PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIKULTURAL
Dikutip dari :
http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/10/
pembelajaran-berbasis-multikultural/
pembelajaran-berbasis-multikultural/
Apa itu Pembelajaran Berbasis Multikultural?
Pembelajaran
multikultural adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui,
menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan
gender, ras, kelas, (Sleeter and Grant, 1988). Pendidikan multikultural adalah
suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras,
budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang
(Skeel, 1995). Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan
strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan
dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap
multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah
sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep
kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas
(Liliweri, 2005). Pendidikan multuikultural didefinisikan sebagai sebuah
kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan
saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat.
Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa
agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan
demokrasi yang ideal bagi bangsanya (Banks, 1993).
Dalam konteks
yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara
demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai
bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah
dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan
aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek; dimana
para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan
menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan
prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya
dan kelompok status sosialnya.
Pembelajaran
berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan,
keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat
pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif
menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan
multikultural bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan
pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum
yang berperan bagi kompetisi budaya individual.
Pembelajaran
berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa
hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja
bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara
langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan
dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan
kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik
nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat (Savage &
Armstrong, 1996). Pendidikan multikultural diselenggarakan dalam upaya
mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai
perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap
positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis. (Farris & Cooper, 1994).
Tujuan
pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi: (1) untuk
memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka
ragam; (2) untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap
perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3) memberikan ketahanan
siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan
sosialnya; (4) untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan
lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan
kelompok (Banks, dalam Skeel, 1995)
Di samping
itu, pembelajaran berbasis multikultural dibangun atas dasar konsep pendidikan
untuk kebebasan (Dickerson, 1993; Banks, 1994); yang bertujuan untuk: (1)
membantu siswa atau mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan
untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan masyarakat; (2) memajukan
kekebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan budaya
untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.
Mengapa perlu Pembelajaran Berbasis Multikultural?
Rasional
tentang pentingnya pendidikan multikultural, karena startegi pendidikan ini
dipandang memiliki keutamaan-keutamaan, terutama dalam: (1) memberikan
terobosan baru pembelajaran yang mampu meningkatkan empati dan mengurangi
prasangka siswa atau mahasiswa sehingga tercipta manusia (warga negara)
antarbudaya yang mampu menyelesaikan konflik dengan tanpa kekerasan
(nonviolent); (2) menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang
potensial dalam mengedepankan proses interaksi sosial dan memiliki kandungan
afeksi yang kuat; (3) model pembelajaran multikultural membantu guru dalam
mengelola proses pembelajaran menjadi lebih efisien dan efektif, terutama
memberikan kemampuan peserta didik dalam membangun kolaboratif dan memiliki
komitmen nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk; (4)
memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian dan mengelola
konflik yang bernuansa SARA yang timbul di masyarakat dengan cara meningkatkan
empati dan mengurangi prasangka.
Kondisi
keberagaman masyarakat dan budaya, secara positif menggambarkan kekayaan
potensi sebuah masyarakat yang bertipe pluralis, namun secara negatif orang
merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya orang lain. Setiap
etnik atau ras cenderung mempunyai semangat dan ideologi yang etnosentris, yang
menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras
lain (Jones, dalam Liliweri, 2003). Terjadinya tidak saling mengenal identitas
budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain,
berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang
diekspresikan sebagai perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok
secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota
kelompok tertentu. Secara demikian, prasangka memiliki potensi dalam
mengambinghitamkan orang lain melalui stereotipe, diskriminasi dan penciptaan
jarak sosial (Bennet dan Janet, 1996)
Melalui
pembelajaran multikultural, subyek belajar dapat mencapai kesuksesan dalam
mengurangi prasangka dan diskriminasi (Banks, 1996). Dengan kata lain, variabel
sekolah terbentuk dimana besar kelompok rasial dan etnis yang memiliki
pengalaman dan hak yang sama dalam proses pendidikan. Pelajar mampu
mengembangkan keterampilannya dalam memutuskan sesuatu secara bijak. Mereka
lebih menjadi suatu subyek dari pada menjadi obyek dalam suatu kurikulum.
Mereka menjadi individu yang mampu mengatur dirinya sendiri dan merefleksi
kehidupan untuk bertindak secara aktif. Mereka membuat keputusan dan melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan konsep, pokok-pokok masalah yang mereka
pelajari. Mereka mengembangkan visi sosial yang lebih baik dan memperoleh ilmu
pengetahuan dan keterampilan serta mengkonstruksinya dengan sistematis dan empatis.
Seharusnya guru mengetahui bagaimana berperilaku terhadap para pelajar yang
bermacam-macam kulturnya di dalam kelas. Mereka mengetahui perbedaan-perbedaan
nilai-nilai dan kultur dan bentuk-bentuk perilaku yang beraneka ragam.
Dimensi dan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Multikultural
James A. Banks (1993, 1994-a),
mengidentifikasi ada lima
dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam
mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan
pelajar (siswa), yaitu:
- Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
- Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;
- Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.
- Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.
- Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.
Pendekatan
yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran di kelas multikultural adalah
pendekatan kajian kelompok tunggal (Single Group Studies) dan pendekatan
perspektif ganda (Multiple Perspektives Approach). Pendidikan multikultural di Indonesia pada
umumnya memakai pendekatan kajian kelompok tunggal. Pendekatan ini dirancang
untuk membantu siswa dalam mempelajari pandangan-pandangan kelompok tertentu
secara lebih mendalam. Oleh karena itu, harus tersedia data-data tentang
sejarah kelompok itu, kebiasaan, pakaian, rumah, makanan, agama yang dianut,
dan tradisi lainnya. Data tentang kontribusi kelompok itu terhadap perkembangan
musik, sastra, ilmu pengetahuan, politik dan lain-lain harus dihadapkan pada
siswa. Pendekatan ini terfokus pada isu-isu yang sarat dengan nilai-nilai
kelompok yang sedang dikaji.
Sedangkan
pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspectives) adalah pendekatan yang
terfokus pada isu tunggal yang dibahas dari berbagai perspektif
kelompok-kelompok yang berbeda. Pada umumnya, guru-guru memiliki berbagai
perspektif dalam pembelajarannya. Dalam kaitan ini, Bannet dan Spalding (1992)
menyarankan agar pembelajaran menggunakan pendekatan perspektif ganda, dengan
alasan pendekatan itu nampak lebih efektif.
Pendekatan
perspektif ganda membantu siswa untuk menyadari bahwa suatu peristiwa umum
sering diinterpretasikan secara berbeda oleh orang lain, dimana interpretasinya
sering didasarkan atas nilai-nilai kelompok yang mereka ikuti. Solusi yang
dianggap baik oleh suatu kelompok (karena solusi itu sesuai dengan
nilai-nilainya), sering tidak dianggap baik oleh kelompok lainnya karena tidak
cocok dengan nilai yang diikutinya (Savage & Armstrong, 1996). Keunggulan
pendekatan perspektif ganda ini terletak pada proses berpikir kritis terhadap
isu yang sedang dibahas sehingga mendorong siswa untuk menghilangkan prasangka
buruk. Interaksi dengan pandangan kelompok yang berbeda-bebada memungkinkan
siswa untuk berempati. Hasil penelitian (Byrnes, 1988) membuktikan bahwa siswa
yang rendah prasangkanya menunjukkan sikap yang lebih sensitif dan terbuka
terhadap pandangan orang lain. Mereka juga mampu berpikir kritis, karena mereka
lebih bersikap terbuka, fleksibel, dan menaruh hormat pada pendapat yang
berbeda (Walsh, 1988). Bahan pelajaran dan aktivitas belajar yang kuat aspek
afektifnya tentang kehidupan bersama dalam perbedaan kultur terbukti efektif
untuk mengembangkan perspektif yang fleksibel (Byrnes, 1988). Siswa yang
memiliki rasa empati yang besar memungkinkan dia untuk menaruh rasa hormat
terhadap perbedaan cara pandang. Tentu saja hal itu akan mampu mengurangi
prasangka buruk terhadap kelompok lain. Membaca buku sastra multietnik dapat
mengurangi stereotipe negatif tentang budaya orang lain (Walker-Dalhouse,
1992). Pendekatan perspektif ganda mengandung dua sasaran yaitu meningkatkan
empati dan menurunkan prasangka. Empati terhadap kultur yang berbeda merupakan
prasyarat bagi upaya menurunkan prasangka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar