SYEKH AHMAD KHATIB AL-MINANG KABAWI
Pendidikan Islam
menurut sistem lama, hanya terdiri dari dua tingkat saja : pengajian qur’an dan
pengajian kitab. Hampir seluruh pendidikan Islam di Indonesia seperti demikian
keadaannya. Kemudian banyaklah pelajar-pelajar dan guru-guru agama di
Minangkabau pergi naik haji ke Mekah, serta bermukim di sana melanjutkan
pelajarannya bertahun-tahun lamanya. Terutama pada waktu itu di Masjidil Haram
ada guru besar’Alim ‘Allamah dari bangsa Indonesia, seperti Syekh Akhmad Khatib
Minangkabau, Imam Syafi’i di Masjidil Haram, Syekh Nawawi Banten, Syekh Banjari
dan lain-lain.[1]
Ahmad
Khatib adalah putera Indonesia yang sangat dalam pengetahuan ke Islamannya.
Dengan ilmu yang dimiliki selain mengajar beliau juga menjadi imam dan khatib
di Masjidil Haram, suatu kedudukan keagamaan yang amat langka dipegang oleh
orang-orang non-Arab di tanah suci. Beliau bukan guru agama biasa. Ia ulama
yang kaya dengan gagasan-gagasan progresif untuk memajukan umat Islam. Melalui
murid-muridnya putera Indonesia yang belajar padanya di Mekkah. Ahmad Khatib
telah menyumbangkan peran yang tidak kecil artinya bagi kemajuan umat, dan
menjadi guru dari hampir keseluruhan para pembaharu di tanah air pada abad ke
-20
Ada yang menganggap beliau sebagai
pelopor pembaharuan dan sekurang-kurangnya guru dari generasi pertama
pembaharuan Islam pada abad ke-20. disamping itu ada juga pendapat yang sangat
negatif, yaitu pendapat Snouck Hurgronje, bahwa dia hanya bersifat oportunis
yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan yang mendalam dan hanya dengan jalan
perkawinan mencari kedudukan politik dan keuntungan finansial.[2]
Antara dua
pendapat yang bertentangan ini maka perlu dikaji kembali tentang jalan tengah
yang cocok dengan kebenaran. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis mencoba
untuk memaparkan beberapa permasalahan tentang Syekh Ahmad Khatib meliputi :
1) Riwayat hidup Syekh
Ahmad Khatib
2) Ahmad Khatib dan adat
di Minangkabau di bidang hukum warisan
3) Ahmad Khatib
menentang tarekat
4) Ahmad Khatib sebagai
guru pertama
5) Peran dan pengaruh
Ahmad Khatib terhadap pendidikan Islam di Indonesia
B. Pembahasan
- Riwayat Hidup Syekh Ahmad Khatib
Ahmad
Khatib dilahirkan di kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Terdapat dua pendapat
mengenai tahun kelahirannya. Menurut Prof. Dr. Hamka, Ahmad Khatib lahir tahun
1276 H/1860 M. Sedangkan menurut Deliar Noer, seorang cendikiawan Islam, tahun
1855 M.[3]
Ayah dari
Ahmad Khatib bernama Abdul Latief. Dari pihak ayah, Ahmad Khatib bersepupu
dengan KH. Agus Salim, seorang cendekiawan dan pemimpin Islam yang berpengaruh.
Ibu Ahmad Khatib adalah Limbak Urai, anak Tuanku Nan Renceh, seorang ulama
Paderi terkemuka. Dari pihak ibu, Ahmad Khatib adalah saudara sepupu Syekh
Taher Jalaluddin, seorang ulama besar Minangkabawi lainnya. Di lihat dari keturunan
ayah dan ibu. Ahmad Khatib terhitung datang dari keluarga yang terpandang di
Minangkabawi pada zamannya.[4]
Ahmad
Khatib di duga sempat belajar di sekolah raja di Bukit Tinggi pada umur 11
tahun, setelah menyelesaikan sekolah rendah.[5]
Ahmad Khatib dibawa ayahnya ke Mekkah dan bermukim di sana. Dengan demikian
cerita tentang Ahmad Khatib pada kajian di bawah ini berada di Mekah.
Pada tahun
1296 H , yaitu setelah 10 tahun dia di Mekkah, karena baik budi dan luas
ilmunya dan disayangi orang, beliau disayangi oleh seorang hartawan Mekkah,
bernama Syekh Saleh Kurdi, saudagar dan penjual kitab-kitab agama. Syekh Saleh
berasal dari keturunan Kurdi dan Mazhab orang Kurdi adalah Syafi’i. Oleh karena
Syekh Saleh seorang hartawan dan baik hubungannya dengan pihak kerajaan
syarif-syarif di Mekkah. Maka Ahmad Khatib dikenal oleh istana dan oleh
ulama-ulama lain dan memang sikap budi bahasanya dan keteguhan pribadinya
menunjukkan pula bahwa dia seorang yang berdarah dan berbudi bangsawan, bintangnya
cepat naik.[6] Karena
kedekatannya dengan Syekh Saleh Kurdi Ahmad Khatib diangkat jadi menantu.
Istrinya bernama Khodijah, beliau menikah setelah sepuluh tahun bermukim di
Mekkah.
2. Ahmad Khatib, dan
Adat Minangkabau di bidang hukum warisan
Pembagian
harta pusaka menurut garis matrinial sangat keras dilarang oleh Ahmad Khatib.
Sekalipun kedudukannya di sini memang sama sekali tidak berbeda dari ajaran
buku Fiqh dan ulama lain, namun cara menulis dan mengajarnya lebih keras, tajam
dan polemis. Pada tahun 1309 H/1891 M dia menerbitkan buku kecil di bidang ini
dalam bahasa Arab dengan judul “Al Da’i Al Masmu “Fil Radd ‘Ala Yuwarrithu
Al-Ikhirah Wa-Awlad Al-Akhawat Ma’a Wujud Al usul Wa’i Furu’. Artinya
seruan yang di dengar dalam menolak pewarisan kepada saudara dan anak-anak saudara
perempuan beserta dasar dan perincian, yang ditulis dalam bahasa Arab dan
dicetak di Mesir pada tahun 1309 H.[7]
Adat Minangkabawi menetapkan bahwa harta pusaka diwariskan kepada kemenakan.
bukan kepada anak sesuai dengan ajaran Islam. Harta itupun diserahkan kepada
kemenakan perempuan. Sedangkan kemenakan laki-laki hanya menjadi pembantu saja
dalam menggarap dan memelihara harta pusaka itu. la hanya memperoleh sebagian
hasil sebagai upah dari pekerjaannya. Padahal menurut ajaran Islam, harta
pusaka diwariskan kepada anak sendiri dengan ketentuan anak laki-laki
memperoleh bagian yang lebih besar dari pada anak perempuan. Jadi jelas adanya
perbedaan / pertentangan antara peraturan adat dengan peraturan agama dalam hal
warisan di Minangkabawi.
Menurut Ahmad Khatib, barang siapa yang masih mematuhi adat yang berasal dari syaitan
yaitu dari Datuk Perpatih Nan Sebatang Nan Datuk Ketumanggungan. Disamping
hukum Tuhan adalah kafir dan akan masuk neraka. Semua harta benda yang di
peroleh menurut hukum waris kemenakan dianggap sebagai harta rampasan. Barang
siapa yang mempertahankannya sebagai miliknya berdosa besar, karena
menghabiskan harta benda anak yatim piatu. Pelakunya adalah fasik dan tidak
berhak menjadi saksi dalam perkawinan. Karena itu tobat adalah mutlak dan
perkawinan itu harus di ulang kembali, kalau tidak maka orang menjadi murtad.
Hendaknya hubungan diputuskan dengan mereka yang tidak mau menerima hukum waris
Islam dan mereka tidak punya hak untuk mendapatkan pemakaman secara Islam.[8]
3. Ahmad Khatib Menentang
Tarekat
Selain
tantangan terhadap pembagian warisan, Ahmad Khatib juga menentang terekat. Buku
Ahmad Khatib yang paling terkenal di bidang ini ialah Izharu Zaghlil
Kadzibin Fi Tasyabbuhihim bis shadiqin, tentangan tarekat khususnya terekat
Naqsyabandi. Buku yang ditulis dalam bahasa melayu itu sudah pernah
di-Indonesiakan oleh A. Arief pada tahun 1961 dan dicetak ulang pada tahun
1978, karena serangan terhadap tarekat dianggap telah aktual.[9]
Menurut
informasi yang diterima oleh Snouck Hurgronje dalam Karel A Steenbrink, alasan
yang paling kuat untuk menentang terekat adalah sikap iri hati Syekh Ahmad
Khatib terhadap Syekh Jalal Kubis atau Sulaiman Effendi. Ada beberapa alasan
yang cukup kuat dan rasional untuk menentang tarekat ini. Menurut mukadimahnya
Ahmad Khatib mengambil bahan untuk bagian pertama dari kitab Alba’ist Ila
Inkar Al-Bid’ah Wa’l Hawadist, permulaan kitab ini hanya merupakan kumpulan
kutipan dari Al-Qur’an dan Hadist yang khusus menyerukan agar menjauhkan diri
dari bid’ah. Selanjutnya kitab ini ditulis dalam bentuk jawaban terhadap lima
pertanyaan. Masalah pertama adalah tentang asal tarekat Naqsyabandinya
Dalam Karel
A Steenbrink dituliskan bahwa Ahmad Khatib mempunyai kecenderungan untuk cepat
sekali “mengafirkan” orang lain, sebagaimana dia mengatakan :
Mungkin ia meyakini suatu i’tikad yang salah
tentang Allah ta’ala: maka ia menurut hukum syari’ah dan pada sisi Tuhan,
menjadi kafir. Padahal ia tidak mengetahui telaah menjadi kafir dengan i’tikad
itu, seperti kebanyakan ahli terekat di Indonesia yang mengi’tikadkan Allah itu
“Diiya’u lami, laisa kamistlihi syai’un”, artinya : “Cahaya yang
cemerlang, yang tidak ada sempurnanya suatu jua”, maka orang yang menyakini
Allah ta’ala cahaya dan tiap-tiap cahaya itu baharu. Dan diyakininya ia
bersifat cemerlang dan cemerlang adalah sifat yang baharu seperti sifat api,
matahari, tiap-tiap yang bercahaya dan tiap-tiap yang licin, maka orang mukmin
tidak ragu lagi tentang kafirnya dengan i’tikad ini karena ia bertuhan kepada
cahaya....”[10]
- Ahmad Khatib Sebagai Guru Pertama
Ahmad Khatib adalah sebagai pelopor dan sekurang-kurangnya guru dari
generasi pertama pembaharuan Islam dalam abad ke 20.[11]
Kendati dalam sumber lain ada yang berpendapat sangat negatif tentang Ahmad
Khatib, namun dari kajian literatur yang penulis baca banyak para pembaharuan yang muncul di tanah air
pernah belajar dan menuntut ilmu dengan Syekh Ahmad Khatib di Mekah. Para
pembaharu itu diantaranya : Syekh Muhammad Jamil Jambek, Kiyai Haji Ahmad
Dahlan, Syekh H. Abdullah Ahmad, Syekh H. Abdul Karim Amrullah, Sykeh Taher
Jalaluddin[12].
Dari tokoh pembaharu tersebut kesemuanya telah ikut menentukan sejarah
perkembangan pendidikan Islam di di Indonesia
Murid-murid Ahmad Khatib pada umumnya menjadi ulama besar di tempat mereka
masing-masing. Ulasan tentang para tokoh agama yang kembali dari Mekah setelah
belajar agama selama beberapa tahun, maka akan lebih jelaslah bagi kita peranan
Ahmad Khatib sebagai tokoh, guru pertama para pembaharu dan pembangun Islam di
Indonesia. Memang sebagian besar murid-murid Ahmad Khatib berasal dari
Minangkabau namun ada yang berasal dari pulau Jawa seperti KH Ahmad Dahan
dimana hasil pembaharuannya mencakup seluruh kepulauan nusantara.
5. Murid-murid Ahmad
Khatib
Murid-murid Ahmad
Khatib ikut menentukan sejarah perkembangan pendidikan Islam di tanah air pada
masa ini, terutama di Minangkabau, dari murid-muridnya lagi kemudian menyebar
ke tempat-tempat lain bukan saja di Minangkabau. Sebagian besar diantara mereka
selain memperjuangkan pemurnian Islam dari berbagai unsur baru dan campuran
yang tidak sejalan dengan ajaran agama yang murni. Sesuai dengan dorongan guru
mereka juga tampil sebagai tokoh pembaharuan di daerah mereka masing-masing.
Murid-murid Ahmad Khatib yang menjadi tokoh pembaharu di Minangkabau antara
lain :
1) Syekh
Thaher Jalaluddin
Syekh Thaher
Jalaluddin menetap di Malaysia setelah belajar di Mekkah kira-kira tahun 1900.
ide-ide pembaharuan pemikirannya ia sebarkan melalui majalah Al-Imam
yang dibaca kaum muda di Sumatra Barat[13].
Pada tahun 1908, beliau bersama seseorang yang bernama Raja Haji Ali bin Ahmad
mendirikan sekolah Al-Iqbal Al-Islamiyah di Singapura.
Sekolah ini pun
memberikan inspirasi kepada Haji Abdullah Ahmad pembaharu di Sumatra Barat
untuk mendirikan sebuah sekolah agama yang bernama Sekolah Agama Adabiyah.
2) Syekh
Muhammad Jamil Jambek
Syekh Muhammad
Jamil Jambek (1862-1947) belajar di Mekkah selama sembilan tahun (1890-1903)
dan semenjak itu ia menyiarkan agama kepada masyarakat. Pada tahun 1913 ia
mendirikan suatu organisasi dengan nama Tsamaratul Ikhwan di Bukit
Tinggi[14].
Organisasi ini adalah organisasi sosial yang berfungsi untuk meningkatkan
kualitas masyarakat dalam beragama. Syekh Muhammad Jamil Jambek adalah ulama
pertama yang mengajar dengan cara berpidato di muka umum, di Minangkabau
khususnya[15].
Pada tahun 1918 ia mendirikan sebuah surau yang menjadi pusat kegiatan untuk
memberikan pelajaran agama dan sekaligus menjadi tempat pertemuan
organisasi-organisasi Islam. Di situ beliau secara rutin memberikan pelajaran
agama kepada murid-muridnya.
Cara mengajar
berpidato, mendatangi murid ke kampung-kampung. dan memberikan keterangan
secara terperinci agar mudah dicerna. Itu semua adalah baru pada masa itu.
Biasanya pelajaran diberikan dengan cara berhalaqah. duduk melingkar mengelilingi
guru. Murid mendatangi guru ke suraunya.
Syekh Muhammad
Jamil Jambek sangat memperhatikan keimanan dalam pengajarannya. Beliau seorang
yang anti tarekat, sebagaimana halnya guru beliau Ahmad Khatib. Tetapi
murid-muridnya yang terdiri dari guru dan kulipah tarekat. Kecaman-kecamannya
terhadap tarekat disampaikan dengan cara yang dapat diterima oleh orang banyak.
sehingga beliau dihormati sebagai seorang ahli tarekat.
3) Haji
Abdul Karim Amrullah (1879-1945)
Haji Abdul Karim
Amrullah dikenal dengan Haji Rasul. Belajar di Mekkah selama tujuh tahun
dimulai pada tahun 1894. kemudian ia belajar di sana selama beberapa tahun dan
pulang kembali pada tahun 1906[16].
Sejak saat itu ia aktif menyiarkan agama dari suatu daerah ke daerah lain di
Sumatra Barat. Ia juga mengadakan perjalanan ke luar Sumatra Barat yaitu
Malaysia (1916) dan Jawa (1917). Dari kunjungan ke Jawa ia mengadakan hubungan
dengan pemimpin-pemimpin Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Dialah yang
memperkenalkan Muhammadiyah di Minangkabau. Pada tahun 1925 surau tempat dia
menyiarkan agama dan membimbing jamaah di Padang Panjang bernama surau
Jambatan Besi kemudian menjadi lembaga pendidikan Sumatra Thawalib[17].
Ia juga menjadi penasehat organisasi Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI)
pada tahun berdirinya.
Haji Karim
Amrullah atau HAKA adalah murid Ahmad Khatib yang sangat radikal dalam gerakan
pembaharuan Islam di Minangkabawi. Beliau adalah seorang ulama besar yang
berpengalaman, ahli pidato, dan sangat berani mengeluarkan pendapatnya dalam
rangka pemurnian ajaran dan pelaksanaan ibadah Islam[18].
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya kemampuannya di bidang ilmu
pengetahuan Islam telah diakui oleh Universitas Al-Azhar di Kairo.
Pendekatan HAKA
dalam penyampaian ajaran Islam bersifat keras, tanpa maaf, dan tanpa kompromi.
Beliau mengecam dan menyerang segala hal yang bertentangan dengan ilmu agama
yang diperolehnya sampai ke persoalan yang kecil dalam tabligh-tabligh yang
diadakannya[19]
4) Haji
Abdullah Ahmad (1879 – 1933)
Haji Abdullah
Ahmad belajar di Mekkah selama empat tahun. Ia tertarik dengan modernisasi
pemikiran yang telah dipublikasikan dan hal itu direalisasikannya dengan jalan
menjadi agen dari berbagai majalah yang berisikan ide-ide pembaharuan yang
sampai ke Sumatra Barat waktu itu.
Tahun 1906 Haji
Abdulah Ahmad pindah ke Padang untuk menggantikan pamannya yang baru meninggal
sebagai guru. Disana ia menyiarkan agama dengan jalan mengadakan
pertemuan-pertemuan dan membahas masalah-masalah agama. Kenyataan yang muncul
saat itu, tidak semua anak pedagang dapat masuk sekolah yang di dirikan oleh
pemerintah, motivasi Haji Abdullah Ahmad untuk mendirikan sekolah Adabiah setelah
ia mengunjungi sekolah Iqbal di Singapura Tahun 1909.
H. A. Ahmad adalah
salah seorang dari “tiga serangkai” pembaharu Islam Minangkabawi yang terkenal
itu, disamping Syekh Muhammad Jamil Jambek dan Haji Abdul Karim Amrullah[20].
Bila Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih banyak menyebarkan pembaharuan dan
pemurnian Islam melalui tabligh atau dakwah lisan maka H. A. Ahmad lebih banyak
melakukannya melalui tulisan ketengah masyarakat Islam[21].
Pengaruh Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih banyak tersebar di tengah masyarakat
Minangkabawi, tetapi pengaruh H. A. Ahmad tersebar sampai keluar Sumatra
melalui majalah yang diterbitkannya.
Selain mengajar,
membentuk lembaga pendidikan, dan menerbitkan majalah H. A. Ahmad bersama
seorang sahabatnya Thaher Marah Sultan mendirikan sebuah perkumpulan yang
bernama “Syarikat Usaha”. Perkumpulan ini bertujuan mendirikan sekolah-sekolah
seperti yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Usaha ini melahirkan H.L.S
Adabiyah, yang kemudian diberi subsidi oleh pemerintah. Di sekolah ini
disamping ilmu pengetahuan umum diajarkan pula agama.
Haji Abdullah
Ahmad seorang ulama produktif dalam menulis dan diangkat menjadi ketua
persatuan wartawan di Padang tahun 1914[22].
ia mempunyai hubungan yang erat dengan siswa-siswa pemerintah di di Padang dan
Sekolah Dokter di Jakarta dan memberikan bantuannya dalam kegiatan Jong
Sumatranen Bond. Ia mengomandani majalah Al-Munir di Padang
(1911-1916) dan Al-Akhbar (1913), dan menjadi redaktur bidang agama
Islam dalam majalah Al-Islam (1916) yang diterbitkan oleh Sarekat Islam.[23]
5) Kiyai
Haji Ahmad Dahan (1868 – 1923)
Kiyai Haji Ahmad
Dahlan adalah murid Ahmad Khatib yang melancarkan pembaharuan di pulau Jawa.
Selain beliau berguru kepada Ahmad Khatibh, Ahmad Dahlan pernah juga berguru
kepada Syekh Muhammad Jamil Jambek ulama terkenal di Bukit Tinggi yang
mempunyai reputasi dan berwawasan modern ketika itu.[24]
Usaha yang pertama
dilakukan Ahmad Dahlan sekembalinya dari Mekkah adalah membetulkan orang kiblat
umat Islam pada waktu itu. Pada umumnya orang sholat menghadap ke Barat.
Sedangkan arah kiblat yang benar itu adalah 24 ½ derajat ke utara. Tradisi
tempat ibadah yang kebanyakan hanya mengukur kepada keadaan dan pengetahuan
umum semata.
Pokok pikiran
Ahmad Dahlan meliputi bidang keagamaan, bidang sosial kemasyarakatan, bidang
politik kenegaraan dan bidang pendidikan, bhaw atujuan pendidikan yang sempurna
adalah melahirkan individu yang utuh, menguasai ilmu agama dan ilmu umum
material spritual dan dunia akhirat. Metode yang dipakai adalah pendekatan
kontekstual.
Gerakan pendidikan
K.H. Ahmad Dahlan membuahkan hasil yang jelas pada saat Ahmad Dahlan mendirikan
sekolah modern. Pada tahun 1911 beliau berhasil mendirikan sekolah dengan sitem
kelas, para murid bukan lagi belajar di surau dan di halaqoh. Beliau juga
mengajar bukan saja ilmu-ilmu agama melainkan juga ilmu-ilmu umum. Murid
perempuan tidak lagi dipisahkan dari murid laki-laki sebagaimana di surau-surau
dan di halaqoh.[25]
6. Peranan Ahmad
Khatib Terhadap Pendidikan di Indonesia
Syekh Ahmad Khatib pergi ke Mekkah untuk belajar pada tahun 1876 dan
kemudian ia mencapai kedudukan tertinggi dalam mengajarkan agama, yaitu sebagai
imam dari mazhab Syafi'i di Mesjid al-Haram. Walaupun beliau tidak pernah kembali
ke daerah asalnya kemudian, tetapi ia tetap mempunyai hubungan dengan daerah
asalnya melalui mereka yang naik haji ke Mekkah dan belajar padanya yang
kemudian menjadi guru di daerah-daerah asal mereka masing-masing. Bicara
masalah perhajian menurut Azyumardi Azra ada tiga kategori kehadiran imigran ke
Haramyn, pertama mereka disebut little immigrant, kedua adalah grant
immigrant, dan ketiga adalah ulama dan murid pengembara.[26]
Bila penulis kaji Syekh Ahmad Khatib termasuk kategori yang kedua dan
murid-muridnya termasuk kategori yang ketiga. Hubungan tersebut dipererat lagi
dengan publikasi tulisan-tulisannya tentang persoalan yang sering dikemukakan
kepadanya oleh murid-murid dari Indonesia.
Syekh Ahmad Khatib adalah seorang guru besar di Masjidil Haram, yang
terkenal karena tinggi ilmunya. banyak murid belajar kepadanya. Diantaranya ada yang datang dari Sumatera, Jawa, Kalimantan
dan Malaya. Kepada mereka Ahmad Khatib menekankan
agar mempunyai keberanian untuk mengemukakan pikiran sendiri. Mereka dibiarkan
berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dicetuskan oleh Muhammad 'Abduh.
seperti yang terdapat di dalam majalah Al-'urwah al-Wutsqa dan membaca
serta mempelajari tafsir AI-Manar. Karena itu muncullah diantara
murid-murid yang belajar kepada Ahmad Khatib beberapa tokoh pembaharuan di
tanah air kita pada awal abad 20 ini.[27]
Ahmad Khatib adalah seorang ulama pendidikan
pembaharu dan pembangun pendidikan Islam di Indonesia. Beliau berjuang dari
tempat yang jauh di Mekkah. Walaupun beliau tidak terjun langsung ke tanah air,
namun beliau memegang peranan penting dalam pergerakan Islam di tanah air pada
awal abad ke 20 ini. Beliau telah mendidik para pelopor pembaharuan dan para
pembangun Islam khususnya di Minangkabau dan Indonesia umumnya[28].
Para pelopor pembaharuan juga berperan dalam
modernisasi pemikiran di Sumatra Barat karena mereka mempunyai akses langsung
ke masyarakat.
1. Kesimpulan
Dari
paparan di atas penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1) Syekh Ahmad Khatib
adalah sebagai pelopor dan sekurang-kurangnya guru dari generasi pertama
pembaharuan Islam di Indonesia pada abad ke-20. dimana banyak para pembaharu
yang muncul di tanah air pernah belajar dan menuntut ilmu dengan Syekh Ahmad
Khatib di Mekkah serta ikut menentukan sejarah perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia.
2) Syekh Ahmad Khatib
setelah ke Mekah memang tidak pernah kembali ke tanah air, namun pengaruhnya
sangat besar sekali. Hal ini bisa kita lihat dari beliau masih mempunyai
hubungan dengan daerah asalnya melalui mereka yang naik haji ke Mekkah dan
belajar padanya dan kemudian mereka menjadi guru di daerah asalnya
masing-masing serta mengadakan pembaharuan pendidikan Islam pada awal abad
ke-20. Pengaruhnya bukan saja melalui murid-muridnya akan tetapi juga melalui
publikasi tulisan-tulisannya tentang persoalan yang dikemukakan oleh
murid-muridnya dari tanah air.
2. Saran
Setelah
penulis selesai memaparkan tentang Syekh Ahmad Khatib sebagai guru pertama para
pembaharu dan pengaruhnya terhadap pendidikan di Indonesia maka penulis
menyarankan :
1) Tidak salahnya kita
semua membaca tentang tokoh-tokoh lain sebagai pembaharuan Islam bukan saja di
Minangkabau namun di daerah-daerah lain.
2) Begitu besarnya
peranan tokoh-tokoh Islam dalam pembaharuan yang terkait terhadap pendidikan
kita semua patut mencontoh tokoh-tokoh tersebut sebatas kemampuan
masing-masing.
3) Analisis Historis
pendidikan Islam di Minangkabau ikut mewarnai kemajuan pendidikan pada saat
sekarang maka tidak mustahil analisis ini bisa kita angkat menjadi tesis pada
program pasca sarjana (S2).
4) Selanjutnya penulis
menyadari masih banyak kealfaan pada pemaparan makalah ini baik dari segi
tulisan, literatur dan yang lainnya, maka kritik, saran dan masukan penulis
siap untuk memperbaikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Ensiklopedi
Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoev, 2002
Lihat dalam Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara abad XVII dan XVIII, Jakarta : Penada Media, 2004
Daya, Burhanuddin, Gerakan
Pembaharuan Pemikiran Islam, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1990.
Latief M., Sanusi, Riwayat
Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar di Sumatra Barat, Padang : Islamic
Centre Sumatra Barat, 1981.
Nazar, Akhtiar, Syekh
Ahmad Khatib Ilmuan Islam di Permukaan Abad Ini, Jakarta : Pustaka
Panjimas. 1983.
Nizar, Hayati, Jurnal
Keislaman dan Peradaban, Analisis Historis Pendidikan Demokrasi di Minangkabau,
Padang : Hadharah Pasca Sarjana IAIN Imam Bonjol Padang, 2003.
Net, Daliar, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Cet ke 7 Jakarta : LP3ES, 1995.
Sani, Abdul, Lintasan
Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1998
Stenbrink, Karel A., Beberapa
Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 15, Jakarta : Bulan Bintang, 1984
Yunus, Mahmud, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, 1979.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar