amanah adalah tepercaya. Bagaimana ilmu akan disampaikan oleh seorang
guru apabila gurunya tidak dipercaya oleh peserta didik, sekolah, dan
lingkungannya.
Sifat
selanjutnya yang harus dimiliki oleh guru adalah tabligh, yaitu menyampaikan
setiap apa yang diketahuinya tanpa ditutup-tutup. Seorang guru harus becermin
dari sifat Rasulullah SAW tentang tabligh. Rasulullah senantiasa menyampaikan
wahyu yang dia dapatkan dari Allah SWT tanpa dikurangi sedikit pun. Rasulullah
SAW mengajarkan kepada bahwa setiap kita harus menyampaikan sesuatu yang bukan
hak kita kepada orang lain. Begitu juga dengan seorang guru harus menyampaikan
materi pelajaran, sesuai dengan beban tugas yang ditetapkan kepadanya.
Menyampaikan setiap materi pelajaran merupakan kepribadian yang harus dimiliki
oleh seorang guru.
Fathanah
berarti cerdas, maksudnya seorang guru harus memiliki karakter yang
mencerminkan kejeniusan dalam menghadapi sesuatu. Pintar belum tentu cerdas,
sedangkan cerdas sudah tentu pintar. Karena di dalam pintar lebih berorientasi
pada buku atau referensi yang dikuasainya, dan lebih bersifat formal. Sedangkan cerdas lebih bersifat multi
referensi dan bersifat nonformal. Seorang guru lebih dituntut cerdas ketimbang pintar,
karena guru menghadapi berbagai permasalahan yang menuntutnya untuk
menyelesaikan, dan mencari solusinya. Jadi kepribadian seorang guru harus
dilengkapi dengan sifat fathanah di
antara sifat-sifat yang lainnya.
3. Beberapa Bentuk
Kompetensi Kepribadian Guru
a.
Kepribadian yang Mantap, Stabil, dan Dewasa
Seorang guru dapat
melaksanakan tugas dengan baik, dan
profesional, apabila guru
memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa. Terkadang banyak masalah
pendidikan terjadi, disebabkan oleh masalah guru yang tidak memiliki
kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa. Keadaan kepribadian seperti ini
menyebabkan guru melakukan tindakan-tindakan yang tidak profesional dan
terpuji, bahkan ada juga guru yang melakukan perbuatan yang tidak senonoh, dan
pada akhirnya menjatuhkan martabat guru. Kita sering mendengar berbagai kasus yang
disebabkan seorang guru yang tidak memiliki kepribadian yang mantap, stabil,
dan dewasa di media elektronik atau media massa. Misalnya adanya oknum guru
yang mencabuli peserta didiknya, adanya oknum guru yang mencuri, menipu, bahkan
berjualan narkoba, dan perbuatan lainnya yang tidak senonoh. Jadi seorang guru harus
memiliki kepribadian yang mantap,
stabil, dan dewasa untuk menghindari perbuatan-perbuatan tersebut.
Berkenaan
dengan permasalahan ini, E. Mulyasa menyatakan bahwa:
“Ujian berat bagi guru dalam
hal kepribadian ini adalah rangsangan yang
sering memancing emosinya. Kestabilan emosi amat diperlukan, namun tidak semua
orang mampu menahan emosi terhadap rangsangan yang menyinggung perasaan, dan
memang diakui bahwa setiap orang mempunyai temperamen yang berbeda dengan orang
lain. Untuk keperluan tersebut, upaya dalam bentuk latihan mental akan sangat
berguna. Guru mudah marah akan membuat peserta didik takut, dan ketakutan
mengakibatkan kurangnya minat untuk mengikuti pembelajaran, dan rendahnya
konsentrasi. Ketakutan menimbulkan kekhawatiran untuk dimarahi, dan membelokkan konsentrasi
peserta didik.”[12]
Seorang guru juga
harus tetap istiqomah dalam melaksanakan sikap-sikap terpuji sebagai seorang
guru. Istiqomah merupakan kunci dalam melanggengkan kepribadian yang mantap,
stabil, dan dewasa pada guru. Seorang
guru tidak akan terasa aman dari gangguan emosinya, selama guru yang
bersangkutan tidak memiliki kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa.
Emosional seorang guru dapat diketahui oleh peserta didiknya dengan melihat kata-kata yang dikeluarkan,
raut muka, ataupun tindakan-tindakan tertentu. Emosional seharusnya tidak
ditampakkan di depan peserta didik, karena menunjukkan kurang stabilnya emosi
guru. Kalau dilihat dari akar permasalahan timbulnya emosional dari seorang
guru, lebih banyak disebabkan oleh latar belakang guru bersangkutan, peserta
didik yang tidak mampu menyelesaikan masalah, atau tidak mampu mengerjakan
pekerjaan yang diperintahkan. Sebenarnya kepribadian yang mantap, stabil, dan
dewasa itu berkembang sejalan dengan pengalaman guru. Jadi kematangan
kepribadian seorang guru bukan diukur dari selama mana dia menjadi guru, tetapi
lebih dari bagaimana dia dapat memanfaatkan pengalaman yang dialami selama menjadi
guru.
b. Disiplin, Arif,
dan Berwibawa
Disiplin
harus diterapkan oleh guru dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya.
Sekian banyak peserta didik yang melakukan tindakan yang kurang baik di sekolah
atau pun masyarakat, melakukan perbuatan asusila, seksualitas di luar nikah,
narkoba, dan lainnya, disebabkan oleh kepribadian
mereka yang tidak disiplin. Guru merupakan pelopor pertama dalam menanamkan disiplin kepada peserta didik.
Setidaknya guru harus lebih dahulu memulai menerapkan pada dirinya mempunyai pribadi
yang disiplin, arif, dan berwibawa. Hal ini menjadi penting, karena banyak kita
menyaksikan peserta didik yang
berprilaku yang bertentangan dengan sikap moral yang baik. Contohnya berambut
gondrong, merokok, membolos, melawan guru, berkelahi, dan perbuatan-perbuatan
kriminal lainnya. Realita ini menuntut guru harus bersikap disiplin, arif, dan
berwibawa dalam segala tindakannya, serta senantiasa mendisiplinkan peserta
didik agar dapat meningkatkan kualitas pembelajarannya. Berkenaan
dengan permasalahan ini, E. Mulyasa menyatakan bahwa:
“Dalam pendidikan, mendisiplinkan peserta didik
harus dimulai dengan pribadi guru yang disiplin, arif, dan berwibawa. Kita
tidak bisa berharap banyak akan terbentuknya peserta didik yang disiplin dari
pribadi guru yang kurang disiplin, kurang arif, dan kurang wibawa. Oleh karena
itu, sekaranglah saatnya kita membina disiplin peserta didik dengan pribadi
guru yang disiplin, arif, dan berwibawa.”[14]
Jadi kunci utama
dalam mendisiplinkan peserta didik di mulai dengan guru mendisiplinkan dirinya.
Disiplin harus ditunjukkan untuk membantu peserta didik menemukan jati dirinya.
Dalam menanamkan disiplin guru hendaknya bertanggung jawab mengarahkannya,
memberikan contoh, sabar, dan penuh pengertian. Guru juga harus mampu
mendisiplinkan peserta didik dengan kasih sayang, membantu mencari identitas
diri, dan menerapkan disiplin diri.
Guru bukan
hanya bertugas menyampaikan materi pelajaran di dalam kelas, tetapi lebih dari
itu guru juga bertugas membentuk kompetensi dan pribadi peserta didik. Dalam hal mendisiplinkan peserta didik, guru harus
mampu menjadi pembimbing, memberikan contoh, mengawasi prilaku peserta didik,
dan mengendalikan semua tingkah laku mereka. Dan guru juga mampu mengarahkan
prilaku peserta didik ke arah yang positif, dan menunjang pembelajaran.
c. Menjadi Teladan
Bagi Peserta Didik
Guru harus
menjadi teladan bagi peserta didiknya. Teladan ini harus praktekkan oleh guru
di mulai dengan cara berbicara, bertingkah laku sampai pada cara berpikirnya,
baik di sekolah maupun di lingkungannya (masyarakat). Keteladanan berbicara
dimaksudkan agar seorang guru mampu berbicara yang bermanfaat bagi semua orang mendengarnya termasuk
peserta didik. Terkadang guru tidak mampu menunjukkan cara berbicara yang baik
sesuai dengan fungsinya. Untuk guru dituntut untuk dapat berbicara dengan baik
sesuai dengan perannya sebagai pembimbing yang mengarahkan peserta
didik agar menjadi manusia bermartabat.
Keteladanan
bertingkah laku diarahkan agar guru tetap mampu menjaga kehormatan sebagai
pendidik. Kedudukan guru merupakan kedudukan terhormat di tengah-tengah
masyarakat. Terkadang guru tidak menyadari atas posisinya tersebut, sehingga
guru bertindak dan bersikap tidak sesuai dengan kedudukannya. Terkadang kita melihat seorang guru mampu
berbuat yang tidak senonoh dan amoral dihadapan
peserta didiknya. Hal ini terjadi disebabkan oleh guru yang tidak
memahami fungsinya sebagai seorang pendidik.
Keteladanan
guru juga dilihat dari cara berpikirnya dalam menyelesaikan permasalahan. Cara
berpikir guru harus mengarah kepada cara berpikir jangka panjang. Berpikir yang berorientasi pada bagaimana
menyelamatkan peserta didik dari bertindak dan berprilaku yang tidak semua
dengan norma-norma yang telah ditetapkan. Guru harus tidak berpikiran sempit,
pragmatis, dan egois. Tetapi cara berpikir yang
harus dikembangkan guru adalah cara berpikir yang logis, fleksibel, dan inovatif.
Karena dalam hal ini, guru harus lebih mengutamakan manfaat untuk peserta didik
secara komprehensif, ketimbang manfaat
secara parsial atau pun relatif.
Berkenaan
dengan permasalahan ini, E. Mulyasa menyatakan bahwa:
“Secara teoritis, menjadi
teladan merupakan bagian integral dari seorang guru, sehingga menjadi guru berarti
menerima tanggung jawab untuk menjadi teladan. Memang setiap profesi mempunyai
tuntutan-tuntutan khusus, dan karenanya bila menolak berarti menolak profesi
itu.”[15]
Sebagai teladan,
tentu saja seorang guru menjadi sorotan kepribadian dan tingkah lakunya dari
peserta didik atau lingkungannya. Dan yang perlu akui bahwa guru juga manusia
biasa yang tidak terlepas dari kemungkinan khilaf. Guru yang baik adalah yang
menyadari kesenjangan antara yang diinginkan dengan apa yang dimilikinya,
kemudian menyadari kesalahan dari perbuatan yang dilakukan. Kesalahan yang
dilakukan tidak akan diulangi, dan menggantinya dengan perbuatan yang baik pada
kesempatan yang lain. Jadi, guru yang baik adalah guru yang menyadari kelebihan,
dan kesalahan yang dimilikinya.
d. Berakhlak Mulia
Kedudukan
pendidikan sangat penting dan kuat eratnya kaitan dengan pembinaan akhlak,
tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pembinaan akhlak dalam Islam adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan agama Islam. Sebab akhlak yang
baik adalah yang dianggap baik oleh agama
Islam, dan akhlak yang buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh agama
Islam. Sehingga keutamaan-keutamaan akhlak dalam masyarakat akhlak dan
keutamaan yang diajarkan oleh agama Islam. Sehingga bagi seorang muslim tidak
sempurna agamanya sampai akhlaknya menjadi baik.
Dalam
prosesnya akhlak bersumber pada agama Islam memuat jumlah ajaran, yang tidak
terbatas pada aspek ritual, tetapi juga mencakup aspek peradaban manusia. Di
antaranya aspek peradaban yang dibangun
dalam agama Islam menyempurnakan akhlak. Misi utama kerasulan Nabi Muhammad
SAW, adalah untuk memperbaiki akhlak umatnya. Oleh karena misinya sebagai
pengemban perbaikan budi pekerti, maka beliau Rasulullah senantiasa menunjukkan
uswah khasanah (suri teladan yang baik) sebagai internalisasi nilai dan prototype
budi pekerti yang baik, agar umatnya dapat menirunya secara mudah.
Peneliti memandang
bahwa korelasi dengan guru adalah guru juga harus memiliki akhlak yang mulia,
karena guru adalah pembimbing peserta didik. Guru harus menyadari perannya sebagai
orang yang diberi percaya, dan penasihat, dia juga harus memahami psikologi
kepribadian dan ilmu kesehatan mental, serta berakhlak. Dengan akhlak yang
mulia, guru dalam keadaan bagaimanapun harus memiliki kepercayaan diri (rasa
percaya diri) yang istiqamah, dan tidak tergoyahkan. Kompetensi kepribadian guru
yang dilandasi akhlak mulia tentu saja tidak tumbuh dengan sendirinya begitu
saja, tetapi memerlukan ijtihad yang mujadalah, yakni usaha sungguh-sungguh,
kerja keras, tanpa mengenal lelah, dengan niat ibadah. Berkenaan
dengan permasalahan ini, E. Mulyasa menyatakan bahwa:
“Guru harus berakhlak mulia,
karena ia adalah seorang penasihat bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua,
meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasihat dan dalam
beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasihati orang. [17]
Berakhlak yang mulia pada guru adalah suatu
hal wajib dipraktekkan di dalam atau pun
di luar kegiatan belajar mengajar. Akhlak merupakan standar dalam menilai
bermartabat atau tidaknya seseorang. Begitu juga dengan seorang guru harus
selalu berakhlak yang mulia, karena guru merupakan cerminan dari peserta didik.
Untuk itu guru harus mampu mempraktekkan prilaku-prilaku baik yang dapat
diadopsi oleh peserta didik, sehingga pada akhirnya peserta didik mampu
mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Allah Aklamu bish shawab.
C. Penutup
1. Kesimpulan
a. Kompetensi
kepribadian merupakan kompetensi dimiliki oleh seorang guru dalam kegiatan
belajar mengajar. Selain kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi
sosial, seorang guru juga harus memiliki kompetensi kepribadian yang
menunjukkan dirinya sebagai seorang guru. Kepribadian seorang guru adalah
kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi
teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
b. Kompetensi
kepribadian sangat penting dimiliki oleh guru karena sangat menunjang dalam proses pembelajaran di
sekolah, karena kepribadian guru cerminan prilakunya. Jadi penampilan guru
merupakan persyaratan mutlak yang harus
dilakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Guru harus berani tampil beda,
dan berupaya mempertahankan kepribadian yang baik di depan siswanya. Sebab
posisi siswa berada pada tahap mencontoh apa yang dilakukan oleh guru. Bagi
siswa guru adalah sumber inspirasi dan teladan bagi mereka.
c. Beberapa kompetensi
yang harus dimiliki oleh guru, di antaranya memiliki kepribadian yang mantap,
stabil, dan dewasa, disiplin, arif, dan berwibawa, menjadi teladan, dan
berakhlak mulia.
2. Saran
Penulis mengakui makalah ini jauh dari kesempurnaan, dan hal ini lebih
disebabkan oleh kekurangan referensi yang dimiliki oleh penulis, maka untuk itu
penulis mengharapkan kritik yang membangun untuk perbaikan makalah ini pada masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
(1996), Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Jakarta: Depag RI.
______, (2006), Undang-Undang dan Peraturan Pemerintahan RI Tentang
Pendidikan, Jakarta: Depag RI.
______, (2010), Kamus Bahasa Indonesia, Semarang :
Agung Media Mulia.
Djaali,
(2008), Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyasa, E, (2009), Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru,
Bandung:Remaja Rosdakarya.
Purwanto,
Ngalim, (2007), Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung:Remaja
Rosdakarya.
Yamin, Martini,(2004) , Pengembangan Kompetensi
Pembelajar, Jakarta: UI Press.
[1] Anonim, Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintahan RI Tentang Pendidikan, Jakarta: Depag RI, 2006, h. 8.
[3] Anonim, Kamus Bahasa Indonesia,
Semarang : Agung Media Mulia, 2010, hh. 335-491
[4] Martinis Yamin, Pengembangan Kompetensi
Pembelajar, Jakarta: UI Press, 2004, h. 1.
[5] Djaali, Psikologi Pendidikan,
Jakarta: Bumi Aksara, 2008, h. 2.
[6] Anonim, op.cit., h. 116.
[7] E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan
Sertifikasi Guru, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2009, hh. 117-118
[8] Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan
Teoretis dan Praktis, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2007 h. 139.
[9] E. Mulyasa, op.cit., h. 119.
[10] Anonim, op.cit., h. 415.
[11] Ibid, h. 916.
[12] Ibid, h. 121.
[13] Anonim, op.cit., h. 777.
[14] Ibid, h. 122.
[15] Ibid, h. 128.
[16] Anonim, op.cit., h. 670.
[17] Ibid, h. 129.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar